Ia mondar-mandir di antara ruang makan dan rumah tamu yang luas itu, sungguh rumah yang aneh. Di luar terlihat bangunan ini begitu besar dengan tembok yang menjulang tinggi. Namun, di dalamnya hanya ada empat ruangan saja. Riti berniat, mulai besok ia akan tinggal di rumah lamanya seorang diri, dari pada tidur di sini juga sendiri. Istri mana yang diperlukan seperti ini. Tiba-tiba Riti terkejut dengan kemunculan Sima dari balik tanaman yang menyerupai semak belukar di sebelah ruang makan. Ia baru sadar bahwa, selama ini Sima tidak menghilang, melainkan ke luar dari balik semak itu. “Anda sudah pulang? Apa mau makan sekarang?” tanya Sima dengan berwajah datar.Menurut Riti, Sima cocok sekali merawat Tama, mereka sama-sama tidak banyak bicara kalau tidak perlu. Ia penasaran bagaimana mereka bisa bertemu dan sekarang tinggal bersama dengan status asisten dan majikan. “Ya, aku lapar!” kata Riti, setelah sadar dari rasa terkejutnya. “Baiklah, tunggu sebentar!” kata Sima dan ia k
“Tidak ada!” jawab Riti gugup, matanya ingin mengalihkan pada hal lain, tapi tidak bisa.“Apa kamu mau berenang juga?”Riti menggelengkan kepala sambil memperlihatkan beberapa makanan di depannya. Secara perlahan, Riti mulai menggeser nama Leri dan menggantinya dengan Tama. “Habiskan makananmu!” kata Tama sebelum kembali menyelam. Riti memperhatikannya sambil meneruskan makan, ia menjadikan Tama sebagai hiburan. Namun, rasa laparnya tiba-tiba saja hilang dan sekarang berganti rasa ingin jatuh dalam pelukan seseorang.Sebenarnya siapa sih, yang haus kasih sayang? Batinnya.Riti menghabiskan makanan setelah Tama selesai berenang. Gadis itu berlalu saat Tama membilas tubuhnya di shower yang ada di samping kolam. Riti malu kalau melihat Tama sampai selesai, ia belum siap untuk bicara lagi sebab pria itu membuatnya gugup. Ia tidak mau dicap sebagai perempuan mata keranjang, karena melihat laki-laki mandi setengah telanjang. Saat menyimpan nampan di dapur, Riti melihat seorang a
“Mana ada pencuri di rumah sendiri!” Tama berkata sambil menangkap tangan Riti yang menempel di dadanya. Ia gemas, tapi tidak mungkin memarahinya. Sementara Riti kesal, yang dikatakan Tama memang benar bahwa, semua yang ada di rumah itu adalah miliknya, tapi pria itu sudah mencuri privasinya. Meskipun begitu, sekarang ia tahu ke mana saja pria itu menghilang, dan kenapa ia tidak pernah muncul di kamar. Rupanya Tama sudah asik dan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga tidak membutuhkan dirinya lagi. “Lepas!” Riti berusaha melepaskan tangannya.“Duduklah, katakan padaku apa yang membuatmu menangis?” Tama bertanya sambil merangkul bahu Riti dan membawanya duduk kembali. Di sana hanya ada satu kursi, mau tidak mau Riti duduk di atas pangkuan Tama.“Aku tidak menangis!” Riti mengelak tuduhan seolah dirinya cengeng, padahal, ia yakin tidak ada yang melihatnya menangis tadi.Detak jantungnya berpacu lebih kencang dua kali, sedangkan suasana semakin canggung.Tama melihat wajah Riti s
“Bukankah kamu sendiri yang menolaknya, Yuna?” “Ahk! Ayah! Jangan salahkan aku terus!” Yuna menangis, ia sadar kalau Tama melindungi istrinya.Baik Yuna, Kiran maupun Marhen, sudah melihat beberapa akun orang yang menayangkan kejadian di toserba. Hal ini menjadikan mereka ragu tentang kebenaran informasi tentang Tama.Selain itu, pusingan yang menjelekkan Riti juga hilang dengan sendirinya, padahal, Yuna merasa tidak pernah menghapusnya. Ia yakin semua bukan kebetulan, tidak ada orang yang menjadi baik dengan tiba-tiba, kecuali ada pemicunya. Namun, hanya akun Jojo, yang menayangkan kejadian di toserba secara seimbang. Waktu itu, Jojo memang pergi, tapi ia meminta video dari satu orang yang merekam secara lengkap dan ia pun menayangkannya.“Lihat dan tonton sampai selesai, karena jawaban dari kebenarannya ada di akhir video!”Video yang di buat oleh Jojo sudah ditonton sampai jutaan kali dan semua orang memberi komentar yang beragam. Ada yang mendukung Riti, ada yang kasihan p
Suasana terasa sepi saat Riti ke luar kamar, dengan penampilan sudah rapi. Ia berkeliling rumah untuk mencari Tama dan mengucapkan terima kasih padanya. Riti berhenti di ruangan monitor yang kemarin sempat ia masuki, tapi Tama tidak ada. Ia pun duduk dan mengamati layarnya, untuk mencari Tama dari dalam ruangan itu saja. Namun, sekian lama menunggu tapi tidak ada pergerakan dari orang yang dicarinya, membuat Riti hampir putus asa. Sementara ia harus segera bekerja.Namun, manakala Riti hendak beranjak, ia melihat Tama membuka sebuah pintu, dari salah satu layar monitor. Lagi-lagi pintu itu menyerupai semak merambat di dinding. Pria itu bersama beberapa orang berbadan kekar dan tampak mereka sedang berlatih ilmu bela diri. Mereka saling memukul sambil memberikan beberapa teknik dan saling menjatuhkan lagi. Riti tahu sekali beberapa tehnik itu karena ia sering berlatih beberapa jurus untuk membela dirinya sendiri. Namun, sejak tinggal di rumah Tama, ia tidak pernah berlatih lagi ka
“Aku tidak mau! Kamu belum mandi!” “Apa aku bau?” Tama berkata sambil mengendus bahunya. Riti mengamati pria itu dan memikirkan semua bagian yang tadi sudah diciumnya, hingga ia tersenyum menyeringai lucu dan menggelengkan kepalanya. Tama tidak bau, walau ia berkeringat. Entah berapa banyak parfum yang ia semprotkan pada tubuhnya itu. “Tapi, aku tetap tidak mau sarapan!” kata gadis itu sambil melihat jam kulit yang setia dipakainya sejak masa kuliah. “Aku sudah terlambat!” katanya lagi, “Aku akan sarapan di kantor saja!” Riti berlari ke luar, sebelum Tama mencegahnya. Ia tidak menghiraukan panggilan Sima yang sudah menyiapkan sarapan untuknya. Tama membiarkan wanita itu pergi dan ia duduk di meja baca sambil mengaitkan jari-jarinya dan termenung untuk beberapa lama. Ia tahu Riti tidak punya uang, ia masih sabar menunggu sampai kapan pun gadis itu mau bertahan. Ia bukan pemaksa dan ia tidak mau seorang gadis tersiksa karena dirinya. Setiap kali melihat Riti, entah kenapa
Riti memikirkan segala kemungkinan, jika memang gedung ini dalam kekuasaan Tama atau Dion, maka ia akan bekerja di tempat lain. Sebab, bekerja dengan orang yang tidak akrab itu membosankan.Tiga wanita itu sampai di ruang kepala SDM. Riti mengenali orang bernama Gani itu sebagai seorang yang pernah bersama Wendy, ketika ia masuk kerja pertama kali. Ia menunduk hormat pada pria berusia matang itu, sambil mengambil kotak nasi.“Terima kasih, Pak!” katanya sopan. Pria itu mengangguk ramah pada semua anak buah Wendy, seraya bernapas lega. Ia belum tahu ada hubungan apa sang Bos dengan pegawai baru yang dinilainya biasa saja. Meskipun, komentar Wendy tentang gaya busananya lumayan bagus, tapi Riti bukanlah perempuan kalangan atas. Gani dan Wendy tidak berani menebak terlalu jauh tentang, siapa Riti sebenarnya dan apa hubungannya dengan Tama. Lagi pula tidak ada di antara mereka yang berani bertanya. Sementara ini, keadaan aman, Bos besar mereka jarang hadir kecuali sekali-kali saja d
“Ya, aku tahu, aku pilih ini saja!” kata Riti, sambil memegang satu model, dengan warna paling lembut di antara gelang lainnya.“Pilihan yang bagus! Aku doakan, siapa pun suamimu, kalian akan hidup bahagia selamanya!” “Terima kasih doanya! Oh ya, aku akan membayarnya begitu aku punya uang, Nena!” “Jangan sungkan! Itu tidak masalah selama kamu membayar!”Nena pergi setelah barangnya laku, meskipun hanya satu dan belum dibayar, itu tidak masalah sebab mereka akan sering bertemu. Ia akan menagihnya kalau gajian sebab Riti pasti punya uang. Riti kembali ke ruangannya dan makan dengan kenyang. Lalu, ia kembali bekerja sampai waktunya pulang. Ia bertemu dengan Marhen di halaman parkir saat menunggu Jasin datang.“Apa yang Ayah lakukan di sini?” tanya Riti, ia heran bagaimana Marhen bisa tahu kalau dirinya bekerja di sana.Marhen berdiri di samping mobilnya, dengan senyum menyeringai. Ia sengaja menunggu anaknya setelah jam kerja usai. Ia hampir memeluknya, tapi gadis itu menjauh d
“Apa aku salah menjadi orang seperti itu?” Tama dia meski dia tidak tahan, ia hanya melirik istrinya yang tertawa geli di sampingnya. Riti menahan tawanya saat melihat ibu dan anak yang beradu argumen karena berbeda pandangan. “Riti, bagaimana pendapatmu kalau suamimu kehilangan semua kekayaannya dan kamu terpaksa hidup di desa seperti yang kemarin-kemarin kamu lakukan?” tanya Deliza dengan tatapan serius kepada menantunya. Riti tahu bahwa Tama memang kehilangan kekayaannya selama mereka bersembunyi di desa. Namun, Iya juga tahu bahwa sekarang Tama kembali memiliki semua perusahaannya. “Apa Ibu kira hidup di desa itu susah? Itu tidak sulit, lebih sulit lagi saat aku harus hidup sendiri dan mengurus ibuku!” “Oh!” gumam Deliza, “Maafkan aku soal ibumu, Riti, Aku senang bertemu denganmu, dan aku lebih senang lagi setelah tahu bahwa kamu adalah, anak dari saudaraku!” “Aku mengerti! Tapi, Bu! hidup di desa itu sangat menyenangkan dan di sana semua orang hidup seperti
Tama kembali menemui Riti dan ibunya di rumah sakit yang menjadi rumah mereka. Sementara itu Jasin sudah kembali ke perusahaan dan menenangkan semua pemegang saham. Lalu, ia menyelesaikan masalah di sana satu persatu. Tentu saja ia bekerja sama dengan semua teman dan orang-orang kepercayaan Tama, hingga keadaan Grup Unitama dan perusahaan-perusahaan Pratama, kembali seperti semula. Hando sebentar lagi akan mendapatkan jadwal sidangnya, dan sudah dipastikan hukuman seumur hidup yang akan diterimanya. Kerusakan yang dilakukannya di berbagai tempat, juga memberatkan pasal-pasal yang dituduhkan padanya. Demikian juga Sony ia mendapatkan pengadilan juga, tapi ia tidak di hukum dengan hukuman seumur hidup. Ia mendapatkan hukuman 20 tahun penjara. Wisa sangat bersedih, karenanya, secara tidak sengaja wanita itu mengucapkan kekhawatirannya, “Sony, Bagaimana kalau kamu dihukum selama itu Bagaimana jika terjadi apa-apa denganku dan anakmu Listi?” katanya sambil menangis. Dari
“Kalau begitu, aku tarik kata-kataku kalau dia baik!” kata Riti dan Tama tertawa.“Tidak boleh bilang laki-laki lain itu baik, kecuali aku, oke?” kata Tama sambil mencium istrinya.Setelah itu Tama mengajak Dion pergi ke tempat yang pernah ia gunakan untuk menyekap Sony. Mereka pergi diiringi dengan beberapa pengawal Tama. Tentu saja Jasin ikut bersama dengan mereka. Sony terlihat kurus dan luka-lukanya belum sembuh sempurna, masih banyak bekas luka yang diakibatkan oleh pukulan dari Tama. Pria itu hanya diam dan pasrah akan dibawa ke mana pun juga.Tama langsung membawa Sony ke lokasi yang sudah dibagikan, oleh orang tak di kenal yang menghubunginya. Ternyata ia adalah seorang pria bertubuh kurus yang mengaku sebagai adik sepupu ibunya.Di tempat itu mereka merekam pengakuan Sony dan mengirimkannya pada Brawijaya. Tentu saja disertai ancaman.Mereka ingin agar Hando, anak bungsunya itu, mau mengaku dan mengembalikan semua aset milik Tama yang sudah diambilnya. Jika tidak, maka
Keesokan harinya, Tama memuaskan istrinya hingga seharian penuh, dengan berbelanja di kota. Ia membeli apa pun yang diinginkannya. Terakhir mereka menyewa sebuah salon dan memanjakan tubuh hanya berdua dengan pelayanan VIP yang pernah ada.Riti sangat bahagia dan bersyukur dengan kemanjaan yang diberikan Tama. Sungguh, menghabiskan sepanjang sore dengan dipijat, itu hal yang luar biasa. Apalagi ia melakukannya berdua dengan suami tercinta.Mereka selesai dipijat dan melakukan rangkaian pelayanan di salon sampai puas. Baik Tama dan Riti kini terlihat segar kembali, dan acara di akhiri dengan makan malam. Setelah itu, mereka memutuskan untuk menginap di hotel karena besok akan melanjutkan perjalanan menengok Delizah.Keesokan harinya, saat sepasang suami istri itu tiba di kamar Delisa, yang terdapat di sebuah rumah sakit swasta, mereka melihat wanita paruh baya itu, dalam keadaan baik-baik saja. Riti ingin menghabiskan beberapa hari bersama ibu mertuanya dan sang suami pun setuj
“Bukannya kamu mau berhenti peduli? Atau sebenarnya kamu ini terlalu cerdik, sengaja membuat syarat-syarat itu, karena kamu tahu Hando akan membuat kekacauan?” Jasin balik bertanya.“Jas, aku hanya penasaran! Awalnya aku hanya tidak mau keuntungan proyek kita berada di tangannya semuanya! Enak saja dia!”Jasin pergi dari rumah itu dan kembali ke kota seorang diri, demi memuaskan keinginan Tama untuk mencari informasi. Ia juga untuk sementara tidak mengaktifkan ponselnya. Oleh karena itu ia menemui beberapa orang secara langsung. Dari pertemuan dengan mereka, ia tahu bahwa ada beberapa investor yang ternyata akrab dengan anggota keluarga Prapanca. Mereka ini yang memiliki ide untuk menarik uangnya dan mereka tahu bersamaan dengan kejadian Hando yang pergi ke kantor pusat grup Pratama.Mengetahui hal itu, Jasin senagaja makan malam sambil mengikuti salah satu anggota keluarga Prapanca yang mengadakan pertemuan dengan para pemegang saham ini.Jasin mendengar sendiri strategi mereka
“Ibuku itu sama seperti aku! Jadi untuk apa aku berharap pada keluarga itu?”Tiba-tiba perang kesedihan di hati Tama, dirinya dan istrinya tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama dikucilkan dari keluarganya.“Tapi, Tama! Apa kira-kira yang dilakukan oleh ibu dan Dion, saat kalian bertemu sebulan yang lalu?” Jasin berusaha menginformasikan dugaannya tentang, sikap Dion dan Delizah saat mereka bertemu dikuburan Tina.“Memangnya apa yang bisa dilakukan dua orang itu? Baru kemarin kamu bilang kalau Dion itu bekerja menjadi satpam!”“Ya, dia itu bukan satpam biasa, dia seorang informan juga!”“Kenapa baru bilang sekarang?”“Aku pikir itu tidak penting!” kata Jasin sambil mengingat kembali informasi tentang Dion. Tidak banyak yang ia dapatkan, selain informasi tentang tanggal lahir, orang tua, tempat tinggal dan pekerjaannya. Namun, setelah menyelidiki lebih lanjut, ternyata Dion orang yang hampir sama dengan dirinya. Dahulu, mereka juga pernah bekerja sama, tapi kemudian Dion membat
“Apa Ibu dan Ayah masih mengingatku?” tanya Deliza, dengan menahan air matanya sekuat tenaga.Ibunya menghambur dalam pelukannya, mana ada ibu yang rela melihat kondisi anaknya hingga terlihat lebih tua dari dirinya. Delizah tahu jika ilmunya sangat merasa bersalah karena penampilannya itu. “Ibu jangan kuatir aku baik-baik saja aku tidak selama yang ibu kira, selama ini aku sudah bertahan tanpa kalian jadi apa yang aku alami sekarang bukanlah apa-apa!” kata Delizah sambil menepuk bahu ibu yang sedang memeluknya. “Maafkan Ibu dan Ayahmu yang tak berguna ini, yang tidak mampu membela di hadapan kakakmu saat itu!”“Ibu tidak perlu meminta maaf padaku, aku tetap akan menjadi anak ibu untuk selamanya! Sekarang lihatlah, mungkin kita tidak akan lama lagi kembali bersatu seperti dulu, kita hanya perlu menyelesaikan masalah ini bukan?”Sang ibu mengangguk dan mengusap air matanya, setelah itu Deliza melambaikan tangan. Ia dan Dion terus berlalu, sambil mendorong kursi rodanya sampai ke
Tanpa sepengetahuan Tama dan Riti, dua orang itu pergi menuju ke rumah keluarga Prapanca.Saat Delizah dan Dion tiba di kediaman keluarga itu, mereka tidak mengalami hambatan yang berarti. Para pengawal yang ada di sana mempersilahkan mereka, karena Deliza dan Dion memakai tanda kebesaran keluarga itu di pakaiannya. Mereka memang orang-orang terbuang dan memilih untuk, keluar dari keanggotaan keluarga terpandang. Namun, bukan berarti kedua belah pihak saling melupakan. “Sudah aku duga, kalian akan datang ke sini juga pada akhirnya!” kata Prapanca, ia muncul setelah dua tahunnya menunggu satu jam lamanya. Namun, Deliza dan Dion merasa lega karena orang tua itu, akhirnya mau menemui mereka setelah sekian lama.“Kakek! Haruskah aku berlutut padamu, untuk meminta maaf atas kekeliruanku?” kata Deliza.“Ya! Memohonlah dan berlututlah!” kata Prapanca.Deliza berlagak begitu kesulitan turun dari kursi roda, hingga dua orang pengawalnya membantunya untuk, bisa berlutut dengan posisi
Setelah kedatangan Dion hari itu, Tama dan istrinya pergi ke kota di mana ibunya berada. Namun, setelah sampai di sana para penjaga mengatakan jika ibunya sedang berkunjung ke rumah keluarganya. Riti khawatir jika ibu mertuanya pergi ke keluarga besar Prapanca. Sehingga ia mencoba menghubungi Dion untuk menanyakan kebenarannya.“Halo! Dion, apa kamu tahu, ibu Deli pergi ke keluarga Prapanca?” “Aku tidak tahu, aku belum siap mengatakan semuanya pada Bibi Deliza!” Kata dion dari balik telepon.“Jadi kamu belum menemui Ibu Deliza?” “Riti, seharusnya kamu dan suamimu lah yang harus mengatakan secara langsung pada ibu mertuamu itu! Bilang padaku kalau kamu menemuinya aku akan datang juga!”Sementara Tama masih mencoba menghubungi ibunya tapi tidak bisa juga.Akhirnya Rity mengusulkan agar mereka pergi menengok makam ibunya. Kebetulan ia sudah lama tidak ke sana. Laki-laki itu pun setuju dan langsung mengadakan perjalanan ke pemakaman Ibu mertuanya. Tak lupa mereka membawa rangk