Bab 77Langkah kakiku sudah berada di daratan, bersembunyi di pepohonan. Melangkah menuju mereka. Hanya ada tiga orang yang berada di sana lalu ke mana sisanya.Hingga tubuhku mendekati mereka tanpa disadari oleh siapapun. Aku penasaran siapa dibalik ini semua, hingga kedua netra tak sengaja menangkap sosok lelaki yang aku kenal. Sialan! Tenyata dia pelakunya. Mengepalkan tangan sekuatnya. Aku harus segera pergi sebelum mereka mengetahui kepergianku. Langkah kakiku perlahan menjauh, batu kerikil menyakiti telapak kaki tak peduli asalkan aku selamat. Hingga rintihan keluar dari bibir ini. Beling menancap di telapak kaki. Tanpa kusadari tangan seseorang membekam mulutku kasar dan menyeret tubuh ini. "Ha ... ha ... ha .... Mau kabur ke mana lu?" tanyanya memeluk tubuhku dari belakang. Ingin berteriak atau menendang, sepertinya ia sudah tahu taktik ini. "Hei kalian bodoh! Wanita itu di sini." Teriaknya ke arah mereka. Hingga Kedua netra kami berhadapan, pemuda yang berada di balik
"Kamu, Serly!" sapaku hingga tak mengenalinya mengapa pakaiannya seperti itu. "Iya, kamu tak mengenalku, ya?" tanyanya dengan gaya genit. "Kenapa kamu datang sendiri. Mana yang lain?" "Mereka sibuk. Aku bawakan ini untukmu." Menyodorkan paper bag dan beberapa plastik hitam kepadaku. "Apa ini?" Melihat paper bag dan memberikan plastik hitam kepada Bude Lasmi. Kubuka perlahan. Beberapa dress cantik tetapi terlalu terbuka. Aku mengernyit heran kepadanya. "Untuk apa ini?""Untukmu." "Aku tak suka." Meletakkan paperbag itu. "Aku tahu. Aku juga tak suka." Serly tertawa terbahak-bahak. Hingga kedua netra kami mengeluarkan embun. "Bagaimana keadaan di luar sana?" Aku sudah lama tak keluar, ingin tahu keadaannya. "Lebih baik," jawaban singkat terlontar dari bibirnya. Tak membuatku puas baik hati dan pikiran. "Mama dan Bayu?" Serly tersenyum menatapku. Mengapa ia tersenyum seperti itu hingga membuatku semakin penasaran saja. "Serly?"Tangan lentik wanita yang kini sudah berganti pa
Bab 79 Kedua netra ku mendadak mengantuk, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku pamit undur diri untuk istirahat kepada Reyhan yang masih duduk menikmati kopinya. Beberapa pisang masih berada di atas piring. "Aku pamit ke kamar," ungkapku menguap berkali-kali dan menutup dengan telapak tangan. "Istirahatlah. Siapkan mentalmu besok." Reyhan mengulum senyum, penampakan yang tak pernah aku lihat sebelumnya. "Siap Bos!" Kulangkahkan kaki ke kamar, Serly masih terlelap dengan memeluk guling. Kuselimuti tubuh gadis mengenakan kaos lengan panjang dan celana pendek. Aku ikut terbaring di ranjang yang sama. Kedua telingaku mendengar suara dua manusia yang sedang bercakap. Membuka perlahan mata ini dan melihat sisi ranjang. Tak ada sahabatku di sana karena penasaran aku bangkit dan menghampiri suara tersebut hingga kedua indera pendengaran mencerna pembicara mereka. "Apa kamu yakin dengan bukti itu?" tanya Reyhan masih duduk di tempat yang tadi. Entah bagaimana Serly bisa be
"Itu orangnya!" Tunjuk salah satu dari mereka ketika melihat aku keluar dari mobil. Wartawan lain ikut menoleh ke arah teriakkan pria itu. Mereka berlari berbondong-bondong menghampiri di parkiran mobil. Reyhan segera memeluk bahuku dan melangkah menuju gedung yang kini berada di depan mata. Tak hanya Reyhan melindungi dari kejaran para wartawan. Beberapa pria berpakaian keamanan ikut menghadang mereka. Begitu sulit melangkah, para wartawan seperti tak memberikan ruang kepada kami. Beberapa pertanyaan terlontar dari bibir mereka. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan terlontar. Melangkah lurus tanpa mau melihat ke bawah karena akulah Intan yang selalu menjadi wanita tangguh. Hingga kami masuk ke dalam ruang sidang. Jantungku berdegup kencang melihat keadaan di dalam. Hakim belum duduk di kursi tertinggi. Adel dan Cheri juga ada di dalam. Mereka menghampiri dan memeluk tubuh ini. "Kamu jangan cemas. Kita hadapi bersama-sama," ucap Adel. "Iya, tenang saja. Semua akan beres." Reyha
Sejak lamaran mendadak itu aku dan Reyhan semakin dekat dan aku merasakan hal yang sama dengan pemuda itu. Setiap hari kami bertemu. Kalau Reyhan sibuk ia hanya menghubungiku melalui video call. "Mama!" Bayu keluar dari mobil dan berlari ke arahku. Anak itu sudah semakin besar. Wajahnya mirip sekali dengan Mas Ilham. "Bayu, akhirnya kamu pulang." Kupeluk anakku, kerinduan yang mengebu terobati. "Tentu saja pulang. Aku rindu Mama. Bagaimana liburan Mama?" tanyanya menatap wajahku lekat. Tubuh Bayu bertambah gemuk. Mamaku pasti sangat memanjakannya. Kulirik Mama dan Reyhan yang sudah berdiri dekatku. Mungkin saja mereka terpaksa berbohong untuk menutupi permasalahan yang telah aku hadapi. "Cukup menyenangkan dan banyak pelajaran yang Mama ambil." Mencium pipi gembul Bayu gemas. "Kenapa tak mengajakku?" tanyanya merajuk. "Kamu saja tak mengajak Mama." Bayu menatapku. "Kita seri Ma." Kami terkekeh geli mendengarnya. Reyhan berdehem di saat kami telah menyelesaikan makan siang ka
"Mirip sekali." Om Leo menatapku tak berkedip. Mulutnya sedikit menganga akupun heran dengan pria yang akan menjadi calon mertuaku. Berkali-kali Tante Lusi, mama Reyhan menyenggol tubuh suaminya dengan sikut. Hanya saja pandangan Om Leo tak lepas dari wajahku. "Maaf Om. Mirip siapa?" Aku berani bertanya karena ucapan pria yang seumuran almarhum papa menatapku tak berkedip. Seperti melihat seseorang di masa lalu. "Oh, mirip seseorang. Ayo kita duduk Ma." Om Leo menarik kursi untuk istrinya. Wajah wanita itu tampak masam mungkin bisa diartikan cemburu. Apakah karena Om Leo berkata demikian, aku mirip seseorang. Apakah aku akan memiliki mertua seperti sebelumnya. Semoga saja tidak terjadi seperti dulu. Sebelum mereka datang kami sudah memesan makanan agar tak lama menunggu-nunggu. "Sekarang kamu kerja di mana?" tanya Om Leo kepadaku sambil menikmati makan malam. "Entahlah Om. Belum ada planning. Perusahaanku masih bisa digunakan karena itu miliki sendiri." Sayang sekali kalau dijual
"Intan, mana papa dan mama?" sapa Reyhan menyentuh bahuku lembut. "Eh, mereka sudah pergi Rey. aku telat. Ini dompet Papa mu. kamu saja yang memberikannya." Kuserahkan barang Om Leo yang tertinggal. "Kuncinya sama kamu. Bagaimana mereka menyalakan mobil?" Aku lihat Om Leo mencari kunci tetapi sepertinya ia memiliki kunci lain. Sempat kubuka dompet di dalam tak ada STNK yang dikatakan Rey di dalam restauran tadi. "Mungkin mereka punya kunci cadangan." Aku sengaja tak mengejar mereka agar aku lebih tahu tentang wanita yang bernama Aura Kasih. Setelah mereka masuk ke dalam mobil aku bersembunyi di balik kendaraan lain. Aura Kasih nama yang belum pernah aku dengar kecuali penyanyi yang sempat dulu viral dan menjadi kekasih vokalis band terkenal. Ucapan Om Leo semakin membuatku penasaran. Apakah Reyhan tahu tentang wanita itu. Tapi, Om Leo bilang aku mirip Aura ketika wanita itu seumuranku artinya umur Aura setara dengan Om Leo. Hatiku merasa aku harus mencari tahu wanita itu tap
Bab 84 POV Ilham Aku melajukan kendaraan dua menuju kontrakan. Rita sudah sembuh dari sakit mentalnya setelah anakku telah tiada. Bayi laki-laki mirip Bayu telah dibunuh oleh neneknya sendiri. Hatiku begitu sakit, air mata tak dapat tertahan lagi. Begitu teganya, Mertuaku melakukan hal itu agar Intan bisa memberikan uang. Bukankah seorang anak harus dirawat dan disayang. Kenapa Tante Vivi tega menjual anakku dan memaksa Intan untuk membelinya. Rasanya malu sekali kepada mantan istri yang pernah aku khianati. Aku juga tak menyangka Intan begitu baik dan peduli kepadaku apakah dia masih mencintaiku sama seperti dulu. Sengaja aku membeli sebungkus cilok kuah untuk lauk di rumah. Rita jarang sekali memasak. Ia lebih senang menatap ponsel. Mengapa ia tak berdagang online atau menjadi kreator. Aku sering melihat istriku itu bergaya di depan layar pipihnya. Kuda besiku telah berada di teras kontrakkan. Aku memilih rumah satu kamar saja hanya untuk kami berdua. Terkadang Rita mengeluh k
Aku menatap langit begitu cerah, begitu juga suasana pagi ini. Wanita berkebaya putih dengan hijab senada duduk di samping pria yang akan menghalalkannya. Suara bayi menangis berada di sampingku. Bayi itu milik Lisa. Lisa telah melahirkan seorang anak perempuan. Bayi mungil berwajah mirip dengan ibunya. "Mungkin dia haus," ucapku mengusap kepala mungil bayi berusia dua bulan..Wanita yang dipercaya menjaga anak Lisa segera mengambil susu dalam botol. Susu itu bukan susu kaleng atau susu sapi. Tetapi, susu asli dari ibunya langsung yang diambil dan disimpan dalam lemari pendingin. Bayi mungil itu langsung menyedot ASI dalam botol dot dengan cepat. "Kasihan, haus ya." Gemas sekali melihat anak itu. Kuusap perut yang semakin membesar. Sebentar lagi anak ini juga lahir. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Ijab kabul mulai di lontarkan. Mas Bro telah memenuhi keinginan Lisa. Ia telah belajar salat dan mengaji. Di hadapan Lisa melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa menerima Mas Bro se
Bab 142 "Mas ngapain di situ?" Aku menoleh ke arah belakang, Rita datang menghampiriku. Ia duduk di samping sambil ikut menikmati keindahan malam. "Bagus pemandangannya." "Tadi acaranya meriah banget, ya. Pengantinnya juga cantik dan serasi.""Iya, Intan selalu cantik," pujiku tanpa menyadari perkataan yang terlontar. "Oh, pantesan dari tadi kamu itu lihatin Intan terus ternyata belum move on!" Rita bertolak pinggang. Ia menjewer telingaku hingga hampir terlepas. "Aduh! Aduh! Sakit Rita!" "Kamu tadi bilang cantik." "Intan perempuan pasti cantik masa aku bilang ganteng. Gak lucu kan?" Rita melepaskan tarikannya dari telingaku. Aku mengusap pelan telinga yang kini terlihat memerah. "Kamu itu cemburu aja. Kamu juga cantik, kok. Gak kalah sama Intan." "Apanya cantik. Boro-boro beli skincare, serum atau pelembab. Pakai bedak sama lipstik aja sudah bersyukur." "Kamu gak pakai bedak juga masih cantik." "Gombal! Mana ada?" "Ada, buktinya kamu." Aku mencolek dagu Rita. Bagaimanap
Bab 141 Setelah aku menganti pakaian. Aku menghampiri putraku di dalam kamar. Jari mungil Bayu menari di atas buku gambar. Memberikan warna yang tepat dan sesuai. "Bayu sedang apa?" tanyaku lembut dan bersahabat. "Mewarnai," ucap anakku polos. Aku menatap hasil gambar anakku. Ia pandai menggambar dan melukis. Hobi baru saat ini. "Siapa yang mengajari kamu?" "Papa." Kuusap lembut surai anakku. Aroma shampo sejak dulu masih sama dan tak berubah. "Bayu, tadi dipanggil Om Rey kok begitu?" Aku mulai bertanya perlahan mungkin ada hubungannya dengan mimpi Bayu kala itu. Ia mengatakan kalau aku tak boleh menikah. "Om Rey akan ambil mama dari Bayu," ucap anakku polos. Tangannya tak berhenti mewarnai. Aku mengernyit heran, apakah ada orang yang berbicara hal tidak-tidak dengannya."Gak mungkin. Kamu anak Mama. Gak ada yang bisa memisahkan kita." Bayu duduk dan menyilangkan kaki. Tatapan polosnya membuatku semakin gemas. "Dulu Papa nikah lagi dan pergi meninggalkan Bayu. Ia memilih T
Bab 140 Kami mengikuti Om Leo bersama gadis muda. Ia tampak seperti anak kuliahan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Om Leo tampak mengusap paha gadis yang mengenakan rok mini itu. Suara manja terdengar di bibirnya. Aku pastikan kalau hasrat Om Leo sedang naik. Mata yang pernah aku lihat ketika ia melihat bagian sensitifku. "Bagaimana aku makan makanan ini kalau pakai masker?" keluh Rey yang sejak tadi menatap makanannya. "Pindah duduk di sini. Mereka tak akan bisa melihat wajahmu." Rey mengikuti apa yang aku sarankan, pria itu makan dengan lahap. Aku mencegah kepalanya agar tak menoleh ke arah Om Leo. "Makan saja jangan tengok-tengok." "Calon istriku luar biasa," pujinya menatapku. Kami memilih duduk di dekat pot besar jadi tubuh Rey tertutup tanaman itu. Om Leo juga tak menyadari kehadiran kami di sini. Rey sudah selesai dengan makanannya. Aku meminta pelayan untuk membungkusnya saja. Segera membayar tagihan restauran dan bangkit dari duduk. "Papa masih di dalam kenapa kita
Bab 139Kaki Rey sudah lebih baik, aku selalu menemaninya ke mana saja. Serly sudah pulang ke Indonesia. Sedangkan Tante Aura masih ada urusan di negara ini.Adel sudah kembali ke rumahnya. Aku bahagia melihat keadaan Bundanya Adel. Ia masih mengingatku tak seperti dulu. Ganggu jiwanya sudah sembuh. Adel dan Om Arga saling bekerja sama untuk merawatnya. Mereka Keluarga yang kompak apalagi On Arga mampu menjadi sosok ayah untuk Adel. "Kalau kita sudah menikah kamu mau anak berapa?" tanya Rey ketika kami berjalan-jalan ke taman. Suasana dan cuaca hari ini sangat mendukung kami untuk menikmati keindahan negara Singapura. Rey, masih mengunakan kursi roda. "Nikah aja belum sudah tanya mau anak berapa?" "Ya, namanya rencana masa depan. Jadi harus di perkirakan." "Memangnya kamu sanggup berapa?" Kehentikan langkah di depan air mancur. Aku berdiri tepat di hadapan Rey, kuangkat dagu ke arah pemuda itu. "Kamu mau ronde berapa?" godanya mengerlingkan mata. "Nakal!" Kujewer telinganya p
Bab 138 Aku dan Serly telah berada di bandara Singapura. Reyhan dan teamnya berada di sini. Kami berjalan menuju hotel Reyhan. Sengaja aku tak menghubungi pria itu untuk memberikan sedikit surprise. Langkahku lebih cepat sebelumnya, Serly tampak kelelahan. "Haduh, pelan-pelan bisa gak si Bu Bos?" "Eh, ini udah pelan. Kamu aja pakai sepatu tinggi begitu. Apa gak lelah?" "Ini sepatu pemberian pacarku jadi aku pakai biar ia senang." "Dasar bucin. Kita ini jalan-jalan jauh bukan ke mall atau ke cafe." "Lebih bucin lagi terbang ke luar negeri demi sang kekasih." Aku hanya tertawa pelan, kita berdua memang sama-sama bucin. Kulangkahkan kaki memasuki sebuah hotel mewah. Hotel bintang lima memiliki keindahan yang tak bisa ditandingi. Pemandangan luar biasa bagi para wisatawan. Singapura memiliki ciri khas keindahan sendiri. "Kita akan ke mana?" tanya Serly mengandeng tanganku. "Kita ke kamar hotelnya.""Memang kamu tahu tempatnya?" "Ya ampun, tentu saja tahu. Ayo kita tanya resep
Bab 137 Aku dan Serly menghampiri pria pengkhianat di perusahaanku. Sebelum pria itu kabur aku telah memberikan jebakan untuknya. Kubuat dana di perusahaan berkembang pesat. Ia pasti tahu akan hal itu karena pegawai yang mengkhianatiku berada di bagian keuangan. Lagi-lagi ia melakukan pengeluaran tak terduga. Bukti ini nyata dan bisa menjadi barang bukti. "Apa yang tejadi dengan keuangan perusahaan ini? Bagaimana bisa menurun drastis begini. Padahal pemasukan berjalan seperti biasa." Kuletakkan berkas yang dibuat oleh pria itu. Pria yang sejak tadi tampak gelisah. "Memang seperti itu keadaan perusahaan kita." "Gak mungkin." Kulipat tangan di dada menatap pengkhianatan perusahaan. Wajah pria berusia empat lima tahun duduk di depanku. Ia tak sanggup menatapku. "Mengapa ada pengeluaran yang tak aku mengerti di sini!" Kutunjuk berkas keuangan bulan ini. "Oh, itu untuk keperluan perusahaan ini." "Gak mungkin kepentingan perusahaan sebanyak tiga puluh juta. Coba katakan padaku un
Bab 136 Ku injak rem dengan cepat. Seorang wanita merentangkan tangan di depan kendaraan roda empat milikku. Untung saja kakiku segera menginjak rem dengan capat. Seorang gadis berdiri menatap manik aku. Aku kenal wajah itu. Ia adalah Lisa, adik Rita. "Tolong aku! Tolong!" Aku melihat pria yang berada di club. Ia mengejar Lisa dengan tatapan marah. Kubuka pintu mobil dan Lisa segera masuk ke dalam. Wajah Lisa tampak pucat. Aku menginjak gas dengan cepat hingga mobilku melanju meninggalkan pria yng masih mengejar Lisa. "Cepat Mba! Cepat!" Suara teriakkan Lisa membuatku terkejut. Pria itu masih mengejar kami. Kulihat dia dari kaca spion kembali ke mobilnya. "Mba Intan, cepatan! Tolong aku!" "Tenang Lisa. Kasih aku ketenangan." Lisa diam dan hanya terisak. Aku tahu ia memiliki masalah yang tak rumit. Wajah Lisa menoleh ke arah belakang. Mobil yang dikendarai pria itu berada di belakangku. Ku injak lagi gas lebih kencang agar pria itu tak dapat mengejar mobilku. Semua mobil y
Bab 135 Senyum menyeringai terlihat jelas. Mba Nita tersenyum sinis menatapku penuh arti. "Tanda tangan saja!" "Aku gak bisa, Mba. Aku gak bisa."Sebagai seorang ibu aku tak bisa melakukan hal itu. Aku tak ingin hidupku jauh dari anak. Pikiran mereka licik dan tak berbobot. Aku akui klo diri ini juga pernah melakukan hal licik dan jahat. "Lalu kamu ingin menjadi istri suamiku selama begitu. Jangan mimpi. Mas Bromo hanya memiliki istri satu yaitu aku. Hanya aku." Aku menundukkan kepala dan menatap Mas Bro sejenak. Kenapa pria tua itu berubah ketika berada di samping istri pertamanya. "Mas, aku ini seorang Ibu. Tak ingin jauh dari anakku." Aku memang jahat dan licik tapi aku juga akan menjadi seorang ibu. "Lebih baik tanda tangan saja. Kamu masih muda. Kamu masih memiliki jalan panjang. Kami akan merawatnya." Ucapan Mas Bro terdengar bijak. Apakah ia bisa dipercaya atau hanya berpura-pura saja. Sedangkan di belakang mba Nita ucapannya begitu manis. Pria itu begitu sayang kepad