Memasuki ruangan atas panggilan umi Ruqayya. Hati kembali bertanya ada apa gerangan yang ingin umi sampaikan pada Naya.Ia duduk di kursi yang terletak di sebelah umi, sementara Jidan duduk di sofa yang terletak di belakang Naya.Umi memandangi Naya, begitu juga Naya yang sudah berkaca-kaca memandangi wajah paruh baya yang sudah seperti ibunya sendiri.“Kalian harus segera menikah,” ucap umi melirik bergantian pada Naya dan Jidan.Tanpa komentar, Naya membiarkan Jidan untuk berbicara terlebih dahulu.Tiba-tiba ponsel Jidan berbunyi. Menunjukkan panggilan dari Inda. Dengan terpaksa, Jidan menghentikan panggilan tersebut, menaruh kembali ponselnya ke dalam saku jas.“Nanti pesantren bagaimana jadinya Nang, kalau tanpa seorang wanita yang mendampingi kamu?”“Mi... Kita fokus untuk kesembuhan Umi dulu ya? Setelah itu kita bicarakan lagi,” rayu Jidan pada umi.“Umi sudah tidak punya banyak waktu lagi Nang untuk kalian,” sambil mengelus tangan lembut Naya, wanita paruh baya meneteskan buli
“Sepertinya Naya tidak bisa menginap disini Mi. Ada sesuatu yang harus Naya urus di asrama malam ini,” Naya mencoba beralasan. Sebenarnya dia tidak mau kalau harus bermalam satu ruangan dengan kyainya. Apa kata dunia?“Apa urusan itu lebih penting dari Umi?” pertanyaan tersebut cukup membuat Naya kehabisan kata-kata.Naya kembali melirik Jidan, Jidan mengangguk ringan mengisyaratkan untuk menuruti perintah umi.“Insyallah Naya akan tidur disini Umi,” kata Jidan. “Apa Umi mau makan sesuatu?” tanyanya.“Umi mau bubur ayam saja Nang,” jawab umi.“Nay? Mau makan apa?” tanya Jidan menoleh pada Naya.“Apa saja Pak Kyai,” sahut Naya.“Oke, saya keluar dulu. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya ya?”“Baik Pak Kyai,”Jidan bergegas keluar, waktu baru saja menunjukkan pukul tujuh malam. Sebelum membeli makanan, Jidan berhenti sebentar di sebuah super market untuk membeli beberapa cemilan dan perlengkapan menginap.Sudah mendapatkan apa yang ingin dibeli, Jidan berhenti sejenak dan melihat t
Merasa tidak nyaman karena harus makan bersama sang kyai. Naya memutuskan untuk mencari aktifitas di sela-sela makan. Ia beranjak menuju meja yang terletak di samping ranjang umi, mengambil dua botol mineral dan meletakkannya di meja tempat mereka makan.“Terimakasih Sayang,” ucap Jidan tidak menoleh pada Naya.Naya terperangah dengan kata terakhir yang dilontarkan Jidan.Jidan terdiam dengan sesuap nasi yang hampir ia masukkan ke mulut.“Eh? Maaf saya... teringat dengan istri saya,” ia tergugup dalam ucapannya. Meski Naya dengan cepat tidak menghiraukan perkataan Jidan yang salah memanggilnya.Naya mengerti bagaimana perasaan sang kyainya saat ini. Sudah hampir satu tahun berpisah dengan Inda, hatinya pasti berat menahan kerinduan setiap harinya.“Tidak apa-apa Pak Kyai,” sahut Naya tersenyum ramah.DING! DING! DING!Ponsel Naya berdering, menunjukkan panggilan dari seseorang yang mampu mengejutkannya saat membaca nama yang tertulis di layar.Jidan melirik mencuri pandang ke arah lay
Waktu menunjukkan pukul enam pagi. Aktifitas pagi telah dimulai sebagaimana biasanya. Jidan pun bergegas kembali menuju ruangan umi dengan membawa kantung plastik berisikan satu porsi nasi goreng yang ia beli di depan gerbang rumah sakit. Sementara Naya, juga mulai sibuk merapikan seisi ruangan.“Assalamu’alaikum,” ucap Jidan yang sudah memasuki ruangan.“Wa’alaikumussalam Pak Kyai,”“Apa Umi sudah bangun?”“Belum Pak Kyai,”“Ini ada nasi goreng, silahkan sarapan dulu,” tawar Jidan menyodorkan plastik bening di tangan kanannya.“Terimakasih Pak Kyai,” ucap Naya menerima nasi goreng itu. Hampir saja! Jemari sintal nan putih miliknya bersentuhan lagi dengan sang kyai. “Loh... Ko Cuma satu Pak Kyai?” Naya melihat lihat plastik di tangannya.“Saya sudah sarapan bersama Dokter Rio di depan,”“Ouuuh,” angguk Naya tak sengaja memajukan bibir indahnya.Jidan sedetik diam tak berkedip melihat pesona indah nan lucu seorang Naya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, namun dengan cepat ia halau
Hari ini adalah hari terakhir para senior berlibur, maka, suasana di kantor pun masih seperti dua hari yang lalu. Hanya ramai di lantai dasar, sementara ruangan setiap bagian masih terlihat tak berpenghuni.Kali ini Luna tampak terlihat pede dengan seragam baru yang di berikan bu kemarin. Mengawali hari pertama bekerjanya dengan penuh semangat dan ceria. Tak lupa Luna menyapa para pegawai yang berlalu lalang di lantai dasar agar lebih menambah kedekatan antar pegawai.Saat ini, Luna akan menuju ruang ketua bagian penyelenggara haji dan umrah, membawa berkas pendaftaran para jamaah umrah yang harus ditanda tangani.Ketika Luna telah memasuki ruangan, tidak ada satu pun seseorang di dalam. Aneh sekali rasanya, padahal hari ini adalah jadwal tetap penyerehan data umrah.“Hey...” sapa seseorang yang keluar dari ruang rahasia ketua.Sontak membuat Luna terperanjat melihat keberadaan lelaki itu, lelaki mesum yang mengajaknya paksa ke sebuah hotel kemarin.“Kenapa Bapak disini?” tanya Luna s
Jika saja Luna tidak menarik lengannya, ia akan menghabisi pria rendahan seperti Dani.Luna membawa Jidan ke ruang UKS kantor, berniat untuk mengobati luka yang sudah memar di wajah tampannya.“Maaf... Seharusnya, aku tidak membiarkan kamu menemui dia,” ucap Luna menyesal.“Lain kali tidak usah mencegahku seperti itu, dia tidak bisa seenaknya pada seorang wanita Lun, harus segera diberi pelajaran!” bantah Jidan tanpa memandang Luna.“Aku... Aku khawatir kamu kenapa-napa,” akhirnya kejujuran pun sedikit demi sedikit ia ungkapkan pada pria tampan yang seribu kali telah membelanya.“Boleh aku obati lukanya?” tawar Luna dengan kapas bulat di tangan.Jidan hanya mengangguk pelan. Tidak sadar bahwa seharusnya ia tidak membiarkan wanita lain menyentuh wajahnya kecuali Inda, sang istri tercinta.Oh Tuhan, situasi ini benar-benar membuat Luna kehilangan kesadaran dengan ketampanan pria ini. Detak jantung yang semula tetap pada ketukan yang normal, kini memompa lebih cepat bersahutan.Jidan men
Bab 47Kemudian Jidan, sekuat tenaga ia melafalkan setiap kalimat syahadat diiringi isakan pilu, diikuti oleh umi yang justru bersuara lirih lemah lembut, lancar tanpa terbata. Dan akhirnya...Tuuuuuuuuuuut........Umi telah pergi untuk selamanya.Tangis mereka pecah, mereka dengan sergap memeluk dan mencium umi. Jidan yang sudah lebih dulu mengiklaskan umi setelah beberapa saat ikut menangis di tangan umi, mencoba menenangkan kedua adiknya yang masih meraung memanggil umi.“Sabar Jid,” ucap Dokter Rio yang juga ikut bersedih atas kepergian umi.Jidan hanya mengangguk lemah. Ia dan adiknya segera keluar bersama dokter Rio, karena umi akan segera diurus untuk dibawa ke pesantren.Baru membuka pintu ruangan, Sofwan dan Qahtan berhambur memeluk pak Maman sebagai tempat bersandar yang sudah mereka anggap seperti ayah sendiri.Kana beserta Kirani pun saling berpelukan, menumpakan tangis yang mendalam. Begitu juga dengan Luna, meski ia belum pernah dekat dengan umi, ia dapat merasakan keped
‘benarkah mereka?’ bathin Jidan menerka-nerka. ‘saling jatuh cinta?’ Pasalnya Naya tidak menolak rangkulan itu, begitu juga Hanan yang tidak segan menyentuhkan tangannya ke pundak wanita lugu itu.“Jidan, ada yang bisa saya bantu?” tiba-tiba Luna menghampiri Jidan yang masih mematung memandangi Naya.“Eh? saya mau menginformasikan pengurus putri untuk ikut membaca yasin di dalam. Kamu tolong bantu saya ya? Sampaikan ke Kirani atau Kana,” pandangan Jidan kembali menyorot pada Naya kala mengucapkan kalimat terakhirnya. Membuktikan bahwa, ketua putri saat ini sedang tidak bisa diandalkan.“Baik Jidan,” jawab Luna.“Terimakasih Lun,” Jidan menoleh sedikit pada Luna sebagai tanda terimakasih karena sudah mau membantu.Luna yang sedari tadi memperhatikan sikap Jidan yang mematung di hadapan Naya dan Hanan, cepat memahami situasi itu bahwa ada sesuatu di antara mereka. Terlebih pada wanita lugu beralis tebal itu.Tak mau melihat dua manusia yang telah melakukan maksiat secara terang-terangan
Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
“Sofi,” panggil Inda yang sangat mengerti apa yang sedang terjadi pada Sofia.“Ya Ka,” Sofia menoleh masih dengan wajah lesunya.“Dengarlah apa yang dikatakan oleh hatimu,” titah Inda tiba-tiba.Sofia hanya mengangguk lalu kembali berlalu.“Banyak yang menderita hatinya di rumah ini karena aku,” ucap Inda menyesal.“Kalau saja Ustadzah Inda saat itu tidak berterus terang memberitahu perasaan Kana pada Pak Kyai. Mungkin sampai kapanpun Kana akan terjerat oleh rasa yang membingungkan itu, dan menjadi benalu di rumah tangga Ustadzah. Karena untuk pergi dari pesantren ini pun Kana tidak mampu. Ternyata, cinta Kana pada pesantren ini, ketulusan Kana pada Umi dan Abi lebih besar dari apapun,”Inda terdiam, tertegun mendengar ucapan Kana.“Hingga akhirnya, Kana menemukan hikmah saat Kana berada di kampung. Seorang pria yang selama ini hanya sibuk dalam mempertaruhkan nyawa seseorang datang untuk menyatakan perasaannya dan telah berhasil membuka fikiran Kana dan memberi ruang padanya,”“Janga
“Tapi…”“Kenapa?”“Naya malu Pak Kyai,”“Malu pada siapa?”“Anak santri. Mereka belum mengetahui acara ini. Dengan pergi berdua seperti ini, Naya khawatir ini akan menjadi fitnah,”Jidan menghela napas memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan Naya.“Kana,” panggil Jidan.“Baik Pak Kyai,” sahut Kana yang muncul dari ruang keluarga.“Tolong kumpulkan semua pengurus disini sekarang,”“Sekarang Pak Kyai?” tanya Kana memastikan.“Ya,”“Nggeh Pak Kyai,” angguk Kana lalu bergegas keluar mengerjakan perintah Jidan.Naya terbelalak mendengar ucapan Jidan yang tiba-tiba memanggil semua pengurus untuk berkumpul disini. Keputusan itu, pasti karena ucapannya barusan yang merasa malu karena para santri belum ada yang tahu.“Pak Kyai?” suaranya lirih tak percaya.“Kita cukup memberitahu pengurus saja kan?”“Kenapa tiba-tiba begini Pak Kyai? Pak Kyai semakin membuat Naya malu,” ujarnya mengerucutkan bibir manisnya.“Siap-siap saja dengan tanggapan mereka nanti,”Mendengar kalimat itu, wajah Naya
Dua hari kemudian, kondisi bayi dalam kandungan Inda dinyatakan normal, dan sudah diperbolehkan pulang.Sore hari, Inda dan Jidan sudah sampai di halaman pesantren. Suasana yang tenang, beberapa kegiatan masih berlangsung. Ada yang sedang menghafal di gazebo, ada yang sedang gotong royong membersihkan kamar masing-masing, dan ada juga yang sedang mengikuti ekstrakulikuler karena hari ini adalah hari minggu, dimana kegiatan kesenian dijadwalkan pada hari itu sebagai waktu refreshing bagi para santri.Juga, di area lahan kosong yang terletak di samping rumah pengasuh terlihat Pak Maman sedang mengkordinasi para pegawai yang mulai merancang Pembangunan sebuah rumah yang akan dihadiahkan untuk Naya nanti.“Apa Naya sudah memilih desain interiornya Mas?” tanya Inda yang melihat-lihat area tersebut.“Dia masih melihat-lihat katalog yang diberikan arsitek kemarin Sayang,” jawab Jidan santai.“Assalamu’alaikum Ustadzah?” sapa para santri yang berlalu didekatnya dan tak lupa mereka menyalami J
Sungguh ingin ia mempertahankan sang mantan agar dapat kembali padanya. Sudah sejauh ini ia memperjuangkan sang kekasih, berharap masih ada ruang baginya untuk mendapat cinta yang selama ini telah ia pupuk hanya untuk wanita pemilik wajah anggun nan cantik, yang matanya mampu meluluh lantakkan hati yang memandangnya, yang senyumnya mampu meruntuhkan benteng pertahanan.‘In, siapa yang akan menutup luka yang tergores dalam di hati ini In? Aku masih menyayangimu bahkan entah sampai kapan. Bisakah kamu melihat itu In? aku akan selalu menunggumu’ Pemandangan di balik jendela bus menuju kota Jakarta terasa sedang mengiba ikut merasakan pilunya cinta seorang pria yang baru saja menerobos masuk dalam kehidupan sang mantan. Dengan penuh resiko dan bahaya.KLING KLINGPonsel Zein berbunyi. Panggilan dari Firhan sang wakil keamanan.“Halo assalamu’alaikum Han,”“wa’alaikumussalam Zein,” jawab Firhan tergesa. “Zein gawat Zein. Ada pengeroyokan antar kekeluargaan di distrik 10 Zein,”Zein terteg
TAK TAK TAKLangkah kaki terdengar gagah mendekat memasuki ruang tunggu.“Sofi. Bagaimana keadaan Kakak?” panik Jidan.“Kak Inda masih harus istirahat Kak,” jawab Sofia.Zein hanya melirik sinis pada Jidan dan Naya yang baru saja sampai di ruangan itu. Jidan melangkah sampai di depan Zein yang hanya duduk tak menghiraukan kedatangan Jidan.“Silahkan tinggalkan ruangan ini,” perintah Jidan pada Zein.Zein beranjak dari kursinya dan memandang tajam pada lawan bicaranya.“Jika kamu tidak bisa membahagiakannya. Lepaskan dia dari jerat hidupmu yang rumit itu!” ucapannya penuh penekanan dan mengintimidasi.“Apa hak kamu berbicara seperti itu hah?” cecar Jidan.“Aku. Tidak akan pernah menyerah untuk ini! Ingat itu!”“CUKUP!” teriak Sofia menghentikan perdebatan keduanya. “Jika masih ada yang belum selesai antara kalian, kenapa kamu meminta aku untuk memulai suatu hubungan Kak Zein? Kenapa?” derai air mata tak sanggup untuk dibendung. Kenyataan itu cukup menyakitkan bagi Sofia yang hanya menj
Pagi yang segar di hari sabtu, Inda memutuskan untuk memulai harinya dengan menyirami tanaman bunga di halaman depan rumah. Para santri pun yang hendak masuk ke kelas berlalu Lalang menyapanya dengan santun, beberapa mereka menyalami Inda dengan takzim.“Kamu tau gak Ser? Kemarin Pak Kyai pergi sama Ka Naya loh!”“Kemana ya kira-kita?”“Kalo akau perhatiin ya, akhir-akhir ini Ka Naya selalu dipanggil ke rumah pengasuh tau,”Tak sengaja Inda mendengar percakapan segerombol santriwati sedang membicarakan suaminya dengan ketua putri. Rasanya tidak etis sekali ada pembicaraan seperti itu di pesantren ini, terlebih itu menjurus kepada fitnah nantinya.Larut dalam fikiran, seketika perut Inda terasa nyeri seperti ada yang meremasnya dengan kuat. Inda merintih kesakitan, wajahnya memucat, tubuhnya membungkuk menahan sakit. Selang air yang semula di tangan, ia jatuhkan seketika.Dua oran santriwati yang melihat Inda hampir terjatuh di tanah, segera berlari untuk menopang tubuh Inda. Seluruh s
“Kyai?” panggil Naya.“Ya?” sahut Jidan.“Apa Ustadzah Inda telah menyiapkan semua isi tas Pak Kyai?” tanya Naya yang masih terkesima dengan ketelatenan Inda dalam menyiapkan perjalanan Jidan.“Iya. Kenapa?”“Masyaallah sekali Pak Kyai, sangat lengkap dan rapi,” puji Naya.“Kamu sudah membuka semua bagian?” tanya Jidan memastikan. Naya menggeleng.“Di bagian paling besar, itu berisi pakaian, termasuk handuk kecil dan sapu tangan, di bagian ke tiga, ada perlengkapan untuk perawatan mulut. Dan yang paling kecil ini, Inda berpesan,”kalau ada receh kembalian, taruh disini ya Mas, biar dompet Mas tidak gembung” Begitu katanya,”Naya tersenyum mendengar penjelasan Jidan, kemudian menunduk merasa insecure denga napa yang dilakukan Inda untuk Jidan. Dia tidak yakin bahwa dirinya akan seperfeksionis Inda atau malah menyusahkan mereka.“Kamu, tetaplah jadi dirimu sendiri. Aku akan mencintaimu dengan apa adanya dirimu,” kata Jidan melihat perubahan sikap Naya.“Terimakasih Pak Kyai,” ucap Naya
Waktu itu telah tiba. Hari dimana Jidan dan Inda akan segera berangkat menemui ibunda Naya.Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, seperti jadwal yang sudah ditentukan, Inda akan pergi untuk memeriksakan kehamilannya terlebih dahulu Bersama Jidan.Setelah mengantri menunggu giliran, akhirnya Inda dan Jidan sudah berada di ruangan dan akan segera dilakukan USG yang ditangani langsung oleh bidan Laila.“Sepertinya Ustadzah terlalu banyak fikiran ya?” tebak Laila.“Tidak juga sih Dok, biasa saja, tidak ada yang saya fikirkan berlebihan,” tanggapan Inda mencoba mengelak.“Harus badrest dulu ya Ustadzah. Jangan terlalu melakukan yang berat-berat dulu,”“Apa melakukan perjalanan jauh akan berpengaruh pada bayi kami Dok?”“Kemana?”“Bandung misalnya,”“Emmm. Sepertinya tidak bisa Ustadzah, khawatir terjadi sesuatu pada bayinya nanti,”Inda hanya melirik pada sang suami. Mengisyaratkan hari ini ia tidak akan bisa menemani sang suami.“Baik kalau begitu Dok, terimakasih ya Dok,” ucap Jida