Baru-baru ini, Mahessa mengajak Wildan untuk join dalam salah satu proyek besar usungan perusahaan Anggara Grup di mana Mahessa akan memberikan wewenang penuh pada Wildan untuk mengurus proyek tersebut.Dan bagi seorang pengusaha macam Wildan, jelas tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas yang bisa mendatangkan begitu banyak keuntungan bagi masa depan perusahaannya kelak.Intensitas kedekatan Mahessa dan Wildan terjalin semakin dekat, bahkan kini, Wildan mengajak Mahessa untuk ikut bergabung dengan anggota Club Golfnya."Wah, Caddy di sini cantik-cantik sekali ya?" ujar Mahessa saat pertama kalinya dia bergabung dengan anggota Club Golf Wildan.Wildan melirik ke salah satu Caddy yang ada di sekitar mereka. Senyum lelaki itu mengembang tatkala sang Caddy memberinya senyuman lebih dulu."Memang sih cantik-cantik, tapi, tidak ada yang membuatku tertarik," ucap Wildan seraya mendekatkan bibirnya ke telinga Mahessa, "bagiku, tak ada wanita mana pun yang lebih cantik dari istriku," bisik lel
"Sudah selesai," ucap Vanessa saat dia selesai dengan kegiatannya mengobati luka di kedua telapak tangan Mahessa.Masih dengan tarikan napasnya yang belum stabil, Mahessa menatap ke arah kedua telapak tangannya yang tertempel plester luka.Seolah baru tersadar dari alam bawah sadarnya setelah kejadian yang dia alami di dapur tadi, Mahessa lekas bergerak menjauh dari Vanessa dengan menggeser posisi duduknya.Raut ketakutan masih tersirat nyata di wajah lelaki itu."Sudah tidak ada api di sini," beritahu Vanessa kemudian. Nada bicaranya agak tinggi dan ketus. Meski, dalam hati, Vanessa tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi polos Mahessa setiap kali lelaki itu ketakutan.Sebab, ini sudah kali kedua sejak lima hari belakangan mereka hidup bersama dan Vanessa memergoki Mahessa yang memang begitu takut pada api.Sepertinya, trauma yang dimiliki lelaki itu terhadap api cukup berat, hingga membuat Mahessa sampai terbawa mimpi.Menarik napas panjang, usai dirinya membenahi peralatan obat-oba
"Apa kabar kawan lama? Apa kamu menikmati masa hukumanmu?" tanya Mahessa dengan senyuman lebar.Melihat ketidakberdayaan Gavin, seolah menjadi kesenangan tersendiri bagi Mahessa saat ini, setelah apa yang lelaki itu lakukan terhadapnya, pun terhadap Vanessa yang awalnya dia pikir adalah Vanilla.Salah Mahessa memang sudah mempercayai Gavin yang awalnya dia pikir benar-benar mau bertobat atas semua kejahatan yang sudah lelaki itu lakukan pada ayah tirinya sendiri, yaitu Pak Dirham.Gavin, Gallen dan ibunya, serta beberapa orang keluarga dari pihak ibu Gavin yang lain adalah pengemis yang telah Pak Dirham pungut di pinggir jalan dan dia jadikan layaknya seorang ratu dan raja di istana megah milik Pak Dirham di Amerika, hingga akhirnya mereka justru menikam Pak Dirham dari belakang dengan begitu keji.Saat Mahessa hendak memenjarakan mereka, lalu Gallen berhasil kabur, Gavin dengan tipu muslihatnya berhasil mengambil hati Mahessa dengan tangisan palsu. Sialnya, Gavin yang tahu bahwa soso
"Bunuh saja dia, Mahess!" ucap Vanessa tanpa disangka-sangka."Nessa! Aku mencintaimu Nessa! Tolong aku Nessa! Bukankah kamu juga mencintaiku, Nessa? Kita akan menikah Nessa? Maafkan aku Nessa... Maafkan aku..." Jerit Gavin memohon. Lelaki itu terus berontak dengan air matanya yang bercucuran tanpa henti. Benar-benar takut jika ajal akan menjemputnya hari ini."Kamu tidak pernah mencintaiku! Karena yang kamu inginkan hanya harta ayahmu kan? Harusnya, sejak kamu pergi meninggalkan aku ke Paris, aku sudah menyadarinya. Aku memang bodoh..." ucap Vanessa semakin terisak."Percaya padaku, Nessa, awalnya memang aku menginginkan uang itu, tapi setelah aku mengenalmu, aku sungguh-sunggu mencintaimu, Nessa. Lelaki bernama Mahessa itu sudah gila, Nessa! Jangan pernah percaya dengan kata-katanya apalagi itu menyangkut soal Yasa!"Wajah Vanessa yang tadinya tertunduk dalam tangis seketika mendongak menatap ke arah Gavin, sementara Mahessa seketika bergerak hendak melangkah mendekati Gavin.Mahess
"Vanessa, dengarkan aku dulu! Kamu mau apa?" ucap Mahessa untuk yang kesekian kalinya saat dirinya dan Vanessa kini sudah kembali ke apartemen pribadinya."Aku mau pulang ke rumah Papa! Aku muak padamu!" ucap Vanessa sambil memasukkan pakaian miliknya ke dalam koper.Setelah pertengkaran hebat yang terjadi menimpa mereka akibat ulah Gavin malam ini, Vanessa yang berpikir bahwa apa yang sudah Gavin katakan soal Yasa adalah sebuah kebenaran, jelas merasa sangat marah pada Mahessa.Lelaki itu sudah membohonginya.Sudah memperlakukannya dengan tidak baik dan selalu merendahkan harga dirinya selama ini,Vanessa mungkin mampu menerima semua itu. Tapi, jika kenyataannya, bahwa meninggalnya Yasa akibat ulah Mahessa, Vanessa benar-benar tidak terima."Jadi, kamu percaya dengan semua yang sudah dikatakan Gavin tentang Yasa padamu?" ucap Mahessa lagi dengan wajah sama marah.Menghentikan sejenak kegiatannya, Vanessa menegakkan tubuh tepat di hadapan Mahessa. Dagunya terangkat, menantang. "Kamu d
Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba.Yakni, hari di mana Mahessa dan Vanessa akan menjalani bulan madu pernikahan mereka bersama Wildan dan juga Vanilla.Pagi yang sibuk di kediaman dua pasang pengantin baru itu, setelah mereka mendapat kabar terbaru secara mendadak dari pihak Bandara tadi malam, bahwa penerbangan mereka menuju Switzerland yang tadinya pukul sepuluh pagi, dimajukan menjadi pukul tujuh pagi.Siapa yang tidak kelabakan?"Kenapa bisa berubah mendadak begini sih? Harusnya kalau emang jadwal diubah, pihak Bandara kasih konfirmasi dari kemarin-kemarin dong, nyebelin banget sih!" umpat Vanilla saat wanita itu baru saja mendaratkan bokongnya di atas jok mobil. Saat itu, Vanilla bahkan tak sempat mengeringkan rambut lalu mencatoknya. Alhasil, dia kini harus berangkat dengan rambut basah yang bahkan disisir pun seadanya, akibat terlalu terburu-buru."Lagian kamu kan udah aku kasih tau dari semalam, salah kamu juga tadi bangun kesiangan," ucap Wildan di sampingnya sambil
Hari pertama di Swiss, dua pasangan muda Mahessa-Vanessa dan Wildan-Vanilla, menghabiskan malam untuk beristirahat sejenak setelah melalui perjalanan yang cukup panjang seharian ini.Mereka memutuskan untuk menginap di salah satu Hotel mewah, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Villa Pribadi Mahessa yang kebetulan letaknya memang masih sangat jauh dari Bandara.Sesampainya di hotel, Vanilla bergantian dengan Wildan membersihkan tubuh mereka dan berganti pakaian untuk lekas tidur. Berbeda halnya dengan Mahessa yang langsung menyibukkan diri dengan laptop, bahkan saat Vanessa sudah selesai bersih-bersih, Mahessa masih saja fokus menatap layar laptopnya.Diam-diam mencuri pandang ke arah sang suami, Vanessa jadi teringat dengan ucapan Vanilla saat mereka bertemu di toilet Bandara International Swiss sesampainya mereka di Swiss sore tadi.*"Suamimu sangat aneh, Nessa.""Aneh bagaimana?""Ya aneh, di pesawat tadi dia terus saja memaksaku untuk mengingat sosok Yasa. Dan saat kutanya lebi
"Sudah selesai?" tanya Mahessa mengawali percakapan baru antara dirinya dengan Vanessa di kamar hotel mereka.Vanessa yang kini sudah duduk di sisi Mahessa, hanya menjawab dengan anggukan kepala. Tatapan Mahessa yang tampak berbeda kepadanya membuat Vanessa jadi salah tingkah.Tak kuat menahan pesona Mahessa yang memabukkan, Vanessa pun memilih untuk memalingkan wajah ke arah lain. Menghindari manik hitam sepasang netra Mahessa yang seperti tak mau berkedip menatapnya."Hal penting apa yang ingin kamu bicarakan? Aku mengantuk," ucap Vanessa saat itu. Masih tetap berpaling, meski degupan jantungnya semakin lama terasa semakin cepat.Entah apa yang sudah terjadi pada dirinya, Vanessa sendiri tidak tahu. Sosok Mahessa di matanya sangat menyebalkan. Kasar, kejam dan tak berprikemanusiaan, tapi anehnya, kenapa setiap kali mereka berdekatan begini, Vanessa selalu saja merasa gugup.Terlebih setelah Vanessa melihat gambar seorang lelaki tua bangka brengsek yang tadi terpampang jelas di layar