Sepanjang perjalanan suasana hening tercipta. Miracle memilih memalingkan wajahnya keluar jendela. Sedangkan Mateo yang tengah fokus mengemudikan mobil, dia melirik ke arah Miracle yang sejak tadi tidak ingin bicara padanya. Namun Mateo tidak mempersalahkan itu, mengingat sang istri yang masih marah padanya. Bagi Mateo bisa membawa pulang Miracle sudah lebih dari cukup.Kini mobil Mateo telah memasuki penthouse mereka. Mateo lebih dulu turun dari mobil. Dia membukakan pintu mobil untuk istrinya. Saat Mateo hendak mengulurkan tangan membantu Miracle, dengan cepat Miracle langsung mengabaikan Mateo. Mateo pun memilih mengalah. Kemudian mereka melangkah masuk ke dalam penthouse mereka."Aku ingin tidur," Miracle berucap dingin kala memasuki penthouse."Ya, ganti pakaianmu sebelum tidur," jawab Mateo seraya mengelus rambut panjang Miracle.Wajah Miracle dingin dan tanpa ekspresi. Dia hanya megangguk singkat. Kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Dia tidak ingin banyak bicara
Suara dering ponsel terdengar, membuat Miracle yang tengah tertidur pulas harus terbangun. Perlahan Miracle mulai membuka matanya. Sesaat Miracle menyipitkan matanya ketika silau matahari menembus jendela kamarnya.Miracle hendak mengabaikan dering ponsel itu. Namun nyatanya dering ponselnya tak kunjung berhenti. Miracle berdecak kesal. Kini dia mengambil ponselnya, menatap ke layar nomor Charlotte yang muncul di sana. Tanpa menunggu, Miracle menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya."Ada apa, Charlotte?" jawab Miracle dengan nada dingin dan ketus saat panggilan terhubung."Miracle, aku di rumah Paman William. Tapi Selena bilang kau sekarang sudah di rumahmu. Kemarin suamimu datang menjemputmu?" ujar Charlotte dari seberang line."Ya, dia menjemputku." Miracle menjawab lagi dengan nada malas.Charlotte mendesah pelan. "Baguslah, aku senang mendengarnya. Tadi aku juga sudah mendengar Mateo berkelahi dengan Ka Sean. Aku harus bilang padam
Suara kicauan burung mendakan pagi telah menyapa. Miracle tengah mematut cermin, memoles wajahnya dengan make up tipis. Semenjak hamil, wanita itu benar-benar malas untuk make up. Jika biasanya Miracle cenderung mengguankan make up bold, sekarang Miracle lebih menggunakan make up polos. Seperti saat ini Miracle lebih memilih memakai moisturizer khusus wanita hamil yang dia pesan pada dokter kulitnya serta bedak dan juga lip balm."Selesai," ucap Miracle saat sudah selesai berias. Tubuhnya terbalut oleh mini dress lengan pendek berwarna biru dengan motif printed flower.Setelah berias, tatapan Miracle teralih pada jam dinding. Waktu menunjukan pukul sembilan pagi. Hari ini dia dan Mateo akan pergi ke perkebunan anggur. Entah kenapa Miracle ingin ke sana. Mungkin cuaca yang sejuk dan pemandangan yang indah membuat Miracle ingin ke sana."Miracle," Mateo melangkah masuk ke dalam kamar, dia menatap istrinya yang baru saja selesai berias. Ditangannya dia memegang susu khusus Ibu hamil. Dia
BrakkkkkTubuh Miracle terjatuh bersamaan dengan sang suami. Tatapan Miracle berubah. Raut wajahnya menegang, dan mata yang berkaca-kaca. Dia menatap sebuah benda mengenai kepala Mateo. Darah mengalir deras membasahi lantai. Suara teriakan semua orang membuat Miracle terpaku."M-Mateo..."Suara Miracle tercekat. Dia melihat darah keluar dari kepala Mateo. Air matanya tidak henti berlinang membasahi pipinya. Dia langsung memeluk kepala Mateo, menekan luka yang ada di kepala sang suami agar pendarahan itu berhenti."Jangan menangis, sayang. Aku tidak apa-apa." Mateo masih sadar. Dia membawa tangannya mengusap air mata istrinya itu."Harusnya kau tidak melakukan semua ini!" isak Miracle keras. Dia terus menekan luka Mateo.Mateo hanya tersenyum. Didetik selanjutnya, kesadaran Mateo mulai melemah dan tidak sadarkan diri. Miracle semakin menangis kencang saat Mateo sudah kehilangan kesadarannya.Dante bersamaan dengan para karyawan yang lainnnya membawa Mateo ke ruang kesehatan. Miracle te
Malam semakin larut, Mateo dan Miracle memutuskan untuk menunda kepulangan mereka. Mengingat kecelakaan kecil terjadi, tidak mungkin Mateo langsung pulang ke rumahnya. Kini Mateo dan Miracle berada di rumah yang dekat perkebunan anggur. Rumah ini adalah rumah yang memiliki banyak kenangan untuk mereka."Mateo, kau duduklah. Aku akan menggantikan perbanmu." Miracle berucap dengan suara pelan saat memasuki kamar pada Mateo.Mateo hanya megangguk menuruti perkataan istrinya. Kemudian Mateo duduk di sofa. Sedangkan Miracle mengambil kotak obat yang sudah disiapkan oleh pelayan. Sebenarnya Dokter meminta agar Mateo di rawat di rumah sakit satu atau dua hari. Namun Mateo menolaknya tegas. Pria itu tidak ingin hanya karena luka kecil di kepalanya, dia harus di rawat. Itu kenapa sekarang Mateo dan Miracle berada di rumah di dekat area perkebunan anggur."Apa ini sakit sekali?" tanya Miracle saat menggantikan perban di kepala Mateo. Sejak tadi suaminya itu hanya menatap dirinya saat tengah men
Miracle mematut cermin. Dia mengusap lembut perutnya yang masih rata. Dia tidak menyangka ada sesuatu yang hidup dalam perutnya. Buah cintanya dengan Mateo adalah hadiah yang terindah yang pernah didapatkan Mircale. Seketika senyum di bibir Miracle terukir membayangkan perutnya akan membuncit. Sungguh, Miracle tidak sabar untuk moment itu.“Apa nanti aku akan sangat gemuk?” gumam Miracle seraya mengukur pinggangnya.Tidak bisa dipungkiri, Miracle memiliki tubuh layaknya seorang model. Tinggi dan berat badan yang ideal. Bahkan Miracle jauh lebih tinggi dari Selena, saudara kembarnya sendiri. Jika Selena lebih mirip pada Ibunya yang bertubuh mungil, berbeda denganMiracle yang memiliki tubuh tinggi seperti ayah dan kedua saudara laki-lakinya.Harusnya Miracle bisa menjadi seorang model. Namun, tentu saja kedua orang tuanya tidak pernah memberikan izin dirinya masuk ke dalam dunia entertainment. Lepas dari itu, Miracle pun kurang tertarik jika menjadi seorang model ataupun artis. Bisa dib
“Mateo, hari ini kau tidak ke kantor, kan? Hari ini kau akan bersama denganku, kan?” Miracle bertanya memastikan kala mobil Mateo telah terparkir di rumah sakit, tempat di mana dia akan memeriksa kandungannya.“Iya.” Mateo membawa tangannya mengusap lembut kepala Miracle. “Aku sudah meminta Gustav menggantikan pekerjaanku.”Miracle tersenyum. “Terima kasih, sayang.”“Kita turun sekarang,” ucap Mateo sembari mencubit pelan hidung Miracle.Miracle mengangguk. Kemudian dia dan Mateo turun dari mobil, memasuki lobby rumah sakit, menuju ruangan dokter kandungan. Saat tiba di depan ruang dokter, Mateo tidak perlu lagi mendaftar ataupun menunggu karena Mateo adalah salah satu investor di rumah sakit ini. Dan tentu saja, dia sudah meminta Gustav mengatur semuanya, agar istrinya merasa nyaman.“Tuan Mateo… Nyonya Miracle…” sapa sang Dokter dengan ramah pada Mateo dan Miracle. Dokter bername tag. ‘Dr. Carmel’ mengulas senyumannya kala Mateo dan Miracle masuk ke dalam ruang kerjanya.“Hi, Dokte
Saat pagi menyapa, Miracle sudah lebih dulu bagun dari Mateo. Dia menyiapkan segala yang dibutuhkan oleh suaminya itu untuk berangkat ke perusahaan. Miracle pernah melihat Marsha, Ibunya yang menyiapkan pakaian untuk ayahnya. Dia tidak pernah menyangka akan ada saatnya dirinya seperti ini. Menjadi seorang istri dan sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Jika membayangkan semua itu membuat Miracle tidak henti tersenyum bahagia.“Apa yang kau pikirkan?” Mateo berdiri di ambang pintu walk-in closetnya. Dia baru saja selesai mandi dan handuk masih terlilit di pinggangnya.“Kau sudah selesai?” Miracle mengalihkan pandangannya, dia menatap Mateo yang melangkah mendekat ke arahnya.“Sudah.” Mateo mengecup bibi Miracle. “Harusnya kau tidak perlu menyiapkan untukku. Biarkan pelayan saja. Kau sedang hamil, sayang. Aku tidak ingin kau kelelahan.”Miracle menghela napas dalam. “Istrimu adalah aku. Bukan pelayan. Biarkan aku yang menyiapkan apa yang kau perlukan.”Senyum di bibir Mateo terukir me
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira