Keesokan harinya. Cklek. Marigold membuka pintu depan rumah sepupunya karena mendengar bel di pagar. Ada dua mobil disana yang melambangkan orang kaya dan orang yang lebih kaya lagi. Marigold yang mengenali kedua mobil itu langsung memutar bola matanya. Matahari baru muncul, drama baru pun juga muncul. Hebat. "Selamat pagi, Nona Marigold," sapa Pak Umar, sopir pribadi dari tuan milyader. "Pagi, Pak Umar. Pintunya tidak dikunci, dorong saja lalu silakan masuk," ucap Marigold sambil berjalan keluar ke arah pagar, menghampiri pria paruh baya itu. "Baik." "Pagi Marigold," sapa seorang yang lain. Marigold menggeram rendah melihat laki-laki menyebalkan yang menebarkan senyum penuh pesonanya. Adam. Laki-laki menyebalkan itu adalah Adam. Kemudian Adam menarik lengan Marigold menjauhi pagar agar orang lain tidak mendengar apa yang akan dikatakannya. "Apaan sih?!" ketus Marigold yang menarik lepas lengannya dari cengkraman tangan Adam. "Kenapa pagi-pagi sudah nongol? Bikin bete saja."
Martin mematikan ponselnya lalu menyimpannya di saku. Martin menelpon Pak Umar yang membawa Marigold, pengantin Tuan Max, yang sudah terlambat hampir dua jam untuk datang ke villa pribadi tuan milyader. Agenda di villa adalah Marigold diharuskan melakukan perawatan sebelum melakukan malam pertama nya bersama Tuan Max. Dua puluh menit kemudian, mobil Rolls-Royce memasuki pelataran lobi villa. Martin bergegas mendekati mobil yang berhenti tepat di depan pintu masuk villa. Dibukanya pintu penumpang belakang... "Terima kasih," ucap seseorang yang keluar dari dalam mobil. Martin tersentak mundur, melihat seorang wanita cantik berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. "Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada di mobil ini?" tanyanya bingung dengan mata menelusuri sosok wanita asing di depannya. "Pak Umar, Pak Umar?" "Ya Tuan Martin?" "Pak Umar, dimana Nona Marigold?" desaknya setengah berteriak. "Kenapa Pak Umar membawa gadis lain? Apa dia tertukar di tengah jalan?" tanya Martin bingung. "
"Selamat datang di villa ini, Nona Marigold," sapa Helen, yang bertanggung jawab atas semua keperluan Marigold selama di villa. "Kalau boleh tahu, ini.. siapa?" tanyanya dengan menatap Nina yang berdiri di samping Marigold."Sepupuku. Dia akan menemaniku disini. Tidak masalah kan?" Marigold menantang Helen yang berubah raut wajahnya melihat kehadiran Nina yang tidak diharapkan. Marigold ingin melihat apakah Helen juga akan bersitegang dengannya perihal kehadiran Nina di villa, seperti yang dilakukan Tuan Martin, asisten tuan milyader."Seharusnya tidak masalah. Nanti biar kuberitahu bagian dapur dan kebersihan, kalau ada satu tambahan orang lagi.""Bagus," sahut riang Marigold yang puas dengan jawaban Helen."Baiklah. Kalau begitu akan saya tunjukkan kamar anda. Sedangkan kamar untuk sepupu anda, baru bisa ditempati sore nanti. Kamar harus dibersihkan ulang, agar sepupu anda merasa nyaman. Jadi untuk sementara, sepupu anda akan berada di kamar anda.""Tidak masalah.""Mari.."Marigold
"Ayo cepat bangun," teriak Nina dengan mengguncang tubuh Marigold yang sedang menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. "Pergi sana, aku masih mau tidur," balas Marigold dengan suara teredam. "Aku mau tidur sampai matahari terbenam. Badanku sakit semua." "Dasar manja," gerutu Nina sambil berusaha menarik selimut itu. "BANGUUUN..!" "Apa sih, Nina?" gerutu Marigold sambil menutupi kepala dengan bantal. "Aku masih mengantuk nih." "Bangun dan cepat mandi," perintah Nina sambil tetap mencengkram kuat selimut itu supaya Marigold tidak memakainya lagi. "Si ratu es itu sudah tiga kali datang kemari, dan dirimu masih bobok manis. Cepat bangun, jika tidak mau dijadikan es batu." "Ngaco ah," keluh Marigold sambil memeluk guling lagi. "Serius Marigold," seru Nina yang menarik lengan sepupunya agar bangun dari posisi berbaringnya. "Si ratu es sudah mengancam akan membawa golok kemari." Srek. Pluk. Marigold melempar bantal pada Nina dan mengenai wajahnya. "Itu mustahil, Nina. Jangan mengada-a
"Kamu baik-baik saja, Nina?" "Baik," sahutnya cepat. Marigold yang sedang mematut dirinya di cermin, berbalik dan memandang heran pada sepupunya yang sedang bergelung malas di ranjangnya. Sejak kemarin hingga malam ini, sikap Nina sedikit aneh. Terkadang melamun, terkadang tersenyum tidak jelas. Tidak ada yang horor di villa ini kan? Karena tiba-tiba saja, sikap sepupunya itu sangat mencurigakan. "Bagaimana dengan agenda perawatan kecantikan mu hari ini? Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Aku sedang.." "Malas? Bete? Bad mood?" tebak Marigold yang duduk di tepi ranjangnya. Nina melirik sebal ke arah sepupunya. "Aku sedang horny." "WHAT?! You horny dengan siapa, Nina?" pekik Marigold syok. Marigold melipat tangannya dan memperhatikan gelagat gelisah sepupunya. "Biar kutebak. You horny dengan.. Pak kebun? Pak Umar? Atau dengan Tuan.. Martin?" "Bukan urusanmu," gerutu Nina yang langsung menutupi kepalanya dengan bantal. Bersembunyi seperti burung unta, yang menyembunyikan kepalanya n
Nina's POV. Keesokan harinya. Dengan ponsel di telinganya, Nina menjawab panggilan itu sambil berjalan menuju taman di belakang villa. Taman itu sangat cantik dan mirip labirin sederhana, banyak lekukan tersembunyi disana. Nina masuk ke dalam taman dan duduk di salah satu kursi besi di sana. "Tumben ingat aku, Oskar?" sindir Nina ketus sambil menyilangkan kakinya dengan kasar. Oskar adalah.. entahlah, Nina juga bingung. Sebenarnya apa status hubungannya dengan Oskar. Selama satu tahun dengan laki-laki yang tergila-gila grup band nya, dan seringkali melupakan Nina. Suasana romantis hanya berjalan dua bulan saat awal jadian. Dan setelah itu jangan ditanya. Jika bertemu dan mengobrol melalui telpon, selalu ujungnya bertengkar. Topik pun hanya seputar membicarakan dirinya, dirinya, dan band nya. Kemudian laki-laki brengsek itu akan menghilang tanpa kabar bersama grup band nya selama satu atau dua bulan. Putus nyambung sudah menjadi makanan setiap bulan. Namun, laki-laki itu selalu t
Martin's POV."Pak, besok persiapkan mawar merah sebanyak seratus tangkai," perintah Martin pada pak kebun yang sedang menyiangi bunga di taman labirin. "Lalu berikan pada Helen. Dia sudah tahu apa yang akan dilakukan dengan bunga mawar itu.""Baik Tuan Martin. Akan saya lakukan sesuai perintah anda.""Bagus," kata Martin sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya kemejanya. "Sudah itu saja. Sekarang lakukan tugasmu.""Baik. Permisi Tuan Martin," ucap pak kebun seraya undur diri dan melakukan tugasnya kembali.Martin menekan nomer cepat milik atasannya, Tuan Maximilian. Dalam deringan ketiga, terdengar suara datar atasannya."Ya Martin?""Saya sudah kosongkan jadwal anda mulai besok hingga hari Senin. Besok Pak Umar akan mengantarkan anda ke villa untuk bertemu dengan Nona Marigold.""Akhirnya.. setelah kamu menyiksaku dengan agenda pekerjaan tanpa henti. Kamu sama sekali tidak membiarkan aku bersenang-senang dengan istri baruku. Sebenarnya yang menjadi bos itu kamu atau aku?" gerutu Max
"Kita sudah tiba, Tuan Max." "Oh sudah sampai ya," gumam Max sambil menguap dan mengucek matanya. Dirinya sempat tertidur selama perjalanan dari kota menuju ke villa ini. Selesai meeting terakhir pukul sembilan malam, Max langsung berangkat ke villa ini. Meski tubuhnya lelah, namun sesuatu yang bergairah dalam tubuhnya membuatnya bersemangat. Cklek. "Terima kasih, Pak Umar," ucap Max yang melangkah keluar dari mobil. Udara dinginnya malam langsung menyambut Max. "Hmm segarnya," gumamnya sambil merenggangkan tubuhnya dan menghirup dalam-dalam udara menyejukkan ini. "Ehem." Max melirik ke samping, melihat seseorang yang datang mendekat dengan wajah cemberut. Dia adalah Martin, asisten pribadinya. Sewaktu berangkat pukul sembilan malam tadi, Max langsung mengabari Martin bahwa dirinya akan segera tiba di villa. Max segera menutup ponselnya, tanpa mendengarkan tanggapan Martin. Lihat hasilnya sekarang... "Kenapa anda datangnya malam-malam begini?" keluh Martin kesal. "Kupikir anda a
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri