Setelah hendra menanda tangani surat persetujuan, Anjani segera dibawa ke ruang operasi. Dokter akan segera melakukan tindakan pada Anjani hari ini. Hendra mondar mandir di depan ruang operasi."Semoga saja cucu dan menantuku selamat," gumamnya berdoa.Tak berselang suster ke luar ruangan dengan terburu buru. Hendra langsung mencegat suster itu."Sus bagaimana operasinya?""Maaf Tuan, pasien kehabisan banyak darah dan membutuhkan transfusi darah secepatnya. Maaf saya harus segera pergi karena keadaan pasien saat ini mengkhawatirkan." Suster itu segera berlalu. Hendra terduduk lemas di lantai. Dia takut terjadi apa apa dengan menantu dan cucunya.***Sementara Mayra yang sedang bersantai di rumah bibinya mendapat kabar dari Ina kalau dia sudah berhasil membuat Anjani celaka.[Halo Nona, saya sudah berhasil menjalankan tugas. Nyonya Anjani mengalami pendarahan hebat karena tergelincir di lantai yang sudah bubuhi minyak goren
"Kita doakan saja semoga Bu Anjani segera melewati masa kritisnya.""Tolong selamatkan menantu saya Dok, saya mohon!" ucap Hendra mengiba."Kami akan mengusahakan yang terbaik Tuan, tapi kembali lagi kita ini hanya manusia yang hanya bisa mengusahakannya."Setelahnya Hendra pamit ke luar. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Revan jika tahu anaknya tidak bisa diselamatkan. Dia lalu melirik arlojinya ternyata sudah sore. Dia belum mengabari siapapun kalau Anjani terkena musibah."Sebaiknya aku kabari Vina saja," gumamnya. Hendra segera menghubungi Vina.[Vin, Papa cuma mau ngabarin kalau Anjani sudah melahirkan.][Oh yang benar Pa? Kok cepat sekali?][Dia terpeleset dan bayinya meninggal!][Innalillahi wa innailahi rojiun. Pa aku akan segera ke sana sekarang!][Iya. Ya sudah ya Papa mau mengurus pemakaman keponakanmu dulu.]Hendra mematikan sambungan teleponnya dan segera mengurus pe
Hendra menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan Revan. "Kamu harus kuat menghadapi kenyataan ini Revan."Alis Revan bertaut, perasaannya tidak enak sejak di pesawat. "Ada apa sebenarnya Pa? Apa yang terjadi pada Anjani?""Anak kalian ... ""Kenapa dengan anakku Pa? Jangan membuatku penasaran!" sahut Revan cepat."Anak kalian tidak bisa diselamatkan," ucap Hendra lirih. Revan limbung tidak bisa menopang tubuhnya. Matanya mulai mengembun."Andai saja aku tidak meninggalkan Anjani seorang diri," ujarnya dalam sesal."Maafkan Papa, ini semua salah Papa Van. Andai Papa tidak menyuruhmu ke luar negeri pasti Anjani dan bayinya akan baik baik saja."Revan memejamkan matanya berusaha menguatkan hati. Dia berusaha legowo menerima takdirnya walau sakit. "Jangan menyalahkan diri Papa sendiri, Papa nggak bersalah. Mungkin memang Tuhan lebih sayang dengan anak kami dan tidak ingin anak kami menderita!" ujar Revan menenangkan
Revan mematung saat Anjani menanyakan anak mereka. Dia tak bisa membayangkan betapa hancurnya Anjani jika tahu anak mereka sudah tiada. "Sebaiknya kamu istirahat dulu saja ya sayang, nanti kalau sudah benar-benar pulih baru bisa bertemu sama anak kita," ujar Revan mengalihkan pembicaraan. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan anakku Mas?" Revan diam, dia tak berkutik ketika Anjani terus menanyakan anak mereka. "Kenapa diam Mas? Kalau kamu tidak mau mengantarku melihat anakku, biar aku sendiri yang ke ruangannya Mas." Anjani berusaha bangkit meski tubuhnya masih lemah. Dengan berat hati Revan akhirnya mengatakan hal yang sebenarnya pada Anjani. "Anak kita sudah tiada!" Bagai disambar petir hati Anjani saat ini. Anak yang telah dinanti kelahirannya kini sudah menyatu dengan tanah. "Enggak Mas kamu bohong... kamu pasti bohong sama aku, anakku sehat Mas anakku masih hidup!" Anjani meraung di pelukan Revan, dia histeris setelah tahu anaknya telah tiada. Mata Revan basah melihat kea
Andre terkesiap dengan penuturan Revan, dia segera meluncur ke ruangan IT untuk memeriksa rekaman CCTV hari itu. Dia melihat seorang lelaki yang mencurigakan menggunakan topeng sedang mengendap masuk ke ruangan Anjani. "Siapa lelaki misterius ini?" gumamnya. Dia fokus melanjutkan melihat rekaman CCTV itu, lelaki itu masuk ke dalam ruangan Anjani dan melepas topengnya. "Aku harus segera mencari tahu lelaki ini." Setelah mendapat petunjuk, Andre langsung mencari identitas lelaki ini. Dia menenangkan kembali ke ruangan Anjani untuk memberi tahu Revan. Revan langsung mencecar Andre dengan beberapa pertanyaan setelah sampai ke ruang perawatan Anjani. "Bagaimana Ndre? Apa kamu sudah menemukan petunjuk?" "Sudah Tuan. Sebentar, apakah Tuan mengenal lelaki ini? tanya Andre seraya menunjukkan rekaman CCTV yang sudah dicopy Andre. "Saya tidak mengenalnya sama sekali Ndre." "Apakah Tuan Revan punya musuh selama ini? Atau memang ada yang sengaja ingin melenyapkan Nyonya Anjani?" "Aku t
"Hahahahahahahaha kamu kan udah tahu alasan saya Jeng masa pura pura lupa?" ucap Linda sambil tertawa. "Hahahahaha saya kira dengan hadirnya cucu bisa membuat hati Jeng Linda luluh," jawab Widya tergelak. "Nggak akan Jeng, saya itu kalau sekali nggak suka ya enggak suka. Saya maunya Raisa yang jadi mantu saya titik nggak pakai koma." "Hahahahaha kamu itu Jeng. Oh iya kapan kita bisa ketemu Jeng? Nggak enak kalau ngobrol lewat telepon!" "Kapan aja longgar kok Jeng, atau kamu ke sini saja sekalian ajak Raisa Jeng." "Ya udah Jeng nanti aku ke sana ya sama Raisa." "Ya udah Jeng kalau gitu aku tutup ya teleponnya. Ditunggu kedatangannya!" "Ya Jeng." Tuttt tutt tuttt Widya mematikan sambungan teleponnya. Widya yang melihat Raisa yang baru saja turun dari kamarnya buru buru mencegatnya. "Sa, kamu ke rumah sakit sekarang?" "Iya Ma, ini mau berangkat." "Meningan ke sana besok aja Sa sekarang lebih baik ikut Mama ke rumah Tante Linda aja yuk," Widya pada Raisa. Raisa
Keesokan harinya, saat Revan sedang menyuapi Anjani sarapan dia mendapat panggilan dari Andre. Andre memberinya kabar jika Alex menyanggupi janjinya bertemu sekitar pukul sepuluh pagi. Dia juga sudah mengantongi identitas lelaki itu. "Baik, segera ringkus dan bawa ke markas Reno. Aku akan segera ke sana." Anjani yang tengah mengunyah makanan seketika menghentikan aktivitasnya."Ada apa Mas? Apa ada masalah?" "Ah tidak ada Dek cuma masalah kantor, biasalah!" ujar Revan berkilah. Anjani hanya ber oh ria saja. Setelah menyelesaikan makan, Revan mencoba bertanya langsung pada Anjani penyebab dia bisa terjatuh. "Dek, kamu mau nggak ceritain awal mula kamu bisa sampai terjatuh?" Anjani menghela nafas sambil menutup mata sebelum memulai bercerita. Dia sedang menyiapkan hati untuk menceritakan hari kelam yang merenggut nyawa bayinya. "Jadi, beberapa hari lalu ada asisten baru menggantikan Mbak Jum, Mas. Mbak Jum sampai saat ini masih belum kembali katanya ada kepentingan. Nah siang itu
Revan tersenyum kecut, dia sendiri juga belum sempat ke makam anaknya karena sibuk menjaga Anjani.“Kalau kamu sudah kuat dan sudah siap, kita ke sana hari ini ya. Sekalian pulang!” ujar Revan sambil mengelus kepala Anjani. Wajah Anjani tampak sumringah setelah mendengarnya. *** Sore harinya Anjani sudah ke luar dari rumah sakit. Dengan hati hati dia turun dari brankar dan berpindah ke kursi roda. Revan segera membawa Anjani ke dalam mobil. “Pak, kita ke pemakaman dulu. Jangan langsung pulang. Bapak tahu kan letak makam anak saya?” perintah Revan pada sopir. “Baik, Tuan saya tahu!” Sesampainya di depan pemakaman, Revan mengajak Anjani untuk membeli bunga yang dijual di depan area pemakaman. Setelahnya Revan bergegas membawa Anjani ke makam anak mereka. “Di sinilah anak kita dimakamkan.” Anjani turun dari kursi rodanya. Dia duduk di samping makam anaknya dan mengelus batu nisannya. Dia menyiramkan air dan menaburkan bunga di atas makam anaknya. “Nak, walau Mama belum sempat mem