Semoga suka
Mira membuka matanya, ia menyadari dirinya ada di rumah sakit. Saat ia mengedarkan pandangannya, ada Aron di sana yang sedang bicara dengan dokter. "Pak...." "Mira?!" Aron dan dokter itu menyadari pergerakan Mira dan langsung menoleh. "Gimana perasaannya?" tanya dokter itu pada Mira. "Agak pusing dan mual, saya kenapa Dok?" tanya Mira. "Anda salah satu korban dari kecelakaan beruntun di Perempatan YXY," ujar dokter. "Untunglah kamu mengalami luka ringan, yang lainnya harus dirawat dengan luka cukup parah bahkan ada 3 yang meninggal." Mira terkejut, "Ya Allah...." gumamnya. Mira mengangkat tangan kanan dan kirinya, tangan kanannya diinfus dan tangan kirinya terdapat perban tetapi masih bisa digerakan. Artinya tidak ada luka serius. Kakinya juga bisa digerakan dengan normal. "Udah kamu istirahat aja dulu, Dea dan Juna mau ke sini katanya." Mira jadi ingat kejadian tadi pagi, tetapi ia harus terlihat biasa saja. "Saya pulang kapan?" tanya Mira. Aron menghela napas mendeng
"Aku... gak bisa bilang. Tapi mungkin kamu bisa tanya ke Papi kamu," ujar Mira. Benar apa yang dikatakan Mira, Dea harus bertanya langsung pada sang ayah. "Fyi, aku juga ragu... tapi aku memilih percaya karena aku suka sama Papi kamu." Dea hanya menghela napas, karena harus menanti jawaban yang membuat ia sulit tidur. "Apa lo terbiasa melakukan hal yang bahkan lo raguin?""Hem... nggak juga sih, tapi mungkin karena aku juga butuh Papi kamu, jadi aku mau.""Berarti lo nggak beda jauh sama teman-teman gue yang jadi Sugar Baby dong, karena butuh."Mira agak terkejut dengan kata-kata itu, tapi kemudian Dea langsung tertawa dan berkata."Haha... cuma bercanda, Mira."Mira pun ikut tersenyum, sebenarnya ia agak tidak enak dengan candaan seperti itu.Ia jelas berbeda posisinya, berbeda metode, dan tujuannya. Mentalnya tidak secetek itu untuk menjual diri hanya untuk menghasilkan banyak uang dari para Om-om yang mungkin sudah beristri dan punya anak."Sorry kalau nyinggung, soalnya bany
"Kamu tahu jilbab yang dia pakai setiap hari?"Juna bingung, "Kenapa jadi Jilbab?""Diem dulu... itu jilbab yang udah biasa dia pakai ke kampus dan kemanapun, harganya itu murah banget. Cuma Rp 35.000 yang di toko online itu loh."Juna paham dan hanya manggut-manggut mendengarkan cerita istrinya tanpa menyela atau mengalihkan pandangan."Nggak cuma itu, pas aku ajak belanja ke Mall... dia bener-bener nggak ngerti sama yang namanya brand bagus. Dia selalu asal ambil dan cari harga paling murah, padahal aku udah bilang dia punya Blackcard yang bisa dia gunain seberapapun dia mau. Tapi dia terus ragu, seolah kalo dia pake itu, Papi bakal minta balikin.""Papi kamu bukan orang yang seperti itu, kan Sayang?" tanya Juna."Iya makanya, aku udah jelasin ke dia. Eh dia masih aja ngerasa begitu..."Juna masih mendengarkan dengan seksama, entah kenapa Dea terlihat sangat segar saat gibah.Kata dokter kandungan, ia harus berperan sebagai pendengar yang baik agar mood Dea senantiasa terjaga, itu j
Keesokan harinya, hari Sabtu dan Juna harus bekerja seperti biasa. Meninggalkan Dea yang masih galau soal informasi yang suaminya berikan padanya. "Dea!" panggil sebuah suara. Dea langsung menoleh dan mendapati Mira sedang berjalan ke arahnya sambil membawa nampan berisi sepiring cookies, dan teko berisi teh juga dua cangkir kodong. "Dari tadi aku panggil, kamu ngelamun. Ngelamunin apa?" tanyanya. Dea menggeleng dengan senyum cerah, "Nothing." "Bawa apa lu?" tanyanya. Mira duduk di sofa samping Dea yang ada si ruang keluarga itu. "Cookies. Kamu suka coklat kan?" "Hehe tau aja... gue cobain." Mira melihatnya dengan harap-harap cemas. Ia baru mencoba resep baru soalnya, jadi takut tidak cocok dengan lidah Dea. "Wah... rasanya enak!" ujar Dea berbinar "Alhamdulillah kalo kamu suka," ujar Mira. "Ini resep baru soalnya." "Lo pake coklat Silverking ya?" "Hehe iya, kamu suka coklat merk itu kan? Kata kamu pas cobain coklat merk lain gak cocok meskipun harganya ja
" Aduh badanku pegel banget!" keluh Dea. "Kan dokter udah bilang buat hati-hati kalau mau kayak gitu! Tapi kamu malah gak selesai-selesai...." "Iya, maaf ya Sayangku. Nggak lagi kok, aku kelepasan. Nanti kita kontrol ya," bujug Juna memeluk istrinya erat. "Hemm... pokoknya kamu harus kasih hadiah yang beda dari yang lain." Juna pun mengangguk di leher telanjang istrinya, "Iya, Sayangku. Apapun buat kamu." Mereka masih di atas kasur karena baru bangun setelah melakukan permainan semalam. Jadi semalam ketika Juna masuk ke dalam kamar mandi, mereka mandi bersama dan melakukan hubungan intim. Meskipun tidak sabaran, Juna masih ingat bahwa istrinya sedang hamil jadi ia melakukannya dengan berhati. "Terus nanti ke mana lagi?" tanya Dea."Ya di sini aja lah, Sayang, kita nikmati semua fasilitas yang ada.""Iiiih! Aku kan pengen keluar," ujar Dea merengek."Nggak bisa, Sayang. Kamu kan lagi capek, udah gitu besok juga kamu bakal capek lagi karena ada acara 7 bulanan kamu."Dea cemberut
Usai acara 7 bulanan dan semuanya kembali lagi seperti semula. Aaron pun pulang sebulan setelah acara 7 bulanan itu. Hari berikutnya Juna memaksa Aron untuk bicara secara pribadi dengannya. Kpergian Aron yang lama membuat Juna sangat kesal dengannya. "Anda tidak bisa diajak kerjasama!" tekan Juna. Ia sudah diujung kemarahannya, tidak bisa dibilang situasinya tidak serius kalau Juna sudah menampilkan wajah itu. "Oke..., tapi kenapa kamu mukanya kayak gitu banget? Istri saya aja, saya tinggal sebulan lebih nggak apa-apa, kok malah kamu yang sewot?" ujar Aron bercanda. Juna tersenyum tipis, sangat tipis seolah bibirnya hanya membentuk garis. "Anda dan istri Anda tidak dalam hubungan romantis, jadi jangan berpura-pura di hadapan saya." Aron mengangguk, "Oke, oke. Katakan apa yang membuatmu kesal." Mereka duduk di kantor Aron, di sebuah sofa yang berhadap-hadapan dengan dibatasi meja kecil. Ruangan dengan dominasi warna gelap itu membuat mereka seolah menyatu dengan ke
Aron hampir saja memanggil Mira di kamar mereka, saat tak sengaja mendengar suara Mira di teras kamar. Saat ia akan mendekat, Mira mengatakan sesuatu di telpon. "Astaghfirulloh, Bu. Aku ngumpulin duit 10 juta dari kerjaanku sendiri, gimana bisa Ibu pake untuk ngutangin orang dan bayar hutang yang gak aku tau. Kenapa Ibu gak ngomong sama aku, malah hutang ke rentenir!" ujarnya bergetar. Ia seolah ingin menangis atas kekecewaan yang ia telan sendiri. "Ibu kebangetan, aku percayakan ke Ibu uang 10 juta untuk usaha, bukan untuk bayar hutang. Kalo Ibu pake buat usaha, bisa dapet setidaknya lebih dari itu, bisa 'nyaur' utang pelan-pelan, Bu..." "Kamu kan punya suami kaya, Nduk. Bisa minta ke dia." "Aku udah cerita ke Ibu, pernikahan kami adalah kontrak kerja. Gak ada yang namanya dia berkewajiban nanggung beban aku juga, aku cukup tau diri, dia Bosku, bukan suami seperti yang lain." Tak lama, tangisnya pun pecah. Nyes! Seolah ada Lahar Panas yang mengalir di hati Aron, ia
"Mohon maaf, Pak. Mobilnya sudah siap," ujar Yuda--sopir Aron. Aron menangguk, "Kamu pulang saja dulu, saya nginep di sini." Yuda melihat ke arah ranjang di ruang VIP itu dan mengangguk sebelum pergi. Mira sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Awalnya, Aron hanya ingin membiayainya untuk pemeriksaan saja, tapi mendengar penjelasan Perawat ia jadi tak mood untuk pulang. Entah kenapa, ia yang biasanya tak perduli dengan orang lainlain, jadi bersimpati pada gadis itu. Gadis yang seumuran putrinya, musuh dari putrinya yang dulunya adalah sahabat terbaik putrinya. Dulu saat konflik antara Mira dan Dea, Aron tidak ikut campur dan berpihak pada anaknya. Tentu saja, sebagai orang tua. Dea tidak mau mendengar penjelasan Mira yang berusaha datang dan menunggu di depan gerbang sampai malam. Maka pertemuan terakhir Aron dan Mira adalah, ketika ia pulang kerja dan Mira tertidur di posko satpam Mansionnya. Waktu itu para satpam khawatir dimarahi, tapi Aron justru meminta mer
Mira keluar dari kantor saat tiba-tiba mobil mewah yang sangat ia kenali, berhenti di depannya, membuatnya dan orang di sekitarnya kaget. Lalu, kaca mobil dibuka dan memperlihatkan Yuda--sopir Aron yang tersenyum padanya. "Silahkan naik, Nyonya." "Lah Evi (opir Mira) kemana?" tanya Mira. "Sudah pulang, Tuan yang nyuruh." Mira kemudian mendekat dan melihat ada Aron yang duduk di kursi penumpang dengan ekspresi datar. Hal itu membuatnya bingung, tapi ia juga tak bisa menolaknya. Dibukanya pintu samping sopir dan ia duduk di sana, mengabaikan tatapan Aron yang jelas tak suka ia duduk di samping Yuda. "Nyonya... itu..." "Sssstttt, jalan!" perintah Mira. Yuda melirik Aron dari kaca tenah dan melihat sang majikan mengangguk parah. Sepertinya mereka sedang ada masalah, yang membuat Nyonyanya tak mau duduk bersama sang Tuan. Padahal biasanya mereka sangat menempel, tapi sebagai sopir Ia hanya bisa fokus menyetir dengan kondisi tertekan. Bagaimana tidak tertekan? B
"Kita harus kerja sekarang kan?" Aron mengeryit, "Di situasi ini?" Ia sungguh kaget, pembicaraan ini amat penting, dan sekarang Mira masih memikirkan kerja? "Aku akan teat dan akan dapat masalah," ujar Mira panik. Alih-alih menunggu suaminya bicara, ia segera masuk ke kamar mereka dan mengambil batang-barang yang harus ia bawa ke kantor. Aron kebingungan, tapi Mira terlanjur heboh sendiri dan minta dintarkan ke kantor pada sopirnya. Pada saat itulah, Aron merasa apa yang ia lakukan tidak mempan untuk Mira. Yah, Mira bukan perempuan bodoh, tapi ia hanya belum bisa menerima. Ia pun akan mencoba mengerti, jika seperti itu hasilnya. ••• Dea tadi malam memang sudah memberikan testimoni pada Mira tentang ayahnya Ia bukannya mau ikut campur, tapi ia ingin membantu ayahnya sedikit-sedikit. Makanya ia cukup banyak menceritakan tentang ayahnya pada Mira. Saat ini, Dea sudah agak senggang dan membuka ponselnya karena Baby Adam sudah tidur. Akan tetapi, ayahnya menelpon dan
"Jangan tinggalin aku!" gumam Aron dengan isak tangisnya. Mira tambah bingung, "Apa yang kamu maksud? Ninggalin apa?" tanyanya. Aaron kemudian melepas pelukannya pada Mira dan menatapnya. "Kamu nggak ninggalin aku kan?" Mira mengeryit bingung, "Maksud kamu? Lah aku kan cuma nginep di tempat Dea." "Kukira kamu gak bakal pulang karena masih marah sama aku. Aku takut kamu pulang lagi ke kampung," ujarnya dengan suara yang agak kekanakan. Jujur di sini Mira merasa bingung, apakah ini suaminya yang biasanya berwibawa, ia tampak seperti Kucing manja sekarang. Mira pun menghela nafas dan menggeleng. "Enggak kok, aku gak akan pergi sebelum nyelesein masalah kita." "Tapi kamu tetep pergi?" "Tergantung kamu," balas Mira sok cuek. Padahal ia hampir kelepasan ketawa gara-gara kondisi muka Aron terlihat seperti balita yang takut ibunya pergi. Saat Aron ingin membalas lagi, Oma menyarankan agar mereka duduk dulu. Lalu, mereka pun menurut dan berjalan menuju sofa. Mira dud
Mira merasa hatinya mulai mengeras, ia sulit percaya pada suaminya lagi. Ia takut, bahwa cintanya juga akan pudar. Ia mengirimkan pesan pada suaminya karena ingin menginap di Mansion milik Dea. Mira || Mas, ijin nginep di tempat Dea ya Aron || Kenapa? Aku mau ngobrol loh Sayang Mira || Besok aja, sekarang aku mau sama Baby Adam Menunggu cukup lama selama 5 menit, baru Aron membalas lagi. Aron || Ya udah gak papa, semoga mimpi indah Mira mendengus, "Manis banget kamu Mas," gumamnya kecewa. Ia masih kecewa dengan keadaan ini, di mana ia bahkan tidak bisa membayangkan kalau suaminya memang berselingkuh dengan Julia. Dea menatap Mira dengan prihatin, "Papi bilang apa?" "Dia mau ngobrol sama ku, tapi aku mau sama Baby Adam dulu." Dea pun mengangguk-angguk saja. Ia tak ingin membuat mood Mira turun. Ia yakin Mira dalam kondisi yang tidak membutuhkan nasihat, ia hanya butuh jeda jntuk bertemu Aron sebelum menghadapinya lagi. Menghadaoi orang yang membuat kita kecewa
Mira akan tetap berada di sendiri aja bahwa suaminya harus berusaha membuktikan bahwa ia tidak bersalah Ia merasakan trust issue dengan orang kaya seperti suaminya. Awalnya ia berharap bahwa ada titik terang, tapi ternyata Aaron juga berpotensi untuk menuju ke arah suami tidak setia. Lagian wajar sih, banyak cewek di luaran sana yang tertarim dengan Aron, tertarik untuk menikmati uang atau bahkan tubuhnya. Ia pernah diberitahu Dea, bahwa ayahnya pernah hampir diperkosa, ada juga yang terang-terangan meminta disetubuhi oleh suaminya secara gratis. Ia jadi merasa tambahsesak ketika mengingat fakta itu, ingin rasanya menangis. Ia tidak rela kalau harus membayangkan suaminya bercinta dengan perempuan lain, bayangkan kalau tangannya menyentuh entah bagian tubuh perempuan yang mana, atau perempuan mana saja yang ia sentuh. Ia tidak rela, dan terus merasa frustasi dengan itu. ••• Hari ini katanya Aron akan bertemu dengan Julia, sementara dirinya memilih pergi ke tempat Dea
Mira begadang semalaman, dan memikirkan apa yang dikatakan Dea. "Masuk akal...." gumamnya. Apakah mungkin aktivitas yang dilakukan Aron dan mantan istrinya itu, dilatarbelakangi dari kebutuhan batinnya yang tidak terpenuhi dari istrinya sendiri? Itu bisa sejalan sih, tapi Mira tidak yakin kalau Aron orang yang seperti itu. Jika memang Aron ternyata orang seperti itu, dan ia tidak tahu aslinya. Ia akan sangat hancur. Ia merasa bodoh, atau bisa jadi Aron terbiasa dengan itu dan tidak bisa sembuh. Suaminya bisa saja terbiasa melampiaskan kebutuhannya itu, pada para pelacur atau orang-orang random yang mau berhubungan badan dengannya, yang sama-sama terbiasa dengan aktivitas seperti itu. Ditambah lagi, Aron punya modal fisik yang sulit ditolak. Sangat langka untuk ukuran pria yang tampan tapi tidak doyan selingkuh, presentasenya sekitar 1 banding 10? Mira tidak tau. Biasanya perilaku playboy itu tidak bisa sembuh. Lalu, karena mereka sudah menikah, bisa saja seumur hid
Masalah antara Aron dan Mira tentu saja belum selesai, mereka masih saling diam tapi, Oppa kemudian bicara pada Aron. Mereka bicara di taman belakang, sambil ngopi dan menikmati sore yang tenang. Hari itu, Aron memang pulang lebih awal seperti biasa, ia tak tenang pergi ke kantor ketika istrinya marah padanya. Ia merasa dihantui rasa bersalah, dan merasa tak berguna. Ia merindukan Mira meski ia bisa melihatnya tiap hari, tapi tak bisa menyentuhnya, memeluknya dan menatapnya dati dekat. Mira selalu menjaga jarak, mengabaikannya dan mencoba mengurangi interaksi. Ini adalah siksaan terbesar untuknya. "Ini tidak boleh diteruskan, Aron," ujarnya. "Aku tau, hanya saja Mira tidak mau bicara padaku Yah," keluh Aron merasa frustasi sendiri. "Aku menerti, kamu kan bisa cari cara agar Mira bisa mendengarkan penjelasanmu. Bukan malah membiarkan dia menghindarimu seperti itu, perempuan memang punya ego sendiri, seperti kita parah laki-laki, sama. Tapi memang, mereka harus dibujuk deng
Malam harinya tiba, Aron menagih apa yang ditanyakan pada istrinya tadi siang. "Sayang, sekarang kamu udah mau cerita kan apa yang tadi aku tanyain ke kamu?" tanyanya. Mira yang baru naik ke ranjang dan bergabung di satu selimut yang sama dengan suaminya pun menghela napas. Ia seolah mempersiapkan semuanya untuk menjelaskan pada suaminya. Mempertimbangkan reaksinya atau akibat dari apa yang ingin ia sampaikan. "Gini..." Aron sebenarnya merasa gemas dengan istrinya yang seolah tarik ulur, tetapi ia paham bahwa ia juga butuh waktu untuk siap, jadi ia sabar menunggu. "Aku... liat waktu itu, kamu sama Maminya Dea ciuman di ruang tamu pas aku baru pulang dari rumah Dea." Deg! Wajah Aron langsung pias, seoolah baru saja ketahuan melakukan kesalahan yang ia sembunyikan, setidaknya itu yang Mira pikirkan. Ia sempat merasa khawatir kalau ternyata itu benar, akan tetapi Aron kemudian langsung berkata. "Maaf, itu salahku. Aku kira kamu gak tau?" tanya Mira langsung. Ia tak bisa men
"Maksudnya, Mami merasa nggak nyaman sama Mira dalam artian karena dia pasangan dari mantannya Mami. Eh... tapi aku paham kok kalau Mami ngerasain hal itu, karena itu kecemburuan yang wajar." Julia terlihat diam saja, seolah ingin menghindari percakapan dengan menatap ke luar jendela yang memperlihatkan taman samping Mansion. "Masalahnya kalau Mami takut aku lebih condong pada Mira, itu salah besar. Karena aku akan selalu menempatkan Mami di tempat utama, sementara Mira meskipun Ia sekarang ibu tiri aku, dia tetaplah sahabat aku. Setidaknya itu yang aku lihat, di mata aku dia adalah sahabatku. Jadi Nami nggak perlu khawatir tentang itu," ujar Dea meyakinkan. Julia masih diam, tapi kali ini terlihat mengangguk pelan. "Hem... coba deh Mami kenali Mira lebih jauh lagi. Dia asik kok orangnya," lanjut Dea meyakinkan sang ibu. Julia pun mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa. Dea pun mengerti, mungkin Julia sedang memikirkan atau mempertimbangkan apa yang ia sarankan. . Sem