Mata ini terasa begitu sulit berkedip. Ingin terbuka saja tapi semilir angin kencang dari depan halaman yang mulai petang, menabrak membawa debu. Akhirnya sepasang netra Karina berkedip menahan perih dan kembali meyakinkan hatinya, kalau semua yang terjadi padanya saat ini bukan mimpi. Ini nyata.
Berjalan dengan daya yang sudah tidak penuh. Separuh lebih tenaganya terkuras untuk bekerja juga karena menahan diri agar tetap sadar. Ia begitu terkejut, karena pada akhirnya bisa mengetahui foto pak Jonathan dari teman kerjanya.
‘Kenapa dunia ini sempit banget!’ batin Karina sambil terus berjalan menuju parkiran motor.
Ia berharap setiap langkah yang diambil, tidak akan mendekat ke arah sang suami. Akan tetapi, takdir memang ingin bermain pada kehidupan yang sulit diprediksi.
Karina bingung menilai kehidupan yang maunya seperti apa. Di satu sisi dirinya bahagia. Karena kalau dipikir, ternyata semesta masih ingin dirinya bertemu dengan Jo. Mungkin itu yang namanya jodoh, karena sejauh apapun pergi. Tetap saja akan bertemu.
Namun, di sisi lain. Ia harus menyingkir dari kehidupan sang suami. Menyingkir sejauh mungkin kalau bisa ke alam lain sekalipun. Karena keluarga Jo yang tidak akan pernah membuat kehidupan nyaman untuk dirinya dan sang anak, juga ibunya.
‘Ibu! Beliau pasti akan marah kalau tahu aku kerja di pabrik yang dipimpin sama Jo. pasti nanti aku disuruh resign.’ Kembali hati Karina bicara sendiri.
Sampai di parkiran, Karina lupa menaruh motornya dimana. Beberapa saat, dirinya bingung sendiri. 'Ah itu dia!' batin Karina yang telah menemukan dimana motornya berada. Ia pun berharap perjalanan pulangnya tidak terganggu dengan terus memikirkan Jonathan.
***
Akhirnya setelah memakan waktu sekitar 45 menit, motor matic Karina tiba juga di depan rumah. Sudah cukup sore, matahari hampir menenggelamkan dirinya.
Karina dengan langkah yang sangat lelah, tiba-tiba dikejutkan oleh panggilan dari bocah kecil, Azka.
“Ibu! Ibu akhirnya pulang juga!” Dipeluk Karina begitu erat, seakan bocah laki-laki itu menahan segunung rindu karena sudah lama tidak bertemu.
Karina membalasnya. Ia ikut memeluk pria kecil itu. Pria yang wajahnya sangat mirip dengan ayahnya, juga cara bicaranya. Ah, andai mereka bisa berkumpul layaknya keluarga. Sudah pasti akan menjadi hal yang paling membuat hati Karina bahagia.
“Oh, Karina udah pulang, ibu kamu pasti kelelahan Azka. Biarkan dia mandi dan istirahat sebentar. Baru abis itu kamu bisa main sama ibu lagi!”
Mendengar iru Azka melepas pelukan pada ibunya dengan wajah murung.
“Ibu mandi dulu ya! Abis itu kita makan sama-sama. Biar ibu yang suapi. Kamu udah makan belum?”
Seketika mendengar ibunya yang akan menyuapi makan, sepasang mata Azka langsung berbinar semangat. “Aku belum makan Bu, kalau begitu ibu mandi sekarang. Aku biar siapin makan di meja makan!”
“Iya!” tersenyum melihat semangat Azka, dan senyumnya yang ceria.
“Dia nggak tidur siang sama sekali, setiap ibu bujuk buat tidur. Dia terus bilang buat nungguin kamu!” ujar bu Riya. Ia mengatakan itu setelah melihat Azka masuk ke dalam rumah.
“Dia pasti belum terbiasa aku tinggal kerja seharian!” Karina merasa bersalah. Tapi, mau bagaimana lagi, hidup yang berat ini harus dilewati.
Karina hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk menyelesaikan aktivitas mandinya. Ia tidak mau buang-buang waktu, dan membuat bocah kecilnya menunggu lama di meja makan.
Azka yang tengah menunggu di meja makan sedang memainkan kakinya. Terdengar suaranya yang lirih mendendangkan lagu anak-anak.
Karina berjalan mendekat, ia melihat sepiring nasi yang sudah lengkap dengan ikan dan sayurnya.
“Baca doa sebelum makan dong! Udah diajarin belum di sekolah!” ucap Karina. Ia mulai menyiapkan satu sendok makanan untuk disuapkan pada Azka.
“Udah dong!” Azka kemudian membaca doa akan makan. Lalu dengan bahagia membuka mulutnya untuk menerima suapan penuh cinta dari ibunya.
Karina merasa lega sekali, kelelahan yang dialami hari ini, seketika luruh melihat Azka yang semangat. Ditambah lagi senyumnya setiap sepasang mata mereka saling bertatapan. Ya, meski senyum itu juga mengingatkan pada senyum Jonathan.
“Makannya udah selesai, ibu cuci piring kamu dulu ya!” Karina bangun dan bergerak mendekat ke tempat cuci piring.
Azka diam saja, ia malah melihat terus-menerus ke arah Karina.
“Azka, kamu nggak ke kamar aja, atau nonton tv?”
Azka menggelengkan kepala. “Azka mau temenin ibu sampe selesai.”
“Ya udah terserah kamu!”
Sebenarnya yang ingin dicuci oleh Karina tidak hanya piring bekas Azka makan saja. Tapi, ada beberapa perabotan dapur yang juga masih kotor. Mungkin ibunya tadi tidak sempat mencuci karena terlalu sibuk menjaga Azka.
Hingga benda terakhir selesai dicuci Karina. Ia pun menoleh ke arah meja makan sambil mengibaskan tangannya yang basah, lalu mengeringkannya dengan handuk kecil yang tersedia disitu. “Dia sampe ketiduran!” ucap Karina melihat Azka ketiduran di meja makan.
Semenjak saat itu, hari-hari Karina berlalu dengan begitu berat. Melihat wajah Azka yang murung setiap pulang kerja. Juga harus bersembunyi saat dirinya hampir ketahuan Jonathan. Karena Jonathan sendiri sering melakukan sidak dadakan ke bagian divisinya, dan malam ini.
Sudah seminggu lebih, Karina merasa rambut hitamnya ini menarik perhatian Jonathan. Pernah mereka berdua berpapasan. Tapi, Karina segera berpaling. Yang mengejutkan, saat itu Jonathan malah mengejar.
Karina coba mengelabui Jonathan dengan susah payah. Menampakkan poni berantakan hingga menutupi mata. Lalu pura-pura bersin, agar Jonathan tidak memindai wajahnya.
“Ah, maaf sudah mengganggu waktu pulang Anda. Saya hanya merasa Anda mirip sekali dengan mendiang istri saya,” ucap Jonathan sambil sesekali melirik tajam ke arah Karina.
Waktu itu, Karina tidak bicara sedikitpun. Ia hanya berharap bisa segera menghilang dari hadapan Jonathan.
Tidak hanya itu, pernah juga Karina merasa diikuti oleh Jonathan. Namun, lagi-lagi berhasil menghilang. Ia jadi berpikir, mungkin rambut panjangnya ini memang membuat Jonathan penasaran padanya.
Saat di rumah, di hari minggu yang cukup santai. Ada waktu untuk Karina berpikir sendiri. Sementara Azka sedang lelap dalam tidur siangnya.
Ia sedang memperhatikan diri di depan cermin, ada mahkota hitam legam yang dulu sangat dipuji oleh Jonathan, yang masih menghias di wajahnya.
“Andai kita masih bersama, mungkin aku nggak akan kepikiran untuk memotong rambut ini.”
Karina tiba-tiba merasa gemetar. Ada gejolak rindu tersimpan apik di hatinya dan kadang kala ingin meledak. Seperti sekarang ini.
Sambil terus melihat di cermin. Karina ingat betul bagaimana belai lembut sang suami setiap mereka berdua memiliki kesempatan bersama. Tawa mesra dan cumbu hangat mewarnai hari-hari yang sempat dilewati meski hanya sebentar. Lalu sekarang, ingatan tentang momen itu tampaknya harus dilenyapkan.
Melesat mengambil kunci motor. Karina merasa siang ini, ia harus pergi untuk memotong rambutnya. Selagi Azka sedang tidur. Ia akan pergi ke salon terdekat.
“Karin! Kamu mau kemana?” tanya Bu Riya yang melihat putrinya akan pergi.
“Aku mau potong rambut Bu!”
“Apa, buat apa? Bukannya kamu suka rambut panjang!”
“Ehm … itu Bu! Ribet aja kalau rambutku panjang. Jadi, mau aku potong. Biar lebih ringan, dan nggak ribet kalau kerja.”
“Yakin, cuma itu alasannya?”
“Iya Bu!”
Bu Riya memang merasa seperti ada yang disembunyikan oleh Karina. Terlebih akhir-akhir ini Karina juga lebih banyak diam.
“Kalau begitu, Karina pergi dulu ya Bu! Azka masih tidur di kamarnya!”
“Iya! Biar ibu yang jaga!"
“Karin! Pendek sekali rambut kamu Nak? Kamu nggak papa potong rambut jadi segitu pendek?” tanya Bu Riya yang terkejut saat melihat putrinya yang sudah pulang dari salon dekat rumah mereka. Mendengar neneknya berisik di depan teras. Azka yang tadinya sedang mewarnai, dan sesaat sempat mendengar bunyi motor ibunya, sontak bangun dan bergerak ke arah teras. Ia kaget sampai matanya membulat sempurna tidak berkedip melihat penampilan baru ibunya. “Lho, rambut ibu kemana?”“Rambut ibu dipotong Sayang!” ucap Karina sambil menatap wajah putranya yang terlihat muram. “Dipotong! Kenapa?” tanya Azka, tampaknya pria kecil tersebut terlihat kecewa. Ia sedih melihat penampilan baru ibunya siang ini.“Ehm ….” Kirana sedang mencari penjelasan tepat, rasanya sampai harus berhenti bernafas. Ia yang sudah turun dari motor, kemudian bergerak perlahan mendekati Azka.“Nak, ibu harus potong rambut, biar ibu bisa menghemat pemakaian shampo di rumah kita! Ibu rasa sejak rambut Ibu panjang, shampo di rumah
Karina hanya bisa berharap kalau dirinya akan aman sepanjang perjalanan. Sebenarnya hanya perjalanan singkat untuk minta tanda tangan pada atasan. Tapi, rumitnya jalan yang dilalui. Membuat ia merasa waktu seperti enggan melaju. Hatinya berdebar dan was-was. Berharap tidak akan bertemu dengan Jonathan. Hingga dirinya melangkah sambil menundukkan wajah. Lalu menutupi dengan map yang dibawa dari ruang proses Kebetulan, suasana kantor sedang ramai sekali. Setiap meja terlihat digunakan pemiliknya dan staff juga terlihat sibuk. Tangan dan mata saling sinkron melakukan pekerjaan. Karina berpikir mereka begitu hebat. Mungkin dirinya kalau mau ada di ruangan ber-AC sejuk ini, harus bisa seperti mereka. Bekerja dengan hebat.Tapi untuk apa, memang disini sangat nyaman karena ruangannya berAc, ditambah tempatnya sangat nyaman. Berbeda dengan ruang proses yang penuh dengan alat produksi juga suara mesin yang berisik.'Mikir apa aku, kalau kerja di bagian ini. jelas bakal ketemu Jo setiap ha
Kedua tangan Jonathan membuat sebuah tumpuan untuk dagunya. Ia terlihat sedang berpikir keras. hatinya berdebar begitu dahsyat mengingat nama yang disebut oleh Bu Riska tadi. “Karin, Karina Andini. Ini nggak mungkin. Bagaimana bisa, ada nama yang sama persis dengan nama mendiang istriku. Mustahil, mustahil. Tapi …!” Jonathan mengingat lagi penggalan memori yang sempat terjadi antara dirinya dengan wanita yang dicurigai sebagai Karina itu. Ia ingat ada hal yang sangat menarik. Mulai dari perasaannya yang bilang wanita itu mirip istrinya. Juga tentang penampakan yang memang karakternya sangat mengingatkan pada Karina. Namun, tetap saja mustahil kalau itu adalah Karina. Karena Karina yang dikenalnya sebagai istri sudah berada di dalam gundukan tanah dan berharap dia bisa tenang di alam sana. “Mungkin aku terlalu rindu kamu Karin. Aku kangen banget sama kamu. Kangen juga sama Azka. Kenapa sih kalian berdua ninggalin aku gitu aja. Azka, ayah kangen kamu Sayang!” Jonathan menunduk menat
Jonathan sedang berkeliling di area produksi. Kebetulan harus menemui Bu Riska terlebih dahulu untuk membahas bahan mentah, dan juga ingin melihat sosok bernama Karina Andini yang sudah diketahui kalau dia adalah karyawan di divisi tiga, tempat dirinya berada saat ini.Masih berjalan dan memantau semuanya. Ia juga sedang mencari sosok Karina, dan ketemu, wanita tersebut sedang duduk di kursi administrasi.Jonathan berjalan mendekat, ia berniat meminta Karina untuk mencarikan bu Riska. Namun, setelah melihat Karina menerima telepon dan berniat mengatakan niatnya tadi. Karina bangun dan terlihat sempoyongan. Spontan Jonathan menangkapanya sebelum Karina benar-benar jatuh ke lantai yang dingin dan lembab.“Karin!’ batin Jonathan memanggil. Ia menangkapnya dan berhasil.Karina sudah berada dalam pelukannya. Ia menatap sepasang mata yang tampak menyorot lemah dengan kelopak matanya seperti akan tertutup. “Hey, apa yang terjadi?” tanya Jonathan.Karina masih setengah sadar dan merasa begi
Jonathan merasa sangat tegang. Ia menahan diri agar kuat dengan apapun yang ada dalam cv itu. Benar atau tidak instingnya tentang Karina. Ia akan tetap terima. “Apa!” Sepasang mata Jonathan terbuka lebar, melihat foto cv itu. Seorang perempuan dengan senyum yang dikenalnya, rambutnya panjang dan matanya sama persis dengan mendiang istrinya. “I-ini nggak mungkin! Jadi, dia benar-benar Karina. Karina Andini istriku!” Dalam sekejap, ingatan tentang pertemuan mata, sentuhan yang tidak sengaja, dan juga beberapa momen perjumpaan yang terasa aneh namun, selalu berhasil menghadirkan rasa yang lain. “Kenapa Karin? Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu istriku. Ini jelas kamu kan sayang?” tanya Jonathan sendiri dalam kebingungannya. Ia membekap sendiri mulutnya yang ingin berteriak kesal. Ada gejolak emosi yang tumpah ingin lepas karena tidak terima dengan apa yang dilakukan Karina. “Lalu bagaimana dengan makam itu, ada nisan atas nama kamu dan juga Azka. Iya, Azka. Apa dia juga masih hidu
Azka berjalan santai di jalan setapak taman. Menuju bagian taman yang dekat dengan parkiran motor.Karina melihat anak kecil yang mirip dengan anaknya sedang berjalan sendirian. Ia pun mempercepat langkah kaki dan segera mendekat pada anak yang disinyalir adalah Azka. “Azka, kok kamu kesini. Kan ibu nyuruh buat nungguin di bangku yang ada di sebelah sana,” ucap Karina.Azka menggelengkan kepala. “Disana ada orang jahat! Aku nggak mau!”“Apa, yang bener kamu?”“Iya Bu! Dia ngajak ngobrol Azka.”“Hah … apa dia menanyakan sesuatu?” tanya Karina lagi.“Azka terlihat mengerutkan alis. “Mungkin kalau aku teru-menerus disana. Dai pasti lebih banyak bertanya. Makanya aku pergi nyamperin ibu aja!”Karina menghela nafas. Lega juga karena Azka punya pemikiran yang berani untuk pergi. “Ya udah, untung kamu ambil jalan yang bener. Kalau nggak, kamu bisa hilang di taman ini. Kalau begitu kita beli es krim ya. Kamu mau rasa apa?”Di hari minggu ini taman tersebut terlihat sangat ramai. ada banyak p
Jonathan bukanlah pria sempurna. Pada akhirnya. Tubuhnya jadi semakin merasa lemah dan ada sesak yang menghujam dada. Ia menatap dalam diam, bibirnya menguncup dan hanya bisa membisu memandang Karina dari jauh. Dunia memang punya kisah. Akan tetapi, dirinya tidak pernah mengira kisahnya akan serumit ini. “Aku yakin itu Karina, terus anak kecil itu! Apa dia Azka? Anakku?” tanya Jonathan pada dirinya sendiri, tiba-tiba muncul rasa pusing di kepalanya. Rasanya sakit sekali. Tubuhnya yang berusaha mencari sandaran, kali ini mulai terasa begitu semakin lemah. Lehernya mulai basah karena keringat dingin. Ia sudah hampir jatuh, namun berusaha berpegangan pada pohon yang ada di dekatnya. Seorang pria melihat keadaan Jonathan yang sangat memprihatinkan. Pada akhirnya pria itu menolong Jonathan dan Jonathan hanya meminta untuk dicarikan taksi untuk pulang ke rumah.“Aku nggak perlu ke rumah sakit. Aku masih kuat, cukup carikan taksi saja!” ucap Jonathan pada pria yang menolongnya. Tanpa dik
Siang ini adalah siang yang paling tidak terduga bagi Jonathan. Ia berjalan seperti orang yang baru belajar menggunakan kaki. Seketika urat syaraf kakinya seperti mati rasa dan lumpuh, namun ia ingin menyeretnya. Mengajak raganya agar bisa sampai di hadapan kedua orang tua dan memergoki apa yang sedang mereka bicarakan. Pak Kayren dan mama Kira terlihat senang dan mampu tertawa lepas. Ini sungguh berbanding terbalik dengan kondisi jiwa raga Jonathan saat ini. Putra satu-satunya keluarga Kayren itu bahkan tak mampu berekspresi. Hanya tatapan mata saja yang coba mewakili isi hati. Sebuah kemuakan yang ingin meledak, tepat tertuju pada orang tua yang sangat dihormati. “Sayang ya, orang yang aku kira paling peduli dan baik. Tidak lebih dari sepasang manusia yang egois,” ucap Jonathan. Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia memang seorang pria yang sungguh pantang untuk menangis. Tapi, keadaan ini sungguh sulit.Pak Kayren dan mama Kira menghentikan gelak tawanya. Mama Kira bahkan reflek meng
Kenneth kembali mendapatkan mobilnya. Ia segera mendatangi kediaman rumah Karina sore ini untuk menceritakan apa yang sudah terjadi dengan Jonathan. “Hentikan! Karena apapun yang kamu katakan, nggak akan bisa membuat Karina dan Azka datang ke rumah itu. Sekalipun Jonathan sedang sekarat sekalipun,” ucap Bu Raya usai mendengar penjelasan dari Kenneth. “Bu! Jonathan itu papanya Azka Bu. Ibu nggak bisa ngomong begitu. Gimana juga penyebab perpisahan aku sama Jo itu bukan karena Jo, tapi karena kedua orang tuanya. Jadi, tolong bu! Jangan terlalu membenci Jonathan,” pinta Karina. Ia memelas bahkan lututnya ikut lemas ingin bersimpuh saja di depan sang ibu. “Karina, mau sampai kapan kamu membela suami nggak guna kamu itu.” Meninggi nada bicara bu Raya. “Mungkin selamanya, karena aku masih cinta sama dia!”Bu Raya tampak emosi. Amarahnya sudah mau meledak, tapi tiba-tiba di balik dinding pembatas ruang tengah dan ruang tamu, terlihat Azka yang sedang mengintip. “Hah, cucuku. Dia pasti
Mama Kirana akhirnya datang ke kantor milik suaminya siang itu. Ia datang tanpa memberitahu. Kayren yang sedang meeting berusaha cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ia cukup terkejut mengapa istrinya sampai datang ke kantor siang ini tanpa memberitahu dulu. “Apa! Kamu mau Kenneth dibebaskan. Kamu juga mau Karina dan siapa! Anak kecilnya dibawa ke kota ini untuk hidup bareng Jonathan. Kamu nggak salah minum obat kan Sayang?” Kayren terkejut setengah mati mendengar keinginan istrinya.“Enggak Pa, mama udah nyerah buat misahin Jo sama Karina. Mama nggak tega liat Jo menyiksa dirinya sendiri.” Nyonya Karina menatap lesu.Pak Kayren bangun dari kursinya lalu mendekat ke arah sang istri. Ia usap pundak istrinya dengan lembut, berharap hatinya bisa tenang dan mau mencari jalan lain untuk masalah ini. “Kamu tau, kita sudah berjuang keras untuk membuat Jo berpisah sama perempuan yang tidak selevel sama kita tu. Kenapa sekarang harus berhenti sih?”“Pa!” Mama Kirana menepuk punggung tangan su
Karina akhirnya mampu membuat tubuhnya terlelap. Ia mulai mendengkur halus, terasa sekali kalau fisiknya sedang kelelahan.Namun, keadaan yang tenang itu hanya bertahan beberapa menit. Tiba-tiba Karina mendapat mimpi buruk. Saking takutnya. Ia sampai berkeringat padahal cuaca sedang dingin."Enggak! Enggak boleh!!” teriak Karina yang masih terpejam. Hingga beberapa detik kemudian kedua matanya terbuka dengan perasaan kaget yang luar biasa.Azka tidur di samping Karina, ia dengar suara ibunya yang mengigau. Azka pun langsung terbangun dan langsung memeriksa keadaan Karina. “Bu! Ada apa? Ibu nggak papa? Ibu mimpi buruk ya?” Azka langsung memberondong banyak pertanyaan dengan wajah penuh kecemasan.“Azka! Jadi, yang ibu alami cuma mimpi. Astaghfirullah!!!” Karina tidak peduli pertanyaan dari putranya, yang ada dia malah memeluk erat Azka. “Bu! Biar aku ambilkan minum, ibu kayaknya kaget banget!”“Karina!! Karina! Ada apa?” Bu Raya yang ikut mendengar jeritan Karina juga terkejut dan l
Suasana menjadi begitu tegang bagi Karina. Ia bisa melihat sorot mata sang ibu yang masih belum ikhlas untuk memaafkan.Entah apa yang diinginkan Bu Raya terhadap dirinya sekarang. Karina merasa takut menghadapi kenyataan. “Ibu ingin, kamu keluar dari Internusa, dan kita pindah. Nggak tinggal di sini lagi!” tercetus juga syarat dari Bu Raya untuk Karina.“Apa!” Mata Karina menatap tak percaya. “Pindah lagi? Tapi Bu."“Kalau kamu nggak mau. Ya udah!" jawab bu Raya tegas. "Kamu tau kan. Ibu akan pergi dari sini dan Azka ibu yang bawa. Ini demi kebaikan dia. Ibu nggak bisa bayangkan kalau Azka sampai ketahuan Kayren. Hidupnya akan menjadi semakin berantakan."Karina ingin menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Namun, mengingat nama Kayren, apa yang dibilang ibunya ada benarnya.“Tapi!” Karina merasa bimbang. Hatinya merasa berat sebenarnya pergi dari sini. Jujur, ia masih ingin bisa bersatu dengan Jonathan. Sementara itu, Azka yang berada di ruang tengah, sedang asyik menonton tv. Mes
Entah mengapa suhu di dalam mobil jadi semakin dingin. Arga masih memasang wajah yang syok, lidahnya keluh. mana mungkin Karina yang dimaksud adalah Karina karyawan di Internusa.“Kamu kenal dia Arga. jangan pura-pura kaget! Apa kamu berharap Karina yang aku maksud adalah Karina yang lain?” Jonathan menatap sekilas pada Arga. “Apa, jadi, Karina yang itu? Kok bisa! Jadi selama ini kamu …!”“Aku sendiri bingung sama diriku sendiri. Aku ini suami macam apa yang bertahun-tahun nggak pernah bisa jagain istri dan anaknya.”Muka Arga sudah seperti orang kebingungan. “Jadi, anak itu. Anak yang ada di rumahnya Karina adalah anak kamu?”Jonathan mengangguk kecil.Arga tak mampu berkata apa-apa. Rasanya dramatis sekali kisah hidup di dunia ini, tidak masuk akal tapi ada. Ia yang merasa sudah begitu jatuh cinta pada Karina pada akhirnya harus ditampar kenyataan kalau Karina adalah istri orang. “Kalau begitu, sebagai seorang laki-laki. perjuangin Karina dong! Kamu masih cinta sama dia kan?”“
“Hentikan Jo! Jangan lakukan ini! Semua perbutan kamu buat aku kacau Jo! Pergi!”Jonathan masih menunduk, ia mulai menggelengkan kepalanya menolak keinginan Karina. Lantas tangannya menyentuh kedua kaki Karina. “Aku akan perjuangin kamu Karin, karena aku butuh kamu dan Azka dalam hidupku!”Karina mengusap air matanya yang lolos. Ia angkat wajahnya ke langit supaya tidak terlalu menangis dengan keadaan yang saat ini terjadi.“Baik, aku akan ceritakan semuanya. Dimulai dari perginya aku saat kita mau menikah, dimana mama kamu nyogok aku buat menggugurkan kandunganku, dan saat kita berhasil ketemu lagi, juga kecelakaan yang membuat kita celaka. Itu semua adalah skenario dari Tuan Kayren. Makam palsu itu juga! Dan asal kamu tau, nggak secuil uang pun aku dapat dari keluarga kamu yang super duper kaya itu untuk gedein Azka. Semuanya aku perjuangkan sendiri Jo. Sendiri!” Sementara itu, di rumah Karina, bu Raya sedang menyiapkan makanan kesukaan Azka. Tiba-tiba saja piring yang mau dipakai
Nyonya Kirana menenteng tas mahal dan keluar dari mobil mewah yang telah terparkir di halaman Internusa.Ia menatap sekeliling lalu perlahan menurunkan kacamata hitamnya. Netranya mencari sasaran. Ia paham saat ini adalah jam pulang ara karyawan Internusa, itu artinya mantu yang paling dibencinya juga pasti sedang dalam perjalan keluar dari Internusa.“Mana perempuan itu! Mana Karina! Aku akan temukan kamu meski kamu sudah merubah penampilan sekalipun,” ucap mama Kirana dengan sangat pasti. Ia pun berjalan masuk dan sengaja lewat lorong karyawan produksi supaya bisa bertemu dengan Karina.Karina sendiri masih berdiri kaku di tempatnya. Ia ternyata sudah bisa melihat kehadiran mama mertuanya, masih ada jarak beberapa meter sebelum mama Kirana itu kembali menemukannya. “Kenapa ada mama mertua di sini?” tanya Karina yang ternyata, terdengar di sambungan teleponnya dengan Jonathan.Jonathan yang masih berada di tempatnya berada, rasanya semakin cemas. Ia bisa dengar jelas, kalau Karina bi
“Itu dia!” Jonathan sudah hampir melangkah akan menemui Azka. Ia melihat anak kecil itu baru saja keluar dari gerbang sekolahnya. Dengan sebuah bungkusan di tangan, ada mainan yang sempat dibeli oleh Jonathan tadi sebelum kesini. Namun, getra dering telepon mengejutkan pria tersebut. Ia pun berhenti dan mengangkat teleponnya terlebih dulu. “Hallo!” sapa Jonathan.Sejenak Jonathan mendengar lawan bicaranya. Seiring waktu, raut wajahnya jadi berubah.“Saya sedang ada kerjaan di luar. Mungkin Kenneth bisa menanganinya.”“Apa! Kenneth nggak ada di pabrik ataupun di kantor! Dia tidak memberitahu saya kalau akan pergi! Ya sudah, secepatnya saya akan balik ke perusahaan!” Jonathan menutup teleponnya.Pria itu bisa melihat Azka sedang menunggu untuk dijemput. Ia sangat ingin menemui putra semata wayangnya itu, tapi waktu sungguh sangat terbatas. “Eh, Mbak, tolong kasih mainan ini sama anak yang lagi duduk di sebelah sana itu bisa nggak! Biar saya kasih upah buat Mbak. Tolong ya, bilang ka
Karina ingin mencari cara untuk mengalihkan topik pembicaraan. Ia melempar pandang ke segala penjuru. Sayangnya otaknya masih buntu.‘Ah disaat seperti ini, kenapa aku malah panggil dia Jo sih!’ keluh Karina dalam hati. Ia kemudian menatap Arga yang masih memandang ke arahnya. “Pak Arga mungkin sedang kebingungan, makanya tadi jadi salah dengar,” jelas Karina membujuk Arga. “Masak sih?”Karina mengangguk.“Gimana kalau pak Arga, bantuin pak Jo sekarang! Kayaknya pakjo lagi butuh bantuan.”“Ah iya, aku baru ingat tentang Sandi!” bergegas Arga membantu Jonathan. Ia berjalan mendekati Jo secepatnya. Termasuk Karina juga. Ia pun ingin mengetahui keadaan Jonathan.Jonathan terlihat sudah hampir berhasil, namun Sandi benar-benar melakukan perlawanan sengit.Dua security Internusa dilukai oleh pisaunya. Arga lekas mendorong Sandi dengan kakinya. Hingga Sandi harus terjungkal.“Ah, kamu bener-bener bikin onar!” Jonathan mendekat dan tanpa peduli rasa sakit di lengannya. Ia pun menyingkirkan