Salwa tertawa. "Eh sewot! Mau dengar tidak? Kalau tidak mau dengar, aku ambilin mushaf nih.""Iya iya. Sudah mulai berani mengancam."Salwa terkekeh. Betapa ia ingin selalu menghujani dengan ciuman. Aditya kembali memejamkan mata. Lantunan surah An-Naba mulai mengalir merdu. Seketika ia teringat Salwa saat belum jadi miliknya. Gamis lebar yang membuat Salwa kelihatan anggun dan bijaksana. Ia tak menyangka kalau Salwa masih menyimpan sifat usil. Salwa terus melantunkan hafalannya dengan lambat. Ia sengaja melambatkan bacaan, berharap masuk ke memori Aditya. Bersama Aditya, entah kenapa ia merasa berarti sebagai hamba Allah. Membimbing Aditya secara perlahan. Uniknya, setiap tingkah laki-laki itu terasa manis di matanya. Ia teringat saat bersama Salman. Salman laki-laki dewasa, paham agama, bijak dan pandai mengayomi. Ia sangat menghormati Salman. Tanpa disuruh, dengan sendirinya ia patuh dan pandai menjalankan kewajiban. Siapa pun tidak ada yang menyangka kalau Salman tergoda denga
“Sangat,” jawabnya singkat. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang perempuan yang baru saja sampai di tempat parkir. Ia bergegas berdiri. “Tunggu sebentar.” *** Tok tok. "Masuk!" ucap Aditya. Seketika ia terkejut melihat siapa yang datang. "Danum? Kenapa ke sini?""Hallo, Dit. Aku tadi ke sini sama teman. Melihatmu nggak ada, jadi iseng aja," ucap Danum sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantor Aditya yang kecil itu.Aditya berdiri. "Ya sudah, karena sudah ketemu, saya minta kamu keluar sekarang," ucap Aditya sambil memegang gagang pintu. "Kamu kenapa begitu terus padaku, Dit?" Danum mendekat. "Apa salahku?""Ya …." Aditya tergagap. Ia paling tidak tahan melihat wajah perempuan sedih. "Aku lagi sibuk. Atau gini saja, kita ngobrol keluar, oke?" Saat hendak keluar, langkah terhenti. Dua tangan melingkar di dadanya. "Aku sangat mencintaimu. Kenapa kamu selalu bersikap kasar? Apa kurangnya aku dibanding istrimu?"Aditya berusaha melepaskan, tetapi kedua tangan itu semaki
“Haikal?” ulang gadis yang memakai seragam karyawan tersebut. Aditya baru menyadari, seragam karyawan pun telah berbeda. “Oh, Haikal? Sebentar.” Karyawan itu berbalik, naik ke lantai dua, lalu datang bersama dengan karyawan lainnya yang dikenali oleh Aditya. “Haikal masih di sini?” tanya Aditya. Salwa langsung mendekat. Karyawan itu menggeleng. “Toko ini telah berganti tuannya. Dan aku tidak tahu lagi bagaimana dia sekarang. Terakhir ibunya pernah ke sini, juga tidak bertemu Haikal.”Aditya langsung mengeluarkan ponselnya dari kantong celana. Ia langsung melakukan panggilan, tetapi tidak terjawab. Berkali-kali ia mencoba, tetap tidak terjawab.Aditya menatap wajah istrinya yang dibalut dengan kecemasan. *** Mobil Aditya memasuki halaman minimarket yang cukup luas. Terlihat orang berlalu lalang keluar masuk. Di samping kanan, bertengger beberapa mesin ATM. “Ini punya Salman? Lumayan gede ya?” “Iya. Dia memang orang gigih dalam bekerja, juga hemat.”“Lalu ruko yang kusewa?”“Itu
“Tidak ada perubahan. Hampir tiap hari dia memanggilmu. Kapan-kapan jenguklah dia, barangkali membuatnya perasaannya lebih baik.” “Insya Allah. Kalau begitu, kami pulang dulu. Kalau ada kabar, tolong hubungi kami,” ucap Salwa. “Insya Allah. Oh, iya. Apa kamu tau di mana Haira mondok?”“Kenapa?” “Ibunya dalam keadaan tidak baik. Hampir setiap saat menangis mengingat kedua anaknya.”“Untuk sementara, aku tidak bisa memberitahu. Maaf.”“Kenapa? Dengan mengetahui keberadaan Haira, barangkali membuat Jamilah membaik.”“Aku ngerti. Tapi … setelah pertemuan kami kemarin, berita terlanjur tersebar. Ternyata, tanpa sepengetahuanku Haira dibully oleh seorang anak korban dari broken home bersama teman-temannya. Kamu tahulah, dampak dari perceraian, apalagi bila akibat pihak ketiga."Ucapan Salwa terhenti. Seketika ia merindukan anaknya. "Kebencian terhadap orang ketiga kadang sulit dikendalikan. Orang seperti Haira, rawan jadi pelampiasan balas dendam. Karena itulah, aku suruh Haikal memind
"Manja dan keromantisan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan." (El Nurien)***Tiba-tiba kening Haira mengerut tajam, Salwa jadi was-was melihatnya. “Bukannya dia masih berhubungan dengan Tante? Dia pernah cerita, Tante bantu usaha dia. Dia cerita banyak. Tante bantu bawa ke koperasi, terus ada yang bantu naikin rating di toko online dia. Banyak pokoknya. Kok tiba-tiba Tante tanya sama aku? Haikal nggak bikin ulah kan, Tante? Seminggu ini dia nggak nelpon aku.”Salwa berusaha mengukir senyum. “Maaf, Tante terlalu sibuk. Jadi memang sudah lama tidak melihat dia.”“Sibuk?” Haira menatap penuh selidik. Salwa tergelak. “Iya iya. Tante ngaku. Tante baru saja menikah, jadi perhatian Tante terkuras ke situ.”Mata Haira membesar. “Tante baru menikah,” pekik Haira.“Ssttt … jangan kencang-kencang! Malu didengarnya,” bisik Salwa.Spontan Haira mengecilkan suara dan memajukan wajah. “Dengan siapa? Pasti Om Aditya. Betulkan dia punya hati sama ustadzah.”Sekali lagi Salwa menjewer hidung Hai
“Papa mau kemana?” tanya Jamilah dengan wajah cemas. “Papa harus ke rumah Ibu. Sakit ibu bertambah parah. Jaga diri Mama baik-baik,” ucap Salman, lalu mencium kening istrinya. Tangis Jamilah makin kentara. Ia memegang lengan Salman sambil menggelengkan kepala. “Maaf, Ma. Aku tidak bisa meninggalkan Ibu lama-lama atau Mama mau ikut? Barangkali keluar rumah bisa membuat lebih segar.”*** [Aku mau ke minimarket. Mau beli sesuatu, boleh ya] Pesan diimbuhi dengan stiker lucu.Aditya tersenyum haru, menatap pesan tertera di ponselnya. Dulu ia sering berpikir ajaran Islam terlalu kaku. Mengapa harus ini dan itu? Mengapa perempuan harus taat pada suaminya, bukannya manusia itu sama-sama mempunyai hak suara? Mengapa sampai keluar rumah, ke depan gang saja harus meminta izin? Kini ia telah merasakan indahnya. Hampir setiap saat ia tahu di mana keberadaan Salwa. Bahkan hanya keluar jauh, ke minimarket depan gang saja Salwa selalu meminta izin padanya. Ia merasa bangga menjadi seorang laki-
Salwa terlonjak ketika membaca pesan itu. Aditya yang tidur di sampingnya ikut terkejut dengan tingkahnya. “Ada apa sih?” tanya Aditya setengah sadar sambil mengocok matanya. “Nenek Salsa kritis. Kita ke sana yuk!” sahut Salwa sambil menginjakkan kaki ke lantai. Seketika nyeri menjalari seluruh kakinya. “Baru sadar kan kalau kakinya masih sakit,” gerutu Aditya. “Lagi pula ini baru jam tiga, Wa.”Salwa membalikkan badan. "Ya, please," rengek Salwa mengatupkan kedua tangannya. Aditya membuka mulutnya ingin menolak."Aku khawatir ini kesempatan terakhir kali. Ya?""Iya ya," sahut Aditya pasrah. "Tapi tunggu di situ dulu." "Kruknya mana?" tanya Salwa sambil "Aku jauhin malam tadi," sahut Aditya sambil mengangkat badan Salwa.***Di ruang rawat inap Salman menalkinkan la ilaha illallah di telinga ibunya saat Salwa masuk. "Kakimu
Ia laki-laki normal, salahkah jika memenuhi hasrat laparnya, sekali saja. *** Selama libur dari mengajar, Salwa manfaatkan waktunya untuk mengulang hafalan. Terlebih lagi Aditya tidak ada malam ini, ia tidak akan membuang kesempatan itu. Tiba-tiba rasa haus menerpanya. Ia menoleh jarum dinding. Pantas saja tenggorokannya kering. Ia telah mengulang sekitar dua jam tanpa berhenti. Ia berdiri dengan menggunakan kruk, melangkah ke dapur untuk mengambil air.Air telah terisi dalam gelas, tetapi tidak mungkin minum dengan berdiri. Minum berdiri gayanya setan dan cara yang dibenci. Ia kesulitan memegang antara gelas dan kruk saat melangkah, mendekati meja. Meski bisa dikatakan darurat, ia memilih berusaha memilih cara sunnah, walaupun dengan sedikit perjuangan. Sayangnya, hanya beberapa langkah, gelas terlepas dari dan bunyi kaca pecah memenuhi ruang dapur. Sunyinya malam membuat bunyi itu semakin ter
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa