Hantaran Diminta Kembali Aiza keluar dari ruang meeting dengan tergesa. Ia menempelkan ponsel di telinganya. Aiza melangkah cepat menuju eskalator. Kakinya yang terjulur ke tangga ia tarik kembali. Ia melihat Lila dan Rizal berdiri berdampingan menuruni eskator. "Maaf, kau sudah selesai shopping ya rupannya?" tanya Aiza begitu Lila turun.Aiza melihat banyak paperbag di tangan Lila. "Iya, kami mau pulang," Jawab Rizal dengan nada datar. Membuat Aiza merasa bersalah. "Maaf, aku tadi yang ngajak jalan. Malah aku tinggal meeting!"ucap Aiza sambil memegang tangan Lila menunjukkan wajah penuh penyesalan. "Enggak apa-apa. Aku ditemani Mas Rizal, kok!"Jawab Lila sambil tersenyum. "Kami antar kamu pulang dulu, Za!" ucap Rizal menawarkan tumpangan untuk Aiza. Lila melirik ke arah Rizal. Ia tahu suaminya itu menyukai Aiza. Lila mencoba membaca mimik wajah Rizal saat bicara dan menatap Aiza. Tapi Lila kecewa tak melihat apapun di sana. Apa Rizal terlalu pandai menyembunyikan pera
Hantaran Diminta Kembali"Suruh saja Lila menjual tasnya buat modal usaha, Mas!" ucap Rizal sambil tersenyum jahil. Mas Heru dan Mbak Nita tertawa sumbang menanggapi ucapan Rizal. Mereka mengira adik iparnya itu sungguh-sungguh tak mau membantunya. Mereka masih belum menebak arti gurauan Rizal itu. "Kamu beli tas mahal, Li?" tanya ibu dengan tatapan tajam menyelidik. Lila yang masih terkejut itu tampak gelagapan. "Enggak, Bu. Ini tas-" sahut Lila bingung."Jangan-jangan kamu ikut-ikutan seperti mbak Selvi, ya?" omel ibu dengan nada ketus. "Wanita itu pernah membeli tas seharga 50 juta," seru ibu gusar. Bapak, mbak Nita dan Mas Heru seketika terlonjak kaget, mereka menatap Lila bergantian dengan tas yang tergeletak di meja itu. Mas Heru dan Mbak Nita tidak mengenal siapa Selvi, tapi mereka sudah shock mendengar harga tas yang dibeli wanita itu. "Enggak, Bu. Tas Lila hanya seharga motor matic saja!" Jawab Rizal enteng, tapi membuat seisi rumah sontak ternganga. Mereka percaya i
Hantaran Diminta Kembali "Kalian menginap saja di sini, kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini!"kata ibu dengan nada memaksa. Lila merasa tak enak menolak permintaan ibu, ia juga masih sangat kangen dengan rumah dan keluarganya. "Iya, kalian menginaplah, kamu tidur di kamar depan saja, biar mbak pindah ke kamar kamu!" ucap Mbak Nita segera berdiri dari duduknya. "Nggak usah," Cegah Lila cepat. Ia tahu Azam, bayi kecil itu sudah tidur di dalam sana. Mbak Nita ingin memberikan kamarnya pada Lila, karena kamar depan lebih luas dengan ranjang lebih besar. Sementara kamar Lila yang terletak di tengah itu adalah kamar sederhana saja. "Enggak apa, aku akan mengemasi-" potong Mbak Nita berkeras, wanita itu akan beranjak untuk menyiapkan kamarnya. "Enggak usah, lagian rumah kami dekat. Kami pulang saja!"ucap Lila akhirnya, ia mencekal tangan kakaknya. Ibu nampak sedikit kecewa mendengar keputusan Lila. "Kamu ini kok buru-buru amat ingin pulang?" kata Rizal sambil melirik Lila.
Hantaran Diminta Kembali""Kamu ngapain?" tanya Lila terkejut. "Memberimu hukuman!" Sahut Rizal dengan nada rendah. Lila membuka matanya lebar, dadanya berdegub dan ia berdoa agar ia selamat malam itu. Rizal diam, memejamkan mata. Apakah ia dan Lila siap untuk ritual ini. Sebagai pria ia memiliki hasrat, tapi sebagai suami, Rizal ingin merasa bahwa ia sudah layak dan siap untuk Lila. Rizal ingin saat ia "bersama" Lila, tak ada bayangan wanita lain dalam pikirannya, tak ada nama wanita lain yang akan ia sebuat selain nama istrinya. Begitupun Lila, Rizal tidak tahu bagaimana perasaan Lila yang sebenarnya padanya. Apa ada nama Dimas di sana. Apalagi ia melihat Lila masih menyimpan foto Dimas di kamarnya. Rizal mengeratkan pelukan dan menempelkan dahinya pada kepala Lila. Rizal menghela nafas dalam. Lila merasakan kepala Rizal yang menempel pada kepalanya. Ada perang batin di hatinya. Kecemasan dan rasa takut. Pikirannya nyaris sama dengan Rizal. Ia tidak ingin membayangkan p
Hantaran Diminta Kembali Rizal melesakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Hari itu terasa sangat sibuk buatnya. Tetapi hasil jerih payah itu sangat memuaskan. Sebanding dengan kerja yang dilakukan Rizal dan timnya.Mereka bekerja dengan loyalitas dan disiplin karena mereka juga mendapat gaji yang sebanding dengan usaha maksimal yang mereka lakukan. Yuda mengetuk pintu. Tak lama pria tinggi itu masuk dan membawa nampan. Yuda meletakkan nampan dengan secangkir teh panas dan sekotak buah potong sebagai cemilan Rizal. Rizal mengambil garpu dan menusuk sebuah kiwi dan memasukkan ke mulutnya. "Anda terlihat sangat lelah!" ucap Yuda sambil meletakkan cangkir di depan Rizal. "Iya, pekerjaan ini membuatku penat." sahut Rizal sambil melihat jam yang menunjukkan angka empat, sementara dirinya yang sebagai atasan masih berada di ruangan kerjanya."Ambil cuti saja, Pak!" ucap Yuda memberi saran dengan hati-hati. Rizal diam, ia menatap Yuda sekilas. "Kenapa?" tanya Rizal malas. Yuda
Hantaran Diminta Kembali Lila mendorong dada Rizal dan melepaskan diri. Tapi tangan kekar itu menahannya. Lila membeku menatap manik mata lembut yang mengintimidasi itu. Rizal kembali mengikis jarak dan mengulum bibir itu. Pelan dan kembali merangkum bingkai mungil itu. Lila mendorong pelan, menjauhkan wajahnya yang memerah. "Kau menolakku?" tanya dengan Rizal dengan suara memburu, ia telah diliputi gairah. Lila bungkam, tatapan mereka terkunci. Dengan sekali gerakan, Lila telah berada dalam gendongan Rizal dan dengan ringan Rizal melemparkan tubuh Lila ke ranjang. Lila memekik tertahan, saat dengan tiba-tiba Rizal menjatuhkan tubuhnya di atas Lila dan menarik begitu saja baju yang dikenakan Lila. Lila hanya membatu saat pria yang telah diliputi gairah itu mengajaknya tenggelam dalam pelukannya. Rizal menarik selimut dan menyelimuti tubuh Lila. Gadis itu tetap memunggunginya. Pelan Rizal mendekat dan mengecup puncak kepala itu pelan. Rizal mengecup bahu terbuka Lila d
Hantaran Diminta Kembali Rizal menatap jam di pergelangan tangannya. Suasana diluar ruang kerjanya mulai riuh, beberapa kali terdengar langkah kaki hilir mudik atau mulai terdengar gurauan diantara para pegawainya di luar. "Dimas! ditelpon bini lu! Katanya ponselmu nggak aktif!" seru Mela, sang resepsionis itu dengan suara lantangnya.Seketika suara riuh menyoraki dan mengejek Dimas. "Istrinya posesif, ya!" Suara Bram menanggapi. Pria lajang itu tampak menatap Dimas miris. "Wajar sih, istriku juga selalu menelpon atau sekedar chatting untuk mengingatkan makan siang atau shalat, gitu!" sahut Pak Edo santai. "Nih, ia sudah mengirim pesan agar aku segera makan siang!" sambung pria itu menunjukkan ponselnya ke udara. Seketika para pegawai wanita bersorak riuh."Uuh romantisnya Bu Edo, kayak pengantin baru!" Seru Astrid sang teller itu. "Tapi risih juga, telat dikit aja, telepon udah puluhan kali," sahut seorang yang lain. "Wajar, sih, mereka kan perhatian, khawatir sama kita
Hantaran Diminta Kembali Reni membuka pintu pagar sesegera mungkin. Mobil mewah itu segera saja masuk melewatinya. Mobil terparkir begitu saja di depan garasi dan sang pemilik berjalan tergesa-gesa memasuki rumah. Reni mendekat dan menutup pintu mobil itu. Rizal segera berjalan cepat menuju kamar utama.Kosong. Ia tidak melihat Lila ada di kamar itu. Rizal segera keluar kamar. "Non Lila kemana?" tanya Rizal begitu berpapasan dengan Reni di kuar kamar. "Non Lila di atas, mungkin sedang olahraga!" sahut Reni sambil menunduk. "Olahraga?"Rizal mengerutkan kening. Rizal memang mempunyai treadmill dan homegym yang ia letakkan di lantai atas.Rizal segera menaiki tangga menuju lantai atas dengan langkah lebar. Ia merasa tak sabar menemui Lila. Langkahnya kembali melambat. Ia harus stay cool dan berwibawa.Ketika hampir mencapai ujung tangga, Rizal sudah mendengar tawa cekikikan itu.Rizal bergeming. Rizal melihat Lila tertawa tergelak sambil duduk di atas matras. Sementara Putr
Hantaran Diminta Kembali"Yud, cepat, ya!" seru Rizal dengan gusar. Ia menatap Lila yang nampak duduk dengan gelisah sambil beberapa kali menghembuskan nafas dengan cepat. "Ambil nafas, sayang!" ucap Rizal sambil mengusap keringat di dahi Lila. "Ambil nafas mulu, sudah ngos-ngosan ini!" seru Lila marah sambil melirik dengan tatapan tajam. Rizal bungkam seketika. "Iya, sabar, ya!" ucap Rizal tetap bersikap tenang sambil mengelus pinggang Lila. Dengan cepat Lila melesakkan dirinya dalam pelukan Rizal. Mencoba tenang dan menikmati sensari nyeri dan mulas yang semakin terasa. "Tenang, ya!" kata Rizal kembali sambil melirik ke depan. Jalanan di depan terlihat padat dan gelap. Banyak lampu terlihat di depan mereka, menandakan kondisi jalan yang sedang ramai. Lila diam, merasakan dada suaminya yang berdegub keras tak beraturan. Menandakan pria itu juga panik dan merasakan ketegangan yang sama. "Macet, pak!" keluh Yuda sambil membuang nafas kasar. Ia melirik Lila di jok belakang den
Hantaran Diminta Kembali Lila menajamkan pandangannya saat ia melihat sosok berbaju putih dengan rok lilit batik berwarna hitam itu, terlihat sibuk di antara meja prasmanan. "Yulia!" seru Lila tak percaya. Gadis yang dipanggil segera menoleh dengan cepat dan tampak terkejut. "Lila! Oh ... maaf, Nyonya!" Yulia menyapa dengan gelagapan. Lila tampak terkejut, ia mendekati Yulia dan menggamit lengan Yulia untuk ke pinggir ruangan. "Ngapain manggil Nyonya?" Lila bertanya sambil mendongakkan dagu. Yulia tersenyum kikuk. "Eh, Nyonya-" Yulia menyebut lagi panggilan resmi itu dengan kaku. "Kenapa harus bersikap formal begitu, kalau teman, ya, sapa saja seperti biasa, Mbak," sela Rizal sambil mendekat. "Maaf, Pak, kan para tamu tamu di sini semua orang terhormat," Sahut Yulia malu-malu sambil membenahi celemek kecil yang melingkari pinggangnya. "Saya kok malah sok akrab sama ...." Yulia tidak melanjutkan ucapannya. "Ya ampun! bisa-bisanya, ya kepikiran begitu?"sergah Lila kes
Hantaran Diminta Kembali Lila berdiri menghadap kaca besar di kamarnya. Ia menipiskan bibir melihat bentuk tubuhnya yang terpantul di kaca itu. Kemudian melempar pandangan ke arah ranjang dengan lelah. Tampak setumpuk baju tergeletak di atas ranjang. "Belum siap, juga?" Rizal berjalan memasuki memasuki kamar dan melihat istrinya itu masih belum bersiap. "Kenapa? Bajunya sudah jelek semua?" Rizal bertanya dengan nada lembut sambil mengamati gaun-gaun itu. "Bukan bajunya yang jelek, aku yang yang terlihat jelek," keluh Lila sambil menatap lagi bayangan dirinya di cermin. Rizal tersenyum menatap wanita yang tengah hamil besar itu. Wanita yang memakai gaun sutra yang flowy itu sudah terlihat begitu anggun dan cantik di matanya. "Kamu cantik dan seksi sekali!" Rizal berkata sambil mengambil selembar scarf untuk Lila. Namun Lila tidak terpengaruh pujian itu. Ia hanya mengira Rizal hanya sedang menghiburnya saja. Menurut Lila, mana ada wanita hamil dengan perut membuncit dan b
Hantaran Diminta Kembali Dimas tersentak, bibirnya sampai terbuka saking terkejutnya. "Bangun, nggak! cari kerja sana!" Sari menghardik sambil menunjukan jari ke pintu ke pintu."Kau tahu aku juga setiap hari pergi melamar kerja," sahut Dimas seraya bangkit dari ranjangnya Ia melihat Sari sudah mengenakan seragam warna khakinya. Wanita hamil itu sudah siap bekerja. "Aku menyuruhmu kerja, bukan hanya mencari kerja!" Sari berseru marah. "Aku kan sudah berusaha, Sari!" Dimas menyahut sambil meruyak rambut dengan kasar. "Berusaha itu ada hasilnya, tapi ini tidak!" Sari memotong dengan suara melengking. "Ingat, aku hampir melahirkan, Mas dan aku masih terus bekerja, bahkan cari obyekan ke sana kemari demi cicilan mobilmu," seru Sari makin emosional. "Iya, iya, aku akan kerja!" Dimas menyahut gusar."Aku seperti ini juga gara-gara kamu!" Dimas balik berteriak dan segera beranjak menuju ke kamar mandi dan menutupnya dengan keras. Bu Eni yang sedang menjemur baju di samping ruma
Hantaran Diminta Kembali Selvi memasuki mobilnya dengan wajah ceria. Sebuah telepon pagi ini membawa kabar yang membuat mood-nya seketika membaik. Tumben pria angkuh itu menelpon, meminta dirinya datang ke kantornya jam sepuluh pagi ini. Rizal tak perlu memohon, Selvi seketika menyanggupi akan datang saat itu juga."Tentu, dengan seneng hati," sahut Selvi dengan nada manja. Selvi melonjak girang, melempar ponsel di atas ranjang dan gegas menuju kamar mandi, memakai baju terbaik dan sedikit mengekspos keindahan tubuhnya, menyemprotkan parfum beraroma seksi seluruh tubuhnya, bahkan ia sibuk memilih sepatu dan tas termahalnya. Semua harus istimewa demi memenuhi panggilan Rizal. "Kamu yakin mau datang memenuhi panggilan Pak Rizal?" Elsa bertanya ragu. Melirik Selvi yang asyik mengemudi sambil bersenandung. "Tentu saja, kapan lagi aku memuaskan rindu pada Zal, kalau tidak mendatanginya pagi ini," sahut Selvi seraya mengibaskan rambut panjangnya. "Entahlah, aku merasa ia akan
Hantaran Diminta Kembali Rizal perlahan membuka pintu kamar. Ia tersenyum melihat sosok yang berbaring di atas ranjang. Lila sudah pulas dengan posisi seenaknya. Kakinya bahkan menggantung begitu saja. Rizal mendekat dan membenahi posisi kaki Lila yang menggantung. Rizal terkejut saat melihat kaki Lila agak bengkak. Diusapnya pelan kaki itu, membuat Lila terusik. Ia hanya menggerakkan kaki dan kembali pulas. Rizal berdiri dan beranjak keluar dari kamar. Rizal segera menuju ruang tengah, karena masih mendengar suara dari televisi dari ruang itu. Ibu dan bapak masih duduk sambil selonjoran di sofa. Rizal dan Lila memang memutuskan menginap di rumah mertuanya itu. "Kenapa belum tidur, Mas?" Bapak bertanya pada menantunya itu. Rizal dengan santai duduk di dekat kaki ibu mertuanya. Bu Eni tersenyum, kebiasaan Rizal saat kecil dulu masih tak berubah hingga ia menjadi dewasa."Belum ngantuk, Pak," sahut Rizal sambil menoleh pada ibu yang kini membenahi letak jilbabnya. "Buk,
Hantaran Diminta Kembali Lila menyalami para tamunya dengan wajah ceria. Sementara para mereka mengucapkan terima kasih dan mendoakan kebaikan untuk Lila. Para tamu mendapat hidangan yang berlimpah dan mendapat sufenir yang mewah.Lila dan Rizal telah menjamu tamunya dengan baik. Mereka tidak membedakan antara tamu relasi Rizal atau para warga kampung dan keluarga, semua berbaur bersama dalam satu ruangan. Hanya berbeda tempat antara tamu pria dan wanita saja. Satu hal yang tak akan mereka lupakan dalam acara itu adalah upaya Sari yang hampir mencelakai Lila dengan mencoba mencampur pil penggugur kandungan itu pada minuman Lila. Para tamu dan tetangga kini sibuk bergunjing, bagaimana nasib Sari setelah ini, apakah wanita hamil itu akan mendekam di penjara untuk waktu yang lama. "Kalau aku yang jadi Lila, akan aku laporkan si Sari ke kantor polisi," bisik Bu Eneng dengan ketus. "Iya, Bu. Ini kejahatan yang direncakanan, efek obat itu berbahaya sekali, Bu!" sahut Bu Ema, wani
Hantaran Diminta Kembali"Pinternya, playing victim!" Yuda berdecak muak. "Aku tidak bersalah!" Sari berteriak histeris mengundang kerumunan para tamu. Mereka merubung, ingin mengetahui perselisihan dua keluarga yang memang sudah sejak lama mereka ketahui itu. Sudah bukan rahasia lagi jika dua keluarga itu tidak akur. Ada yang pro dan kontra, meski tak sedikit yang ikut membenci keluarga Lila karena hasutan Bi Pur dan rasa dengki mereka."Jangan asal menuduh, Mas, kalau tak ada bukti!" Seorang wanita yang merupakan tetangga mereka ikut mendukung. "Bukti ini kurang jelas?" Sentak Yuda menunjukkan pecahan gelas dan butiran tablet yang hampir larut itu. "Pasti ada orang lain yang meletakkan di sana, dan kebetulan Sari yang mengambilkan minuman untuk Lila!" seru Bi Pur berang. "Maksud baik dibalas fitnah!" imbuh Bi Pur memanaskan suasana. "Sungguh aku tidak bersalah, Bu, aku difitnah!" Sari menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh. Para tamu yang kebanyakan ibu-ibu itu merasa jat
Hantaran Diminta Kembali Sari takjub melihat suasana acara empat bulanan itu, Kemeriahannya seperti sebuah pesta pernikahan. "Duh, ini berlebihan! mereka mau pamer kalau sudah jadi keluarga sultan!" Bi Pur bergumam nyinyir.Sari hanya diam, dongkol sekaligus iri melibas hatinya. Acara empat bulanan kehamilan Sari tidak semeriah acara ini, biasa saja. Hanya pengajian ibu-ibu kampung. Mereka memasuki tenda yang penuh hiasan bunga segar itu. Seluruh bagian dan isi tenda yang berhias kelambu satin dengan warna pink dan putih itu tak luput dari perhatian mereka. Lila menjadi seorang ratu dengan pakaian yang indah, duduk di kursi putih dikelilingi bunga dan didampingi, suami, orangtua, mertua, bahkan bahkan ipar dan semua keponakannya yang semua memakai baju bernuansa biru muda. Lila seperti ratu dengan kecantikan paripurna. Rizal terlihat beberapa kali melirik dan tersenyum menatap istrinya. Mereka terlihat sangat bahagia. "Perasaan, si Lila makin cantik, ya?"Salsa, adik bu