"Emas murni dikenali ketika diuji." (Leonardo da Vinci)***Sesaat Aditya tercenung. Ia teringat ucapan Bayu," jika ingin membuka hatinya, kau harus melalui jalan yang sama." Kini ia telah bisa bergandengan dengan Salwa, tetapi mengapa tiba-tiba merasa tidak percaya diri?"Pa, ayo!" desak Salsabila. "Sebentar. Om … mm … Papa mau bicara sama Umi dulu," ucap Aditya."Kok, Umi? Ma … ma," eja Salsabila. Aditya tergelak. "Iya. Papa mau bicara sama Mama dulu, ya."Salsabila mengangguk. Salwa mengiringi langkah Aditya yang keluar kamar. "Tidak apa aku jadi imam kalian? Secara hafalan dan kualitas bacaanku di bawah kalian," bisik Adit. Salwa tersenyum geli. "Setinggi apapun ilmu anak istri, suami tetap jadi imam dan makmum harus menghormati. Kecuali …." Salwa sengaja menggantung. "Kecuali?""Imamnya zalim atau menyuruh bermaksiat kepada Allah."Refleks Aditya menarik tangan Salwa. Sesaat Salwa terperanjat. "Jika aku zalim atau menyuruh kalian bermaksiat, ingatkan aku ya!"Salwa tersenyu
"Ini pasti gara-gara perempuan itu?" batinnya penuh amarah.*** Salwa membuka matanya. Menatap putrinya yang terlelap dalam pelukan Aditya. Haru menyeruak, hingga membuat dadanya terasa sesak. "Belum tidur?" Aditya tiba-tiba membuka. Sebelah tangannya memainkan anak rambut Salwa. Salwa menggeleng. "Melihat kalian seperti ini, entah kenapa aku merasa bersyukur dengan apa yang terjadi denganku." Kening Aditya mengerut. Ia meletakkan dagunya di atas kepala Salsabila. "Melihatmu begitu pada anakku, ketulusanmu benar-benar berkilau. Andai Salsa anak kita, tentu pandangan itu akan berbeda. Sebesar apapun ketulusanmu menjadi biasa karena dia darah dagingmu.""Aku terharu mendengarnya, tapi tetap saja menyesali. Masih berbekas rasanya saat melepaskanmu saat itu. Sakit kehilanganmu juga karena telah menyakitimu. Saat itu aku tidak bisa memaafkan diri sendiri. Tapi syukurlah sekarang kau bersamaku, setidaknya aku punya kesempatan untuk menebus semua kesalahanku."Seketika air mata Salwa me
"Tidak ada yang sakit yang lebih parah selain saat pasangan hatinya mendua. Luka tidak terlihat, berdarah dan muara." (Salwa Tasnim)***"Kok dimatikan?" tanya Aditya. "Wa--" Salwa mengunci mulutnya. Tangan Salwa mulai bermain, membuat naluri kelelakiannya semakin memuncak. Sayangnya, memorinya terlanjur menyimpan sebuah kejadian."Wa, kamu di mana?"Aditya remaja memasuki gudang penyimpanan barang tak terpakai yang gelap. Ia meraba-raba, mencari saklar. "Matikan lampunya," pinta Salwa ketika lampu menyala."Wa, kenapa sembunyi di sini?" Aditya bergegas mendekati Salwa yang meringkuk di samping lemari lapuk. Wajahnya membengkak akibat terlalu lama menangis. "Matikan lampunya!"Memori itu sontak membuatnya bangkit. Melepaskan pagutan Salwa. Ia segera menyalakan lampu. Terlihat jelas aliran sungai di pipi Salwa. "Wa, aku menyakitimu?" tanyanya panik. Salwa menyembunyikan wajahnya. "Matikan lampunya. Silau."Aditya memegang bahu Salwa, sehingga perempuan itu terduduk. Salwa masih me
"Maksudnya?" Aditya melepaskan pegangan Danum. "Cake ini? Aku memang tidak bisa menerimanya. Ah lalu, perhatikan sikapmu! Meski bukan pria beristri, tidak baik sembarang main pegang. Apalagi kepada pria beristri.""Apa maksudmu? Aku kan cuma mau menjaga pertemanan. Tidak berjodoh, bukan berarti pertemanan putus kan?" "Meski hanya teman, bukan berarti seenak hati main pegang! Sudahlah. Kalau memang mau menjaga pertemanan, seharusnya kamu ngerti dong, aku yang lagi sibuk. As!" Aditya melambaikan kepada salah seorang karyawan. "Dia temanku, layani dengan baik."*** Setelah masuk ke kantor Bayu, Aditya langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Suami istri yang sejak tadi memeriksa dokumen di meja kerja jadi saling bersitatap."Ke sini cuma mau tidur, Dit?" tanya Anita. "Kamu sendiri mau ngapain?" balas Aditya dengan mata terpejam. Nada suara Aditya kembali membuat suami istri itu keheranan. "Ya, ada urusanlah. Kamu?!" sahut Anita. Aditya tak lagi menjawab. "Kenapa, Dit? Bandar
"Allah tidak menghancurkan kebahagiaanmu, Dia hanya ingin memperlihatkan padamu dunia yang lebih indah agar kamu lebih bahagia." (Salwa Tasnim)***"Kapan ya, kita terakhir ke sini?" tanya Salwa lirih sambil menatap cahaya lampu di kejauhan."Kita ke sini juga cuma dua kali.""Iya lah, karena jaraknya juga lumayan jauh dari Nagara. Kita juga diizinkan cuma siang hari. Padahal aku ingin sekali menikmati malam di pantai." Seketika Salwa merasakan wajahnya memanas. Teringat keinginannya waktu itu. Ia menyembunyikan wajahnya di atas lutut.Aditya menatap heran. "Kamu kenapa?""Tidak apa-apa," sahutnya. "Tapi kenapa wajahnya ditutup? Lihat dong," ucap Aditya sambil berusaha melepaskan dekapan tangan Salwa. "Tidak apa." Salwa bersikeras. "Kalau tidak apa, kenapa bersikeras begini? Mencurigakan nih. Memang apa yang kamu pikirkan waktu itu?" Aditya berusaha mengangkat wajah itu, hingga terlihat pipinya yang memerah. "Pipimu?""Jangan lihat!" Salwa menyembunyikan wajahnya ke jaket Aditya.
"Apa yang terjadi? Kamu tidak apa kan?" tanya Aditya lembut sambil memeluk bahu Salwa. Salwa menggeleng. "Dia …." "Ho, jadi kamu juga merayu dia?!" ejek Jamilah."Merayu? Dia istriku," sahut Aditya. "Sebenarnya ada apa dengan anakmu? Dengarkan, kami tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Kenapa menyalahkan kami? Morotin? Dia istriku, aku mempunyai dua kafe, bagaimana mungkin dia tertarik dengan tokomu yang memang sudah hampir kolaps.""KAU!" tunjuk Jamilah, tetapi bibirnya kelu. "Kamu jatuh miskin, Mil?" tanya seorang temannya yang lain. "Kalau memang miskin, ya miskin, kenapa nyalahin orang? Bikin keributan lagi. Heh … malu-maluin. Yuk, kita bubar aja, Guys! Rusak moodku." "Eh, tapi bukan begitu. Aku masih bisa traktir kalian, kok." Jamilah mencegah salah seorang temannya. "Sudahlah, jangan belagu! Yuk, kita pulang, Guys.""Eh, tapi …." Sayangnya, tak ada seorangpun yang menolehnya. "Silakan Anda tinggalkan tempat ini. Jangan mengganggu ketenangan pelanggan lain," pinta salah s
Salwa tertawa. "Eh sewot! Mau dengar tidak? Kalau tidak mau dengar, aku ambilin mushaf nih.""Iya iya. Sudah mulai berani mengancam."Salwa terkekeh. Betapa ia ingin selalu menghujani dengan ciuman. Aditya kembali memejamkan mata. Lantunan surah An-Naba mulai mengalir merdu. Seketika ia teringat Salwa saat belum jadi miliknya. Gamis lebar yang membuat Salwa kelihatan anggun dan bijaksana. Ia tak menyangka kalau Salwa masih menyimpan sifat usil. Salwa terus melantunkan hafalannya dengan lambat. Ia sengaja melambatkan bacaan, berharap masuk ke memori Aditya. Bersama Aditya, entah kenapa ia merasa berarti sebagai hamba Allah. Membimbing Aditya secara perlahan. Uniknya, setiap tingkah laki-laki itu terasa manis di matanya. Ia teringat saat bersama Salman. Salman laki-laki dewasa, paham agama, bijak dan pandai mengayomi. Ia sangat menghormati Salman. Tanpa disuruh, dengan sendirinya ia patuh dan pandai menjalankan kewajiban. Siapa pun tidak ada yang menyangka kalau Salman tergoda denga
“Sangat,” jawabnya singkat. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang perempuan yang baru saja sampai di tempat parkir. Ia bergegas berdiri. “Tunggu sebentar.” *** Tok tok. "Masuk!" ucap Aditya. Seketika ia terkejut melihat siapa yang datang. "Danum? Kenapa ke sini?""Hallo, Dit. Aku tadi ke sini sama teman. Melihatmu nggak ada, jadi iseng aja," ucap Danum sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantor Aditya yang kecil itu.Aditya berdiri. "Ya sudah, karena sudah ketemu, saya minta kamu keluar sekarang," ucap Aditya sambil memegang gagang pintu. "Kamu kenapa begitu terus padaku, Dit?" Danum mendekat. "Apa salahku?""Ya …." Aditya tergagap. Ia paling tidak tahan melihat wajah perempuan sedih. "Aku lagi sibuk. Atau gini saja, kita ngobrol keluar, oke?" Saat hendak keluar, langkah terhenti. Dua tangan melingkar di dadanya. "Aku sangat mencintaimu. Kenapa kamu selalu bersikap kasar? Apa kurangnya aku dibanding istrimu?"Aditya berusaha melepaskan, tetapi kedua tangan itu semaki
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa