Keesokan hari, Miracle langsung meminta pelayan menyajikan makanan Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Miracle meminta pelayan menyajikan krecek, rendang, empal daging, semur ayam dan masih banyak menu lainnya.Tidak lupa Miracle juga meminta pelayan menyajikan sambal matah, sambal khas bali dan juga sambal terasi yang pedas. Mungkin lebih tepatnya Miracle balas dendam karena di Milan, dia tidak bisa menemukan makanan Indonesia.Walau ada restoran Indonesia di Milan, tapi bagi Miracle tetap saja citra rasanya berbeda. Makanan Indonesia memiliki citra rasa khas rempah-remah tradisional yang tidak mudah ditemukan di negara lain.Meski ada yang mengekspor tapi tetap saja tidak sepenuhnya ada. Terutama negara di Benua Eropa dan Amerika, pasti akan sangat sulit. Meningat lidah orang di sana tidak bisa memakan makanan pedas.Miracle menatap jam dinding, kini sudah pukul sepuluh pagi. Tadi Mateo mengatakan akan berolah raga karena sudah beberapa hari ini sang suami tidak berolah raga. Miracl
“Sayang, aku ingin pergi ke taman. Aku sudah lama sekali tidak ke sana. Setelah dari taman, nanti kita mengunjungi Grandpa Mario dan Grandma Clara.” Miracle berujar seraya memoles wajahnya dengan make up tipis.Cuaca di Jakarta sangat panas. Terik matahari benar-benar membuat Miracle harus menggunakan riasan yang nyaman dan pakaian yang nyaman. Setiap kali Miracle datang ke Jakarta, Miracle biasa menggunakan celana pendek dengan atas tube top atau kaos dengan tali spaghetti. Namun karena sekarang Miracle tengah hamil dirinya harus memakai dress dengan bahan katun yang nyaman.“Kau ingin ke taman? Taman di mana?” Mateo mendekat, lalu mengusap bahu sang istri dan memberikan kecupan di sana.“Tidak jauh dari sini, Mateo. Aku hanya merindukan masa kanak-kanakku. Dulu Ibuku sering membawaku ke taman itu. Aku, Ka Selena dan Charlotte kami bertiga sering menghabiskan waktu di taman itu.” Miracle mendongakan kepalanya, menatap Mateo.Mateo mengganguk. “Baiklah, aku tidak hafal Jakarta. Aku pe
“Miracle, setelah ini kau ingin ke mana?” tanya Ken seraya menatap Miracle.“Aku akan ke rumah Grandpa Mario dan Grandma Clara. Apa kau mau ikut denganku?” Miracle balik bertanya.“Siang ini aku harus bertemu dengan rekan bisnis ayahku. Kau tentu tahu Ka Lea tidak pernah terlibat dalam perusahaan. Itu kenapa mau tidak mau aku harus menggantikannya.” Ken mengembuskan napas kesal. Lea—kakak perempuannya itu hanya menggeluti hobby melukis. Hal ini yang menyebabkan Ken harus dipusingkan dengan perusahaan keluarganya.Miracle terkekeh. “Kalau begitu aku beruntung. Karena aku memiliki Ka Sean, Ka Selena dan Dominic yang menggantikanku mengurus perusahaan.”Ken mendengkus. “Mungkin di masa depan, aku akan bercita-cita memiliki anak yang banyak. Jadi anakku tidak perlu dipusingkan mengurus perusahaan seperti aku.”Miracle tertawa mendengar perkataan konyol Ken. “Kau menyindir ayah dan ibuku yang memiliki banyak anak?”Ken mengangkat bahunya acuh. “Sudah seharusnya Paman William memiliki banya
“Miracle?” Mateo melangkah keluar dari kamar mandi. Tatapannya teralih melihat sang istri yang memegang kuat ponselnya. Sesaat kening Mateo berkerut kala melihat raut wajah kesal Miracle. Bahkan istrinya itu tidak mendengar sapaannya. Mateo langsung mendekat ke arah Miracle. “Kau kenapa, sayang?” tannyanya kala tiba di samping sang istri.Miracle mengalihkan pandangannya, menatap Mateo dingin. “Sebenarnya kau ini memiliki hubungan apa dengan Leyna? Kenapa dia berbicara dengamu seperti seorang kekasih?”“Apa maksudmu, Miracle?” Alis Mateo terangkat, menatap Miracle bingung.“Lihat ini.” Miracle menunjukan pesan Leyna pada Mateo seraya melanjutkan perkatannya dengan nada kesal, “Dia tahu kau sedang bersama dengan istrimu, kenapa dia memaksa seperti ini? Aku tidak marah jika kau dekat dengan sepupumu. Tapi harusnya sepupumu mengerti, kau sedang berlibur dengan istrimu. Dia bisa menunggumu hingga sampai kau kembali ke Milan. Tapi kenapa dia begitu memaksa?”Mateo terdiam sejenak kala meli
“Morning, sayang.” Clara menyapa dengan hangat Miracle berjalan menuju ruang makan.“Morning. Grandma, di mana Grandpa?” tanya Miracle seraya menarik kursi, lalu duduk di kursi yang biasa dia duduki.“Grandpamu sedang di taman bersama Mateo.” Clara mengambil susu hangat yang sudah dia buat, dan memberikan pada Miracle. “Minumlah susumu, sayang. Grandma sudah membuatkan susu strawberry. Biasanya kalau hamil muda, akan mual meminum susu cokelat. Lebin baik minum susu strawberry.”Miracle tersenyum sambil menerima susu yang diberikan oleh Clara. “Terima kasih, Grandma,” ucapnya lembut, kemudian Miracle meminum susu itu hingga tandas.“Morning.” Mario dan Mateo masuk ke dalam ruang makan. Lalu mereka duduk di kursi meja makan.“Morning.” Clara dan Miracle menjawab bersamaan.Tepat di saat Mario dan Mateo duduk, Clara dan Miracle langsung menyiapkan makanan untuk mereka. Ini adalah kebudayaan Indonesia. Di mana sang istri menyiapkan makanan untuk suami mereka. Miracle yang lahir dan besar
“Mateo, aku ingin berendam. Tubuhku begitu lelah.” Miracle berucap kala dirinya dan Mateo sudah masuk ke dalam kamar mereka.Satu harian ini Miracle pergi berbelanja bersama dengan Mateo. Tidak tanggung-tanggung Miracle membawa sang suami ke tiga mall sekaligus. Entah sudah berapa banyak uang yang dihabiskan oleh Miracle.Namun tentu saja sang suami tidak marah. Harusnya para pria kesal menemani wanitanya berbelanja. Kenyataannya Mateo tidak marah sedikit pun. Mateo begitu setia menemani Miracle yang tengah berbelanja. Yang Mateo lakukan hanya mengkhawatirkan keadaan Miracle yang terus berbelanja. Pria itu tidak ingin Miracle kelelahan. Terlebih Miracle tengah hamil muda.“Aku juga ingin menghubungi Gustav. Ada beberapa hal yang aku ingin tanyakan mengenai pekerjaan.” Mateo mengecup kening Miracle. “Jangan terlalu lama berendam. Ini sudah malam.”“Iya, sayang.” Miracle tersenyum hangat, lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Tepat di saat Miracle masuk ke dalam kamar mandi, Mateo
Tanpa terasa Mateo dan Miracle sudah hampir satu minggu di Jakarta. Segala urusan perusahaan nyatanya mampu diselesaikan meski Mateo masih menemani sang istri di Jakarta. Miracle pikir Mateo akan mengajaknya segera kembali ke Milan. Tapi ternyata tidak. Suaminya itu benar-benar mengerti dirinya.Bahkan beberapa kali Miracle bertanya apa pekerjaan Mateo terganggu dan Mateo selalu menjawab semuanya bisa teratasi asalkan dirinya bahagia. Miracle sangat bahagia karena sang suami selalu memprioritaskan dirinya.“Miracle, apa kau sudah siap?” Mateo melangkah masuk ke dalam kamar, mendekat ke arah Miracle yang tengah mematut cermin.“Sebentar lagi, sayang,” jawab Miracle seraya memoles wajahnya dengan make up sedikit tebal, namun tidak berlebihan.“Aku dengar jalanan menuju puncak sering macet. Apa tidak apa-apa kita melakukan fotoshoot di sana?” tanya Mateo dengan nada yang khawatir. Mengingat sang istri tengah hamil muda, dia hanya takut istrinya itu kelelahan.“Sekarang masih belum macet,
Miracle mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia merentangkan kedua tangannya kala pagi menyapa. Sesaat dia melihat ke samping menatap ranjang sudah kosong. Miracle mendesah panjang melihat Mateo sudah lebih dulu bangun darinya.Didetik selanjutnya tatapan Miracle melihat ke tubuhnya sendiri. Seketika senyum di bibir Miracle terukir melihat tubuh polosnya yang hangat terbalut oleh selimut tebal. Tadi malam tentu saja Miracle mendapatkan hukuman dari Mateo karena memakai pakaian seksi.Jangan ditanya berapa kali percintaan panas mereka. Karena jawabannya tidak akan terhitung. Mateo terus meminta Miracle lagi dan lagi. Bahkan Miracle tidak mengerti kenapa suaminya itu tidak pernah lelah. Padahal setiap hari sudah memintanya. Sungguh, jika bukan karena hamil Miracle yakin suaminya itu pasti akan memintanya puluhan kali.Ceklek.Suara pintu terbuka, Miracle langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Menatap Mateo yang melangkah masuk ke dalam kamar seraya membawakan nampan yang beris
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira