Jeremy Loghan benar-benar seperti bayi besar berbokong kencang yang tidak tahu malu untuk menyusu di tengah malam. Sebenarnya Geby ingin bertanya tapi waktunya sedang tidak tepat untuk mengobrol. Pria itu masih terlalu sibuk menenggelamkan kedua puncak payudara Geby kedalam mulut rakusnya yang terlihat sedang begitu lapar.
Suara hisapan basah dan lenguhan nikmat yang lolos dari bibir lelakinya membuat Geby tidak tahan untuk tidak ikut merintih dan terjerat dalam pusaran gairah. Sapuan lidah Jeremy yang panas seolah terus menghidupkan syaraf-syaraf halus di sekujur tubuh Geby untuk terus menyebar dan berkembang biak seperti cangkang kenikmatan yang membungkusnya dengan rasa berpendar-pendar.
Tangan Geby meraba ke pinggul Jeremy yang terus bergerak menggesek dan mendorongnya dengan berbagai ajakan. Mereka belum melakukan penetrasi meski
vote dulu ya
Jared juga baru tahu jika Jeremy Loghan sudah kembali dan ikut merasa lega. Walaupun mereka bukan orang yang bakal saling menunjukkan perhatian dengan pelukan layaknya saudara, tapi sejatinya mereka akan tetap saling perduli. Ketika kemarin Jeremy tidak ada memberi kabar nyatanya Jared juga ikut cemas karena menurut Jared 'mustahil pria itu meninggalkan Geby begitu saja tanpa sebuah alasan!' Keluarga Loghan memang penuh misteri dan rahasia, Jared tidak pernah membenci mereka dia hanya cukup tahu diri jika tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari keluarga bangsawan kaya raya itu meskipun mengalir darah seorang Loghan di nadinya. Jared juga merasa tidak perlu menjadi seorang Loghan untuk bisa hidup. Jared baru duduk dan menyapa bibi Beatris sambil mengigit roti gandum yang ia sambar dari atas meja ketika tiba-tiba Mr. Papkins memanggilnya. "Tuan muda Jeremy ingin kau ikut makan bersama mereka." Jared langsung berhenti mengunyah, menoleh kearah Mr. Papkins dan
Di antara guguran daun mapel yang sedang menguning dan cahaya matahari yang mengintip dari celah-celah ranting kering, Jeremy Loghan terlihat masih berjongkok di depan makam James, menyentuh batu nisannya yang berukir dengan tinta emas di atas marmer hitam. Entah apa yang sedang di pikirkan Jeremy, karena dia hanya diam tanpa mengucapkan satu patah katapun. Geby duduk di samping undakan tangga memperhatikan suaminya dan sesekali melihat tingkah Lily yang lalu-lalang di sekitarnya untuk menangkap guguran daun yang terbawa angin. Cuaca sudah lebih teduh, meskipun matahari masih nampak cerah tapi sudah tidak terik lagi. Hati Geby juga ikut teduh ketika melihat suaminya. Akhirnya dia bisa melihat kerelaan Jeremy untuk memaafkan, meskipun sampai sekarang Geby masih belum tahu apa sejatinya masalah di antara mereka. Tapi apapun itu Geby yakin pasti ada hubungannya dengan kepergian Jeremy kema
Geby sedang berkaca dan memperhatikan lagi tato di punggungnya. Sejak Geby curiga Jeremy juga memberi tato serupa pada semua wanitanya, tiba-tiba Geby jadi ingin menghapus tato tersebut dari punggungnya dan tak luput Geby juga jadi semakin penasaran dengan arti kata-kata di tato milik Jeremy. Sebenarnya sudah sejak lama dia ingin mencari tahu apa arti dari tulisan terebut dan sepertinya Geby harus segera memikirkan caranya, karena tiap katanya saja terlalu sulit untuk dia eja. Ketika Geby turun untuk mencari Lily ternyata menurut pelayan gadis itu sedang berada di dapur bersama Jared. Geby langsung menyusul ke sana dan menemukan mereka berdua sedang duduk saling berhadapan di meja makan untuk meniupi sup hangat. Aroma daging domba asap yang di buat bibi Beatris juga langsung memancing indra penciuman Geby untuk menegang sampai ke pusar. Geby mual karena sepertinya dia masih belum
"Jangan sembarangan mengirim foto bugilku ke semua orang!" tegur Jeremy yang ternyata belum benar-benar tertidur.Geby langsung berdesis antara jijik memikirkan tuduhan Jeremy dan menyadari kebodohannya sendiri yang lupa mematikan blitz dan suara kameranya."Aku suka tatomu." Buru-buru Geby melilit lagi ke tubuh Jeremy kemudian menciumi sisi pinggang lelakinya untuk membujuk agar pria itu tidak curiga. Tubuh Jeremy benar-benar seperti bongkahan balok, keras , liat dan manis dengan aroma maskulin yang juga sangat menggoda untuk disentuh dan ditelusuri. Kulitnya yang kecoklatan seolah menguapkan energi panas sepanjang waktu membuat Geby merasa nyaman utuk merapat di musim dengan suhu udara yang sudah semakin turun seperti ini."Tidurlah jika kau lelah," bisik Geby ketika ciumannya meraya
Geby berdiri di dekat jendela ruang baca memperhatikan guguran daun yang tertiup angin dan menimpa guguran daun kemarin yang sudah menempel di rumput lembab. Semuanya pasti akan gugur dan tergantikan lagi pupus yang baru, bahkan yang sudah gugur pun akan tertimbun oleh guguran yang lain, begitu seterusnya tiap generasi berlalu. Geby sedang coba mengosongkan segala pikiran di kepalanya sambil memeluk perutnya sendiri tapi tangannya yang lain masih meraba tepat ke sisi punggung di mana tepat inisial nama Jeremy telah diabadikan di sana. Geby memejamkan mata sejenak untuk meresapi perasaannya yang ternyata masih tak tertembus oleh akalnya sendiri. Karena jika Geby berpikir masuk akal rasanya mustahil ia cemburu dengan masa lalu suaminya, tapi kenapa setiap teringat dengan tiap kata-kata yang diabadikan Jeremy di kulitnya itu Geby tetap merasa seperti tidak mengenal suaminya dalam sisi tertentu. Geby menggeser bingkai jendela di depannya membiarkan aroma tanah basah dan spora ja
Jeremy kembali duduk setelah puas mengganggunya, sebenarnya saat itu Geby ingin bertanya apa sebenarnya masalahnya dengan James karena jika dari cerita sekilasnya tadi sepertinya mereka sebelumnya baik-baik saja. Jeremy masih duduk dengan sangat tenang, membantu kembali mengancingkan beberapa kancing pakaian teratas Geby yang tadi sempat dia buka. "Aku ingin membesarkan mereka di sini." Kali ini Jeremy menyentuh perut Geby. Geby mengangguk tidak keberatan karena dia juga mencintai Yorkshire, Geby tahu di tempat ini lah dulu James dan Jeremy juga pernah di besarkan. Sudah bisa Geby bayangkan bagaimana rumah ini akan kembali ramai dengan kehadiran kelima anak mereka. "Kau ingin mereka laki-laki atau perempuan?" tanya Geby ketika iku
"Mereka adalah milikku, bagaimana kau bisa berpikir aku tidak akan menginginkanmu karena keberadaanya?" Jeremy merunduk untuk mencium perut Geby yang sedang berbaring lembut di bawah naungan tubuhnya dengan begitu polos. "Kupikir kau tidak akan menyukai kehamilan." "Aku yang ingin membuatmu hamil, dan mengandung benihku bukan wanita manapun!" "Kehamilan akan membuat pinggangku semakin membesar dan jelek." "Kau juga semakin sesak dan panas," balas Jeremy dengan tatapan matanya yang seketika ikut menembus ke jantung Geby. Geby hanya tidak berharap Jeremy akan begitu terus terang mengatakannya. Geby sampai harus kembali menghela napas sejenak sebelum berani bicara.
Bagi Geby, Jeremy bukan hanya sekedar pria yang dia cintai, tapi juga suami, ayah dari anak-anaknya, dan juga keluarganya. Dengan predikat sebanyak itu rasanya mustahil Geby bakal mau mengalah hanya karena wanita murahan yang berkeliaran di sekitar suaminya. Pria seperti Jeremy Loghan pasti tidak akan luput dari godaan wanita di manapun dan sampai kapanpun. Tapi Geby benar-benar sudah tidak perduli ada berapa banyak wanita yang memakai inisial nama Jeremy di punggung, di dada, di perut atau di pusar. Pria itu adalah miliknya dan Geby berhak menyingkirkan siapapun yang mengganggu seperti hama. Sejak sore Geby sudah menunggu kepulangan suaminya dengan perasaan tidak sabar. Dua hari saja rasanya sudah seperti tidak tertahankan untuk mereka saling berjauhan. Tapi mendadak Jeremy malah memberitahu jika tidak bisa pulang malam ini karena sudah terlalu larut. Sebenarnya Geby kecewa tapi
Salju mulai menebal di pertengahan Desember dan sampai puncaknya di bulan Januari. Padang rumput yang luas sudah sempurna diselimuti salju. Meskipun para kuda termasuk hewan yang paling tahan terhadap cuaca dingin, tapi biasanya justru para pekerja yang semakin enggan membawa kuda keluar istal. Cuma Jared yang terlihat tetap tidak keberatan untuk berkeliaran di cuaca yang sudah semakin membeku, menurutnya kuda-kuda tersebut tidak hanya cukup di beri tumpukan jerami kering, mereka perlu bergerak utuk terus bugar dan mempertahankan panas tubuhnya. Mateo memperhatikan Jared yang sudah beraktifitas sejak pagi, seolah sama sekali tidak mengenal rasa dingin meskipun napasnya terlihat berkabut. "Kubuatkan minuman panas untukmu!" Mateo mengangkat segelas coklat panas utuk dia tunjukkan pada Jared yang masih sibuk membawa kuda-kuda berputar di sekitar istal. "Sebentar lagi Paman!" Jared berputar sekali lagi sebelum kemudian memasukkan kuda-kuda ke dalam istal. Paling tidak dua jam dalam se
Semua pekerja istal ikut berkumpul di beranda samping rumah utama mengelilingi meja besar di area dapur kekuasaan Carolina. Jadi jangan heran jika juru masak bertubuh subur itu jadi yang paling jumawa jika ada yang berani melanggar aturannya. Carolina sudah menyiapkan bebagai menu masakan dan seperti biasa para pria-pria tua itu selalu rakus. "Kemari, Jared. Sudah kuambilkan sup untukmu." "Karena dia masih muda dan tampan jadi kau paling memanjakannya?" "Diam kau, Kakek Tua! " Carolina tidak menghiraukan dia tetap menarik lengan Jared yang kebetulan terakhir tiba. Anelies sudah ikut duduk di tengah meja makan bersama mereka semua dan ikut menertawakan entah lelucon apa karena Jared memang sudah tertinggal. Anelies menoleh padanya dan tersenyum. "Ingat anak muda jangan coba menggoda nona kami, cukup Carolina saja. " Carolina langsung memukul punggung sepupunya itu dengan spatula. Selain sepupunya, paman Carolina dulu juga bekerj
Anelies duduk di atas batu agak datar di antara semak rumput tidak terlalu tinggi, gadis itu menyingkirkan sisa terakhir pakaiannya, membiarkan Jared melihatnya. Tungkai rampingnya yang lembut terlihat sepeti kaki peri ketika Anelies menjejak ke tepian batu tempatnya sedang duduk setengah berbaring. Jared langsung melompat turun dari punggung kuda, menyambar pakaian Anelies untuk menutupi tubuh gadis itu. "Satu minggu yang lalu usiaku sudah genap tujuh belas tahun aku sudah cukup dewasa untuk berbuat apa saja, dengan siapa saja. Kau tidak perlu khawatir, aku juga sudah pernah melakukannya," ucap Anelies pada Jared yang masih coba menutupi tubuh Anelies sekenanya. "Aku tidak akan apa-apa." Anelies mencekal tangan Jared yang hendak berdiri dan gadis itu masih menengadah se
Jared kembali melihat daun pintu kamar yang sedikit terbuka, dia tahu apa ayang akan terjadi jika dirinya tetap melangkah, tapi setiap kali rasa penasaran itu selalu tumbuh lebih besar untuk menenggelamkan sisa kewarasannya. Dirinya juga akan hancur tak tertolong dan tidak bisa dihentikan, dia bisa mengubah erangan kenikmatan menjadi jeritan bersimbah darah. Tubuhnya akan mulai bergetar meningkat semakin panas, terus bergolak seolah nadinya memang dialiri magma. Jared akan meregang dan mengerang sendiri dalam rasa kejang yang menyiksa dengan sangat luar biasa sampai akhirnya ia akan tersentak dari tidurnya dan terduduk dengan sisa jantung berdentam-dentam.Sudah lewat tengah malam, ketika Jared kembali terbangun dengan telapak tangan bergetar dan mengepal. Napasnya berderu kasar dan sama sekali belum bisa menjinakkan ritme jantungnya yang liar. Mimpi mengerikan itu kembali menerjang beru
Anelies tidak menyangkan jika bibir seorang pria akan terasa seperti ini. Hangat dan tebal bertekstur tapi tetap lembut ketika menakup dan mengaisnya dalam lumatan. Gairahnya berbeda, tidak seperti ketika dia sekedar 'flirting' bersama teman laki-laki di sekolah.Napasnya pria dewasa lebih panas merongrong untuk terus dipenuhi kemauannya. Lidahnya bisa disebut lembut tapi juga kasar dengan caranya menjerat mangsa dengan tepat. Pria itu liar, besar, panas bergemuruh penuh nyali.Jared masih menakup pipi Anelies dengan kedua telapak tangannya yang hangat sampai gadis itu cukup menengadah untuk menyambut hisapannya.Entah kemana perginya udara yang tadi nyaris membeku karena kali ini atmosfer di sekitar mereka tiba-tiba menjadi panas seperti uap sup jamur mereka yang terlupakan.Anelis merasa tengkuknya mulai dicengkeram, cukup keras tapi tidak tahu kenapa sepertinya dia juga tidak mau pria itu berhenti memperlakukannya seperti itu. Bibirnya kembali digigit
Sebentar lagi akan menghadapi musim dingin dan beberapa tahun belakangan ini musim dingin bisa menjadi lebih ekstrim, bahkan tahun kemarin sampai mencapai titik terendah minus 10 derajat celcius di bulan Januari. Dari sekarang semua pengurus istal harus bersiap agar dapat bertahan sampai musim semi tahun depan. Semua penghangat di istal harus dipersiapkan dan memastikan semua mesinnya berfungsi dengan baik. Karena sudah lama tidak digunakan kali ini juga menjadi pekerjaan tambahan Jared untuk memastikan semua penghangat masih berfungsi normal. Sebenarnya kemarin Mato sudah hendak memanggil tukang servis tapi Jared melarangnya dan menawarkan diri karena itu kadang hanya Mato yang menemaninya bekerja sampai malam ketika harus melembur pekerjaan tersebut. Sebagai kepala pengurus istal Mato juga merasa ikut bertanggung jawab dan tentunya dia juga menyukai Jared yang tidak pernah pilih-pilih pekerjaan. Dia mau memegang pekerjaan apa saja
"Jared ..!" pekik gadis yang sedang ia himpit ke sudut istal. Tangan rapuhnya mencengkram erat pada pagar tiang pengait kuda, berusaha mencari pegangan apa saja ketika tubuhnya semakin bergoncang-goncang. Jared terus mendesaknya meskipun tau gadis itu sudah sangat kesakitan dan berulang kali memohon agar dirinya berhenti. "Kau sakit ...." pekiknya sekali lagi "Oh ...!" "Hentikan! kau menyakitiku .... " Tapi Jared tetap tidak bisa berhenti, dia senang melakukannya dan justru semakin terpacu untuk menumbukkan pingulnya lebih keras lagi. Dirinya sangat besar keras dan kejang, sekujur tubuhnya panas seperti api ketika sedang terbakar seperti ini. Sebenarnya Jared sangat membenci kek
Jared sudah kembali memakai celana panjangnya meskipun tubuh dan rambut di kepalanya masih basah menetes-netes ketika menghampiri gadis muda yang sedang merintih kesakitan di atas rumput. "Maaf apa kau tidak apa-apa?" "Kakiku terkilir." "OH, Tuhan!" Jared segera mengangkat tubuh gadis itu utuk dia bawa ke dalam pondok. Jared mendorong daun pintu dengan kaki panjangnya kemudian mendudukkannya di tepi ranjang. "Bagian mana yang sakit?" Jared buru-buru memeriksa karena gadis itu mulai menangis disertai air mata. "Ini sakit sekali..." dia masih merintih sambil memegangi lututnya sampai tidak terlalu perduli dengan pria yang sedang berjonkok di depannya. "Tarik napasmu pelan-pelan biar kuperiksa." "Kau tidak bisa!" buru-buru dia mencegahnya. " Aku memakai celana!" baru kemudian gadis itu sadar jika dia juga tidak mengenal pemuda yang coba menolongnya itu. "Apa kau mau aku memanggilkan seseorang?" Jared juga terlihat
Jared pergi tanpa berpamitan dengan siapapun bahkan paman dan bibinya pun juga tidak tahu. Jared pergi hanya dengan membawa ransel seperti biasanya ketika dia berangkat bekerja. Cuma ada beberapa lembar pakaian di dalam benda tersebut. Jared bukan tipe pria yang bakal mau repot mengurusi penampilannya, baginya yang terpenting tubuhnya bersih rambutnya pun selalu kelewat panjang untuk bercukur. Sampai Jared pergi kemarin, paman dan bibinya juga tidak tahu jika ia sudah di usir dari bengkel Norton dan sedang jadi pengangguran. Meskipun kemarin Josephine mengatakan bahwa ayahnya ingin dirinya bekerja lagi, tapi Jared yakin itu juga cuma kerena Josephine yang memohon lagi kepada ayahnya. Jared kenal sifat tuan Norton, mustahil dia mau menarik ucapannya kembali hanya untuk pemuda tak berguna seperti dirinya meskipun ia terbukti tidak bersalah.