“Aku yang salah, Bu. Aku sudah menjebak Mas Ivan. Aku terpaksa melakukan itu, Bu. Aku ingin merebut Mas Ivan dari istrinya,” tangis Elina tanpa rasa malu pada orang tuanya.
“Ya ampun, Elina?! Kenapa kamu jadi seperti ini, sih?” Ibunya Elina langsung bangkit dari duduknya, menatap sang putri tak percaya. “Kenapa kamu jadi licik begini? Mama dan papa gak pernah ngajarin kamu mengejar laki-laki seperti wanita murahan begini. Mama benar-benar kecewa sama kamu, Lin.”
“Sudahlah, Ma? Semoga saja setelah ini, Elina tidak lagi mengejar-ngejar Ivan.” Rusdi berdiri dari duduknya di sofa dan menghampiri sang istri.
“Ini gara-gara Papa terlalu memanjakan dan menuruti semua keinginan Elina. Dulu, mama sudah tidak setuju dia kuliah sendiri di Balikpapan. Sekarang hidupnya jadi gak karuan seperti ini,” omel istrinya Rusdi pada sang suami.
“Kenapa mengungkit hal itu lagi sih, Ma. Kita sama-sam
Orang tua Elina kaget melihat putrinya yang tiba-tiba mengamuk seperti itu. Rusdi dengan cepat berlari ke tempat anaknya yang berusaha untuk bangkit dari ranjangnya. Ia langsung memeluk putri tersayangnya itu. Lalu, berteriak pada istrinya yang masih bengong, “Ayo, Ma! Cepat panggil dokter ke sini!”“Lepaskan aku, Pa! Aku mau ke tempat Mas Ivan sekarang!” teriak Elina sambil menangis.“Duh … kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?” keluh Rusdi dengan hati pilu. Ia tahu, Elina sangat terpukul kehilangan calon bayinya dan kehilangan kesempatan untuk bisa bersama Ivan, tapi ia tak menyangka, Elina begitu keras kepala dan tidak mau menerima kenyataan. "Sadarlah, Lin. Cobalah lupakan Ivan, percuma kamu mengharapkan dia lagi."Elina tak menjawab, tapi suara tangisnya semakin memilukan.Tidak berapa lama kemudian, dokter yang dipanggil oleh ibunya Elina bergegas masuk diikuti oleh seorang perawat.“Seperti
Rona, kamu ke ruangan saya sebentar.” Denny memanggil teman satu ruangan Elina ketika masih bekerja di kantor tersebut.Tidak lama kemudian, wanita yang dipanggil oleh Denny itu masuk ke dalam ruangan kepala cabangnya itu.“Hm … ini mengenai Elina, kamu masih kontakan gak sama dia?” tanya Denny langsung begitu Rona sudah berdiri di depan meja kerjanya.“Sudah gak sih, Pak. Pernah saya menghubungi Hp-nya, tapi nomornya sudah gak aktif sejak keluar dari sini dulu.“Oh, ya, sudah, kalau begitu. Makasih ya, silakan kamu kembali bekerja lagi.” Denny menatap wanita sedikit gemuk dan berkaca mata yang tidak disuruhnya duduk di kursi depan mejanya.“Maaf, Pak. Mungkin ini sedikit membantu kalau Bapak mungkin mencari kabarnya Elina.” Rona tiba-tiba mengeluarkan ponsel dari saku blazer-nya. Ia mencari sesuatu di layar ponselnya.&nb
Denny masih sangat penasaran akan status Elina yang diposting di media sosial wanita itu, ia semakin penasaran dengan suami yang berinisial 'I' tersebut. Denny bukannya ingin kembali bersama Elina lagi, ia lebih tertarik akan nasib Diana, jika memang benar, Ivan menikahi Elina. “Akhir bulan ini, aku mau main ah, ke Samarinda. Aku bisa mati penasaran kalau tidak tahu kebenarannya. Kali aja, Diana minta cerai dari Ivan dan aku bisa mendekati dia lagi. Mana tahu, Diana mau jadi istri kedua aku.” Denny mesem-mesem sendiri di ruangan kerjanya ***Elina sudah keluar dari rumah sakit tempatnya dirawat selama seminggu. Ia tampak murung ketika kedua orang tuanya mengajak pulang ke rumah di akhir pekan itu. Ivan yang sangat diharapkannya mau membezuk ke rumah sakit, tak terlihat puncak hidungnya sama sekali. Pria itu benar-benar tak peduli apapun yang terjadi dengan istri sirinya itu. “Kita mampir di tempat kerjanya Mas Ivan dulu ya, Pa?” Elina
Denny tertawa geli mendengar ajakan Elina untuk menikah dengannya. “Apa lagi yang ada di pikiranmu kali ini, El?”“Duduk dulu deh, Mas. Aku akan ceritakan padamu,” pinta Elina sambil tersenyum manis. Denny yang penasaran akhirnya menghenyakkan tubuhnya kembali.“Ayo, kamu mau cerita apa? Buruan, bentar lagi aku mau jalan.”“Aku minta maaf karena dulu tiba-tiba pergi dari Balikpapan. Papa memaksaku pulang ke sini. Katanya ada yang mau melamarku. Aku tentu saja menolak. Akhirnya papa tidak jadi menerima lamaran orang itu, tapi aku harus tinggal di rumah orang tuaku lagi. Mereka khawatir aku tinggal sendiri di Balikpapan. Sekarang kalau Mas mau menikahiku, pasti orang tuaku akan mengizinkan aku balik ke sana lagi.” Elina penuh semangat mengarang cerita untuk meyakinkan Denny. “Mas mau kan menolongku?”Denny mencari kejujuran di mata wanita yang duduk di hadapannya. Kemudian, beralih menatap bibir se
Setelah dirawat di rumah sakit selama seminggu, Denny akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Yanny mengajak anak dan menantunya untuk tinggal di rumahnya. Kondisi Denny yang belum bisa berjalan tidak memungkinkan untuk tinggal di apartemennya yang berada di lantai tiga. Tidak ada yang akan membantu putranya itu kalau Susana pergi bekerja. Apalagi menantunya itu dalam kondisi hamil.Denny dan Susana terpaksa menerima saran itu, untuk sementara mereka berdua akan tinggal di rumah orang tua Denny tersebut sampai Denny bisa beraktivitas normal kembali.Susana merawat suaminya di rumah sang mertua dengan penuh kasih sayang. Ia bahkan mengambil cuti tahunannya agar bisa maksimal merawat dan menemani suami tercintanya itu setiap saat. Denny sangat terharu melihat istrinya yang memperlakukan dirinya seperti itu. Padahal seharusnya, ia sebagai suami yang harus lebih memperhatikan wanita yang sedang mengandung anaknya itu. Susana selalu saja tersenyum, meski terlihat lelah. Set
“Elina! Kamu mau ke mana?” teriak Rohana begitu melihat putrinya berjalan terburu-buru menuju pintu depan.Elina tidak menjawab, ia semakin mempercepat langkahnya dan langsung mengambil langkah seribu begitu tiba di depan rumah.“Huh, mama tahu aja aku bakal kabur, padahal tadi aku intip masih asyik masak.” Elina menghentikan larinya begitu tiba di depan sebuah minimarket yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Ia kemudian masuk ke dalam dan bersembunyi di rak paling pojok. Elina membuka tas kecil yang diselempangkan di bahu, mengambil ponselnya untuk memesan ojek online. Hanya lima menit, kendaraan roda dua yang dipesannya sudah terlihat tiba di depan minimarket. Ia segera keluar menghampiri pria berjaket hijau yang bertuliskan sesuai aplikasi ojek online yang dipesannya tadi.“Saya naik ya, Pak?”“Silakan, Mbak.”Sekitar lima belas menit, ojek yang ditumpangi Elina tiba di depan sebuah biro perjalana
Susana kembali mulai bekerja di rumah sakit setelah dua minggu menghabiskan cutinya untuk merawat suaminya. Ia tak khawatir meninggalkan sang suami bekerja karena masih tinggal di rumah orang tua Denny. Ada ibu mertuanya yang akan membantu merawat suaminya yang masih belum bisa beraktivitas sendiri. Denny masih belajar berjalan memakai tongkat. Susana baru saja bersiap menyuruh perawat asistennya memanggil pasien pertama pagi itu, tapi seorang wanita tiba-tiba nyelonong begitu saja masuk ke ruangannya. “Mbak, eh … kok main masuk aja, sih?” Ririn--asisten Susana berusaha menghalangi wanita yang menerobos masuk itu. “Kamu?” Susana menatap kaget wajah cantik yang masih bisa diingatnya. “Selamat pagi, Dokter. Maaf, saya masuk seperti ini.” Elina tersenyum manis menatap istri mantan atasannya sekaligus mantan teman kencannya tiga bulan yang lalu. Tanpa disuruh, Elina kemudian duduk di kursi depan sang dokter yang masih terpaku menatap wanita yang
Susana langsung masuk ke kamar sepulangnya dari bekerja dari rumah sakit sore itu. Terlihat sang suami sedang duduk di depan jendela yang terbuka. Denny segera memberikan senyum manisnya pada sang istri yang sudah dua hari cemberut terus. Sore ini pun, wajah cantik itu juga tak ada senyum di bibir ranumnya, tapi Susana tetap menghampiri suaminya, mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan pria yang bergelar suaminya itu.Denny menahan kepala yang membungkuk di hadapannya. Meraih wajah sang istri, lalu mendaratkan ciumannya di kening mulusnya Susana. Mata dokter cantik itu membelalak, tak menyangka akan mendapatkan perlakuan manis dari suaminya yang selama ini begitu mengabaikan dirinya.“Aku mau mandi dulu, gerah.” Susana buru-buru melepaskan tangan suaminya. Lalu, wanita yang sedang hamil enam bulan itu berjalan menuju kamar mandi yang terdapat di dalam kamar tersebut.Denny menghela napas panjang melihat Susana yang benar-benar su
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?