Aku mengantar mas Ilham hingga masuk ke dalam mobil ambulan. Adel mengikuti mereka dari belakang. Menatap mobil berwarna putih dengan sirene berbunyi nyaring. Para tetangga mengintip di balik jendela ada juga yang keluar rumah melihat apa yang terjadi. "Pak Ilham dibawa ke rumah sakit, Bu Intan?" tanya tetangga depan rumahku. "Iya, Pak. Biar ditangani oleh pihak yang lebih ahli." "Iya Bu. Betul sekali. Kasihan pak Ilham menjerit kesakitan." "Iya Pak. Maaf kalau menganggu kenyamanan Anda. Saya permisi Pak. Mau masuk ke dalam. Ada yang harus saya kerjakan," pamitku. "Semoga pak Ilham lekas sembuh," ungkapnya. "Iya Pak, terima kasih." Aku tersenyum ramah. Pandangan tetanggaku terlihat sinis dan tersenyum kaku. Aku menangkap sorotan mata yang tak suka. Kutepis semua yang ada di kepala. Sudah terbiasa jika tetangga iri hati, julid atau apapun.Langkahku terhenti ketika mendengar tante Vivi berbicara dengan ketiga anaknya. "Bagus, sekarang kita bisa tenang di sini. Melakukan apa sa
Kutatap suamiku di balik kaca. Ia sedang terbaring dengan tangan diikat. Menjerit-jerit kesakitan. Memanggil namaku meminta tolong. Tak kusangka akan separah ini. "Mengapa bisa seperti ini?" tanyaku pada Adel. "Kata dokter ia terkena depresi berat dan trauma." "Trauma! Apa mungkin ia masih mengingatnya?" Tatapanku tak jauh dari mas Ilham. Teringat cerita dari ibu mertuaku. Sebenarnya wanita itu bukan ibu kandungnya melainkan ibu angkat. Mas Ilham adalah anak piatu. Entah di mana keberadaan ayahnya. Aku juga tak tahu. "Apa suamimu pernah mengalami sesuatu hal?" tanya Adel. "Dahulu suamiku berumur empat belas tahun menyaksikan kakak perempuannya diperkosa oleh dua orang laki-laki yang tak dikenal. Mas Ilham melihat ketika ia bersembunyi di dalam lemari.""Mengapa bersembunyi?" "Ibunya yang menyuruhnya untuk bersembunyi." "Lalu apa yang terjadi?" "Kakaknya bunuh diri dengan cara mengantung diri di dalam rumah dan sang Ibu mati dengan cara mengenaskan. Mas Ilham melihat semuanya
"Intan, Mama sudah di lobi utama," ucap Mama diseberang panggilan. Terdengar suara Bayu yang merengek meminta ponsel untuk berbicara denganku. Betapa rindu hati ini kepada bocah kesayangan. "Oke, Intan turun ke bawah." Aku mengangkat bongkok dari kursi. Mas Ilham masih terlelap dalam mimpin. Dengkuran halus terdengar lirih. Napasnya masih teratur sesuai detik jam, untuk sesaat ia tenang dan nyaman. Sejak jam lima pagi, mataku sudah terbuka. Mengerjakan pekerjaan kantor melalui laptop. Tak ingin suami, tahu pekerjaan yang selama ini aku jalankan, biarlah aku tak peduli. Sengaja memesan kamar VIP untuk kami agar mas Ilham tak jenuh dan merasa terkekang. Banyak perabotan tersedia di hotel ini. ukuran kamar juga sangat besar. Kakiku menuju lobi dengan mengunakan lift. Berjalan menelusuri lobi mencari keberadaan mama dan Bayu. "Mama!" teriak Bayu, anakku. Ia berlari dan memeluk tubuhku ketika melihat wanita yang telah melahirkannya. "Mama kangen." Mencium kedua pipinya gemas. Tubuh B
Pagar rumahku sudah telihat di depan mata. Sengaja meninggalkan mereka tanpa pembantu. Hanya ada satpam penjaga pagar dan mata-mata untukku"Bu Intan," sapanya ramah. "Apa mereka di dalam?" "Iya, mereka semua ada." Kuselipkan uang merah dan memberikan kepadanya. "Buat anak-anakmu di rumah." "Alhamdulillah, terima kasih Bu."Lantai teras kotor dan daun-daun berguguran di halaman. Semoga perabot-perabotku di rumah masih utuh dan tak dijual mereka. Mungkin saja mereka nekad melakukannya. Mobilku masuk ke dalam halaman rumah milikku yang kini ditempati mereka. Membuka pintu perlahan. Mereka sedang duduk di ruang keluarga. Entah membahas apa. Sekilas mendengar percakapan sepertinya tentang uang. Suara sepatuku membuat mereka terdiam dan menoleh ke arahku secara bersamaan. Tak ada wajah terkejut yang mereka perlihatkan. "Wah, ternyata Nyonya besar baru pulang," sindir Lisa. Ia menatapku sinis. "Ke mana saja kamu? Suami sakit malah ngelayap," ucap tante Vivi. "Siapa?" Pura-pura tak
"Tunggu!" Suara yang aku kenal mencegahku dengan suara tinggi., suaranya bergetar. Langkahku terhenti. Tante Vivi menghampiriku. Aku menoleh ketika lengan ini ditarik kasar. Wanita yang terlihat bermartabat dan sombong tak bisa memperlakukan seseorang dengan halus., miris sekali kau Tante. "Apa Tante berubah pikiran?" Menahan rasa geram dengan tingkah seenaknya. Aku ini makhluk hidup masih merasakan sakit. "Kamu belum selesai bicara. Katakan apa maumu?" ucapnya pasrah. Suaranya melunak, ingin tertawa terbahak-bahak. "Oke, aku akan lanjutkan. Tapi, jangan menghardikku sebelum kalian mendengar semuanya. Tolong rem ucapan kalian atau aku tak ingin memberitahukan. Silahkan kalian pilih." Mereka semua mendelik. Aku hanya menatap miris." Baiklah, lanjutkan." Rico terlihat penasaran. Pemuda itu semakin mendekat berdiri tak jauh dari ibunya. "Mas Ilham sudah sembuh. Aku minta kalian tak mengungkit kejadian sewaktu menjadi gila. Pura-pura lupa atau pura-pura tak tahu. Anggap aja kejadian
Jalanan terlihat lengang. Menyalakan musik bernuansa hip hop. Mengikuti nada yang mengema di dalam mobil.Saking asiknya aku tak menyadari kalau lampu sudah berubah warna. Segera mengeram mendadak. Tubuhku terdorong ke depan.Aku menabrak mobil yang berhenti di depanku. Suara benturan terdengar nyaring. Jantungku hampir copot. Suhu tangan berubah dingin.Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan. Depan mobilku hancur begitu juga yang berada di depannya. Bodoh sekali aku.Kacaku diketuk dari luar. Membuka kaca mobil perlahan. Seorang lelaki dengan jas hitam dan dasi navy menatap tajam. Sorot matanya menusuk. Raut wajahnya dingin seperti salju."Kau!"Aku mengenali lelaki itu yang sering aku panggil manusia salju. Wajahnya kaku seperti kanebo. Lelaki di depanku adalah sepupu Adel--Rehan."Hei, gadis pembuat onar. Keluar kamu!" teriaknya. Ia tak pernah menghormati wanita kecuali ibunya.Menarik napas dalam menghembuskannya.Membuka pintu mobil. Ia menerobos kepalanya masuk ke dalam.Wajah kami sang
Tak peduli dengan kondisi keadaan mobil. Berjalan menelusuri jalan. Tatapan orang dengan kondisi mobilku menatap miris. Aku masih punya mobil yang lain. Bagian depan dan lampu depan hancur. Untung saja masih bisa menyala. Segera memarkir mobil di basement satu.Menghubungi supirku untuk mengantar mobil yang lain. Kuberikan kunci mobil kepada penjaga agar ia tak menganggu pekerjaan yang sedang berlangsung.Semua orang menyapaku ramah. Ternyata, mereka masih mengenalku dengan baik."Selamat siang, Bu," sapa mereka serentak.Aku lihat mereka sedang santai. Mungkin karena tak ada mas Ilham, pemimpin mereka. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab salam.Seorang wanita di depan ruangan mas Ilham mengecat kukunya berwarna biru."Ehm ....""Ibu Intan." Segera meletakkan cat kukunya di atas meja." Selamat siang, Bu!" sapanya."Siang." Melangkahkan kaki ke dalam ruangan suamiku.Seketaris mas Ilham, Vika membukakan pintu. Ruangan kerja dengan nuansa classic terlihat bersih. Aku berjalan menelusuri
"Di mana?" bentakku tak menghiraukan perasaannya. Wanita dihadapanku ini tak tahu malu. Ia pikir siapa dirinya. "Maaf, Bu. Sa-saya tak bisa mengatakannya," tolaknya tanpa mau menatap manik mataku. Ternyata Vika adalah kepercayaan suamiku. Kita lihat saja nanti. Siapa yang lebih berkuasa. "Kamu tak tahu siapa saya?" Aku bangkit dari dudukku." Semua peruasahan ini milik papa saya. Katakan di mana brankasnya, Vika? Apa kamu mau saya pecat?" ancamku. Ia mengelengkan kepala." Katakan di mana?"Ia menunjukkan sebuah lukisan yang mengantung di dinding. Aku menghampiri lukisan dengan pemandangan pantai.Mencoba mengesernya dan sebuah brankas berada di balik lukisan."Berapa kodenya?" teriakku menatap tubuhnya."Ti-tidak tahu," ucapnya."Jangan bohong! Suamiku tak datang ke kantor lalu uang ini kamu bawa pulang?"Ia menundukkan kepala." Jawab Vika!"
Aku menatap langit begitu cerah, begitu juga suasana pagi ini. Wanita berkebaya putih dengan hijab senada duduk di samping pria yang akan menghalalkannya. Suara bayi menangis berada di sampingku. Bayi itu milik Lisa. Lisa telah melahirkan seorang anak perempuan. Bayi mungil berwajah mirip dengan ibunya. "Mungkin dia haus," ucapku mengusap kepala mungil bayi berusia dua bulan..Wanita yang dipercaya menjaga anak Lisa segera mengambil susu dalam botol. Susu itu bukan susu kaleng atau susu sapi. Tetapi, susu asli dari ibunya langsung yang diambil dan disimpan dalam lemari pendingin. Bayi mungil itu langsung menyedot ASI dalam botol dot dengan cepat. "Kasihan, haus ya." Gemas sekali melihat anak itu. Kuusap perut yang semakin membesar. Sebentar lagi anak ini juga lahir. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Ijab kabul mulai di lontarkan. Mas Bro telah memenuhi keinginan Lisa. Ia telah belajar salat dan mengaji. Di hadapan Lisa melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa menerima Mas Bro se
Bab 142 "Mas ngapain di situ?" Aku menoleh ke arah belakang, Rita datang menghampiriku. Ia duduk di samping sambil ikut menikmati keindahan malam. "Bagus pemandangannya." "Tadi acaranya meriah banget, ya. Pengantinnya juga cantik dan serasi.""Iya, Intan selalu cantik," pujiku tanpa menyadari perkataan yang terlontar. "Oh, pantesan dari tadi kamu itu lihatin Intan terus ternyata belum move on!" Rita bertolak pinggang. Ia menjewer telingaku hingga hampir terlepas. "Aduh! Aduh! Sakit Rita!" "Kamu tadi bilang cantik." "Intan perempuan pasti cantik masa aku bilang ganteng. Gak lucu kan?" Rita melepaskan tarikannya dari telingaku. Aku mengusap pelan telinga yang kini terlihat memerah. "Kamu itu cemburu aja. Kamu juga cantik, kok. Gak kalah sama Intan." "Apanya cantik. Boro-boro beli skincare, serum atau pelembab. Pakai bedak sama lipstik aja sudah bersyukur." "Kamu gak pakai bedak juga masih cantik." "Gombal! Mana ada?" "Ada, buktinya kamu." Aku mencolek dagu Rita. Bagaimanap
Bab 141 Setelah aku menganti pakaian. Aku menghampiri putraku di dalam kamar. Jari mungil Bayu menari di atas buku gambar. Memberikan warna yang tepat dan sesuai. "Bayu sedang apa?" tanyaku lembut dan bersahabat. "Mewarnai," ucap anakku polos. Aku menatap hasil gambar anakku. Ia pandai menggambar dan melukis. Hobi baru saat ini. "Siapa yang mengajari kamu?" "Papa." Kuusap lembut surai anakku. Aroma shampo sejak dulu masih sama dan tak berubah. "Bayu, tadi dipanggil Om Rey kok begitu?" Aku mulai bertanya perlahan mungkin ada hubungannya dengan mimpi Bayu kala itu. Ia mengatakan kalau aku tak boleh menikah. "Om Rey akan ambil mama dari Bayu," ucap anakku polos. Tangannya tak berhenti mewarnai. Aku mengernyit heran, apakah ada orang yang berbicara hal tidak-tidak dengannya."Gak mungkin. Kamu anak Mama. Gak ada yang bisa memisahkan kita." Bayu duduk dan menyilangkan kaki. Tatapan polosnya membuatku semakin gemas. "Dulu Papa nikah lagi dan pergi meninggalkan Bayu. Ia memilih T
Bab 140 Kami mengikuti Om Leo bersama gadis muda. Ia tampak seperti anak kuliahan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Om Leo tampak mengusap paha gadis yang mengenakan rok mini itu. Suara manja terdengar di bibirnya. Aku pastikan kalau hasrat Om Leo sedang naik. Mata yang pernah aku lihat ketika ia melihat bagian sensitifku. "Bagaimana aku makan makanan ini kalau pakai masker?" keluh Rey yang sejak tadi menatap makanannya. "Pindah duduk di sini. Mereka tak akan bisa melihat wajahmu." Rey mengikuti apa yang aku sarankan, pria itu makan dengan lahap. Aku mencegah kepalanya agar tak menoleh ke arah Om Leo. "Makan saja jangan tengok-tengok." "Calon istriku luar biasa," pujinya menatapku. Kami memilih duduk di dekat pot besar jadi tubuh Rey tertutup tanaman itu. Om Leo juga tak menyadari kehadiran kami di sini. Rey sudah selesai dengan makanannya. Aku meminta pelayan untuk membungkusnya saja. Segera membayar tagihan restauran dan bangkit dari duduk. "Papa masih di dalam kenapa kita
Bab 139Kaki Rey sudah lebih baik, aku selalu menemaninya ke mana saja. Serly sudah pulang ke Indonesia. Sedangkan Tante Aura masih ada urusan di negara ini.Adel sudah kembali ke rumahnya. Aku bahagia melihat keadaan Bundanya Adel. Ia masih mengingatku tak seperti dulu. Ganggu jiwanya sudah sembuh. Adel dan Om Arga saling bekerja sama untuk merawatnya. Mereka Keluarga yang kompak apalagi On Arga mampu menjadi sosok ayah untuk Adel. "Kalau kita sudah menikah kamu mau anak berapa?" tanya Rey ketika kami berjalan-jalan ke taman. Suasana dan cuaca hari ini sangat mendukung kami untuk menikmati keindahan negara Singapura. Rey, masih mengunakan kursi roda. "Nikah aja belum sudah tanya mau anak berapa?" "Ya, namanya rencana masa depan. Jadi harus di perkirakan." "Memangnya kamu sanggup berapa?" Kehentikan langkah di depan air mancur. Aku berdiri tepat di hadapan Rey, kuangkat dagu ke arah pemuda itu. "Kamu mau ronde berapa?" godanya mengerlingkan mata. "Nakal!" Kujewer telinganya p
Bab 138 Aku dan Serly telah berada di bandara Singapura. Reyhan dan teamnya berada di sini. Kami berjalan menuju hotel Reyhan. Sengaja aku tak menghubungi pria itu untuk memberikan sedikit surprise. Langkahku lebih cepat sebelumnya, Serly tampak kelelahan. "Haduh, pelan-pelan bisa gak si Bu Bos?" "Eh, ini udah pelan. Kamu aja pakai sepatu tinggi begitu. Apa gak lelah?" "Ini sepatu pemberian pacarku jadi aku pakai biar ia senang." "Dasar bucin. Kita ini jalan-jalan jauh bukan ke mall atau ke cafe." "Lebih bucin lagi terbang ke luar negeri demi sang kekasih." Aku hanya tertawa pelan, kita berdua memang sama-sama bucin. Kulangkahkan kaki memasuki sebuah hotel mewah. Hotel bintang lima memiliki keindahan yang tak bisa ditandingi. Pemandangan luar biasa bagi para wisatawan. Singapura memiliki ciri khas keindahan sendiri. "Kita akan ke mana?" tanya Serly mengandeng tanganku. "Kita ke kamar hotelnya.""Memang kamu tahu tempatnya?" "Ya ampun, tentu saja tahu. Ayo kita tanya resep
Bab 137 Aku dan Serly menghampiri pria pengkhianat di perusahaanku. Sebelum pria itu kabur aku telah memberikan jebakan untuknya. Kubuat dana di perusahaan berkembang pesat. Ia pasti tahu akan hal itu karena pegawai yang mengkhianatiku berada di bagian keuangan. Lagi-lagi ia melakukan pengeluaran tak terduga. Bukti ini nyata dan bisa menjadi barang bukti. "Apa yang tejadi dengan keuangan perusahaan ini? Bagaimana bisa menurun drastis begini. Padahal pemasukan berjalan seperti biasa." Kuletakkan berkas yang dibuat oleh pria itu. Pria yang sejak tadi tampak gelisah. "Memang seperti itu keadaan perusahaan kita." "Gak mungkin." Kulipat tangan di dada menatap pengkhianatan perusahaan. Wajah pria berusia empat lima tahun duduk di depanku. Ia tak sanggup menatapku. "Mengapa ada pengeluaran yang tak aku mengerti di sini!" Kutunjuk berkas keuangan bulan ini. "Oh, itu untuk keperluan perusahaan ini." "Gak mungkin kepentingan perusahaan sebanyak tiga puluh juta. Coba katakan padaku un
Bab 136 Ku injak rem dengan cepat. Seorang wanita merentangkan tangan di depan kendaraan roda empat milikku. Untung saja kakiku segera menginjak rem dengan capat. Seorang gadis berdiri menatap manik aku. Aku kenal wajah itu. Ia adalah Lisa, adik Rita. "Tolong aku! Tolong!" Aku melihat pria yang berada di club. Ia mengejar Lisa dengan tatapan marah. Kubuka pintu mobil dan Lisa segera masuk ke dalam. Wajah Lisa tampak pucat. Aku menginjak gas dengan cepat hingga mobilku melanju meninggalkan pria yng masih mengejar Lisa. "Cepat Mba! Cepat!" Suara teriakkan Lisa membuatku terkejut. Pria itu masih mengejar kami. Kulihat dia dari kaca spion kembali ke mobilnya. "Mba Intan, cepatan! Tolong aku!" "Tenang Lisa. Kasih aku ketenangan." Lisa diam dan hanya terisak. Aku tahu ia memiliki masalah yang tak rumit. Wajah Lisa menoleh ke arah belakang. Mobil yang dikendarai pria itu berada di belakangku. Ku injak lagi gas lebih kencang agar pria itu tak dapat mengejar mobilku. Semua mobil y
Bab 135 Senyum menyeringai terlihat jelas. Mba Nita tersenyum sinis menatapku penuh arti. "Tanda tangan saja!" "Aku gak bisa, Mba. Aku gak bisa."Sebagai seorang ibu aku tak bisa melakukan hal itu. Aku tak ingin hidupku jauh dari anak. Pikiran mereka licik dan tak berbobot. Aku akui klo diri ini juga pernah melakukan hal licik dan jahat. "Lalu kamu ingin menjadi istri suamiku selama begitu. Jangan mimpi. Mas Bromo hanya memiliki istri satu yaitu aku. Hanya aku." Aku menundukkan kepala dan menatap Mas Bro sejenak. Kenapa pria tua itu berubah ketika berada di samping istri pertamanya. "Mas, aku ini seorang Ibu. Tak ingin jauh dari anakku." Aku memang jahat dan licik tapi aku juga akan menjadi seorang ibu. "Lebih baik tanda tangan saja. Kamu masih muda. Kamu masih memiliki jalan panjang. Kami akan merawatnya." Ucapan Mas Bro terdengar bijak. Apakah ia bisa dipercaya atau hanya berpura-pura saja. Sedangkan di belakang mba Nita ucapannya begitu manis. Pria itu begitu sayang kepad