"Tuan Martin," panggil seorang sekuriti.
Laki-laki yang dipanggil sebagai Tuan Martin menjawab, "Ada apa?"
"Ada keributan di ruang kesehatan."
"Keributan?" ulang Tuan Martin heran. "Keributan apa?"
"Ada seorang gadis yang tiba-tiba dikeroyok sekelompok gadis berjumlah empat orang. Ini rekaman CCTV nya," lapor sekuriti itu sambil menunjukkan rekaman itu di tabletnya.
Alis Tuan Martin berkerut hingga menyatu di tengah pangkal hidung ketika melihat adegan bag-big-bug. Seorang gadis yang seorang diri dikeroyok oleh empat orang gadis lain. "Astaga ini..," bisiknya pelan terkejut. "Antarkan aku kesana sekarang," perintahnya lanjut.
"Mari ikut saya, Tuan Martin."
Kemudian..
Cklek. Pintu ruangan kesehatan itu terbuka. Suara terkesiap terdengar dari Tuan Martin dan sekuriti itu, saat melihat empat gadis yang terkapar disana. Ada yang masih terbaring di lantai sambil meringkuk kesakitan. Dua lainnya bersandar di dinding dan menge
"Huft.. akhirnya selesai," gumam Marigold sambil meregangkan tubuhnya di depan lobi hotel. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Leganya. Akhirnya tes pertama selesai. Semoga aku bisa masuk final." Setelah melewati berbagai drama di acara tes pemilihan tadi, Marigold memutuskan untuk berjalan menikmati udara malam yang sejuk, untuk melancarkan peredaraan darah serta meluruskan otak yang kusut. Ditentengnya sepatu high heels nya yang patah, sedangkan pergelangan kakinya yang keseleo sudah dibebat oleh perawat, agar tidak menambah beban cedera sewaktu berjalan pulang. "Seingatku di depan perempatan sana, ada pangkalan taksi. Aku akan jalan saja sampai ke sana, lalu pulang naik taksi," monolognya sambil melayangkan pandangan ke gedung-gedung bertingkat di sekitarnya. Senandung nada ceria yang digumamkan Marigold seketika berhenti, saat matanya menatap sosok punggung seseorang yang dirindukannya. Akhir-akhir ini, mata dan hatinya selalu me
Hari Kamis. Pukul 14.15 "Halo. Selamat siang. Apakah saya bisa berbicara dengan Nona Marigold Flora? Saya Paula, manager acara pemilihan gadis untuk sang milyader." Marigold menahan nafas saat mendengar lawan bicaranya di ponsel, memperkenalkan diri. Deg-deg-deg. "I-iya, ini saya sendiri. Ada apa ya?" "Saya ingin mengabarkan kabar baik, bahwa anda Marigold Flora berhasil masuk dalam babak final, yang akan diadakan dua hari lagi yaitu hari Sabtu, bertempat di 'The Alexander Hotel'. Apakah anda akan datang? Saya harus mengkonfirmasi kedatangan anda. Karena jika anda berhalangan hadir, maka anda akan langsung terkena diskualifikasi." "Bisa. Saya bisa datang. Pukul berapa saya harus datang?" "Pukul satu siang." ***** Hari Sabtu. Pukul 09.00. Di rumah Nina. Seminggu ini, Marigold menginap di rumah sepupunya. Kaki yang terbebat karena keseleo di acara penilaian gadis untuk milyader, memaksa Marigold menginap d
Tap-tap-tap-tap. "Haah.. haah.. haah.." Sudah lebih dari dua puluh menit, Marigold berlari sepanjang trotoar menuju The Alexander's Hotel. Kakinya yang hampir sembuh dari keseleo, menginjak kerikil kecil sehingga tidak tepat menapak, akibatnya rasa nyut-nyutan itu kembali lagi. Dan sialnya, tidak ada taksi yang lewat. Jika lewat pun, taksi itu sedang membawa penumpang. Marigold bersandar pada tiang lampu kota, tersengal-sengal dan berusaha menetralkan nafas. Kepalanya mulai terasa pening karena berlari tanpa henti, ditambah perutnya mulai tegang dan melilit lagi. Meski dirinya atlet karate, namun kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk mengikuti lari maraton jarak jauh, dibawah matahari yang sedang bersemangat untuk bersinar. "Aduuh," keluh Marigold yang sedikit membungkuk sambil menyeka keringat. "Sudah jam berapa ini?" gumamnya sambil melihat waktu di jam tangannya. Seketika matanya membelak. "Mati aku. Sudah jam dua belas," teriaknya sambil mula
Ting. Pintu lift terbuka. Maximilian diikuti Martin masuk ke dalam lift. Keduanya baru saja menghadiri meeting penting di lantai enam. Agenda meeting hari ini adalah bertemu dengan para petinggi The Alexander's Hotel untuk kepentingan acara pameran parfum dari seluruh dunia, yang diadakan setiap dua tahun sekali, yang kali ini akan diadakan di hotel ini. "Agenda selanjutnya di aula lantai satu. Acara pemilihan gadis untuk milyader," kata Martin, asisten pribadi Maximilian Alexander. Maximilian yang sering dipanggil Max, berdecak tidak suka sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Tidak bisakah kamu saja yang mewakiliku? Aku malas menghadiri acara yang pastinya banyak wanita suka mencari perhatianku. Pokoknya pemenangnya harus Marigold Flora. Ingat itu!" "Tentu saja," jawab Martin sambil memutar bola matanya dengan sebal saat mendengar kata 'pokoknya' dari mulut atasannya. Ting. Lift telah tiba di lantai satu. Pintu lif
Maximilian berusaha menahan kantuk saat mengikuti acara pemilihan gadis untuk milyader. Beberapa kali, dirasakannya siku Martin menyenggol lengannya agar dirinya yang mengantuk, tidak jatuh tertidur. Sejauh ini sudah enam orang gadis yang maju ke panggung dan mempresentasikan dirinya. Beberapa pertanyaan dari juri juga diajukan untuk para finalis. "Sekarang, mari kita sambut finalis ketujuh, Alana Jasmine." Plok-plok-plok. Seorang gadis cantik menaiki tangga panggung dengan anggun. Dia mengenakan gaun merah menyala, memperlihatkan bahu terbuka dengan tali berkepang yang menghiasi pundak mulusnya. Kemudian menerima alat pengeras suara dari pembawa acara. "Pertanyaan untuk Nona Alana Jasmine," kata pembawa acara setelah Alana memperkenalkan dirinya. "Pertanyaan yang sama seperti finalis yang lain. Apa yang membuat anda bahagia? Dan apa yang ingin anda lakukan jika sang milyader memilihmu?" "Terima kasih," ucap Alana lembut namun lantang. "Saya a
"Dia tidak pantas menjadi juara," teriak keras seseorang ketika Marigold berjalan ragu, melintasi panggung. Alana Jasmine, dialah yang memprotes dengan suara lantang sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Marigold. "DIA SAMA SEKALI TIDAK PANTAS!" Marigold berusaha menampilkan senyum terbaiknya. Tidak mungkin mempermalukan dirinya dengan menghajar Alana, teman sekolahnya dulu, di atas panggung. Marigold mengepalkan kedua tangannya untuk mengendalikan diri. "Nona Alana, tolong anda tenang sedikit," tegur pembawa acara tegas. "Anda sudah membuat keributan. Apa anda lupa bahwa acara ini disiarkan secara langsung?" Diingatkan bahwa ini adalah siaran langsung, membuat Alana sedikit terhenyak. "Maafkan aku," ucapnya lirih. "Aku hanya tidak terima jika Marigold, gadis udik itu yang menjadi juara satu. Menjadi gadis pilihan milyader." "Kenapa tidak terima? Apa anda mempertanyakan keputusan juri?" desak pembawa acara yang beberapa detik yang sebelumnya, me
Marigold membuka pintu lobi 'The Alexander's Hotel', dan mendapati dirinya tertarik ke pinggir area yang tertutup pepohonan. Punggungnya membentur keras ke dinding marmer hotel. Kemudian rambutnya ditarik kuat ke samping."Aduh," pekik Marigold kesakitan sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan seseorang pada rambutnya. Tarikan itu sangat kuat hingga rasanya kepalanya seolah akan lepas."Dasar jalang! Kamu sudah merusak segalanya! Kamu merebut mimpiku!" teriak seorang gadis yang dikenali Marigold sebagai Alana."Lepaskan aku, Alana. Sakit kepalaku, brengsek!" jerit Marigold frustasi. Air matanya sudah mengambang di pelupuk mata.DUAK.Kepala Marigold tiba-tiba dibenturkan ke tembok dengan keras. Mata Marigold langsung berkunang-kunang karena kerasnya benturan itu. Kemudian dengan sisa tenaganya yang sudah sangat terkuras, akibat berbagai drama hari ini, Marigold mencengkram pergelangan tangan Alana yang meremas bahunya, lalu memelintirnya kuat-kuat."Aduuuh." Kini giliran Alana ya
"Jadi Pak Umar ini adalah sopir pribadi tuan milyader, Maximilian Alexander?" "Benar, Nona Marigold," jawab Pak Umar yang membalas tatapan Marigold dari kaca spion tengah. "Saya sudah menjadi sopir keluarga Alexander sejak papa dari Tuan Maximilian masih hidup." "Oh, apakah papa dari Tuan Max sudah meninggal? Aku ikut berduka." "Lima belas tahun yang lalu. Kecelakaan pesawat. Jet pribadi yang ditumpangi Tuan Alexander menuju kepulauan di Samudera Atlantik, jatuh dan meledak. Seluruh penumpang jet pribadi meninggal dan tidak diketemukan jasadnya." "Oh, tidak," seru Marigold bersimpati, dengan kedua tangan menutupi mulutnya. "Berapa usia Tuan Max pada saat itu?" "Dua puluh tahun," sahut Pak Umar sambil menyalakan lampu sein kiri untuk masuk ke perumahan. "Kasihan sekali." "Tuan Max baru saja lulus kuliah di Inggris. Berita mengejutkan itu langsung mengubah total kehidupan Tuan Max. Di usia dua puluh tahun, Tuan Max diharuskan menggantikan posisi papanya sebagai tangan kanan di Th
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri