Rumah ini, entah bagaimana, udara di dalamnya selalu segar dan nyaman, membuat semua penghuninya betah tinggal berlama-lama. Padahal struktur bangunannya bukan struktur bangunan yang dibuat sengaja untuk mempermudah aliran udaranya agar mengalir lancar, jendelanya tidak terlalu banyak, langit-langitnya juga tidak terlalu tinggi. Agak aneh sebenarnya, terkadang suhu di dalam lebih dingin dari suhu di luar.
Tapi ya tetap saja, kami tidak terlalu memikirkan keanehan itu, karena kami memang nyaman-nyaman saja. Banyak yang bilang, mungkin karena Bandung memang cuacanya selalu dingin, tapi terkadang ada juga rumah yang di dalamnya pengap dan panas, padahal suhu di luar dingin, entah mungkin sirkulasinya yang kurang bagus, atau ada sebab-sebab lain. Suasananya seperti di rumah kami sendiri, tidak seperti tempat-tempat kost yang lain.Teman-teman kami pun lebih sering menjadikan rumah ini sebagai tempat berkumpul untuk sekadar ngobrol atau mengerjakan tugas kuliah, tKami mendengar dan merasakan semuanya, di Rumah Teteh.. Setelah kejadian di kamar Sisi, gak bisa dipungkiri kalau gw jadi berbeda memandang keberadaan Teteh, walaupun tentu saja tetap ketakutan apabila harus bertemu, dan situasinya tetap mencekam."Percakapan" kami waktu itu sedikit banyak menjawab beberapa pertanyaan yang ada di benak, Semakin terbuka dan jelas, tapi tetap saja masih banyak minteri yang belum terungkap.Dan sepertinya, kalau mau dirunut ke belakang, penampakan dan kehadiran Teteh ternyata banyak "pesan" terselubung yang ingin disampaikan.Berbagai kejadian seram dan mencekam, waktu dan hari kejadiannya, semua menjadi serangkaian momen hidup yang ada alasannya, ada penjelasan di balik semuanya.Karena gak hanya gw, semua penghuni rumah juga merasakan hal yang sama. Aneh, gak masuk akal, tapi begitu adanya..Dari ketika Teteh ikut ibadah bersama Asep, melarang Nando dan Doni untuk berpacaran di rumah sampai lupa waktu, mengingatka
Begini ceritanya; sekitar lima tahun yang lalu, ketika aku baru saja menjadi mahasiswa di kota Bandung, seperti kebanyakan mahasiswa rantau lainnya, aku juga mencari-cari tempat kos yang kira-kira dekat ke kampus. Karena belum punya teman dan tak punya saudara di sini, atau orang yang kukenal, aku mencari tempat kos sendiri saja.Selesai menyelesaikan semua urusan pendaftaran di kampus tempat aku diterima, aku langsung keluar kampus untuk mencari tempat kos. Untung aku datang lebih awal dan saat loket pendaftaran dibuka aku menjadi antrean pertama. Akhirnya aku bisa menyelesaikan semua urusan pendaftaranku lebih awal. Kira-kira pukul sebelas aku sudah keluar kampus.Setiba di luar gerbang, aku merasa sangat bingung. Aku benar-benar tak tahu tentang kota Bandung ini dan aku juga tak punya siapa-siapa yang kukenal di sini. Malah dalam pikiranku, seandainya sampai malam nanti aku masih belum menemukan tempat kos, aku akan menginap di kampus saja. Tapi pikiran itu segera
Aku memberanikan diri berbelok ke kamar mandi. Di depanku terdapat dua kamar mandi. Yang satu terbuka dan satu lagi tertutup. Dari celah di bawahnya, aku tahu lampu di kamar mandi itu tidak menyala. Tapi anehnya, aku mendengar suara siraman dan percikan air begitu gaduh. Kurasa seseorang di dalam itu sedang mandi habis-habisan.Dalam hati aku berujar lega, untung ada orang. Kukira aku sendirian saja di tempat kos ini. Senang dengan perasaan itu aku langsung masuk ke kamar mandi di sebelahnya setelah menekan saklar lampu di samping pintu. Yah, lagi-lagi lampu kuning. Aku tak suka lampu kuning. Suram. Sabun putihku jadi berwarna kuning kusam.Aku sudah sampai pada setengah dari acara mandiku ketika kusadari siraman-siraman air di sebelah kamar mandiku sudah tak terdengar lagi. Aku berpikiran mungkin ’dia’ sudah selesai. Tapi aku tak yakin berpikir begitu karena aku tak mendengar suara pintu dibuka. Seharusnya aku dengar karena ku tahu pintu kamar mandi itu
Kala itu langit mendung dan hujanpun tak dapat dihindari. Seorang gadis belia berteduh di halte sambil menunggu bus datang. Sepi, tak ada seorangpun di sana selain dia dan nyanyian para katak yang senantiasa menemani kesendiriannya.Jam menunjukkan pukul 18:00 WIB, sudah seharusnya dia berada di rumah, namun karena suatu hal, hari itu dia terlambat pulang.“Tumben baru pulang,” suara yang familiar menyambutnya dengan akrab saat dia menaiki bus yang baru saja berhenti di depan halte.“Iyah pak, tadi di sekolah ada tugas tambahan,” jawabnya dengan tersenyum lebar.“Yo wis, cepat naik, biar bisa sampai rumah cepet. Udah magrib ini,”Selang beberapa menit,“Tumben bener bus-nya kosong pak. Biasanya jam segini banyak karyawan yang pulang,"Tak ada jawaban dari pak sopir yang dikenalnya sebagai pak Sapto. Tetangga dekat rumah Aini, nama gadis itu. Mungkin dia tidak dengar karena memang Aini duduk di barisan
Bus terbakar hingga tak menyisakan satupun benda hidup. Begitulah kabar yang tertulis pada selembar koran. Namun, ada rahasia besar dibalik peristiwa itu yang tak semua orang ketahui. Rahasia yang hanya diketahui oleh Aki Toha, Nek Ira dan anak gadis yang selamat, Andini.“Toha, aku yang cerita apa kamu?,” teriak Nek Ira memanggil Aki Toha yang seakan mendengarkan dengan seksama cerita Nek Ira di balik pintu kamar, tak ada jawaban.Nek Ira pun melanjutkan ceritanya, seakan tanda diam adalah sebuah persetujuan dari Aki Toha. Aki Toha adalah seorang supir bus, sudah lama ia geluti pekerjaan ini semenjak ia masih muda.Namun, semenjak istrinya meninggal, Aki Toha tinggal bersama kakaknya di rumah ini. Saat pertama kali datang ke sini, Aki Toha sedang mengganggur dan ditawarilah ia sebagai supir di yayasan penyalur TKI itu, dia merangkap dari supir pribadi dan umum.Awalnya Nek Ira tidak setuju mengingat Aki Toha sudah bukan anak muda lagi, dan pekerjaany
Bus terbakar hingga tak menyisakan satupun benda hidup. Begitulah kabar yang tertulis pada selembar koran. Namun, ada rahasia besar dibalik peristiwa itu yang tak semua orang ketahui. Rahasia yang hanya diketahui oleh Aki Toha, Nek Ira dan anak gadis yang selamat, Andini.“Toha, aku yang cerita apa kamu?,” teriak Nek Ira memanggil Aki Toha yang seakan mendengarkan dengan seksama cerita Nek Ira di balik pintu kamar, tak ada jawaban.Nek Ira pun melanjutkan ceritanya, seakan tanda diam adalah sebuah persetujuan dari Aki Toha. Aki Toha adalah seorang supir bus, sudah lama ia geluti pekerjaan ini semenjak ia masih muda.Namun, semenjak istrinya meninggal, Aki Toha tinggal bersama kakaknya di rumah ini. Saat pertama kali datang ke sini, Aki Toha sedang mengganggur dan ditawarilah ia sebagai supir di yayasan penyalur TKI itu, dia merangkap dari supir pribadi dan umum.Awalnya Nek Ira tidak setuju mengingat Aki Toha sudah bukan anak muda lagi, dan pekerjaany
Dalam langkahnya dia terus berdoa, memohon perlindungan yang maha kuasa. Namun apa daya, ketakutan itu terus menyelimuti. Pundak Aki ditepuk dari belakang dengan sangat keras.“Astagfirullah!!!, siapa itu??!!," tak ada jawaban.Aki kembali berjalan, semakin ia berjalan masuk ke dalam hutan, semakin kuat gangguan itu datang. Kini kakinya ditarik hingga ia terjatuh. Aki terbangun, aki kembali berjalan sambil terus berdoa.Hutan seakan melarang aki untuk masuk jauh lebih dalam lagi. hingga muncul sosok wanita bergaun putih berdiri membelakangi aki. Aki mundur, dan berniat kembali ke jalan. Namun langkahnya terhenti saat ada teriakan dari dalam hutan.Teriakan para gadis itu, tanpa menghiraukan wanita bergaun putih, aki berlari. Wanita itu tertawa melengking membuat telinga aki sakit dan saat aki spontan menoleh. Dilihatnya seorang gadis berlumuran darah dengan leher yang hampir putus tertawa melihat aki.Iyah dialah gadis itu. Yang berlari meminta pertolo
·Nek Ira menyanggupi, seraya melihat dua orang itu pergi berlalu menginggalkan rumah. Mereka pergi mengendarai motor tua milik Ki Rusman.“Apa ini kerjaan Sapto Ki?,” tanya Aki Toha yang duduk di depan memegang kemudi motor.“Hah?, kamu ngomong apa?, aku ngga kedengeran. Udah jalan aja, nanti ngobrolnya,” teriak Ki Rusman dari belakang.Mereka sudah tahu kemana harus mencari Yusuf. Motorpun melaju semakin kencang menerjang gelapnya malam.1 jam berlalu, masih belum sampai.2 jam berlalu, masih setengah jalan.3 jam berlalu akhirnya mereka melihat jalan hutan itu.Ki Rusman dan Aki Toha turun dari motor dan mereka langsung berlari masuk ke dalam hutan.“Apa ini kerjaan Sapto ki?,” tanya Aki Toha kembali.“Sepertinya kamu masih belum tahu, Sapto, dia sudah mati,"“Bagaimana mungkin?,” Aki Toha tidak percaya.“Tujuh tahun lalu, bersama para gadis itu. Ia dibunuh seb
Aduh bapak hampir lupa, Cokro. Ya tukang bersih-bersih itu. Dia sangat terobsesi dengan senam. Setiap Rabu pagi, dia rutin ikut senam di belakang barisan siswa."Pak, bapak yakin kalau pembunuh Veli adalah Cokro?" Tanya Eldi."Iya, bapak pernah bilang kalau Cokro belum sempat diperiksa polisi, tapi sudah meninggal dikeroyok siswa," ujar Gina."Bapak sendiri tidak yakin kalau Cokro pelakunya, tapi kasus itu sama sekali tidak pernah terungkap sampai sekarang," jelas Pak Gimin."Pak, saya yakin kalau kematian siswa di sekolah kita itu karena roh Cokro yang marah. Dia dituduh dan dibunuh begitu saja, siapa tahuCokro bukan pelakunya," Gina mengeluarkan kegelisahannya selama ini."Sudahlah Gina, Eldi. Kalian masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti ini.Gina menanyakan lokasi makam Cokro pada Pak Gimin, ia ingin berziarah dan meminta maaf mewakili semua siswa SMA Setia Bakti. Dengan harapan Cokro tidak lagi mengganggu siswa di sekolahnya.Di samping
Sekolah angker part3Gina dan Eldi masuk ke perpustakaan."Di, ini persis wajah perempuan yang ada di bayangkan gua semalem. Lihat deh dia masuk ke sekolah ini tahun 2000 dan berhenti tahun 2000 juga," Gina menyodorkan buku Arsip pada Eldi."Iya, juga ya. Kita tanya kepala sekolah aja, Gin. Siapa tahu Pak Gimin masih ingat tentang perempuan ini.""Lu benar, Di."Gina memotret foto Velicia Tjhia. Kemudian mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Kebetulan Pak Gimin sedang ada di ruangannya. Ia terlihat sibuk dengan lembaran dokumen di atas meja. Malu-malu Gina dan Eldi masuk ke ruangan Pak Gimin."Selamat siang, Pak?""Iya, siang." Pak Gimin menoleh pada mereka berdua."Kami mau bicara sebentar saja.""Oh, iya silakan masuk, Nak."Mereka berdua duduk di hadapan Pak Gimin lalu menunjukkan sebuah gambar di layar smartphone Gina."Maaf ganggu waktunya, Pak. Apakah bapak kenal dengan siswi ini?"Pak Gimin terkejut, ia heran
Pembunuhan"Anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru, ya," kata Bu Yati, guru matematika.Veli dengan percaya diri masuk ke dalam kelas 3A didampingi kepala sekolah. Di kantong tasnya ada buah rambutan pemberian Pak Cokro."Hai semua, kenalin namaku Velicia Tjhia. Atau biasa dipanggil Veli. Aku pindahan dari SMA Darma Bakti Yogyakarta. Salam kenal semua," ujar Veli sambil tersenyum."Hai Veli," serentak semua murid di kelas itu menyapanya."Veli, kamu bisa duduk di samping Sinta ya," Kata Bu Yati.Veli mengangguk dan langsung menuju tempat duduknya."Baik, anak-anak. Tolong temani Veli dan terima dia dengan baik, ya." ucap Pak kepala sekolah."Iya, Pak," jawab semua murid serentak.Walau Veli siswa pindahan, tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan teman-temannya juga dengan setiap mata pelajaran. Veli terbilang siswi yang pintar. Ia kini menjadi pesaing beratnya Mona yang setiap tahun meraih juara satu di kelas itu.
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil."Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda."Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku."Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu."Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil."Iya, Mbak. Tunggu ya."Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya."Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku."Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda."Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.Dia lalu ke
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.“Is
Sore itu semua petugas puskesmas sudah pulang. Pak Sukra memberikan kunci puskesmas kepadaku. Malam ini aku mau menginap saja di puskesmas. Kebetulan ada hal yang mau kukerjakan. Aku akan menyusun rancangan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya keselamatan saat bersalin.Lebih dari itu, jujur saja aku masih trauma kalau harus pulang ke rumah Dinda. Ada yang tak beres sama mboknya. Dan, aku yakin bidan yang pernah tinggal di rumah Dinda juga mengalami hal yang sama.Selepas magrib kututup gerbang puskesmas lalu mengunci pintu rapat-rapat. Aku mulai bekerja menyusun rancangan dan materi untuk penyuluhan. Selang beberapa saat ada yang mengetuk pintu. Sepertinya ada yang mau berobat. Segera aku beranjak dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu.Di depanku berdiri seorang perempuan berbaju daster yang sedang hamil tua. Dia memegangi kandungannya sambil meringis kesakitan.“Tolong aku, Bu!” katanya dengan suara yang tertahan.“
Sebelum saya menceritakan pengalaman teman saya yang mulai dinas didaerah terpencil sebagai bidanOh iya, perkenalkan dulu, aku Maya. Aku tuh seorang bidan. Setelah lulus kuliah, aku sempat kerja di klinik. Sebenarnya klinik itu milik kakak iparku. Kalau kalian pernah ke Balaraja, klinik tempatku bekerja tidak jauh dari pasar Balaraja. Selama dua tahun aku bekerja di sana.Tahun 2016, pemerintah membuka lowongan CPNS. Aku iseng-iseng ikutan daftar. Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja bagaimana tes CPNS itu dan tidak punya harapan tinggi bisa lolos tes. Tapi, Tuhan berkata lain. Alhamdulillah aku lolos CPNS, lalu ditugaskan ke kampung terpencil.Nama kampungnya Mekar Sari. Di sana ada puskesmas yang kekurangan tenaga bidan. Oh iya, bukan kekurangan tapi tidak ada bidannya. Jadi bidan yang pernah tugas di sana minta dimutasi ke daerah lain. Dan... aku ditugaskan untuk mengisi kekosongan bidan di puskesmas itu.Aku tidak menyangka kalau kampung ini benar-benar terp
Menjelang setelah asar Pakde Anom sudah terlihat datang ke rumah keluarga pak Saiful. Lelaki paruh baya itu menyambutnya penuh suka cita. Ujung matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain di belakang Pakde Anom. Seolah mampu membaca pikiran, pakde Anom pun menjawab:“Ini murid-muridku Pul, mereka juga akan membantu proses peruwatan nanti."“Oh, begitu pakde,” jawab pak Saiful sembari mempersilakan ketiganya masuk ke dalam rumah.Pukul 11 malam, kompleks perumahan terlihat mulai sepi. Tampak dua orang pemuda yang dibawa pakde Anom menggali tanah dengan sekop dan memendam sesuatu di empat sudut penjuru rumah.Tujuannya adalah menanam pagar gaib untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan saat proses ritual pengusiran. Pak Saiful tampak mengintip dari jendela di dalam rumah mengamati aktivitas tersebut. Sebuah tepukan pelan di bahu kanan membuatnya menoleh. Dilihatnya Pak Hasan mencoba memberikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.Kedu