Share

Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati
Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati
Penulis: Widanish

BUAH SALAK

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Kak Dewi, buka pintunya dong! Aku gak bisa ngupas salak!” 

Siang ini aku hampir saja terlelap ketika mendengar suara Citra memanggil namaku. Ingin rasanya kuabaikan dan lanjut tidur saja, apalagi badanku rasanya capek sekali setelah seharian ini bebersih rumah. Ditambah aku punya anak laki-laki yang sedang aktif-aktifnya, dia sering mengacak-acak rumah dan membuatku tak bisa beristirahat karena tak henti beberes. 

“Kak Dewi, buka pintunya!” 

Lagi-lagi Citra menggedor pintu sambil berteriak. Membuat rasa kantukku jadi hilang dan menyisakan pusing di kepala. 

Aku pun membuka pintu dan tampak Citra memegang sekeranjang buah salak. 

“Ada apa Cit?” tanyaku pada adik ipar yang rumahnya bersebelahan denganku ini. 

“Tolong kupasin buah salak ini, Kak,” jawabnya. 

“Memangnya kamu gak bisa kupas buah salak itu sendiri?” 

“Gak bisa, Kak,” jawabnya. 

Aku menghela napas dan mengembuskan kasar. Kalau ada perlunya, pasti dia datang. Citra anak manja dan baru sebulan menikah. Dia langsung dibelikan rumah gedong oleh suaminya, tepat di sebelah rumah panggungku.  

“Ya sudah, ayo masuk dulu, biar Kakak ajarkan caranya ngupas salak.” 

Citra memasuki rumahku sambil berjinjit, seperti jijik menginjakkan kaki di rumahku. 

“Kenapa kok jalannya begitu?” tanyaku. 

“Aneh rasanya nginjak rumah kayu, takut roboh,” jawabnya. 

Aku tersinggung mendengar jawabannya. Entah mungkin aku yang baper. Tapi rasanya sangat nyelekit di hati. Suamiku pedagang sayur, dia hanya mampu memberikanku rumah kayu, bukan rumah gedong seperti yang diberikan oleh suami Citra. 

“Kak, kok gak ada kursi,” cetusnya. 

“Iya, Kakak belum kebeli kursi. Kamu duduk di karpet aja, ya,” kataku. 

“Tapi ini karpetnya udah lecet-lecet, Kak.” 

“Iya, Cuma karpet itu yang Kakak punya, “ jawabku. 

Citra mulai duduk dengan pelan. Seperti biasa, ia terlihat jijik saat mendaratkan bokongnya di karpet milikku. 

“Gimana kalau ada tamu, Kak?” Citra bertanya lagi. 

“Gimana apanya?” 

“Kakak gak malu keadaan rumah seperti ini?” 

Hatiku kembali nyelekit, rasanya sakit sekali. Daripada Citra jadi banyak bertanya dan berkata menyakitkan lagi, aku segera meminta sekeranjang salak itu darinya. “Mana sini salaknya, biar Kakak kupasin,” kataku. 

“Kak, pakai wadah, deh, untuk nyimpan salak yang udah dikupasnya. Jijik kalau digeletakkin di lantai kayu ini,”celetuk Citra membuatku sesak napas. 

“Ya sudah kamu ambil baskom kecil di dapur. Hati-hati jangan berisik, nanti Azfar bangun, dia lagi tidur,” kataku. 

Selagi Citra pergi ke dapur, aku membuka plastik keranjang ini. Isinya kira-kira dua kilo buah salak. Selang berapa lama, terdengar suara Citra dari arah dapur. 

“Aduh, tanah semua!” gerutunya dengan nada kesal. “Kenapa Kakak gak bilang kalau dapurnya masih tanah? Ih ya ampun, tahu gitu aku pakai sandal tadi! Jijik ih aku nginjek tanah, ntar ada cacing masuk kulitku!” lanjutnya. 

Aku meremas sebiji buah salak yang sedang kupegang ini. Geram rasanya dengan mulut adik iparku yang satu itu. Namun aku hanya bisa menahan kesal di dada, tak berani menunjukkannya di hadapan siapapun. Sebagai seorang perempuan yang merantau ikut suami ke kampungnya, aku harus pandai menjaga sikap, jika tidak maka semua keluarga suamiku akan menjauhiku. 

Tak lama, Citra kembali duduk di depanku. Sambil cemberut, dia melihatku sedang mengupas buah salak. 

“Kaya gini, Cit. Coba perhatikan baik-baik, jadi nanti kalau kamu mau ngupas salak lagi gak usah minta tolong Kakak,” ucapku. 

“Oh, jadi Kakak gak mau aku mintai tolong lagi?” tuduhnya. 

“Bukan begitu maksudku, Cit. Kamu kan sekarang sudah nikah, jadi harus bisa melakukan banyak hal sendiri. Itu namanya tuntutan. Kakak mau kok ajarin kamu masak, dan lain-lain,” jelasku. 

Citra membalas dengan menunjukkan ekspresi wajah cemberut. Aku sudah selesai mengupas lima buah salak, dan menyerahkan sisanya pada Citra. 

“Nah, ini. Sekarang coba kamu yang kupas,” kataku. 

“Kan aku minta tolong kupasin ke Kakak. Kok Kakak malah nyuruh aku sih?” cetusnya. “Kupasin aja semuanya, Kak. Sekalian buatkan manisan semuanya. Kalau mau bantu orang jangan setengah-setengah dong! Sebentar lagi ibu mertuaku berkunjung ke rumahku, dia sangat suka buah salak. Cepat, Kak, kupasin semuanya. Jangan bikin aku KESEL, deh!” Citra nyerocos tak sopan padaku.  

Apa tidak salah? Aku membuatnya kesal? Apa gak kebalik?

Bab terkait

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   FITNAH BUAH SALAK

    Hari sudah sore, pukul lima. Sepulang mengantarkan anakku Azfar ke tempat pengajian, aku menyapu pekarangan rumah sekaligus menunggu suamiku pulang keliling jualan sayur. Di depan rumah Citra, aku melihat mobil hitam terparkir. Mertua Citra pasti sudah datang. Lampu di rumahnya juga menyala, gordennya belum ditutup, jadi aku bisa melihat aktivitas mereka di dalam rumah. Tampak Kirno—suaminya Citra—memasukkan makanan ke dalam paper bag sementara Citra menggandeng tangan ibu mertuanya berjalan ke luar rumah. Sepertinya, mertua Citra akan segera pulang. “Makasih lho, Cit. Tadi salaknya segar banget, manis juga rasanya. Udah gitu bersih, lagi. Kamu pinter bikin manisan salak, apa tanganmu gak sakit pas ngupas dan bersihin buah salak, Cit?" kata ibu mertuanya setelah sampai di depan mobil, diantar Citra dan suaminya. “Ya iyalah, Bu. Harus. Kan buah salak memang kesukaan Ibu, jadi Citra semaksimal mungkin mengupasnya khusus untuk Ibu,” balas Citra. Aku yang mendengar pengakuan Citra men

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   DRAMA BUAH SALAK

    “Apa kamu sudah tak mau lagi tinggal di rumah kayu ini?” tanya Mas Bambang. “Kamu menyesal menikah denganku, karena aku tak bisa memberimu rumah gedong seperti Kirno?” “Bukan begitu, Mas. Aku hanya ingin hidup kita meningkat. Kalau ada kesempatan pekerjaan yang lebih menjanjikan, kenapa tidak diambil?” jawabku. “Memangnya kamu sudah nanya sama Kirno soal pekerjaan itu?” “Belum, Mas. Kalau Mas setuju, nanti akan kutanyakan padanya.” Tiba-tiba terdengar ketukan pintu disusul suara Kirno mengucap salam. Mas Bambang yang duduk dekat pintu membukanya. “Tuh orangnya datang, Mas,” ucapku. “Kamu rupanya, Kir? Ada apa, tumben berkunjung,” sambut Mas Bambang pada Kirno saat ia sudah duduk bersama kami. “Anu, Mas. Aku mau minta maaf sama Kak Dewi. Tadi Citra udah ngerepotin Kak Dewi,” ucap Kirno seraya melirikku. Aku tahu yang dimaksud Kirno adalah permintaan maaf atas sikap dan perkataan Citra tadi, namun aku memilih diam dan tak memberitahu Mas Bambang kejadian yang sebenarnya. Kirno ma

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   SAYANG ADIK IPAR

    Hatiku semakin sakit, lebih sakit diteriaki oleh suamiku sendiri daripada tak dianggap saudara oleh Citra. Meskipun tak ada yang lebih baik diantara keduanya. Ya Alloh, jika aku hina di mata manusia, semoga aku tidak demikian di mata-Mu. Batinku menjerit mengadu pada-Nya. Hanya itu yang dapat kulakukan, saat suamiku sendiri lebih membela adiknya yang menyebalkan ketimbang aku istrinya.Setelah meneriakiku, Mas Bambang meninggalkanku sendiri di dapur bersama sayuran busuk yang bau dan berantakan. Dia kesal karena aku membicarakan Citra padanya, aku pun tak tahu responnya akan diluar dugaan seperti ini. Kukira dia akan simpati mendengar ceritaku, tapi malah sebaliknya. Tanpa bicara, Mas Bambang menutup gorden kamar dengan kasar hingga suara kain tebal dan panjang yang tersibak itu terdengar menakutkan di telingaku. Ya, kamarku tak memakai daun pintu, hanya dipasangi kain gorden sebagai penutupnya. Itu pun pemberian tetangga yang merasa kasihan padaku saat kami pertama kali pindah ke

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   KEDATANGAN MERTUA

    Menjelang siang aku sudah mulai beristirahat dan sedikit tenang karena Azfar panasnya mulai reda. Ia juga tertidur lelap setelah minum obat.Semalam aku dan Mas Bambang menggendong Azfar ke rumah Mang Asep—tukang ojeg. Kami terpaksa mengetuk pintu rumahnya malam-malam untuk minta diantar ke dokter yang buka praktek di kota. Beruntung Mang Asep mau membantu. Aku dan Azfar akhirnya naik ojeg ke rumah dokter, sementara Mas Bambang pulang lagi ke rumah.Kalau diingat kejadian semalam itu rasanya aku ingin menangis lagi. Apalagi hingga saat ini aku dan Mas Bambang masih belum bertegur sapa. Dia menyuruhku untuk minta maaf ke Citra karena sudah mengganggu tidurnya tadi malam. Kalau aku tak mau minta maaf, suamiku itu mengancam tak akan bicara padaku lagi. Dan sampai sekarang aku belum mau minta maaf pada adik iparku itu, hatiku masih sakit karena dia tega mengabaikan permintaan tolongku tadi malam.Sekarang Mas Bambang sedang ikut mencangkul di ladang Kirno. Selain membeli rumah gedong, Kir

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   PRINCESS CITRA

    Dari seberang telepon sana, mereka mengolok-olokku, terdengar puas menertawakanku.“Dewi, kami punya oleh-oleh untuk Azfar. Cepat sini!”“Maaf, Bu. Aku gak bisa. Azfar lagi tidur, aku gak mungkin ninggalin Azfar sendiri di rumah,” jawabku.“Gak apa-apa, sebentar aja. Mama mau ngasih oleh-oleh buat Azfar,” paksa Ibu Mertua, langsung memutus sambungan telepon.Itu artinya dia gak mau tahu, aku harus menuruti perintahnya. Jika tidak, Ibu Mertua akan marah dan mengadu pada Mas Bambang kalau aku melawan. Kemudian Mas Bambang akan mendiamkanku berminggu-minggu. Aku tak mau kalau sampai itu terjadi, karena tak enak rasanya bermusuhan dengan suami. Akhirnya aku berangkat juga menuju rumah Citra.Terpaksa kutinggalkan anakku yang tengah tertidur dalam keadaan sakit. Tak mungkin aku membangunkan Azfar dan mengajaknya ke rumah Citra. Akan lebih baik jika aku membiarkannya tidur, lagipula rumahku dan Citra sebelahan, dan aku tak berniat lama-lama di sana. Aku akan langsung pulang setelah menyalam

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   DITUDUH FITNAH

    Aku sangat keberatan menuruti perintah Ibu Mertua yang satu itu, jelas aku tak mau minta maaf pada Citra. Aku tidak salah.“Ya sudah, Bu. Jangan dipaksa, kasihan,” kata Citra sambil melirikku. “Kalau memang Kak Dewi gak mau minta maaf, gak apa-apa kok. Aku sudah maafkan Kak Dewi walau tak diminta,” lanjutnya sambil menggandeng tanganku. Membuatku mual saja mendengar kata-katanya.“Ya ampun, Citra … hatimu sungguh mulia sekali. Kamu memang anak Mama dan Ayah yang paling baik. Pasti Ibu Mertuamu senang punya menantu seperti kamu, dan pasti dia sayang sama kamu.” Ibu mertua memuji Citra.Aku menahan kegeraman dalam dada ini. Haduh, rasanya ingin pecah gendang telingaku mendengar omong kosong itu!Tak tahan lama-lama berada di antara mereka, aku pun segera pamit.“Kalau begitu saya pulang dulu ya, takut Azfar bangun dan nyariin saya,” ucapku.Saat aku hendak berdiri, Ayah Mertua cepat-cepat memberiku sebuah paperbag besar, entah apa isinya. Mungkin oleh-oleh. Namun, Ibu Mertua segera mene

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   LIDAH MERTUA

    Untuk menghindari ribut dengan Mas Bambang, aku mengajak Azfar ke ruang tengah. Kunyalakan TV tabung berukuran 14 inch pemberian ibuku di kampung, agar anakku mendapat sedikit hiburan. Keningnya mengeluarkan keringat kecil, panasnya juga mereda, hanya sisa hangat ketika menyentuh keningnya dengan punggung tangan. “Aku lapar, Bu,” keluh Azfar. Aku segera membuatkannya capcay kuah. Irisan sayur dan bumbu yang tadi sudah kuolah tinggal dimasukkan saja dalam wajan dan diberi bumbu tambahan seperti garam, gula, dan penyedap rasa. Kutambahkan juga sebutir telur untuk menambah gizi anakku. Sambil mengungkab wajan agar capcayku cepat matang dan empuk, aku menyapu dapur agar terlihat lebih bersih, kubuka pintu belakang lebar-lebar agar asap dari tungku menuju keluar rumah. Memasak pakai kayu bakar memang harus hati-hati, jangan sampai asapnya terhirup kalau tak ingin saluran pernapasan kita terganggu. Sementara itu, Mas Bambang mengambilkanku kayu bakar dan kalari (daun kelapa kering), ia

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Suamiku Kenapa?

    “Sekali lagi kamu ngomong jelek tentang Citra dan orangtuaku, aku gak akan segan menamparmu! Inilah caraku mendidikmu, kamu tidak boleh jadi menantu dan kakak ipar yang durhaka seperti kebanyakan orang! Kamu istriku, kamu harus bersikap baik pada keluargaku!” tegas Mas Bambang. Dia menghakimiku tanpa mau mendengarkan ceritaku terlebih dulu. Ya Alloh, Gusti Nu Maha Suci. Semoga Engkau membukakan mata dan hati suamiku, agar ia dapat melihat dan menyadari siapa yang salah dan siapa yang benar. Engkau tahu aku tak punya hati jahat pada semua orang, apalagi pada keluarga suamiku. Aku sangat menyayangi dan menghormati mereka, hanya saja Engkau tahu sendiri Ya Alloh, mereka yang memperlakukanku tidak baik sehingga membuatku kesal. Aku hanya bisa mengadu pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang mau mendengar keluh kesahku. Dengan perasaan sakit dan bercucuran air mata, aku berlari ke kamar. Kutinggalkan Mas Bambang dengan kemarahannya sendiri. Aku lebih tenang bersama anakku sekarang, berbarin

Bab terbaru

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Terbongkar Semua

    Ayah Mertua tentu kaget Haji Sadeli tiba-tiba menagih utang."Utang apa, Pak Haji?" tanya Ayah Mertua."Bekas bangun rumah anak ente ini!" jawab Haji Sadeli sambil menunjuk rumah gedong Citra.Aku sudah tidak kaget lagi mendengarnya. Berbeda dengan Mas Bambang dan Ayah Mertua, mereka sangat terkejut dan tak percaya."Gak mungkin! Waktu bikin rumah ini, aku sudah berikan sejumlah uang yang sangat banyak pada istriku itu untuk membeli cash bahan bangunan darimu!" bela Ayah Mertua.Aku dan Mas Bambang memilih diam tak ikut campur.Haji Sadeli mengeluarkan buku catatan utang dari dalam tas nya lalu menunjukkan pada Ayah Mertua. "Ini lihat saja kalau ente kagak percaya! Utang mereka seratusjuta, ada tanda tangan istri ente juga di sini!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk pada buku utang.Ayah Mertua mengembuskan napas kasar. Sekarang, baru dia percaya bahwa istrinya banyak utang. "Ternyata benar. Ya sudah, aku minta maaf. Akan aku lunasi tapi nanti setelah aku bertemu dengan istriku. Sekaran

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Kedatangan Haji Sadeli

    Mas Bambang langsung menyembunyikan balok kayu ke belakang punggung. Aku berusaha menghalangi pandangan Ayah Mertua pada gerak-gerik Mas Bambang yang mencurigakan.Ayah Mertua mengernyit. "Apa yang kau sembunyikan, Bambang?" tanyanya."Bu—bukan apa-apa, Yah," jawab Mas Bambang.Ayah Mertua tidak percaya begitu saja. Dia bertanya padaku. "Ada apa ini, Dewi?"Bibirku gatal ingin mengungkap semuanya, melaporkan perbuatan Kirno yang di kuar batas. Namun, Mas Bambang menatapku tajak, memberi kode agar aku tak mengatakan apapun."Ayah, kami sedang membangun ruko," jawabku."Terus kenapa kalian lari-larian seperti saling mengejar?"Bibirku gatal sekali ingin bicara, lagi-lagi Mas Bambang menahanku."Kenapa Dewi?" tanya Ayah Mertua lagi, saat aku hanya diam saja."Ayah, ayo lihat pembangunan ruko kami. Hari ini hari pertama pembangunan, para tukang baru membuat pondasinya, tolong lihat apa saja yang kurang. Biar jadi masukan untuk para pekerja. Ayah kan berpengalaman jadi kepala proyek dan me

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Diobrak-abrik

    “Tepat sekali.” Mas Bambang menjawab.“Terus kenapa Mas gak ngasih tahu aku, Mas?“Karena Mas gak mau kamu dan Kirno jadi bermasalah. Mas sudah membayangkan, kalau Mas ngasih tahu kamu , kamu pasti akan langsung marah sama Kirno dan akhirnya bertengkar,” jelas Mas Bambang. Dia mencoba menenangkanku yang tersulut emosi.“Tapi sama saja, Mas. Sekarang juga pada akhirnya aku dan Kirno harus bertengkar. Bahkan, dengan adik dan mamamu juga. Coba kalau Mas bilang sejak awal kalau Kirno lah yang menyimpan buhul itu, aku gak akan langsung menuduh Mama dan Citra,” kataku agak kesal.Mas Bambang tampak berpikir keras, berulang kali ia mengatur napas hingga terlihat rasa bersalah atas situasi ini. Aku tak ingin membuatnya bertambah kepikiran, jadi aku pun mengalihkan pembicaraan.“Ya sudah, Mas, semua sudah terlanjur terjadi. Lalu, bagaimana awal mulanya Mas bermasalah dengan Kirno?” lanjutku bertanya.Suamiku itu menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Semua berawal ketika Mas jual tanah Jura

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Dituduh Lagi

    "Astaghfirulloh, menaruh racun di adonan bakwan? Mana mungkin aku melakukannya, Ma! Jangan sembarangan menuduh!" ucapku."Siapa yang sembarangan menuduh? Kan kamu lagi bikin ruko buat usaha salon, bisa jadi kamu menumbalkan suamimu sendiri, Dewi!" tuduh Ibu Mertua dengan begitu kejamnya.Aku menekan dada sekuat tenaga, sesak rasanya. Jengkel dan marah bercampur jadi satu, entah bagaimana jadinya jika emosi itu tidak kutahan. Mungkin mulut Citra dan Ibu Mertua sudah babak belur."Benar atau tidak, Kak? Karena jaman sekarang itu lagi musim tumbal-tumbalan. Di depan sana pernah kejadian tumbal warung soto yang baru saja di bangun, setiap anak kecil yang lewat di depannya akan ketabrak mobil. Ada juga yang menumbalkan suaminya sendiri untuk melancarakan usahanya. Itu semua fakta lho, Kak. Lagian, Kakak kan dapat uang banyak secara mendadak ya, bisa jadi itu semua didapatkan dengan ilmu hitam yang menuntut tumbal! Dan Kakak memilih Mas Bambang sebagai tumbalnya. Wajar kan kalau kami menyan

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Dituduh Lagi

    "Kirno!" Kuberanikan diri memanggil orang itu. Seketika dia terperanjat hingga botol yang dipeganginya terjatuh dan seluruh isinya tumpah. Aku mendekat sambil terus memperhatikan wajahnya yang tidak terlihat jelas di bawah gelapnya langit dini hari dan remang lampu depan rumah kayuku. Semakin kuperhatikan, semakin membuatku terkejut. Karena yang kupergoki itu benar Kirno! Dia gemetaran dan mundur perlahan-lahan, hendak kabur saat aku mendekatinya."Kirno! Apa yang kamu lakukan?" "A—anu, Kak—" jawabnya terbata. Dia tak mampu menjawab."Apa, Kirno? Sedang apa kamu menyirami air ke sekeliling rumah kayuku? Untuk apa, hah?" tanyaku memburu.Kirno semakin gemetaran. Dia sangat ketakutan sekaligus kebingungan menjawab pertanyaanku, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Kini aku berhadapan dengannya, sehingga aku bisa melihat wajah Kirno dengan sangat jelas."Kak, anu—" jawabnya, masih terbata."Una-anu una-anu ... jawab yang bener! Kamu pasti niat jahat kan sama keluargaku? Astaghfirullo

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Sebotol Air

    Astaghfirulloh, rupanya karena hal itu mereka usil terhadap pembangunan rukoku? Dari mulai aku membeli tanah, membeli barang pesanan, hingga kini pembangunan ruko sudah dimulai mereka selalu memantau. Itu semua karena mereka kecewa aku tidak mempekerjakan Kirno? Ya Alloh, ampuni aku. Aku tidak bermaksud buruk atas semua ini."Tapi, Ma. Setahuku kan Kirno sedang ada proyek pembangunan kelapa sawit di kampung sebelah. Aku tidak tahu kalau proyeknya akan berkahir bertepatan dengan pembangunan rukoku, karena itulah aku memutuskan untuk menyewa tukang dari Haji Sadeli saja," jawabku menjelaskan.Ibu Mertua melipat tangan di dada, dia mendelik sinis sambil berkata, "kenapa kamu gak tanya-tanya dulu sama Citra, kapan Kirno pulang, bisa gak Kirno kerja bangun ruko kamu. Basa basi kek, apa kek, ini mah enggak ada, malah main selonong aja tau-tau kami lihat sudah ramai orang bekerja di lahanmu. Kamu juga beli tanah dan bangun rukomu itu tanpa izin dulu ke Bambang kan? Kenapa sih, Dewi kamu apa-

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Asma

    "Kura-kura dalam perahu. Jangan pura-pura tidak tahu!" cetusku.Ibu Mertua semakin mendekat ke arahku. Dia mendongakkan kepalanya seakan menantang berkelahi. "Apa maksudmu? Jaga sopan santunmu, aku ini masih mertuamu!" katanya."Aku tahu Mama menyimpan buhul yang berisi guna-guna di rumah kayu itu. Dan gara-gara buhul itu rumahtanggaku dengan Mas Bambang jadi tidak harmonis. Kami sering bertengkar, dan Mas Bambang seperti kehilangan akal sehatnya! Beruntung aku sudah menemukan buhul itu dan membakarnya, dan alhamdulillah sekarang Mas Bambang sudah sembuh dari guna-guna itu," balasku.Seketika Ibu Mertua menekan dadanya. "Jadi kamu menuduhku sebagai pelaku yang menyimpan buhul itu?" tanyanya terkejut."Siapa lagi kalau bukan Mama? Kan memang selama ini Mama sering main dukun. Bahkan Mama pernah mengancamku langsung, Mama bilang akan mendukuni aku!" jawabku.Citra memegangi tubuh Ibu Mertua yang hampir jatuh saat mendengar perkataanku. Untuk sesaat, Ibu Mertua mengatur irama napasnya ke

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Menuduh

    Pegawai itu menghentikan pekerjaannya,mereka tak jadi menurunkan barang pesananku dari mobil."Tunggu!" cegahku. "Itu kan barang pesanan saya, ayo cepat selesaikan pekerjaan kalian, turunkan barang-barang itu dan letakkan dalam rumah saya!" titahku pada para pegawai."Tapi Ibu ini melarang kami," jawab salah seorang di antara mereka sambil mununjuk Ibu Mertua dengan dagu."Kenapa kalian lebih mendengarkannya dibanding aku? Kalian kan kerja padaku, bukan padanya! Itu pesananku, lho! Aku yang membayar barang-barang itu beserta ongkos kirimnya! Cepat, kerjakan saja apa yang kuperintahkan pada kalian!" tegasku.Mereka langsung menurut, dan dengan cekatan menurunkan semua barang-barang itu. Sementara Ibu Mertua dan Citra melihat ke arahku sambil mendelik sinis, aku balas mendelik pada mereka.Kuhampiri para pegawai itu, kukawal mereka masuk ke dalam rumah dan meletakkan barang di tempat yang kumaksud. Setelah selesai, para pegawai itu pulang."Aku masih penasaran deh, Ma. Dari mana Kak De

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Puas

    "Aku bukannya nantangin, Cit. Tapi memang itulah keahlianku, dan aku sudah merencanakan membuka salon sejak lama. Kalau kamu emang mau buka salon, ya buka aja atuh, kita usaha sendiri-sendiri toh rezeki udah ada yang ngatur!" jawabku sinis. "Heh Kak Dewi, kalau di kampung ini ada dua salon yang berdekatan nanti malah sepi, tau!" balas Citra nyolot. "Lho, apa hubungannya? Bilang aja kamu takut kalah bersaing!" sindirku. Citra berkacak pinggang, kedua matanya melotot, dia tak henti mengembuskan napas kasar diburu amarah dan napsu. Sementara aku semakin terpancing untuk membuatnya emosi, aku senang mengerjai Citra. Anak itu suka tak mau kalah, dan dia juga gampang marah. Seru ngerjainnya. "Mending sekarang Kakak batalkan niat Kakak itu! Miskin ya miskin aja, jangan belagu mau buka ruko segala! Mendingan jual tanah dan bahan bangunan itu ke aku, kubeli semuanya seharga seratus juta! Mas Kirno punya uangnya sekarang, jadi aku akan bayar cash!" paksa Citra. "Apaan seratus juta?! Sorry

DMCA.com Protection Status