Semoga sukaヾ(^-^)ノ
"Sebutkan hal lucu apa yang pernah kamu lakuin?" tanya Aron pada istrinya. Mereka ada di balkon kamar mereka di rumah milik Zaenab dan Lim Gerald--ibu dan ayah Aron alias Oma dan Opa Dea. "Hem..." Mira berpikir sejenak, lalu tertawa sendiri. "Apa?" tanya Aron penasaran. "Aku pernah diajak Dea dulu waktu SMA ke Resto Jepang, terus makan Sushi. Aku baru pertama kali makan Sushi, dan ya... kukira makannya kayak makan nasi biasa. Terus pas aku udah penyek-penyek pake tangan di piring, Dea bilang kalo Sushi-nya langsung dimakan pake sumpit." Mira sudah ngakak, tapi Aron masih diam saja. Sampai sedetik berikutnya ia ikut tertawa, ia tak bisa membayangkan kebodohan Mira saat itu. "Emang kamu se-gak tau itu?" "Iya, aku gak pernah makan masakan Jepang. Ramen aja aku gak pernah makan, cuma tau di buku aja." "Ckckck kamu suka rasanya?" Mira menggeleng, "Lidahku Indonesia banget, makanan luar aku bisa makan tapi kalo ada opsi lain mending yang lain aja." "Berarti kamu gak suk
"Kamu pandai sekali meracik teh, Sayang," pujia Zaenab pada Mira. Mira tersenyum malu, "Tidak juga, Oma..." "Eits!" potong Zaenab. "Mama sudah bilang untuk memanggil dengan sebutan Mama, bukan Oma. Kamu bukan Cucuku lagi, Sayang." Mira tersenyum, "Maaf Ma, aku lupa." "Yah, kamu perlu pembiaan. Tidak apa." Mereka ada di meja makan untuk sarapan. Sarapan makanan seperti biasa di Mansion di Jakarta. Roti dan selai, atau telur. Makanan yang sebenarnya sangat tidak cocok untuk Mira, tapi ia tetap memakannya dengan lahap. Aron pun memperhatikan istrinya dengan seksama, ia melakukannya dengan baik. Akhirnya, ayahnya berhenti menjodohkannya dengan beberapa anak rekan bisnisnya. Lalu, ibunya juga sangat mendukungnya bersama Lina. Soal Lina, ia tak memiliki masalah dengannya. Hanya saja, ia tak bisa. ••• "Enghhh..." lenguh Dea saat merasakan hembusan napas di lehernya. Ia merasa hangat, tetapi ada yang aneh. Saat ia membuka mata, dan ia langsung ingat apa yang sedang
"Tidak bisa Eea, hari ini kamu lembur." "Tapi, Kak." "Sorry Sayang, aku harus profesional." Namun hal yang menyebalkan adalah, Juna tidak membantunya sama sekali saat Naomi mengomel. Sebelum pergi, Naomi memberikan aksesoris lehernya yang diikat pada Dea. "Ini pake, biar gak keliatan," ujarnya. Kemudian ia pergi dari ruangan Juna, meninggalkan Dea yang terkejut menatap aksesoris itu. "Maksudnya apa?" Juna pun memperlihatkan kamera depan di ponselnya pada Dea untuk melihat apa yang terjadi. Saat Dea bercermin, ia melihat di bagian lehernya ada Kissmark. "Juna!" geramnya melihat Juna yang cengengesan. "Hehe, peace!" balas Juna memberi tanda peace. Namun, Dea mendelik dan langsung menjewernya. "Kebangetan kamu!" ••• Dea terus cemberut saat makan siang, pasalnya tadi pagi saat ia ke kantor orang-orang menatapnya dengan tatapan beragam. Ternyata ada Kissmark di lehernya. Bahkan jika Naomi tidak bilang, ia akan membawa tanda itu ke kantin tanpa ditutupi.
Setelah istirahat, ia kembali ke mejanya dan terkejut menemukan satu SMS ancaman lagi. Sebenarnya, teror itu tidak berhenti saat kejadian itu selesai. Sebab, Dea masih mendapat SMS ancaman setiap hari. Bayangkan, ia tak pernah berhutang, bahkan ia yang kadang memberikan pinjaman pada orang lain, tapi ia harus mendapat teror layaknya si tukang ngutang yang tidak mau membayar. Ia mencoba untuk berpikir positif, dan juga menceritakan ini pada Juna. Kemudian, Juna langsung menanganinya. Setelah Juna menanganinya, itu selesai, tapi seminggu berlalu teror itu datang lagi. Dea merasa hal itu datang dari orang yang cukup kuat, entah siapa orangnya tapi Dea jelas tidak bisa menebak, kira-kira siapa orang itu. Melka sendiri, ia tipe orang usil yang lebih memilih action daripada cara pengecut seperti teror ini. Ia benar-benar terganggu dengan itu. "Sayang!" Dea langsung berjingkat kaget dengan bisikan itu. "Apa yang kamu pikirkan sampe melamun gitu, hem?" tanyanya lembut. J
Pagi hari yang cerah bagi Dea, duduk di antara Oma dan Opanya yang paling ia rindukan. Suasana meja makan menjadi sangat hangat, kecuali sudut lain di mana Mira dan Aron terlihat sibuk sendiri dengan obrolan mereka. "Oma gak sabar bangt pingin liat Cicit Oma, bagaimanapun Oma kira kami tidak sampai bisa melihatnya, usia Oma bahkan sudah hampir 70 tahun you know?" Dea pun mengangguk, "Oma akan melihatnya segera." "Yah, asalkan kamu sehat selalu, Oma tenang." "Oma akan di sini lama kan?" tanya Dea berharap. "Yah, selam seminggu." "Kok cuma sebentar?" tanya Dea tak suka dengan situasi itu. "Gimana lagi, Oma harus kembali lagi kan?" "Gak harus, Oma dan Opa bisa tinggal di sini. Sampai aku melahirkan," rengek Dea. "Opaaaaaa!" bujugnya berganti pada sang Opa. "Kami akan kembali lagi saat kau melahirkan, jadi kamu tidak perlu khawatir, Sayang." Dea pun cemberut tetapi ia mengangguk setuju. "Enggak papa deh, pokoknya selama seminggu di sini, Opa dan Oma harus quality
Saat Dea dan Mira masih jadi sahabat; "Lu suka sama Bokap gue?!" tanya Dea remaja heboh. Mira remaja dengan senyum malunya mengangguk, ia baru saja mengungkapkan perasaannya pada sahabatnya tentang rasa sukanya pada Aron--ayah dari sahabatnya. "Ya siapa sih yang nggak suka sama Bokap lu? Kan elu sendiri yang cerita kalo banyak temen lo yang udah ngefans sama Bokap lo dari TK. Mereka nempelin bokap lu meskipun ... ya cuma ngefans doang." "Iya itu kan ngefans, beda ama lo yang bucin." "Ya anggap aja rasa suka gue ke Bokap lu cuma ngefans doang.""Gue bingung kenapa sih orang tuh pada suka sama Bokap gua, kan dia tuh udah tua.""Udah tua tapi masih cakep, why not?""Ih, why not, why not apaan. Lu liat aja Bokap gue itu udah 30an ke atas, udah Om-om! Selera lu liar juga ya.""Terserah lu mau bilang apa, gue juga nggak ngerti kenapa gue selalu naksir sama orang yang jauh lebih tua dari gue. Gak cuma Bokap lu aja, kalau gue ngefans sama artis juga gue bakal lihat orang yang minimal u
Setelah sang Oma mengobati luka Mira, Dea ingin pergi tapi sang Oma malah memanggiknya dan menyuruh Mira untuk istirahat ke kamar. Oma Zaenab menuntun cucu tersayangnya itu untuk duduk. Bagaimana lagi, Dea cucu perempuan satu-satunya. Cucu Oma Zaenab yang lain semuanya laki-laki. "Dea...." Dea terlihat ragu untuk menatap Omanya, tapi sang Oma hanya tersenyum dan menepuk pangkuannya. Maka dengan ragu, Dea tidur di pangkuan Omanya yang sejak kecil suka melakukan itu padanya. "Oma udah kangen sama sikap manja kamu loh." Dea terkejut dengan ucapan neneknya itu, ia kira neneknya akan marah, apalagi ia tidak meminta maaf pada Mira. "Oma kira setelah kamu pulang kamu bakal manja-manjaan sama Oma, eh malah kamu mau istirahat dulu. Apa kamu capek?" Dea segera tersadar, "Eggak sih, Oma. Cuman ya ... gitu." Oma pun tersenyum tenang, "Nggak apa-apa Sayang, Mira juga kelihatannya nggak masalah." Dea pun mengangguk, tetapi melihat ekspresi Omanya yang berubah sendu membuat Dea b
"Dia masih sama seperti dulu, dia yang patuh, tulus, dan selalu memikirkan kamu." Tentu, Dea merasa bahwa kata-kata Omanya tidak benar, tapi Omanya segera menegaskan. "Oma tahu kamu nggak percaya dengan itu, tapi S suatu hari nanti kamu akan ngerti kenapa akhirnya Oma masih setuju dengan pernikahan Mira dan Aron." Dea agak bingung dengan kata-kata itu, lagi-lagi ia harus menjadi pihak yang tak tau apa-apa. Mereka ingin menutupi alasan di balik pernikahan ayahnya dan Mira. "Papi terlihat cinta sama Mira." "Iya, kalau itu udah jelas, Sayang." Dan percakapan tentang Mira sampai di sana saja, karena Omanya langsung membahas soal perencanaan konsep pesta ulang tahun dari Aaron. ••• Sayang sekali, Dea harus menahan diri untuk bekerjasama dengan Mira yang ia benci. "Tulus apanya, dia bahkan penuh dengan tipu daya...." gumam Dea melihat bagaimana tingkah pick me Mira. Kini, Dea, Oma dan Mira duduk di sofa berjejeran untuk melihat katalog dari Tim WO untuk mengurus ulangt
"Adam Victorius Sanjaya," jawab Juna. "Gak nyambung," ujar sang ayah. "Aku pingin Adam nanti tau bahwa dia terikat oleh dua keluarga yang bahagia," ujarnya. Tanpa mereka sadari, itu sindiran untuk orang tuanya agar lebih perduli lagi padanya dan Dea, bahwa ia memilih Dea bukan untuk dinilai oleh kedua orang tuanya. "Bagus," ujar Aron. "Ya, keren banget sih," ujar Mira mendukung. Sementara itu Baby Adam terlihat menggeliat di pelukan sang nenek--ibu Juna. "Keliatannya Baby Adam setuju?" ujar Dea terkekeh. "Iya dong, jagoan Papa gitu!" ujar Juna. Ia langsung mencium pipi outranya dengan sayang, tetapi ditegur oleh ibunya karena ia terlalu brutal. "Masih bayi, Juna. Kamu tuh, kek bocil." "Maaf, Ma... gemes soalnya." Mereka semua tertawa melihat itu. Di balik kebahagiaan itu, Mira merasa harus keluar karena ia tak ingin orang-orang melihatnya menangis. Ia sangat senang, tapi juga sedih. Perasaan bercampur itu membuatnya merasa tak karuan. ••• Keesokan harinya,
Dea langsung dilarikan ke rumah sakit untuk melakukan persalinan, Aron dan Mira juga ikut ke rumah sakit mendampingi. Juna ikut masuk ke dalam untuk menjaga Dea, lalu Mira dan Aron duduk di kursi tunggu yang ada di luar. "Sepertinya, ini udah selesai ya Pak," gumam Mira. Aron terkejut dengan kata-kata Mira, ia tersenyum menatap ruangan tertutup itu. "Selesai apa maksud kamu?" "Kontrak kita sudah selesai kan? Dua minggu lagi," ujarnya. Aron yang awalnya mengkhawatirkan putrinya, jadi teralihkan. Ia diam tidak menanggapi, entah kenapa ada bagian dari hatinya yang sakit mendengar pernyataan itu. Betapa ia tak pernah membayangkan ini terjadi dementara hatinya sudah tertambat untuknya. . Di dalam sana, Dea sedang berjuang, mempertaruhkan nyawa demi seorang makhluk yang akan memanggilnya Ibu atau Mama. "Sakiiiiit!" teriaknya lemas. Anak mereka belum juga keluar, melihat bagaimana Dea yang sudah lemas, maka dokter menyarankan untuk Caesar. Dea menolak, tetapi Juna sa
Yuni berusaha mengintip tapi Mira menyembunyilannya, ia membacanya sendiri setelah berhasil ngumpet di salah satu pohon. _ ' _ Dear, Istriku. Hadiah ini untukmu, selamat ya sudah berjuang sejauh ini. Kamu hebat banget! Dari, Mr. M alias suamimu _'_ Mira mendelik, "Dari Pak Aron? Kok Mr. M?" gumamnya. Kemudian ia berpikir, tulisannya terlalu romantis untuk seorang Aron yang kaku. "Oh pasti Dea yang mesen," ujarnya langsung paham. Ia segera mengantongi surat ucapan itu dan keluar dari persembunyiannya. Yuni kesal karena kepo yang memuncak, tapi akhirnya melupakannya dan memilih untuk foto-foto bersama teman-temannya. Saat Mira akan pulang dengan jemputan mobil seperti biasa, ia terkejut ketika sang sopir mengirim pesan kalau ia akan pulang bersama Aron dan Dea. Tak lama kemudian, di seberang jalan tempat ia berdiri terlihat mobil sport milik suaminya dan masuklah pesan dari Dea, kalau mereka sedang menunggu di sana. Mira terkejut, tetapi ia langsung menatap se
"Sayang," panggil Juna. Dea pun berbalik dan meyakinkan suaminya. "Aku sama Papi, oke?" Juna pun akhirnya setuju, ia tak bisa apa-apa kalau Dea sudah sesenang itu. . Dea dan Aron datang ke kampus dan membuat semua orang langsung menatap mereka. Tentu saha, siapa yang tidak tahu Dea dan Aron, donatur terbesar kampus dan anaknya yang merupakan influencer. Apalagi tampilan Dea yang sedang hamil besar, ia memakai dress baby pink dan Aron menggunakan batik coklat tua dan hitam yang kelihatan sekali mahal. "Ini akan jadi berita ngawur Sayang," ujar Aron berbisik. "Ssstttt, Papi ikut aja gak usah bawel." "Padahal kamu yang bawel," balas Aron. "Papiiiii...." Aron pun rekekeh dan membiarkan Dea menggandengnya menuju ke ruangan yang katanya ruang sidang. Namun sebelum mereka sampai, di tikungan koridor fakultas, mereka malah ketemu dengan Rektor dan dihentikan di sana. "Selamat Pagi, Pak Victorius. Apakabar?" sapanya. Pria bertubuh gemuk dengan kacamata bulat itu c
Aron menoleh ke arah suara, siapa lagi kalau bukan putrinya? "Kamu juga, tuh!" Ia menunjuk leher putrinya dengan dagunya, itu kissmark. Dea langsung membuka ponselnya dan berkaca, ternyata benar ada kissmark. "Hem, biasa... btw, Papi udah begituan kan sama Mira?" Deg! Aron terdiam, jangankan begituan, dipeluk saja Mira kakunya minta ampun. Bisa-bisa ia marah kalau sesekali meminta jatah. Lagipula, tujuan mereka menikah bukan untuk bisa begituan, artinya ia harus bersahabat dengan sabun selamanya. "Dari muka Papi sih belom, ngenes banget." Aron menatap putrinya dengan kesal, ia sudah terbiasa dengan itu tapi pembahasan ini melukai harga dirinya. "Mau aku bantu?" goda Dea. Namun, ia serius menawari ayahnya. Kini tatapan Aron menjadi tatapan penuh harap. "Aku bakal bikin kalian jadi pasangan so sweet tiap hari. Tapi ada harganya...." ••• Tentang masalah berita itu, Aron seperti biasa membereskannya. Akan tetapi Dea masih melihat bahwa Juna tak lagi bisa b
Mira tertidur di sofa ruang keluarga usai mengobrol dengan Dea, untunglah tak lama kemudian Aron pulang. "Mira!" panggilnya pelan. Akan tetapi, Mira tidak bangun. Ia seperti terlihat sangat nyaman dengan tidurnya, padahal tidur di sofa tanpa adanya selimut. Tak tega melihat itu, Aron pun ke kamar mengambil selimut untuk Mira. Kemudian ia duduk di samping Mira, entah kenapa ia melakukan itu, jelas bukan terlihat seperti ia yang biasanya. Hari ini, rasanya terasa lebih berat dari biasanya dan ketika melihat Mira, hatinya terasa tenang. Apakah ini yang dinamakan istri solehah yang membawa ketenangan? Ia jadi teringat dengan percakapannya tadi dengan Juna. Juna memutuskan untuk menjadikan bukti yang dibawa olehnya sebagai salah satu opsi, tetapi ia masih akan berhati-hati dengan Mira. Maka Aron juga tidak bisa memaksa Juna untuk percaya pada Mira, itu keputusannya. Saat ini pun, ia tidak yakin dengan apa yang ia lakukan. Entah alasan apa yang membuatnya sangat mempercay
Siang yang cerah itu nyatanya terasa mendung bagi Dea, ia sangat emosi dengan apa yang ia lihat di berita. Di berita itu tertuls, tentang fakta kalau Dea diteror telah bocor ke publik dan diduga pelakunya adalah Mira. "Lo gila sih kalo masih biarin dia ada di rumah lo, lo melihara musuh!" ujar Rani. Jadi Dea menemui Rani untuk informasi itu, kini namanya tengah trending, sementara selama 3 bulan ini ia jarang membuka media sosial, lebih banyak main game atau melakukan kelas kehamilan yang membuat kegiatannya berkutat hanya pada kehamilan dan Skripsinya. Ia sangat kecewa, tapi apa ia harus menanyakan itu pada Mira. "Gue pulang sekarang!" "Tunggu, De!" Dea menghentikan langkahnya, "Gue cuma mau peringatin lo sekali lagi karena gue pure perduli ama lo. Gue harap, lo jangan masuk ke lubang yang sama lagi. Percaya sama orang yang salah." Setelah itu, Dea benar-benar pergi dari sana dengan pikiran yang penuh dengan kecemasan. Saat ia sampai di rumah, ia melihat Mira seda
"Em... ya gaklah. Aku cuma tiba-tiba kepikiran, kamu tau kan latar belakangku?" Dea mengangguk saja. "Wajar, tapi jangan dipelihara.""Iya.""Btw, Papi bener-bener cinta sama lu. Sayang banget, cuma... dia emang orangnya gitu gak bisa menunjukkan kecintaannya."Mira agak ragu, ia hanya tersenyum tipis. Ia tak punya waktu untuk membicarakan hal yang bernama cinta.Pikirannya terlalu sibuk untuk memikirkan keluarga, pekerjaannya, dan juga misi utamanya di sana."Dia bahkan minta gue buat nemenin lo ke toko perhiasan, karena kemarin dia gak beliin buat lo."Mira terkejut, "Masa sih?" "Kok lu keliatan pesimis gitu? Beneran! Makanya aku baru kepikiran, kenapa gak beli custom aja?"Mira tak mengerti, "Gimana maksudnya?""Papi biasanya ngebiarin Mami beliin perhiasan yang cuma dibuat 1 kali aja, itu khusus.""Pasti mahal.""Lagi dan lagi, omongan lu gak jauh-jauh dari mahal. Lagian ya... wajar kali seorang Nyonya Victorius punya barang limited edition. Bahkan kalo gak punya, aneh banget
"Dia cuma bilang agar aku hati-hati aja kalo pergi sama kamu, gitu." Dea terkejut, "Dia segitunya..." "Memang ada apa sih?" tanya Mira balik. "Gue semalem ijin mau pergi sama lu, atas permintaan Papi. Eh malah dia bilang gitu ke elu?" Mira mengangguk ragu, ia harus bilang apa. Ia hanya asal mencari alasan tadi. Setelah itu mereka melanjutkan percakapan lain, karena tidak enak dengan suasananya. "Gue nggak tahu kenapa semuanya jadi rumit kayak gini, tapi karena emang udah terlanjur kayak gini, nggak ada hal lain yang perlu gue takutin kan?" Mira mengangguk ragu lagi, ia tak paham arah pembicaraan Dea ke mana. "Setidaknya ada lu, Papi, dan Juna, menurut gue udah cukup sih, nanti ditambah anak kami." Mira mengalihkan pandangannya dengan senyum tipis menatap kolam. Tatapannya sendu seolah tak berujung. Dea jadi tak enak, apa kata-katanya membebaninya? "Pokoknya, gue seneng akhirnya Papi bisa buka hati buat orang lain. Gue juga udah relain kok kalo Nyokap Tiri gue buk