"Salsa?""Salsa bisa tidur di mana saja. Malam ini bisa di sini atau ikut Umi. Gimana? Mau nemani Abi atau Umi?" Salwa berpaling ke wajah ayahnya, lalu ke ibunya. Keduanya sama-sama memberikan senyum kasih sayang. Namun hal itu, membuatnya semakin kebingungan. Kenapa harus memilih?"Atau gimana malam Salsabila ikut Umi dulu? Nanti kita bicarakan lagi. Sudah larut malam." Salsabila mengangguk. "Ayo. Salim sama Abi dulu!" pinta Salwa. Salsabila menurut, meski masih tidak mengerti. Ia mengulurkan tangan yang disambut Salman dengan pelukan. Seketika Salman tidak kuasa menahan tangisnya. "Maafkan, Abi ya. Ini salah Abi, kita jadi terpisah begini." Salsabila melepaskan pelukannya. Ia mengusap air mata ayahnya. "Abi salah apa? Umi Abi Salsa tidak mungkin bertengkar kan? Kenapa harus pisah?""Ceritanya panjang, Sayang. Nanti kita bicarakan lagi. Salsa harus istirahat dulu. Tidak baik Umi pulang kemalaman ya," bujuk Salman. Salsabila mengangguk. Ia turun dari ranjang. Setelah mengambil
"Om Adit bangun!" Ia mengguncang bahu Aditya lebih keras. Mata Aditya terbuka. Sesaat ia terdiam. Wajah kecil Salsa menyapa indra penglihatannya. Seketika bibirnya tersungging senyum. "Salsa!" "Om, bangun. Sebentar lagi Subuh."Sebelah Aditya menarik bahu Salsabila. "Om ngantuk."Salsabila menoleh ke arah ibunya. "Bangun!" ucap Salwa tanpa suara. "Bangun Om." Salsabila kembali mengguncang bahu Aditya, sehingga terjaga. Sayup-sayup terdengar azan dari sebuah masjid."Tuh kan sudah azan. Bangun, nanti masbuk, lo. Masa Om salat di rumah, nanti Salsa pinjamin mukena lo."Aditya terkekeh dengan omelan gaya Salsabila. Menatap wajah polos itu, entah kenapa ia merasa seperti mendapatkan guyuran di tengah hatinya yang gersang. "Ayo, bangun. Salsa juga mau salat."Datang dari masjid, Aditya bergegas membuka pagar begitu melihat Salsa duduk di lantai teras. âKenapa duduk di situ?ââNunggu Om,â jawab Salsabila sambil berdiri. âIya, tapi dingin. Tunggu saja Om di dalam rumah.ââOm bawa apa
âTapi tetap beda Salsa. Di sana kamu fokus belajar, ga main kayak di sini. Apalagi di sana Ustazah Cahya langsung membimbing. Kalau Salsa di sini, siapa yang membimbing?ââUmi,â jawab Salsabila pendek.âUmi ga bisa soal itu. Salsa tahu sendiri. Umi di pondok cuma ngajarin bacaannya, bahkan ngajarin menghafal pun nggak bisa, apalagi soal pemahaman. Itu luar kemampuan Umi Salsa.â "Nggak mau pergi,â tukas Salsa, lalu masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. âPOKOKNYA SALSA NGGAK MAU PERGI."*** Salwa meminta Salman membujuk putrinya, tetapi tak jua membuahkan hasil."Aku nggak mau pergi. Aku nggak mau Umi sendirian di rumah."Salwa menghempaskan napasnya. Sejak kapan Salsa menyebut diri aku?"Iya, Abi ngerti. Salsa sayang sama Umi, tapi bukan berarti selalu menjaga Umi. Salsa bisa buktikan sayang Salsa dengan memenuhi keinginannya.""Kenapa sih, Umi bersikeras ngirim Salsa? Umi pengen nikah juga tanpa sepengetahuan Salsa kayak Abi?" Salman tersentak. Salwa tak kalah terkejutnya. "Bukan
Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tetaplah bangga dengan kelebihan yang kau miliki karena itu yang akan membuatmu berharga dan terus melangkah maju. (El Nurien)*** "Salsa, hei. Jangan buat Om takut dong," seru Aditya sambil menggoncang tangan Salsabila. "Om Adit mau kan nikah sama Umi?" Aditya tersentak. Salwa terlonjak. Karyawan yang tadinya masuk ke dapur, tiba-tiba berbalik."Salsa, ngomong apaan sih?" tegur Salwa. "Om mau kan?" Salsa mengabaikan teguran ibunya. Aditya berusaha membebaskan diri dari shock. "Kenapa Salsa berpikir Umi nikah dengan Om?""Kalau Om yang jaga Umi, Salsa janji akan balik ke Jakarta, juga akan belajar keluar negeri."Aditya terkekeh. "Om ngerti. Biar Umi ada temannya kan bila Salsa pergi. Tapi kenapa harus Om?""Om baik sama Salsa dan Umi. Om tidak akan meninggalkan Umi kan seperti Abi kan?!âSalwa mendadak kelu.Aditya terenyuh. Ia melihat mata anak di depannya mulai berkaca-kaca. Sebelah tangannya terangkat, menyentuh lembut pipi Sal
"Emas tidak ada yang murni, manusia tidak ada yang sempurna." (Pepatah)***âKenapa? Aku nggak layak banget ya untuk jadi suamimu?ââBukan begitu, Dit. Justru kamu terlalu istimewa, banyak yang harus kupertimbangkan."âTerlalu istimewa?!â ulang Aditya.âDit, seperti kubilang, aku punya trauma, aku ga tau bagaimana nanti jika sudah menikah. Aku takut, tidak bisa menunaikan tugasku dengan baik.ââSudah kubilang, kita obati sama-sama.ââSalsabila berangkat tinggal berapa hari lagi, apa kita bisa mengejar semuanya? Bagaimana orang tuamu? Bagaimana kalau keluargamu ada yang tidak setuju, kamu mau ngotot begitu saja? Dit, kita tetanggaan lo, urusannya tambah ribet. Kalau rusak, rusaknya bisa dua keluarga. Bagaimana perasaan keluargaku, kalau putrinya ditolak tetangga? Bagaimana dengan orang tuamu, putra kebanggaan menikah dengan perempuan yang beranak?âAditya menghela napas. âGimana kita buat simpel dulu. Kita menikah di KUA, ngantar Salsabila. Bagaimana nanti, kita perjuangkan sama-sama.â
Aditya meletakkan sendoknya. âKarena baru saja aku mendapatkannya. Selain itu, bukankah sudah kubilang, kita cuma mencoba saling mengenal, siapa tau cocok. Kenyataannya?ââKenyataannya aku merasa cocok denganmu. Selera kita juga sam âŚ.ââDan, ini masalah hati. Aku mencintainya sejak lama, bukan pertemuan singkat. Soal perkenalan, bukan cuma kamu saja yang dikenalkan ibu juga Kak Lydia, tetap saja tidak merubah hatiku.ââBaru kali ini aku ditolak cowok. Aku jadi penasaran dengan perempuan itu.â Aditya menghela napas. âAku tidak suka membanding-bandingkannya dengan orang lain. Aku mencintainya, itu saja. Apa istimewa dia? Hanya hatiku yang tau, mengapa aku begitu menyukainya. Sudahlah, cukup pertemuan kita sampai di sini. Aku minta maaf jika membuatmu kecewa dan terlanjur berharap.âAditya berdiri. âAku duluan ya. Maaf, tidak mengantarmu.ââMakanan ini?â âJika kau berselera, makanlah. Aku pergi dulu. Selamat malam.â *** Pada hari yang direncanakan, Aditya membawa Salwa dan Salsa pul
"Setinggi-tingginya ilmu anak dan istri, tetap ayah menjadi seorang imam. Makmum wajib menghormati dan mematuhi, selama imam tidak zalim dan menyuruh bermaksiat kepada Allah." (El Nurien)***.âMemangnya kenapa dia cerai?â âSuaminya menikah lagi,â jelas Aditya.âNah kan? Suaminya menikah lagi, itu karena dia tidak becus mengurus suami.ââAstaghfirullah, Ibuu! Kenapa Ibu selalu berprasangka buruk padanya? Dia tumbuh bersamaku, tentu aku sangat mengenalnya, masihkah ibu meragukan penilaianku?â âIya, siapa tau penilaian ibu juga benar.â jawab Kurba tergagap. âLagian di rumah tangga kita, tidak ada yang bercerai, Dit. Kamu lihat cerai itu seperti menular. Ibunya juga dulu begitu, sekarang anaknya.ââYa Allah, Ibu. Bu, aku kesini bukan untuk meminta penilaian ibu tentang dia. Aku hanya ingin minta restu ibu. Itu saja.ââBagaimana jika ibu tidak setuju?ââDengan alasan hanya prasangka Ibu? Itu tidak adil. Bu, yang menikah itu aku, tentu aku ingin bersama dengan orang yang kusuka.ââDalam
"Emas murni dikenali ketika diuji." (Leonardo da Vinci)***Sesaat Aditya tercenung. Ia teringat ucapan Bayu," jika ingin membuka hatinya, kau harus melalui jalan yang sama." Kini ia telah bisa bergandengan dengan Salwa, tetapi mengapa tiba-tiba merasa tidak percaya diri?"Pa, ayo!" desak Salsabila. "Sebentar. Om ⌠mm ⌠Papa mau bicara sama Umi dulu," ucap Aditya."Kok, Umi? Ma ⌠ma," eja Salsabila. Aditya tergelak. "Iya. Papa mau bicara sama Mama dulu, ya."Salsabila mengangguk. Salwa mengiringi langkah Aditya yang keluar kamar. "Tidak apa aku jadi imam kalian? Secara hafalan dan kualitas bacaanku di bawah kalian," bisik Adit. Salwa tersenyum geli. "Setinggi apapun ilmu anak istri, suami tetap jadi imam dan makmum harus menghormati. Kecuali âŚ." Salwa sengaja menggantung. "Kecuali?""Imamnya zalim atau menyuruh bermaksiat kepada Allah."Refleks Aditya menarik tangan Salwa. Sesaat Salwa terperanjat. "Jika aku zalim atau menyuruh kalian bermaksiat, ingatkan aku ya!"Salwa tersenyu
âMemang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,â bantah Salwa.âKalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.âDi perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,â imbuh Bayu.âMalah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.â Anita menimpali. âAku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.âDi perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?â tanya Aditya ke Bayu. âSecara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.âSeketika di ruangan itu tertawa. âTapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***âOps.â Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. âKalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,â gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. âSelamat ya.â"Terima kasih, Nit."âSama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?â tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. âAlhamdulillah. Terima kasih, Nit,â ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. âKenapa terlihat kaku sekali?â protes Anita. Salwa tertawa. âBukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.âAnita tersenyum tipis. âKalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?â Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. âKalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** âBagaimana keadaan Haikal?â Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. âAku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!ââBagaimana keadaan Haikal?â desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.âBagaimana keadaannya?âTanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. âAssalamu âalaikum. Hallo, Tante!â Wajah Haira menghiasi layar ponsel.âWa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?â âAlhamdulillah baik, Tante.â Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. âIya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!â***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
âTapi âŚ?ââAku tidak tega meninggalkanmu.â Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. âTidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?â goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. âMungkin dua-duanya.âAditya tersenyum bangga. âKalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.âMendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. âJangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.âSalwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. âTidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,â ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. âPeluk aku!â rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. âJangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,â ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.âIni gara-gara aku,â isaknya.âTidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.âSalwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. âMaafkan aku,â ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. âAku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***âYa, Hallo!â Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. âWA, AWAS!â Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.âMeski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.âIa mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. âHallo!â Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. âMasya Allah,â batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. âSudah bangun?â tanya Aditya.Salwa mengangguk. âMasih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!â âSayang sekali, aku ingin berdoa.â
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. âAssalamu âalaikum,â ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. âWa âalaikum salam.â Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. âAnda âŚ?â Aditya mengulurkan tangannya. âSaya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.ââOh iya ya. Saya baru ingat.â Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. âSaya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.ââMaafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.âZaid tertawa