Bab 127 "Mas, Mba Nita." Aku sengaja terisak agar lebih menyakinkan. Mas Bro pasti tak ingin anak dalam janinya ini mengalami hal yang tak diinginkan. Kubuat isakan agak keras agar pria diseberang sana mendengar. "Ada apa, Lisa. Kenapa dengan Nita?" Suara pria itu pasti panik. Kutahan tawa ini agar tak terdengar. Apakah ia sepanik itu. "Halo Lisa. Apa yang terjadi dengan Nita. Katakan Lisa?" "Ia jahat kepadaku. Masa aku disuruh-suruh." Aku menangis tergugu tak ada kalimat yang terlontar di seberang sana. "Aku mual, pusing dan disuruh panas-panasan." Rengekanku sedikit manja. "Memangnya kamu disuruh apa sama dia?" Suara Mas Bro tampak cemas. Ada getaran dari suara itu. "Aku disuruh bersihkan taman." Kubuat sedramatis mungkin. Biarlah mereka bertengkar dan nenek nenek itu tak akan bisa memerintahkanku seenak jidat. Helaan napas terdengar di seberang. Aku yakin sebentar lagi Mas Bro akan memarahinya."Maafkan Nita. Aku akan menasihatinya. Kamu yang sabar." Suara mas Bro lembut se
Bab 128"Kok, bengong. Ayo ambil! Kamu cape, haus dan lelah. Minum ini bikin dahaga lega. Ayo Minum!" Wanita bertubuh kurus memberikan minumannya kepadaku. Aku hanya bisa menatap gelas itu. "Kenapa bengong? Kamu bilang aman. Cepat di minum." "Aku sudah kenyang Tante." Kuletakkan gelas itu di meja. "Kenyang makan apa?" Nita ikut bersuara. Nenek-nenek itu menatapku heran. Apakah ia tahu yang aku lakukan di gelas mereka. "Nit, aku gak mau jus. Minum di meja saja." Menujukkan ke arah minuman dalam kaleng. "Ini gak mau?" "Gak mau, Nit. Buat dia aja." "Lisa kamu minum saja semuanya. Bawa sana Ke dalam!" Kenapa mereka tak meminumnya, rencanaku gagal untuk membuat mereka bolak balik WC. "Ini sudah dibuat lebih baik diminum saja," saranku kepada mereka. "Hei, terserah kita. Ini pembantu kok ngelunjak banget!" "Iya, Nit. Kamu dapat pembantu dari mana, sih. Modelnya kayak begini aja. Tampang pelakor!"Mereka melirikku bergantian, aku hanya bisa menahan rasa kesal di dada. Tak bisa
Bab 129 Kulayangkan tangan ke udara dan mendarat di pipi wanita tua yang seharusnya kupanggil ibu bukan mba. Tapi semua itu hanya angan saja. Tak ada keberanian untuk melakukannya. Kelak nanti ia akan mendapat balasannya. "Kenapa bengong?" tanyanya masih menatapku dengan tatapan meledek. "Gak Mba. Apa salahku sampai Mba seperti ini?" "Salahmu banyak apalagi kamu menghadirkan janin di Perutmu itu." Menatap bagian perutku yang masih rata. "Tapi Mba. Mas Bro juga menginginkan bayi ini. Aku yakin ia rindu suara bayi." "Asal kamu tahu saja. Suamiku tak suka anak kecil. Maka dari itu sejak dulu ia tak ingin punya anak. Entah kenapa tiba-tiba ingin memiliki anak." Mba Nita mengatakan semua dengan lancar dan tanpa beban. "Gak mungkin. Gak ada manusia yang tak suka dengan anak kecil." "Kita lihat saja nanti. Aku lebih mengenal Suamiku itu." Aku memilih untuk ke kamar. Biarkan saja mereka berdua di meja makan. Aku sempat melihat mba Nita menyimpan makanan di buffet. Mungkin itu makanan
Bab 130 "Lisa kamu kenapa?" tanya Mba Nita ketika kami berpapasan di depan rumah. Wanita itu hendak pergi entah ke mana. Pakaian lebih sexy dan terbuka. Wajahnya penuh makeup tebal seperti para artis terkenal. "Lisa, kamu dengar tidak!" Mba Nita meninggikan suara. Melihat aku tak menjawab. Bentakan Nita tak mengubah aku sama sekali. Aku terdiam menatap Nita. Apakah mereka berdua memiliki kelainan pasangan. Nita dengan wallpaper seperti itu. "Mba. Aku ...." "Ada apa?" Nita tampak cemas sepertinya ia tahu aku melihat sesuatu. Ditangan aku mengenggam plastik tertulis nama departemen store di sebuah mall. Apakah ia menyadari atau tak tahu apapun.."Lisa, kita ke dalam." Nita merangkul bahu ku. Suaranya tak tinggi seperti biasanya kali ini suara Nita lembut. "Minumlah!" Nita menyodorkan air dalam gelas kehadapan ku. Tangan aku gemeter melihat kejadian di depan mata. Mengapa semua menjadi berubah tiba-tiba. Aku tak menyangka akan berada di lingkungan rumah tangga seperti ini. "Apa
Bab 131Hari semakin gelap. Aku harus pergi dari rumah ini. Rumah ini penuh drama dan banyak rahasia dari mereka. Mengingat percakapan mereka sepertinya mereka sudah tak waras.Kulangkahkan kaki tanpa menimbulkan suara. Mereka pasti tertidur lelap di saat jam segini. Aku membuka pintu perlahan, tak ada orang di luar sana karena jam sudah menunjuk pukul tiga pagi. Aku terdiam sesaat. Kalau aku pergi harus ke mana sudah pasti ke kontrakan mas Ilham dan bagaimana aku akan ke sana sedangkan uang saja tak punya. Kalau ke sana pasti mereka menyusul lalu aku harus ke mana. Biarkan saja nanti aku pikirkan yang penting aku pergi dari rumah ini. Aku menatap tas jinjing hitam milikku yang akan aku bawa. Ada rasa ragu dalam dada. Bagaimana aku bisa pergi dari sini. Aku tak ingin hidup bersama mereka. Pasangan aneh dan menjijikkan. Tapi aku tak ingin hidup sengsara. Lebih baik aku tunggu satu jam lagi. Pukul empat pagi suasana ramai di luar sana. Pasti ada kendaraan yang melintas. Kutatap jam
Bab 132 Aroma obat-obatan tercium di hidungku. Aku membuka mata melihat sekeliling dengan nuansa putih. Entah berapa lama aku terpejam. Rasa nyeri terasa di pergelangan tangan. Kupaksa membuka mata apakah aku sudah mati. Terakhir kali kuingat, aku mengoreskan nadi dengan pecahan gelas yang berceceran di lantai. Pikiranku buntu seperti hidupku saat ini. Mati adalah solusi terbaik. Padahal semua masalah bisa diselesaikan tanpa harus mengakhiri hidup. Aku menatap pergelangan tangan sebelah kiri, jarum menusuk ke nadiku. Cairan menetes perlahan masuk ke dalam tubuh. Aku belum mati, masih merasa udara dan oksigen mengalir di tubuhku. "Kamu sudah sadar?" Suara barito seseorang terdengar di sampingku. Aku hanya menatap tanpa mau membuka suara. "Ada-ada saja sampai bunuh diri segala. Apa tak ada cara lain?" Suara ketus itu tentu milik Mba Nita. Wanita itu tampak marah dan geram. Aku masih tak mau membuka suara. Kenapa aku tak mati saja daripada harus menjadi boneka mereka. Seorang pria
Bab 133"Ada apa, Mba?" tanyaku semakin penasaran. "Mba bertemu dengan Mas Bro di jalan. Gak ketemu sih hanya liat sekilas. Ia sedang berjalan bersama wanita cantik." Suara mba Rita pelan tapi aku masih bisa mendengarnya karena suaranya tepat berada di telinga. Ku berikan senyum manis. Mba Rita gak boleh tahu soal rumah tangga Mas Bro bisa hancur semuanya. "Mba bilang sekilas. Mungkin salah liat." "Tapi, dia mirip banget sama mas Bro. Aku yakin deh. Soalnya bus yang aku tumpangi sempat berhenti. Mas Bro mesra banget. Mereka gandengan tangan.""Tuh, Mba salah lihat. Mas Bro selalu menemaniku." "Mungkin juga apalagi aku kepikiran kamu. Mba takut istri Mas Bro sakitin kamu." Aku mengusap lengan Mba Rita lembut. "Mereka baik, kok." "Kalau mereka baik kenapa kamu bisa masuk rumah sakit. Gak mungkin, dong!" Suara Mba Rita meninggi, aku meletakkan jari telunjuk ke bibir. "Ini rumah sakit, Mba. Jangan berisik." "Aku hanya tak rela dan ingin mencari perhatian Mas Bro. Aku yakin Mba p
Bab 134 Wajah Mba Rita memerah. Ia mendapat tolakan dari Mba Nita. Pasti hati kakakku sakit menerima penolakan. "Suami kamu harus memberikan mahar dan karena dia masa depan adikku terancam." "Itu semua karena kesalahannya. Kalau dia tak mengoda sudah pasti semua ini tak akan terjadi. Jadi tolong tahu diri." Mba Rita tampak kesal, aku hanya bisa menatap mereka berdua. Kenapa Mba Rita berbicara soal mahar di saat yang tak tepat. Apalagi aku dan Mas Bro belum memutuskan tanggal pernikahan kami. "Sama saja. Suamimu juga salah kenapa taruh benih di rahim adikku. Kenapa bukan istrinya saja." "Mba Rita." Aku panggil dia agar menurunkan notasi suaranya. "Sudah, Ma. Sudah. Malu, ini rumah sakit." Mas Bro berusaha menjadi penengah. Aku hanya bisa menonton mereka. "Papa, Mama gak mau turutin permintaan wanita ini. Dia gila dan serakah." Tunjuk jari Mba Nita kepada kakakku. "Maaf Rita. Saya tak bisa menuruti kemauanmu. Mahar segitu terlalu mahal. Aku akan memberikan lima juta rupiah kare
Aku menatap langit begitu cerah, begitu juga suasana pagi ini. Wanita berkebaya putih dengan hijab senada duduk di samping pria yang akan menghalalkannya. Suara bayi menangis berada di sampingku. Bayi itu milik Lisa. Lisa telah melahirkan seorang anak perempuan. Bayi mungil berwajah mirip dengan ibunya. "Mungkin dia haus," ucapku mengusap kepala mungil bayi berusia dua bulan..Wanita yang dipercaya menjaga anak Lisa segera mengambil susu dalam botol. Susu itu bukan susu kaleng atau susu sapi. Tetapi, susu asli dari ibunya langsung yang diambil dan disimpan dalam lemari pendingin. Bayi mungil itu langsung menyedot ASI dalam botol dot dengan cepat. "Kasihan, haus ya." Gemas sekali melihat anak itu. Kuusap perut yang semakin membesar. Sebentar lagi anak ini juga lahir. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Ijab kabul mulai di lontarkan. Mas Bro telah memenuhi keinginan Lisa. Ia telah belajar salat dan mengaji. Di hadapan Lisa melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa menerima Mas Bro se
Bab 142 "Mas ngapain di situ?" Aku menoleh ke arah belakang, Rita datang menghampiriku. Ia duduk di samping sambil ikut menikmati keindahan malam. "Bagus pemandangannya." "Tadi acaranya meriah banget, ya. Pengantinnya juga cantik dan serasi.""Iya, Intan selalu cantik," pujiku tanpa menyadari perkataan yang terlontar. "Oh, pantesan dari tadi kamu itu lihatin Intan terus ternyata belum move on!" Rita bertolak pinggang. Ia menjewer telingaku hingga hampir terlepas. "Aduh! Aduh! Sakit Rita!" "Kamu tadi bilang cantik." "Intan perempuan pasti cantik masa aku bilang ganteng. Gak lucu kan?" Rita melepaskan tarikannya dari telingaku. Aku mengusap pelan telinga yang kini terlihat memerah. "Kamu itu cemburu aja. Kamu juga cantik, kok. Gak kalah sama Intan." "Apanya cantik. Boro-boro beli skincare, serum atau pelembab. Pakai bedak sama lipstik aja sudah bersyukur." "Kamu gak pakai bedak juga masih cantik." "Gombal! Mana ada?" "Ada, buktinya kamu." Aku mencolek dagu Rita. Bagaimanap
Bab 141 Setelah aku menganti pakaian. Aku menghampiri putraku di dalam kamar. Jari mungil Bayu menari di atas buku gambar. Memberikan warna yang tepat dan sesuai. "Bayu sedang apa?" tanyaku lembut dan bersahabat. "Mewarnai," ucap anakku polos. Aku menatap hasil gambar anakku. Ia pandai menggambar dan melukis. Hobi baru saat ini. "Siapa yang mengajari kamu?" "Papa." Kuusap lembut surai anakku. Aroma shampo sejak dulu masih sama dan tak berubah. "Bayu, tadi dipanggil Om Rey kok begitu?" Aku mulai bertanya perlahan mungkin ada hubungannya dengan mimpi Bayu kala itu. Ia mengatakan kalau aku tak boleh menikah. "Om Rey akan ambil mama dari Bayu," ucap anakku polos. Tangannya tak berhenti mewarnai. Aku mengernyit heran, apakah ada orang yang berbicara hal tidak-tidak dengannya."Gak mungkin. Kamu anak Mama. Gak ada yang bisa memisahkan kita." Bayu duduk dan menyilangkan kaki. Tatapan polosnya membuatku semakin gemas. "Dulu Papa nikah lagi dan pergi meninggalkan Bayu. Ia memilih T
Bab 140 Kami mengikuti Om Leo bersama gadis muda. Ia tampak seperti anak kuliahan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Om Leo tampak mengusap paha gadis yang mengenakan rok mini itu. Suara manja terdengar di bibirnya. Aku pastikan kalau hasrat Om Leo sedang naik. Mata yang pernah aku lihat ketika ia melihat bagian sensitifku. "Bagaimana aku makan makanan ini kalau pakai masker?" keluh Rey yang sejak tadi menatap makanannya. "Pindah duduk di sini. Mereka tak akan bisa melihat wajahmu." Rey mengikuti apa yang aku sarankan, pria itu makan dengan lahap. Aku mencegah kepalanya agar tak menoleh ke arah Om Leo. "Makan saja jangan tengok-tengok." "Calon istriku luar biasa," pujinya menatapku. Kami memilih duduk di dekat pot besar jadi tubuh Rey tertutup tanaman itu. Om Leo juga tak menyadari kehadiran kami di sini. Rey sudah selesai dengan makanannya. Aku meminta pelayan untuk membungkusnya saja. Segera membayar tagihan restauran dan bangkit dari duduk. "Papa masih di dalam kenapa kita
Bab 139Kaki Rey sudah lebih baik, aku selalu menemaninya ke mana saja. Serly sudah pulang ke Indonesia. Sedangkan Tante Aura masih ada urusan di negara ini.Adel sudah kembali ke rumahnya. Aku bahagia melihat keadaan Bundanya Adel. Ia masih mengingatku tak seperti dulu. Ganggu jiwanya sudah sembuh. Adel dan Om Arga saling bekerja sama untuk merawatnya. Mereka Keluarga yang kompak apalagi On Arga mampu menjadi sosok ayah untuk Adel. "Kalau kita sudah menikah kamu mau anak berapa?" tanya Rey ketika kami berjalan-jalan ke taman. Suasana dan cuaca hari ini sangat mendukung kami untuk menikmati keindahan negara Singapura. Rey, masih mengunakan kursi roda. "Nikah aja belum sudah tanya mau anak berapa?" "Ya, namanya rencana masa depan. Jadi harus di perkirakan." "Memangnya kamu sanggup berapa?" Kehentikan langkah di depan air mancur. Aku berdiri tepat di hadapan Rey, kuangkat dagu ke arah pemuda itu. "Kamu mau ronde berapa?" godanya mengerlingkan mata. "Nakal!" Kujewer telinganya p
Bab 138 Aku dan Serly telah berada di bandara Singapura. Reyhan dan teamnya berada di sini. Kami berjalan menuju hotel Reyhan. Sengaja aku tak menghubungi pria itu untuk memberikan sedikit surprise. Langkahku lebih cepat sebelumnya, Serly tampak kelelahan. "Haduh, pelan-pelan bisa gak si Bu Bos?" "Eh, ini udah pelan. Kamu aja pakai sepatu tinggi begitu. Apa gak lelah?" "Ini sepatu pemberian pacarku jadi aku pakai biar ia senang." "Dasar bucin. Kita ini jalan-jalan jauh bukan ke mall atau ke cafe." "Lebih bucin lagi terbang ke luar negeri demi sang kekasih." Aku hanya tertawa pelan, kita berdua memang sama-sama bucin. Kulangkahkan kaki memasuki sebuah hotel mewah. Hotel bintang lima memiliki keindahan yang tak bisa ditandingi. Pemandangan luar biasa bagi para wisatawan. Singapura memiliki ciri khas keindahan sendiri. "Kita akan ke mana?" tanya Serly mengandeng tanganku. "Kita ke kamar hotelnya.""Memang kamu tahu tempatnya?" "Ya ampun, tentu saja tahu. Ayo kita tanya resep
Bab 137 Aku dan Serly menghampiri pria pengkhianat di perusahaanku. Sebelum pria itu kabur aku telah memberikan jebakan untuknya. Kubuat dana di perusahaan berkembang pesat. Ia pasti tahu akan hal itu karena pegawai yang mengkhianatiku berada di bagian keuangan. Lagi-lagi ia melakukan pengeluaran tak terduga. Bukti ini nyata dan bisa menjadi barang bukti. "Apa yang tejadi dengan keuangan perusahaan ini? Bagaimana bisa menurun drastis begini. Padahal pemasukan berjalan seperti biasa." Kuletakkan berkas yang dibuat oleh pria itu. Pria yang sejak tadi tampak gelisah. "Memang seperti itu keadaan perusahaan kita." "Gak mungkin." Kulipat tangan di dada menatap pengkhianatan perusahaan. Wajah pria berusia empat lima tahun duduk di depanku. Ia tak sanggup menatapku. "Mengapa ada pengeluaran yang tak aku mengerti di sini!" Kutunjuk berkas keuangan bulan ini. "Oh, itu untuk keperluan perusahaan ini." "Gak mungkin kepentingan perusahaan sebanyak tiga puluh juta. Coba katakan padaku un
Bab 136 Ku injak rem dengan cepat. Seorang wanita merentangkan tangan di depan kendaraan roda empat milikku. Untung saja kakiku segera menginjak rem dengan capat. Seorang gadis berdiri menatap manik aku. Aku kenal wajah itu. Ia adalah Lisa, adik Rita. "Tolong aku! Tolong!" Aku melihat pria yang berada di club. Ia mengejar Lisa dengan tatapan marah. Kubuka pintu mobil dan Lisa segera masuk ke dalam. Wajah Lisa tampak pucat. Aku menginjak gas dengan cepat hingga mobilku melanju meninggalkan pria yng masih mengejar Lisa. "Cepat Mba! Cepat!" Suara teriakkan Lisa membuatku terkejut. Pria itu masih mengejar kami. Kulihat dia dari kaca spion kembali ke mobilnya. "Mba Intan, cepatan! Tolong aku!" "Tenang Lisa. Kasih aku ketenangan." Lisa diam dan hanya terisak. Aku tahu ia memiliki masalah yang tak rumit. Wajah Lisa menoleh ke arah belakang. Mobil yang dikendarai pria itu berada di belakangku. Ku injak lagi gas lebih kencang agar pria itu tak dapat mengejar mobilku. Semua mobil y
Bab 135 Senyum menyeringai terlihat jelas. Mba Nita tersenyum sinis menatapku penuh arti. "Tanda tangan saja!" "Aku gak bisa, Mba. Aku gak bisa."Sebagai seorang ibu aku tak bisa melakukan hal itu. Aku tak ingin hidupku jauh dari anak. Pikiran mereka licik dan tak berbobot. Aku akui klo diri ini juga pernah melakukan hal licik dan jahat. "Lalu kamu ingin menjadi istri suamiku selama begitu. Jangan mimpi. Mas Bromo hanya memiliki istri satu yaitu aku. Hanya aku." Aku menundukkan kepala dan menatap Mas Bro sejenak. Kenapa pria tua itu berubah ketika berada di samping istri pertamanya. "Mas, aku ini seorang Ibu. Tak ingin jauh dari anakku." Aku memang jahat dan licik tapi aku juga akan menjadi seorang ibu. "Lebih baik tanda tangan saja. Kamu masih muda. Kamu masih memiliki jalan panjang. Kami akan merawatnya." Ucapan Mas Bro terdengar bijak. Apakah ia bisa dipercaya atau hanya berpura-pura saja. Sedangkan di belakang mba Nita ucapannya begitu manis. Pria itu begitu sayang kepad