Denny berkenalan dengan Elina sebulan lalu ketika mobil mereka hampir bertabrakan di lokasi parkir. Denny yang kala itu dalam kondisi moody gara-gara sudah meniduri Susana lagi tanpa sadar, tidak melihat mobil Elina yang juga akan keluar dari parkiran apartemen. Emosi Denny semakin bertambah karena peristiwa itu. Namun ketika seorang wanita cantik bertubuh seksi turun dari mobil yang ditabraknya, bahkan lalu mendatangi mobil Denny. Pria itu bergeming. Wanita itu dengan wajah marah juga bermaksud melabrak pengemudi yang menyenggol mobilnya.
“Mas, pagi-pagi dah main serobot aja,” tegur si cantik yang tidak jadi marah-marah begitu pengemudi tampan itu ikut turun.“Maaf, ya? Saya sedang gak konsentrasi tadi. Hm … saya akan ganti rugi kerusakannya.” Denny mengambil kartu nama dari dompetnya dan menyodorkan ke tangan wanita berambut sebahu tanpa poni itu, “ini kartu nama saya, silakan bawa mobilnya ke alama“Aku ke Samarinda hari ini, nginap,” ucap Denny kepada Susana yang sedang duduk menonton televisi di sore hari Sabtu itu. Mata wanita yang sedang hamil muda itu melirik tas ransel yang dibawa suaminya. Denny sudah bersiap akan keluar lagi. Padahal baru satu jam yang lalu ia pulang. Meski hari Sabtu, Susana tahu kalau suaminya itu masih sering datang ke kantornya. Ia memaklumi karena memang pekerjaan Denny banyak berhubungan dengan para nasabah, yang kadang hanya punya waktu bertemu di hari Sabtu atau hari Minggu. “Urusan kantor kah, Mas?” tanya Susana sembari berdiri menghampiri suaminya. “Bukan urusanmu!” Denny menjawab ketus. “Hm … ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama, Mas.” Susana menatap suaminya penuh harap. Ia ingin memberitahukan hasil tes kehamilannya kepada calon ayah anaknya itu. “Lain kali aja! Aku buru-buru!” Denny mengambil sepatu sendalnya di rak sepatu dekat pintu keluar apartemen. “
Elina masih menekuk mukanya begitu mereka sudah duduk kembali di mobil. Wajah wanita cantik itu tampak kesal.“Kenapa sih, kok kamu jadi murung gitu, emangnya dulu Ivan pacar kamu?” tanya Denny sembari mengamati sejenak wanita yang duduk di sampingnya. Lalu, tidak lama kemudian mobil itu meluncur keluar dari parkiran tempat belanja itu.“Mas Ivan dulu adalah laki-laki pertama yang aku taksir waktu kelas tiga SMA dulu. Tapi cintaku tak berbalas. Dia hanya menganggap aku adik.” Cerita Elina tanpa diminta.“Wah … kasihan sekali, cinta tak berbalas. Terus kamu masih menyimpan cinta itu buat dia sampai sekarang?” tanya Denny penasaran.“Gak juga sih, tapi gara-gara dia aku jadi wanita yang pendendam terhadap laki-laki. Aku gak percaya lagi yang namanya cinta. Aku hanya ingin bersenang-senang dengan pria yang bisa membuatku senang. Kayak dirimu, Mas.” Senyum kembali mun
Diana sedang sibuk memeriksa semua nota pembelian barang-barang di supermarket-nya ketika ponselnya berbunyi. “Tumben Denny telepon,” pikirnya heran. Namun diangkatnya juga panggilan dari sang mantan yang ditemuinya semalam bersama wanita lain. “Hallo ….” [Hallo, Diana. Makasih ya, masih mau mengangkat teleponku.] “Iya, sama-sama, Den. Hm … ada kabar apa nih, tumben telepon.” [Aku ingin ngajak kamu dan suamimu makan siang bersama di hotel tempatku menginap, bisa gak? Aku tuh ingin menjalin silaturahmi lagi denganmu juga dengan suamimu, mumpung aku lagi ada di Samarinda. Sejak kita berpisah yang kedua kalinya, baru kali ini aku menginjak kota ini lagi. Ntar sore aku udah balik lagi ke Balikpapan.] “Hm … bisa aja sih, coba aku tanya Mas Ivan dulu ya, Den?” [Ok, Diana. Aku tunggu kabarnya, ya?] “Iya.” Diana memutus sambungan telepon itu
“Elina? Apa yang sudah kamu lakukan padaku?” tanya Ivan bangkit dengan cepat dari tidurnya. Ia duduk di pinggir ranjang dengan mata menyala menatap wanita yang hanya memakai pakaian dalam saja. Malah kaki putih mulus yang jenjang itu dilipat sampil digoyang-goyangkannya.“Lho? Masa Mas gak bisa mengingat apa yang sudah kita lakukan satu jam yang lalu, sih? Tuh, lihat aja bekasnya masih ada di seprai. Becek, hahaha.” Elina tertawa cekikikan.“Jangan ngawur kamu, Elina! Istriku mana?” tanya Ivan berusaha meraih celananya yang tergeletak di sisi ranjang. Lalu mamakainya buru-buru.“Oh, Mbak Diana juga lagi bersenang-senang sama mantan pacarnya di kamar sebelah. Yah, kayak di luar negeri lah, tukar-tukar pasangan.” Elina bicara dengan cuek.“Apa?! Pasti ini rencana kalian berdua, ya?! Menjebakku dengan istriku!” Ivan dengan marah menyambar bajunya dan b
Ivan duduk di teras rumahnya pagi itu sendiri. Matanya menatap tumbuhan bunga mawar yang sedang bermekaran di pot-pot yang tersusun rapi di depan teras. Diana yang sangat menyukai bunga mawar, membawa tanaman itu dari rumah lamanya. Ivan menghela napasnya, hatinya resah sejak kemarin sore setelah kejadian di hotel bersama Elina. “Duh … jangan-jangan aku dan Elina melakukan hubungan itu,” pikir Ivan resah. Ia masih ragu akan hal itu, Ivan mengingatnya antara kenyataan atau hanya mimpi belaka. “Mas, kok melamun?” Diana yang datang dari dalam rumah menegur suaminya yang tampak bengong. Ia kemudian meletakkan secangkir kopi panas di meja kecil depan Ivan. Kemudian Diana duduk di kursi teras satunya lagi. “Enggak, kok. Aku hanya merasa terpesona oleh bunga-bunga mawarmu itu, cantik sekali kayak yang punya.” Ivan mengalihkan tatapannya ke wajah sang istri. Senyumnya pun terukir di bibir tipisnya. Ivan berusaha agar kegelisahan
Ivan buru-buru mengambil ponsel Diana dan melihat apa yang sudah membuat istrinya histeris. Mata Ivan membulat kaget, tangan kekarnya yang memegang ponsel sang istri terlihat bergetar. Mulutnya ternganga, seolah tak percaya akan apa yang sudah dilihatnya. Foto-foto menjijikkan antara dirinya dengan Elina seminggu yang lalu. “Astagaa … ternyata ini yang sudah direncanakan mereka,” geram Ivan dengan bibir bergetar. Apalagi melihat Diana yang duduk menangis dengan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahu istrinya tampak terguncang menahan tangis. Ivan benar-benar tak menyangka akan mengalami hal ini dalam rumah tangga yang baru dibangunnya selama tiga bulan ini. “Sayang … aku benar-benar tak menyangka Elina akan melakukan hal ini untuk menghancurkan rumah tangga kita.” Ivan meraih kepala istrinya dan membawanya ke pelukannya. Namun, tak disangkanya, Diana menolak pelukannya. Ivan shock kembali. Apa Diana marah padanya? Iv
“Elina, ke ruanganku sekarang.” Denny menghubungi ponsel Elina begitu Ivan memutus panggilannya. [Baik, Pak. Saya segera ke sana.] Denny tersenyum mendengar ucapan resmi Elina di kantor padanya. Tentu saja harus seperti itu karena Elina berbagi ruangan dengan karyawan yang lain. Tidak berapa lama kemudian yang dipanggil masuk ke ruangan sang kepala cabang. Elina tidak lupa mengunci pintu begitu ia sudah tiba di dalam ruangan serbaguna bagi mereka berdua itu. Wanita cantik itu langsung duduk di kursi depan meja kerja pimpinannya yang tampan. “Kamu sudah mengirim foto-foto itu ke Diana, ya?” tanya Denny tak sabaran begitu Elina baru saja menghenyakkan bokongnya di kursi depannya. “Udah, sekitar satu jam yang lalu. Begitu aku lihat sudah dibacanya, nomornya langsung aku blokir,” jawab Ellina sambil tersenyum puas. Ia sangat yakin hubungan Ivan dan Diana pasti sedang panas sekarang. “
Mata Denny membulat begitu tubuh yang tak kalah indah dari Diana dan Elina itu terpampang jelas di depan matanya. Selama ini Denny tidak begitu memperhatikan tubuh istrinya, meski sudah dua kali ia menikmatinya dalam kondisi tidak sadar. Hari ini ia sadar, tidak dalam kondisi mabuk seperti biasanya. Denny tidak sabar lagi ingin menikmati tubuh wanita yang halal baginya itu. Segera ia menarik tangan Susana, lalu menidurkan wanita itu di ranjang mereka. Celananya pun kemudian dibukanya buru-buru. Denny ingin segera melampiaskan hasratnya yang seminggu ini tidak mendapatkan lawan. Diana yang gagal ditidurinya kala di hotel serta Elina yang terus menolak tidur dengannya, membuat Denny tidak bisa menghindar lagi dari pesona tubuh molek istrinya. Susana pun dengan hati bahagia menyambut ciuman dan sentuhan yang dilakukan suami tercintanya. Wanita yang sedang hamil muda itu pun berusaha mengimbangi permainan sang suami yang sarat pengalaman bercinta dengan banyak wan
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?