“Selamat ya, Bu. Anda positif hamil.”
Diana dan Ivan sesaat saling berpandangan, ketika dokter paruh baya itu menyerahkan sebuah amplop putih yang berisikan hasil laboratorium pemeriksaan urine dari Diana tadi. Keduanya menatap amplop itu dengan pandangan tak percaya. Sesaat kemudian, Ivan memeluk istrinya dengan gembira. “Sayang, kamu hamil anak kita.”
Diana membalas pelukan erat suaminya tanpa berkata apa-apa, ia sangat senang mendengar tentang kehamilannya ini. Dirinya dan Ivan memang sangat ingin memiliki buah cinta mereka berdua. Namun, pikirannya belum bisa lepas akan kejadian siang tadi. Bertemu wanita yang tergila-gila pada suaminya, bahkan mengaku sedang hamil anak suami tercintanya.
“Untuk mendapatkan informasi lebih jelas mengenai kehamilan Ibu, bisa diperiksa langsung ke dokter kandungan.” Suara dokter yang sejenak mereka abaikan terdengar kembali.
“Oh, baik, Dokter, terima kasih.&r
Ivan mempersilakan ayahnya Elina duduk di kursi tamu yang ada di ruangannya. Ia tak menoleh sedikitpun kepada wanita yang mengaku telah dihamilinya itu. Akhirnya, Elina ikut duduk sendiri di samping ayahnya tanpa disuruh. “Maaf, ya, Nak Ivan. Saya datang tiba-tiba ke sini.” Ayahnya Elina memulai percakapan. “Oh, ada apa, ya, Pak?” Ivan pura-pura tak mengerti. “Mengingat hubungan baik kita dulu, saya gak mau menyelesaikan hal ini dengan saling menyakiti. Jadi, kita cari saja jalan yang terbaik untuk menyelesaikannya. Hm … sejujurnya saya itu sangat kaget dan malu mendengar Elina sudah berbadan dua. Apalagi dia bilang Nak Ivan adalah ayah dari janin yang dikandungnya.” Rusdi langsung bicara ke intinya. “Sama seperti Pak Rusdi, saya juga sangat kaget kemarin, Elina tiba-tiba datang dan bilang sedang hamil anak saya, padahal saya tidak ada hubungan apa-apa dengan dia,” balas Ivan dengan wajah santai. Ia malah melipat tangannya di dada seraya menatap acuh
“Kamu jangan pernah mengusik istri saya, Elina! Dia sedang hamil! Saya gak ingin kenapa-kenapa dengan kandungannya karena ulahmu!” bentak Ivan tajam tanpa peduli dengan adanya ayah Elina di situ.“Aku juga sedang hamil anakmu, Mas!” Elina berteriak.“Itu salahmu! Kok jadi saya yang harus mikirin!” balas Ivan tak mau kalah.“Tolong aku, Mas … aku gak bohong, ini benar-benar anakmu, Mas Ivan. Aku rela nanti dituntut kalau seandainya terbukti ini bukan anakmu.” Elina bersimpuh di lantai, memohon sambil menangis pada Ivan.Ivan terpaku mendengar ucapan dari Elina yang terlihat memang berkata sungguh-sungguh. Ivan jadi ragu. Meskipun ini diluar keinginannya, tapi jika benar itu anaknya, ia tak bisa juga mengabaikannya.“Arrrgh … kenapa kau lakukan semua ini, Elina?!“ Ivan menyugar rambutnya kasar. Ia benar-benar tidak tahu lagi, apa yang harus
“Saya ayahnya Elina, Mbak ini pasti istrinya Mas Ivan, ya?” Rusdi langsung mendatangi Diana dan mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. Dengan ragu, Diana menyambut uluran tangan itu. Ivan mendesah kesal melihat ayahnya Elina yang lancang datang kembali tanpa pemberitahuan. Apalagi sedang ada Diana bersamanya. Ivan menghampiri Diana, lalu mengulurkan tangan meraih tangan istrinya. ”Yuk, kita duduk di kursi tamu saja, Sayang,” ajak Ivan. Ia sudah pasrah apapun yang akan dikatakan Rusdi siang ini. Ia lelah menyembunyikan semua ini pada istrinya. Biarlah Diana tahu. Rusdi pun kemudian mengikuti pasangan suami istri itu ke kursi tamu. “Hm … begini, Mas Ivan. Maaf, saya datang lagi ke sini,” ucap Rusdi setelah duduk di kursi tamu. “Emangnya Bapak sudah pernah ke sini sebelumnya?” tanya Diana heran. “Minggu lalu, Pak Rusdi datang bersama Elina. Maaf, aku belum ngasih tahu kamu, Sayang.” Ivan yang menjawab pertanyaan istriny
“Tolonglah, Mas Ivan. Toh, mereka yang hadir di sini tidak ada yang kenal dengan Mas Ivan,” bujuk Rusdi dengan memasang wajah yang memelas. “Ayo, kita masuk. Penghulunya sudah hadir di dalam.”“Tahu begini, saya gak akan setuju untuk datang ke sini. Untung istri saya tadi gak ikut,” gerutu Ivan dengan wajah cemberut. Namun, ia tetap juga mengikuti langkah Rusdi masuk ke dalam rumah.Begitu tiba di ruangan tengah yang cukup luas, terlihat sudah ramai oleh para tamu. Rusdi langsung mengajak calon menantunya menuju meja dan kursi yang sudah tersedia di tengah-tengah ruangan sebagai tempat acara akad nikah akan diadakan.“Maaf, Pak Penghulu, agak menunggu. Ini calon menantu saya.” Rusdi langsung memperkenalkan Ivan kepada tiga orang pria paruh baya yang sudah duduk di kursi tersebut.“Iya, gak apa-apa, Pak Rusdi, kami kan juga baru tiba di sini,” balas Pak Penghulu sembari menerima uluran tangan Ivan
Tangan Elina tak lagi sekedar menyentuh, tapi mulai merayap menyusuri tubuh pria itu dan mengecup dada Ivan yang berbulu halus. Ivan yang telah menegang sejak tadi dengan gairah kelelakiannya sudah meletup-letup di ubun-ubun kepalanya. Ia butuh pelampiasan.Ivan sudah tak tahan lagi, matanya menggelap. Ia tak peduli siapa wanita yang berdiri di hadapannya kini. Ia kemudian menerkam tubuh Elina dan menciumnya dengan brutal. Tentu saja istri sirinya itu menyambut dengan suka cita. Kerinduannya selama tiga bulan ini tidak bercinta dengan seorang pria akan dituntaskan oleh pria yang sangat ia cintai, ayah dari anak yang sedang dikandungnya saat ini.Ivan benar-benar tak terkendali di siang hari itu. Tanpa obat peransang pun, ia sudah sangat perkasa dalam urusan ranjang, apalagi sekarang, ia mengkonsumsi bubuk itu tanpa disadarinya. Hingga Elina dibuatnya tak berdaya, berkali-kali mendapatkan klimaksnya. Wanita cantik itu terkulai lemas di sebelah Ivan yang kemudian tertidu
Usai membersihkan diri di kamar mandi, Ivan langsung mencari baju kaos yang berleher tinggi. Ia ingat punya baju seperti itu tersimpan di lemari pakaiannya. Ia tak ingin Diana melihat tanda merah yang sangat jelas di lehernya akibat ulah perempuan yang tak pernah diimpikannya akan menjadi istri sirinya. Setelah memasang celana pendeknya, Ivan mendekati ranjang. Dilihatnya Diana masih dalam posisi yang sama seperti tadi. Ivan pun kemudian merebahkan dirinya di sebelah sang istri. Tangan kekarnya memeluk tubuh wanita yang sedang mengandung buah cinta mereka. Ia pun dengan lembut mencium rambut sang istri dengan hati yang perih karena merasa sudah mengkhianati istri tercintanya itu dengan meniduri wanita lain, meskipun bukan atas kehendaknya.“Maafkan keteledoranku, Sayang,” ucap Ivan dalam hati. Ia memejamkan mata, menahan tangis yang tiba-tiba menyesak dadanya. Yang terdengar kemudian hanya deru napasnya yang berembus kasar dan air mata yang tumpah tak tertah
“Aku yang salah, Bu. Aku sudah menjebak Mas Ivan. Aku terpaksa melakukan itu, Bu. Aku ingin merebut Mas Ivan dari istrinya,” tangis Elina tanpa rasa malu pada orang tuanya.“Ya ampun, Elina?! Kenapa kamu jadi seperti ini, sih?” Ibunya Elina langsung bangkit dari duduknya, menatap sang putri tak percaya. “Kenapa kamu jadi licik begini? Mama dan papa gak pernah ngajarin kamu mengejar laki-laki seperti wanita murahan begini. Mama benar-benar kecewa sama kamu, Lin.”“Sudahlah, Ma? Semoga saja setelah ini, Elina tidak lagi mengejar-ngejar Ivan.” Rusdi berdiri dari duduknya di sofa dan menghampiri sang istri.“Ini gara-gara Papa terlalu memanjakan dan menuruti semua keinginan Elina. Dulu, mama sudah tidak setuju dia kuliah sendiri di Balikpapan. Sekarang hidupnya jadi gak karuan seperti ini,” omel istrinya Rusdi pada sang suami.“Kenapa mengungkit hal itu lagi sih, Ma. Kita sama-sam
Orang tua Elina kaget melihat putrinya yang tiba-tiba mengamuk seperti itu. Rusdi dengan cepat berlari ke tempat anaknya yang berusaha untuk bangkit dari ranjangnya. Ia langsung memeluk putri tersayangnya itu. Lalu, berteriak pada istrinya yang masih bengong, “Ayo, Ma! Cepat panggil dokter ke sini!”“Lepaskan aku, Pa! Aku mau ke tempat Mas Ivan sekarang!” teriak Elina sambil menangis.“Duh … kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?” keluh Rusdi dengan hati pilu. Ia tahu, Elina sangat terpukul kehilangan calon bayinya dan kehilangan kesempatan untuk bisa bersama Ivan, tapi ia tak menyangka, Elina begitu keras kepala dan tidak mau menerima kenyataan. "Sadarlah, Lin. Cobalah lupakan Ivan, percuma kamu mengharapkan dia lagi."Elina tak menjawab, tapi suara tangisnya semakin memilukan.Tidak berapa lama kemudian, dokter yang dipanggil oleh ibunya Elina bergegas masuk diikuti oleh seorang perawat.“Seperti
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?