Arkana berjalan memasuki rumah sambil melepaskan dua kancing atas kemeja yang dikenakan, tatapannya memindah sekeliling, tak tampak orang-orang. Lalu langkahnya mengarah pada sumber suara yang sayup terdengar telinganya.Langkahnya terhenti saat ia melihat Deva tertawa riang bersama para pekerja di rumahnya, termasuk Risa yang sedang memeluk Deva erat, layaknya ibu mencintai anaknya dengan sepenuh hati, tanpa ada aturan ketat.Deva sendiri nyaman diperlakukan seperti itu, Nadia bahkan ikut memeluk Risa dari belakang, mencium pipi bundanya yang terpejam sambil tertawa. Di dalam dada Arkana ada gemuruh yang muncul, perasaan senang hingga membuat ulu hatinya terasa linu melihat hal itu.Kedua kakinya melangkah lebar, dengan kedua tangan ia masukan ke saku. CEO tampan, gagah, dengan bahu lebar, bibir merah karena bukan perokok, rambut hitam lebat ditambah bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang, membuatnya begitu sempurna menjadi sasaran empuk para pemburu suami. Iya, Arkana masuk k
Mereka begitu lihai, melanjutkan permainan 'kotor' demi membalaskan dendamnya. Raka tiba di salah satu tempat yang dulu sering dikunjungi mendiang kakaknya bersama Devinta. Jelas, Raka pura-pura tidak tau jika dulu Devinta sering ke sana. Wajah Devinta seketika pias, sedikit terkejut berakhir sendu. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, hawa dingin menusuk karena daerah itu berlokasi di komplek villa mewah tak jauh dari kota. "Kenapa kamu ajak aku ke sini?" Devinta menatap penuh curiga ke Raka yang baru saja menyandarkan tubuh di samping pintu mobil, menghadap ke pemandangan lampu-lampu pemukiman lain yang menerangi langit malam. "Mau ke sini aja, apa kamu nggak bosan, berada di kota?" jawabnya sambil melemparkan pandangan jauh ke depan. "Oh, maaf ... aku lupa panggil kamu dengan embel-embel Nyonya," lanjut Raka. Devinta memalingkan wajah, ia juga memindai sekeliling, hingga kedua matanya berhenti di satu bangunan villa yang dulu pernah dimiliki keluarganya, tapi kini sudah dij
"Selamat pagi anak cantik," bisik Raka di telinga Nadia yang sedang mengerjakan tugas menebalkan huruf. Perkembangan Nadia setelah mulai sekolah dalam hal pelajaran begitu pesat, ia anak pintar juga karena sudah dibekali ilmu sebelumnya oleh Risa. "Pagi Om, Raka," jawab Nadia sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Om punya ini buat kamu," ujar Raka sambil memberikan kotak kado ke hadapan Nadia. Wajah gadis kecil itu sumringah, ia segera membukanya. Terlihat sepasang sepatu baru lagi menjadi hadiah miliknya. Kali ini sepatu untuk bepergian, bukan untuk sekolah. Nadia segera memasang ke kedua kakinya. "Tuh, kan ... pas di kaki kamu, bagus. Tos dulu!" Raka mengangkat tangan ke udara. Mereka ber tos ria lalu Nadia tertawa riang. "Bunda mana?" "Lagi ke supermarket, belanja sama Nenek Sumi." "Oh ... gitu. Nadia, temenin Om ke dalam, yuk, Om mau tanya tengang bibit bunga ke Nyonya Devinta," pinta Raka. "Ayo," jawab Nadia semangat. Mereka berjalan bersama, rumah keadaan sepi di
Nadia merasa senang setelah dijelaskan tentang kehidupan binatang walau lewat buku. Risa yang menyadari sikap putrinya mengernyit bingung."Kamu kenapa, Nadia?" tanyanya sambil merapikan belanjaan ke dalam kabinet dan kulkas."Nggak papa, Bunda." Nadia tersenyum lalu ungkang-ungkang kaki di atas kursi yang ia duduki. "Hai Om Raka," sapa Nadia."Hai cantik," balasnya lalu menatap Risa. "Sa," panggilnya."Hm? Apa?""Termakan umpan dan masuk perangkap." Raka meneguk air mineral digelas yang ia pegang. Risa tak paham, ia mengangkat kedua bahu seolah tak acuh dengan kalimat Raka."Bu Sumi mau cuti, ada saudara nikah di kampung. Kamu nggak ikut?" Risa masih mondar mandir merapikan belanjaan."Nggak. Aku takut ada yang kangen kalau aku pergi," lalu Raka mengedipkan sebelah mata ke arah Risa yang dibalas keplakan dikepala dengan menggunakan satu ikat daun bawang yang Risa pegang.Raka meringis, tapi justru Nadia tertawa. Devinta mendadak muncul, lalu bicara dengan Risa tentang bekal makanan D
Risa sudah berpikir keras, semenjak ia tau jika Arkana berusaha dekat dengan Nadia, hatinya masih tak rela. Lain dengan Arkana, lelaki itu mengulur waktu untuk bicara dengan Devinta tentang siapa Nadia. Kepalanya sakit memikirkan hal itu, Devinta sendiri kini sibuk mengurus yayasan milik keluarganya yang membantu anak tidak mampu supaya bisa sekolah. Arkana merasa istrinya mulai sibuk dan hal itu ia sukai. "Devinta, kepala ku sakit, bisa kamu nggak pergi hari ini?" pinta Arkana yang masih merebahkan diri di ranjang. "Yah, Mas, maaf aku nggak bisa. Hari ini aku harus ketemu donatur yayasan. Penting banget, Mas. Nggak papa, ya, aku usahakan pulang cepat. Maaf, darling ... love you." Devinta mengecup kening Arkana lalu bergegas pergi meninggalkan kamar. Arkana mendengkus, ia memejamkan kedua mata. Terasa sepi walaupun televisi di kamar ia nyalakan. Jam menunjukkan pukul delapan pagi, Deva juga sudah berangkat sekolah. Rasanya ia kesepian. Napas Arkana terasa hangat, sepertinya ia mu
Arkana meminta Risa tetap tinggal, sayangnya wanita itu hanga berekspresi datar dan tetap berjalan meninggalkan kamar mewah lelaki itu. Terdengar Arkana mendengkus, Risa tak acuh, ia tetap menuju ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.Bu Sumi bilang, jika rasanya tak mungkin jika Risa melanjutkan rencana karena Devinta jauh lebih utama untuk dihancurkan. Rahasia Nadia anak Arkana tetap disembunyikan sementara. Setidaknya, mereka sudah membuat Arkana uring-uringan jika tak berdekatan dengan Nadia.Raka sendiri semakin hari semakin kuat untuk membalaskan kematian Rama, kakak yang begitu ia sayangi namun bodoh karena terlalu mencintai Devinta.Di tempat lain, Raka duduk termenung, ia sadari apa yang dilakukan terlampau nekat, tak peduli resikonya akan ia hadapi. Kedua tangannya saling menggenggam, dengan kedua siku menempel pada lengan kursi berbahan kulit mahal warna hitam pekat.Pemandangan di hadapan menunjukkan kokohnya bangunan bertingkat menjulang, Raka berdiri dari duduknya lalu
Devinta masih terkejut setelah mendengarkan penjelasan Arkana, ditambah sosok Raka yang berpenampilan berbeda dari biasanya. Arkana hanya bisa berkata jujur, menjelaskan fakta sebenarnya karena tak ingin ada kesalahan lagi. Ia tetap dengan pendiriannya akan menikahi Risa, demi Nadia supaya bisa bersekolah ditempat yang semestinya. Bagaimana pun, ia bapaknya, dan harus adil memberikan pendidikan yang terbaik. Tiga hari berselang, Arkana masih diabaikan Devinta. Bahkan, saat akan menjenguk Deva yang mendadak drop lagi, tak diizinkan. Suasana rumah tegang, apalagi saat Risa tidak ada di rumah itu lagi. Ia pergi bersama Nadia dan Bu Sumi ke tempat Raka. Raka sendiri memberi tau kenyataan siapa dia sebenarnya kepada Risa dan hal itu membuatnya terkejut bukan kepalang. Bahkan hampir pingsan. "Bu Sumi juga tutupi hal ini?" Risa memegang kepalanya, terasa mau pecah dengan semua fakta yang ada. Nadia duduk di sebelah Bu Sumi yang hanya bisa tersenyum. "Sudah lama kami sebenarnya mencari k
Ratu berjalan anggun dengan dres mahal yang dikenakan menuju ke arah unit apartemen tempat Raka tinggal. Jemari lentik dengan cat kuku warna merah menekan tombol bel pada pintu. Tak lama pintu terbuka, muncul Bu Sumi yang langsung dipeluk erat Ratu. "Bu Sumi, kenapa rahasiakan ini dari Ratu, Bu Sumi kan tau Ratu punya banyak mata-mata." Mereka berjalan ke dalam apartemen mewah nan luas itu. Terlihat Nadia baru saja mandi, rambut panjangnya tampak basah. Baju gambar barbie hadiah dari Ratu dikenakan bocah itu, hal tersebut membuat Ratu tak tahan untuk memeluk Nadia. Ia meletakkan tas mewah di atas sofa begitu saja lalu memeluk Nadia erat. "Keponakanku sayang," lirihnya. Lalu ia ciumi wajah Nadia dengan air mata yang perlahan menetes di wajah cantiknya. "Bu Ratu, kenapa Ibu menangis?" Nadia bingung. Ratu meraih jemari Nadia, ia kecupi berkali-kali setelahnya tersenyum lebar. "Seneng aja bisa punya keponakan secantik kamu, Nadia." Ratu mengecup kening Nadia lama. Kemudian muncul R