Saat pagi menyapa, Miracle sudah lebih dulu bagun dari Mateo. Dia menyiapkan segala yang dibutuhkan oleh suaminya itu untuk berangkat ke perusahaan. Miracle pernah melihat Marsha, Ibunya yang menyiapkan pakaian untuk ayahnya. Dia tidak pernah menyangka akan ada saatnya dirinya seperti ini. Menjadi seorang istri dan sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Jika membayangkan semua itu membuat Miracle tidak henti tersenyum bahagia.“Apa yang kau pikirkan?” Mateo berdiri di ambang pintu walk-in closetnya. Dia baru saja selesai mandi dan handuk masih terlilit di pinggangnya.“Kau sudah selesai?” Miracle mengalihkan pandangannya, dia menatap Mateo yang melangkah mendekat ke arahnya.“Sudah.” Mateo mengecup bibi Miracle. “Harusnya kau tidak perlu menyiapkan untukku. Biarkan pelayan saja. Kau sedang hamil, sayang. Aku tidak ingin kau kelelahan.”Miracle menghela napas dalam. “Istrimu adalah aku. Bukan pelayan. Biarkan aku yang menyiapkan apa yang kau perlukan.”Senyum di bibir Mateo terukir me
Mateo duduk di kursi kepemimpinan. Dia mengetuk pelan meja dengan jemarinya berirama. Di ruang meeting, dia masih menunggu kedatangan Arsen. Dan sedangkan Blade yang sejak tadi menjelaskan tentang beberapa project yang akan di jalankan tahun ini, Mateo tidak terlalu memperhatikannya. Pasalnya, Mateo sudah kesal menunggu kedatangan Arsen. Mateo memang tidak suka, jika ada yang terlambat ketika meeting dengannya.“Tuan Mateo, apa anda setuju dengan penawaran yang saya berikan?” tanya Blade seraya menatap Mateo.“Berikan proposalnya, aku akan mempelajarinya,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar.“Maaf aku terlambat.” Arsen melangkah masuk ke dalam ruang meeting, dia langsung duduk di samping Mateo.“Kenapa kau baru datang sekarang?” Mateo menghunuskan tatapan tajamnya pada Arsen yang baru saja datang.“Ada wanita yang menabrak mobilku. Jadi aku bermain-main dulu dengannya.” Arsen menjawab dengan santai, dia menyandarkan punggungnya di kursi dan menyunggingkan senyuman misterius.“
Mateo membawa Miracle ke sebuah restoran Italia yang terletak tidak jauh dari perusahaan. Tanpa harus menunggu, Mateo tentu dengan mudahnya masuk memesan ruang VIP. Kini Mateo, Miracle bersamaan dengan Arsen dan Charlotte pun masuk ke dalam ruang VIP.Mateo tidak ingin diganggu oleh siapapun. Itu kenapa Mateo lebih menyukai ruangan privat. Dia tahu banyak paparazzi yang selalu diam-diam mengambil gambar moment dirinya bersama dengan istrinya. Bukan tidak suka, hanya saja terkadang Mateo tidak ingin privasinya diusik. Terlebih sekarang Miracle tengah hamil, sejak hamil istrinya itu cenderung sensitive.Saat Mateo, Miracle, Arsen dan Charlotte sudah duduk, tak berselang lama para pelayan menghidangkan seafood yang telah dipesan ke atas meja. Setelah makanan terhidang, semua orang yang ada di sana mulai menikmati makanan mereka.Hal pertama yang dilakukan oleh Miracle adalah menyiapkan makanan untuk Mateo. Mengingat Ibunya selalu menyiapkan makanan untuk ayahnya. Beberapa kebudayaan Indo
“Tuan… Nyonya…” Pelayan menundukan kepalanya kala melihat Mateo dan Miracle baru saja tiba di penthouse.“Di mana adikku?” tanya Miracle langsung yang tak sabar. Kilat mata birunya terpancarkan kebahagiaan. Terlihat jelas Miracle sangat ingin bertemu dengan adik laki-lakinya itu.“Nyonya, Tuan Muda Dominic berada di perpustakaan,” ujar sang pelayan memberitahu. Miracle tersenyum. Kemudian, dia memeluk lengan sang suami—menuju perpustakaan. Mateo yang melihat wajah sang istri yang begitu sumiringah bahagia, dia pun ikut tersenyum.“Domino...” Suara Miracle berseru memanggil nama kecil adik laki-lakinya itu kala memasuki perpustakaan.Dominic berdiri tegap dan tengah membaca sebuah buku, dia sedikit terkejut mendengar suara Miracle. Tiba-tiba, Miracle menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Dominic. Domonic masih diam dan memasang wajah dingin dan tanpa ekspresi kala kakaknya memeluknya erat. Dia tidak membalas pelukan itu, dan juga tidak menolaknya.“Aku merindukanmu, Domino.” Miracl
Mateo menatap berkas yang ada di hadapannya. Dia mengembuskan napas kasar, banyaknya dokumen yang harus dia periksa. Meski Gustav sudah memeriksanya namun Mateo pun tidak langsung menandatangai itu. Biasanya dia akan kembali memeriksa setiap point penting yang ada di berkas yang dia tanda tangani.Mateo melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Lalu mengambil wine di hadapannya dan menyesapnya perlahan. Pagi ini, Mateo lebih dulu berangkat. Banyaknya pekerjaan yang harus dia selesaikan, membuat dirinya meninggalkan Miracle dengan notes yang dia lekatakan di atas nakas. Seperti biasa, dia tahu setelah ini dia akan mendapatkan masalah karena meninggalkan Miracle hanya dengan sebuah notes. Tanpa menunggu istrinya bangun. Tapi apa boleh buat, Mateo tidak tega membangunkan istrinya yang sudah tertidur pulas.Suara ketukan pintu terdengar, Mateo mengalihkan pandanganya sebentar ke arah pintu. Kemudian, menginterupsi untuk masuk.“Tuan,” Gustav menyapa kala memasuki ruang kerja Mateo.“A
Miracle menatap kesal note yang ditinggalkan Mateo. Tadi pagi dia memang bangun terlambat. Entah kenapa, alarm ponselnya tidak bekerja. Padahal dia sengaja ingin bangun lebih awal karena mempersiapkan kebutuhan untuk sang suami. Sejak dirinya sudah tidak mual seperti sebelumnya, Miracle memang lebih suka tidur. Bisa dikatakan, dirinya cepat mudah bosan mengerjakan sesuatu.Seperti saat ini Miracle tengah bermalas-malasan di atas ranjang. Tak berselang lama Miracle merasakan lapar. Dia mendengkus padahal tadi dia sudah mkan tapi sekarang sudah lapar lagi. Kini Miracle beranjak dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya—dia melangkahkan kakinya, meninggalkan kamar menuju ruang makan.“Selamat siang, Nyonya,” sapa sang pelayan kala Miracle mamasuki ruang makan.“Siang.” Miracle menjawab dengan senyuman tipis di wajahnya. Kemudian dia menarik kursi, dan duduk.“Nyonya, apa anda ingin memesan sesuatu masakan? Hari ini saya khusus membuatkan rendang untuk anda. Kemarin saya mempelajari car
Suara dering ponsel berbunyi, membuat Miracle yang baru saja melangkah keluar dari kamar mandi, langsung mengalihkan pandangannya, pada ponselnya yang terus berdering itu. Miracle mendekat, lalu mengambil ponsel dan menatap ke layar. Seketika kening Miracle berkerut, melihat nomor Frans, ayah dari Charlotte menghubungi dirinya. Tidak biasanya Pamannya itu menghubungi sepagi ini.“Ada apa Paman menghubungiku?” gumam Mirale.Tidak ingin menunggu lama, kini Miracle langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Hallo, Paman?” sapa Miracle saat panggilan terhubung.“Miracle, apa Paman mengganggumu, sayang?” tanya Frans dari seberang line.“Tidak, Paman. Aku baru saja selesai mandi. Paman apa kabar? Aku sungguh merindukanmu.”“Paman sangat baik. Kau lihat saja nanti. Sebentar lagi Paman akan ke Milan. Kau akan melihat Paman tidak pernah menua.”“Eh? Paman ke Milan? Bukannya Paman berada di Moscow?”“Paman mendapatkan undangan khusus dar
Charlotte turun dari mobil dan langsung melangkah masuk ke dalam rumah. Sesaat Charlotte melirik arloji kini sudah pukul sebelas malam—dia mendesah pelan begitu banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan hingga lupa waktu.“Ah, lelah sekali.” Charlotte memijat pelan tengkuk lehernya. Satu hari ini, dia harus meeting dengan banyak rekan bisnis keluarganya dan itu benar-benar membuatnya kelelahan.“Apa seorang Nona Geovan akan selalu pulang larut malam?” Suara bariton dari arah belakang, sontak membuat Charlotte langsung memutar tubuhnya, dan menatap ke sumber suara itu.Seketika raut wajah Charlotte berubah kala melihat sosok pria dengan setelan jas mahal berdiri di hadapannya. Sorot matanya begitu tajam, melihat pria itu.“Untuk apa kau ke sini, Romano!” Suara Charlotte berseru. Di hadapan Charlotte adalah Arsen. Pria itu berdiri tegak seraya memasukan tangannya ke saku jasnya. Jika Charlotte menatapnya tajam, berbeda dengan Arsen yang menatapnya dengan menggoda.“Aku hanya ingin mamp
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira