Adik Suamiku 24 Sejauh ini rekening Mas Arif memang sangat besar, tidak mungkin aku pinjam dalam beberapa tahun ke depan kalau bisa mengelolanya dengan sangat baik. Maka dari itu aku tidak terima ketika dia bilang ekonomi keluargaku sedang turun. Perkataan Mas Arif beberapa tahun lalu pun melintas di pikiran. "Meskipun Mas hanya punya bengkel kecil dan tua, tapi akan Mas usahakan untuk memberikan apapun yang Adek inginkan. Mau itu kuliah, buka usaha, buat rumah mewah, apapun itu. Mas hanya mau satu, yaitu Adek bahagia hidup dengan Mas," pintanya kala itu. Bukan hanya hatiku yang meleleh, tapi juga orang-orang yang ada di samping kita pun langsung terdiam sambil menatapnya haru. Alhamdulillah sampai sekarang kita memang tidak pernah kekurangan uang, cuman ya itu, masalahnya ada sama ibu mertua, dan adik-adiknya. Ratih langsung pergi ke rumah ibu dengan berjalan kaki. Aku pun langsung buru-buru melihat keadaan di dapur. "Bu, kulkasnya sudah terpasang sempurna. Mau dicek dulu?" tan
Adik Suamiku 25 Bukannya takut, aku malah ingin tertawa mendengar perkataannya yang terlalu percaya diri. Memangnya apa yang bisa dia lakukan pada Salwa? Apa dia pikir Mas Arif selaku ayahnya akan diam saja? Lucu. Bapak melemparkan tatapan tajam dengan sikap Ratih. "Sudah kubilang kamu jangan terlalu memanjakan anak-anak, jadinya mereka melunjak," ucapnya pada ibu. "Kapan aku memanjakan mereka. Mana ada." Ibu mengelak. Daripada ikut campur masalah bapak dan ibu, aku pamit pulang untuk memindahkan isian kulkas ke kulkas yang baru. "Tuh orangnya datang!" Ibu-ibu tetangga sudah berkumpul di warung depan. Aku sudah tidak kaget lagi jika menjadi topik utama pembicaraan mereka. "Permisi, Bu." Berhubung aku enggan mendengarkan omongan yang tidak penting, aku hanya mengatakan permisi sambil lewat. Salwa pun hanya aku tuntun dan kami langsung masuk ke dalam rumah. Rencananya. Akan tetapi, aku kembali mengurungkan langkah ketika mendengar tawa mereka yang renyah setelah aku mengatakan
Adik Suamiku 26 Ratih menjerit dengan suara yang bisa membangunkan hewan sekampung. Suaranya benar-benar membuat telingaku seperti mendengar gas yang meledak. Sangat menganggu. Meksipun ada rasa kasihan, tapi aku lebih suka hal ini terjadi daripada Salwa yang kenapa-kenapa. "Mas, tolong!" pintanya pada Dandy lirih. "Kalau kamu bisa melakukan semua ini, sepertinya kamu tidak perlu ditolong," tolak Dandy. Dia malah duduk manis di depan Ratih yang kakinya berdarah. Ibu yang panik langsung menelpon dokter terdekat yang bisa dipanggil ke sini. "Sekarang, Dok. Anak saya tidak bisa nunggu lagi," ucapnya panik. "Mas," panggil Ratih pelan dengan wajah yang tampak ingin dikasihani, tapi Dandy benar-benar hanya melihatnya saja. "Kenapa? Kamu suka kan melakukan semuanya semau kamu, sekarang lakukanlah semau kamu juga." Dandy yang biasanya selalu peduli, kini terlihat tampak lelah. "Aku memang gak bersalah, Mas." Ratih masih mencoba untuk membela diri. "Tidak bersalah? Buka matamu lebar-
Adik Suamiku 27 "Mas, sini masuk dulu!" Dengan penuh antusias, Dandy berjalan mendekat ke arah Mas Arif. Hanya dia dan Bapak yang bersikap biasa saja karena tidak melakukan kesalahan apapun. Memang pada dasarnya hanya orang yang melakukan kesalahan yang selalu takut. Seperti mereka berempat ini, termasuk ibu. Meksipun sikapnya sok berani, tapi ibu juga lebih banyak takutnya. Apalagi pagi ini baru menerima kulkas baru dari kami, Mas Arif pasti marah banget. "Oke." Mas Arif pun mengikuti langkah Dandy. "Loh, ini Ranti kenapa? Kok, di perban gitu?" tanyanya heran.Bapak dan Dandy terdiam, mungkin memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. "Mas, Ranti tadi pagi ngancem mau apa-apain Salwa," ucapnya pelan. Mendengar kata Salwa, Mas Arif langsung bangkit dari duduknya, dan berjalan ke arah Ranti. "Tangan mana yang sudah tidak kau inginkan sampai berani punya niat untuk melukai putriku?" tanyanya tajam dengan mata yang merah. Semua orang yang ada di sini sangat terkejut denga
Adik Suamiku 28 Setelah semua orang pergi, aku langsung membuka kamarku, dan membuka pintu kamar penghubung menuju kamarnya Salwa. "Sayang, kamu gapapa, kan?" tanyaku setengah berteriak takut dia kenapa-kenapa, tapi ternyata dia sedang mengobrol dengan Rani, anaknya Ratih dari jendela yang dibuka. Ya ampun, di sini ibunya sedang dimarahi, tapi anaknya malah menghibur anakku di sini. Rani memang lebih besar dari Salwa, sekitar dua tahun lebih tua. Dari segi pikiran pun beda, apalagi Rani mempunyai sikap seperti papanya yang selalu memakai logika. "Tadi aku kasian lihat Kak Salwa melamun. Kalau orang lain aku gak peduli, tapi ini Kakak Salwa," ucapnya membuatku terharu. "Iya, Sayang. Makasih banyak ya, sudah peduli sama Kakak Salwa. Sini masuk!" Aku langsung mengajaknya masuk dari arah depan dan memberikannya makan. "Kita makan sama-sama, ya?" Aku menyuapi Salwa dan Rani dari piring yang sama. Gadis kecil yang biasanya berwajah galak itu kini hampir menangis. "Kenapa, Sayang?" ta
Adik Suamiku 29 Aku melihat ke arah Mas Arif, tubuhnya sudah tegap seperti yang siap untuk memberikan hukuman. Sama seperti kepada Ranti waktu itu. Bedanya kali ini lebih menakutkan. Jangankan Mas Arif, aku saja yang menyaksikan bagaimana sayangku makan sungguh ingin melakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan. Selama ini aku selalu diam jika mereka menggangguku, tapi tidak dengan Salwa. Dia bahkan sudah secara tidak langsung berniat untuk meracuni anakku dan ingin membunuhnya. "Kamu tunggu di sini, ya. Biar Mas yang memberikan serangga-serangga itu hukuman!" Mas Arif memberikan Salwa padaku sambil duduk di teras depan rumah ibu. Mas Arif masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam, langsung membuka pintu dengan paksa. Dari sini, aku bisa melihat dan mendengar langsung obrolan yang ada di dalam. "Apa yang kau lakukan pada anakku?" Mas Arif berteriak, sampai suaranya terdengar menakutkan di telinga. Tangannya mencekal leher Rina. Semua orang yang ada di dalam rumah mul
Adik Suamiku 30 Setelah sampai rumah, aku langsung membuatkan s9ip daging sapi kesukaan putriku meksipun harus memakai masker agar tidak terlalu menyengat di hidung. Kejadian tadi siang bener-bener menampar diriku, apalagi ketika melihat Salwa makan dengan lahap. Aku merasa seperti seorang ibu yang tidak berguna. Untunglah di warung makanan beku samping rumah ada yang jual, jadi Mas Arif tidak perlu mencarinya lebih jauh lagi. Aku hanya memakai bahan seadanya, yang penting ada wortel, dan bawang putih. "Mas lupa kalau kita belum belanja lagi, Dek," ucap Mas Arif tiba-tiba dengan suara yang pelan. Duh, aku jadi semakin tidak enak. Mas Arif selalu melakukan apapun untuk membuatku bahagia. "Gapapa, Mas. Aku tahu Mas sangat sibuk, terlebih kita juga banyak masalah." Aku tersenyum lebar ke arahnya sambil menata sup dan nasi di meja depan. "Sebaiknya kita pindah rumah, nanti kita lihat perumahan di kampung sebelah, yuk?" ajaknya tiba-tiba. Aku terdiam sejenak. Dulu aku pernah member
Adik Suamiku 31 Melihat wajah mereka yang ketakutan dan sikapnya yang salah tingkah membuatku bahagia. Entah karena mereka sering menyakiti keluargaku atau mungkin karena aku bisa membuat mereka ada di titik ini. Intinya aku bahagia, sudahlah sombong, songong, egois, padahal tidak punya apapun yang perlu disombongkan. Mas Arif ikut duduk di sampingku. "Ngaku kerja kantoran, taunya pekerja serabutan," sindirnya membuat tanya mereka berdua mengepal. Aku sempat terkaget dengan bahasanya, apalagi sebelumnya sama sekali tidak pernah bicara kasar, dan bertindak sejauh ini. Memang benar kalau hari manusia bisa berubah jika selalu disakiti. "Kami ke sini tidak ada maksud menghina, hanya ingin melihat kalian sadar kalau bergaya itu harus sesuai kemampuan. Pamer rumah, yang dipamerkan harus rumah sendiri, bukan rumah orang lain," jelas Mas Arif lagi membuat para warga yang tadinya marah-marah dan mengata-ngatai kami, jadi berbalik kepada mereka. "Benar apa yang Arif katakan, Rina dan sua
Adik Suamiku part 45 ( Akhir Kisah ) Angin malam yang begitu dingin membuat setiap tubuh menggigil, ditambah langit yang gelap membuat suasana di setiap rumah terlihat kelam dan mencekam. Setelah yakin dengan rekaman yang kuberikan, Rina segera mengemas pakaian Sandi, dan melempar tasnya keluar. Tidak lupa sepatu dan sandalnya juga dilempar keluar. "Aku tidak sudi bersama pengkhianat sepertimu!" teriak Rina sambil mendorong Sandi dan saudara-saudaranya keluar dari rumah ini. "Ini hanya salah faham, aku tidak seperti yang mereka katakan, apalagi rekaman itu. Kamu sudah ditipu mereka!" Sandi terus saja membela diri, tapi bukti yang cukup kuat membuat Rina tidak percaya dengan kata-katanya. "Pergi kalian! Melihat wajah kalian saja aku tidak sudi dan ingin muntah, apalagi percaya dengan perkataan busuk kalian!" teriak Rina. Mas Arif menatap tenang ke arah adik ipar yang berkhianat itu berikut kepada keluarganya. "Saya rasa hal ini juga memang lebih baik." "Siapa kau ikut bicara?"
Adik Suamiku 44 By Ucu Nurhami Putri *** "Mama mau kamu secepatnya menjadi menantu di keluarga kami, tapi nanti setelah Sandy berhasil memperalat istrinya untuk mendapatkan harta yang harus menjadi milik kita," jelasin ibunya Sandi membuatku dan Mas Arif mengepalkan kedua telapak tangan. "Biad*b!" Terlontar kata-kata kasar dari bibirnya Mas Arif, tapi aku segera menggenggam tangannya meksipun sulit dah butuh perjuangan extra agar amarahnya mereda. "Mas, kita harus sabar. Kalau kita emosi, itu sama saja menunjukkan kalau kita lemah, dan kalah sebelum berperang," bisikku lembut. "Iya, Ma, aku pasti akan menjadi menantu yang Mama idamkan!" Wanita itu berseru dengan wajah yang gembira, tapi sayangnya itu tidak akan lama. Aku akan memberikan rekaman ini kepada Rina dan semoga saja dia faham kalau Sandi hanya ingin memanfaatkannya saja. Kami benar-benar tidak habis pikir kalau suaminya Rina ternyata orang yang seperti ini. Bukan hanya suka menindas saudara sendiri, tapi juga memanf
Adik Suamiku Extra Part 5 By : Ucu Nurhami Putri *** Aku dan Mas Arif sudah sepakat kalau kami kembali menginap di sini selama satu mingguan. Mana mungkin aku bisa tenang meninggalkan ibu dengan orang-orang ini, meskipun ada Andi tetap saja aku tidak akan pernah bisa tenan. "Kami juga dia ini aja dulu, deh." Dandy tiba-tiba bersuara, padahal Ratih jelas-jelas bilang kalau anaknya mau segera mau sekolah. "Enggak usah, Dan. Kamu dan Ratih pulang saja, kan anak-anak sudah masuk masuk?" Mas Arif menjawab cepat, padahal aku juga akan menjawabnya. "Bisa kok, Mas, lagipula anak-anak belum belajar tatap muka." Dandy kembali memberikan penjelasan. "Enggak usah, kalian pulang aja!" Dengan setengah berteriak, Mas Arif berbicara tegas kepada Dandy yang terdengar seolah memaksa. Aku sungguh heran dengan sikap Mas Arif yang tidak biasa ini, seperti ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan. Karena ingin mendapatkan jawaban dari keanehan ini, aku langsung menarik tangan Mas Arif ke kamar. "
Adik Suamiku Extra Part 4 "Jual sawah?" Aku tersenyum menyeringai ketika mendengarnya. Kupikir mereka baik tulus dari hati, apalagi selama ini selalu ditekan Andi, tapi ternyata ada maunya, ya. Rasanya aku ingin memberikan mereka pelajaran yang akan selalu diingat ke mana pun mereka pergi. Andai saja aku tidak ingat dosa dan semua perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan, sudah pasti akan melakukannya tanpa ragu. "Tenang saja, Mbak, toh ada aku yang bakal beresin mereka." Andi menatapku penuh kemenangan sambil berbicara pelan. "Bisa kupastikan mereka jadi baik nanti, walaupun terpaksa." Aku tertawa kecil ketika mendengar perkataannya. Benar juga, aku tidak bisa menghabiskan waktu hanya di sini. Bagaimana dengan rumah yang baru saja aku tempati? Dan lagi, bulan depan Salwa sudah mulai paud. "Beres. Sepetinya Mbak harus banyak-banyak terima kasih sama kamu." Aku mengeluarkan dompet dari saku. "Loh, mau ngapain, Mbak? Aku ada kok kalau uang," ucapnya terlalu percaya diri. Aku me
Adik Suamiku Extra Part 3 Terik matahari siang ini adalah sinar terindah selama kami menginap di sini, membuat setiap mata yang melihatnya akan ikut merasakan kehangatan sampai ke tubuh terdalam mereka. Rara, Rina, dan suaminya kini sudah berada dalam kendali Andi. Mereka akan melakukan apapun yang diperintahkan adik bungsunya itu tanpa membantah. Kami juga dilayani dengan sangat baik dan hal itu membuatku sangat bahagia. Setidaknya Ibu dan Bapak punya beberapa orang yang akan menjaganya. Ratih pun sekarang sudah tidak begitu takut lagi, dia menyibukkan dirinya dengan anak-anak, dan Dandy juga selalu berada di sampingnya.Tidak pernah sedikit pun dia marah kepada Ratih, sama seperti Mas Arif, dan hal itu membuatku semakin bahagia. "Bawakan aku ketan bakar!" teriak Andi terdengar dari dalam, sementara aku yang berada di luar hanya bisa tersenyum. Ratih dan Dandy sedang melihat rumah yang sudah ditinggal lumayan lama, tapi anak-anaknya pergi dengan Mas Arif dan Salwa ke sebuah t
Bapak menatap kami dengan kesedihan yang tidak bisa digambarkan. Pantas saja beberapa hari ini aku selalu teringat dengan Bapak, ternyata ada kejadian semacam ini di sini. "Kamu sama Bapak juga begitu?" Beberapa kata tiba-tiba terlontar dari bibirku dan sama sekali tidak bisa dikendalikan. Andi menundukkan kepalanya. "Kalau Bapak, aku tidak berani. Hanya Bapak yang selalu ada di saat Ibu menyalahkan aku," lirihnya membuatku terenyuh. Sikap yang baik memang akan mendatangkan hal-hal yang baik dan begitupun sebaliknya. Namun, tetep saja sikap Andi tidak dibenarkan. "Apapun yang Ibu lakukan terhadap kamu, dia tetap ibumu. Ayo, masuk. Banyak hal yang ingin Mbak sampaikan sama kamu, agar kelak tidak ada penyesalan." Dengan penuh percaya diri dan rasa takut pun langsung hilang, aku memimpin jalan, lalu duduk di ruang tamu. Andi pun ikut dengan patuh, tanpa ada penolakan. Aku tahu saat ini jiwanya sedang butuh pelukan, tapi tetep saja dia harus faham dengan apa yang sudah dilakukannya.
Dua Minggu sudah aku tinggal di rumah ini dengan sangat nyaman. Detik demi detik tidak begitu berasa karena tidak ada rasa sakit yang dirasakan setiap waktu. Bahkan, kami juga bisa beribadah dengan tenang tanpa harus mendengar teriakan dan fitnah berulang kali. Sungguh ini adalah nikmat terbesar yang harus disyukuri, karena tidak semua orang berada di kenikmatan seperti ini. Selama dua Minggu pula Mas Arif tidak ke bengkel, hanya teman-temannya saja yang kerja. Katanya 'tidak siap untuk bertemu kekurangnya' kalau setiap aku tanya. "Emang gapapa kalau Mas tinggalkan bengkel?" Dandy membawa sepiring martabak dan masuk ke ruang depan yang ada Mas Arif. "Gapapa, buktinya mereka bisa bertahan tanpa Mas selama ini." Mas Arif menjawab dengan santai. "Iya, aku tahu. Cuman kan kau memutuskan tidak akan pernah ke bengkel lagi, rasanya aneh, Mas." Dandy tertawa kecil. "Itu pun kalau aku memposisikan diri sebagai teman Mas yang kerja di bengkel." "Mungkin ibarat kerja, tapi gak tahu atasann
Ketetapan HatiAdik Suamiku Ending Dandy meminta kita datang ke rumahnya untuk membicarakan masalah tempat tinggal yang baru untuk kami. Kebetulan aku memang sudah tidak betah tinggal di sini dan ingin cepat-cepat pergi. "Sudah siap?" tanya Mas Arif yang kembali terpaksa tidak ke bengkel, tapi tetap buka. Hanya beberapa temannya yang menggantikan. Untung saja Mamat dan beberapa temannya sudah tidak lagi bekerja di bengkel, katanya gengsi. Jadi mereka merantau ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. "Sudah, Mas." Setelah mengenakan jaket untuk pada Salwa, aku langsung ikut naik ke atas motor. Tidak lupa sebelum berangkat aku mengabari Ratih terlebih dahulu kalau kita mau datang. "Apa benar ini belokannya, Mas?" tanyaku memastikan ketika Mas Arif masuk ke dalam sebuah gang. "Iya benar, Mas masih ingat jelas, kok." Dengan ragu, aku hanya ikut saja. Tapi tidak lama sebuah rumah makan besar berhasil kita lewati, kebetulan rumah ini memang yang aku ingat jalan ke sini.
Adik Suamiku 37 Dengan mantap dan tanpa menunggu waktu lagi, aku juga Mas Arif langsung membatalkan rumah itu meninggalkan kedua orang gila itu. Enak sekali mereka berkata hal seperti tadi sampai membuatkan langsung mengeluarkan amarah. "Kok, Mas tadi cuman diam saja?" tanyaku sedikit kesal. "Mas sengaja, biar kamu ada bahan untuk dimarahi. Lagipula selama ini kan kamu bukan orang yang suka marah-marah, jadi sekalian aja dikeluarkan emosinya," jelas Mas Arif sambil tertawa kecil. "Tapi emang Mas gak marah dengan perkataan mereka? Enggak tersinggung gitu?" tanyaku masih penasaran. Dari tadi Mas Arif memang hanya diam saja. Meskipun aku sempat melihat rahangnya mengeras dan ampasnya sudah naik turun, tapi tetap saja tidak marah, hanya bicara beberapa kata saja, tidak termasuk ke dalam kelasnya marah, masih enggak keluar seutuhnya. "Mana ada suami yang tidak marah ketika pria lain berkata seperti itu. Kalau kamu tadi gak maki mereka, sudah pasti Mas marahi habis-habisan itu tadi,