"Ya Allah, Bu. ATM yang mana lagi yang mau Ibu pinta?" Aku menyugar kasar rambut ini. Selama dalam penjara, ibu dan juga Sinta tidak pernah menjenguk sekali pun. Sekarang, datang-datang malah minta ATM gaji, biar dia saja yang pegang.Dimana hati nurani wanita yang telah melahirkan aku ke dunia ini. Kadang diri ini berfikir, apakah aku ini anak pungut sehingga diperlakukan tidak adil seperti ini?"ATM gajimu lah. Emang kamu punya tabungan lain selain simpanan gaji?" tanya ibu dengan nada ketus.Mereka hanya tahu, senang saja. Tapi kesusahan aku, apa mereka mengetahuinya? Kalau pun mereka tahu, belum tentu mereka akan membantu.Buktinya mereka tidak pernah menjenguk diri ini di penjara. Jangankan menjenguk menanyakan kabar saja tidak pernah. Apa yang aku makan sehari-hari saja mereka tidak mau tahu."Rama gak punya gaji lagi loh, Bu. 'Kan Rama sudah dipecat." "Apa? Kamu dipecat?" Ibu kaget mendengar jika anak laki-laki yang selalu di banggakan selama ini sudah di berhentikan secara t
"Kalau Rama tidak membayar hutang ibu, mungkin sekarang Ibu yang merasakan dinginnya berada dalam penjara, bukan Rama, Bu." Karena kesal akhirnya suara sedikit meninggi sehingga ibu kaget. Biasanya anak lelaki ibu yang satu ini selalu penurut dan berlemah lembut tutur kata. Karena pikiran sudah buntu dan beban hidup semakin banyak membuat emosi ini tidak bisa aku kendalikan lagi."Kenapa malah Ibu yang kamu salahkan? Emang Ibu pernah menyuruh kamu untuk membayar utang-utang itu?" bentakan itu sangat menusuk ke relung hati ini. Beliau tidak pernah menghargai semua pengorbanan yang aku lakukan.J"Rama tidak menyalahkan Ibu. Tapi Rama kasian saja melihat Ibu dianiaya warga karena Ibu mencuri untuk membayar uang arisan sosialita." sindir aku."Memang dasar kamu saja yang bejat. Pekerjaan haram kamu itu jangan kau kait-kaitkan dengan Ibu. Aku tidak terima." Tangan wanita yang telah melahirkan diri ini ke dunia menoyor kepala sehingga tubuh ini sedikit maju ke depan."Ibu gak mau tau. Kamu
"Kakak disini mewakili Ibu dan keluarga, selaku anak tertua meminta tolong pada kamu Raka untuk menjaga dan membimbing adiku semata wayang itu. Tolong sayangi dia. Sayangi juga keponakanku, Niken seperti kamu menyayangi anakmu sediri. Jangan sakiti dia.""Dan jika kamu sudah bosan terhadap Agnes nantinya, kembalikan dia secara baik-baik kepada kami seperti disaat kamu mengambilnya." Kak Ayu memberikan sebuah pesan di depan tamu undangan yang terdiri dari para kerabat dan handai taulan. Sedikit terisak terdengar saat wanita berwajah sendu itu berbicara."Kalau kamu tidak mencintainya dan tidak menyayanginya lagi, kembalikan pada keluarganya. Jangan kamu khianati dengan berselingkuh di belakangnya." ujar kak Ayu lagi.Tanpa aba-aba pak Haji Bakri berdiri dan berjalan menuju dimana kami sedang duduk saat ini. Lalu beliau berseru, "Tenang aja, Nak Ayu. Raka tidak akan macam-macam sama Agnes. Jika dia macam-macam, dia akan berhadapan langsung dengan Uwak." Pak Haji Bakri menenangkan hati
Agnes sangat bahagia saat aku mengatakan akan mengajak berlibur ke Bali."Kita ke Bali, Mas?" tanya Agnes, ekspresi wajahnya antara kaget sekaligus tidak percaya."Iya. Honey moon kita berdua sekalian mengajak jalan-jalan Niken juga," jawabku santai"Serius? Mas gak sedang bercanda, kan?" tanya Agnes dengan mimik wajah serius. "Mas sedang tidak bercanda. Tunggu sebentar." ujarku, lalu menuju ke tas kerja yang aku letakkan di atas meja kerja khusus yang terletak di dalam kamar.Kubuka tas itu lalu merogohnya isinya. Kemudian mengeluarkan tiga lembar tiket penerbangan dan menyerahkan kepada wanita yang telah aku halalkan dua hari yang lalu."Ini, tiket untuk kita bertiga. Kita akan berangkat besok pagi. Sekarang beritahu Niken dan juga persiapkan semua keperluan kita selama di Bali." ujarku seraya menatap wajah sendunya.Kami saling berhadapan. Ada rasa canggung yang kulihat dari raut wajahnya."Makasih ya, Mas. Aku sangat bahagia menjadi istrimu. Semoga seterusnya kita selalu dilimpah
Pov Sinta."Bu, kita tidak mungkin begini-begini terus." ujarku pada ibu yang sedang duduk lesehan di tikar usang yang di gelar di ruang tamu.Beliau sedang sarapan pagi, hanya nasi putih dengan taburan sedikit lenyedap rasa ayam yang aku beli di warung bang Tejo.Selama bang Rama dipenjara hidup kami sangat menderita. Jangankan mendapat tempat tinggal yang layak, untuk makan sehari-hari saja kami kekurangan."Jadi mau bagaimana lagi? Sudah nasib kita begini." jawab ibu seraya memasukkan nasi ke dalam mulutnya."Aku bosan hidup miskin terus. Kita harus bangkit.""Bangkit bagaimana? Mau buka usaha, kita tidak punya modal lagi. Ya udah terima saja nasib kita menjadi buruh cuci. Yang penting bisa buat makan kita sehari-hari. Syukur juga kamu tidak punya anak. Kalau enggak, beban Ibu semakin berat.""Bagaimana kalau Sinta merantau aja, Bu?""Merantau kemana? Jangan aneh-aneh, deh." tanya ibu seraya mencuci tangannya. Beliau sudah selesai sarapan dan sebentar lagi akan berangkat ke rumah b
"Kamu yakin Sin, bakal pergi merantau?" Tanya ibu saat aku sedang memasukkan ke dalam tas, perlengkapan yang akan kubawa nantinya."Iya, Bu. Sinta yakin." jawabku mantap."Tapi, Nak. Ibu khawatir, selama ini kamu tidak pernah berpergian sendirian, apalagi jauh. Ibu takut kamu kenapa-kenapa di jalan.""Ibu, jangan khawatir, kan ada Rasti nanti yang mengawani Sinta. Ibu berdoa saja semoga pekerjaan Sinta disana lancar. Dan disayangi sama atasan. Rejeki mengalir deras." ujarku seraya melipat beberapa potong baju dan memasukkan ke dalam koper."Nak, tolong fikirkan yang matang-matang sebelum membuat keputusan. Orang tua mana yang akan tenang jika ditinggalkan oleh buah hatinya. Nduk, tolong jangan pergi." ujar ibu dengan mata berkaca-kaca."Ibu, jangan khawatir ya? Sinta sudah dewasa, sudah bisa mengurus diri sendiri. Ibu jaga kesehatan disini, jangan banyak pikiran. Kalau kangen, sekarang sudah canggih, Bu. Kita bisa ngobrol melalui telpon yang ada vidionya. Nanti gaji pertama Sinta, Ibu
Akhirnya kami sampai juga di kota tempat tujuan aku akan mengais rezeki nantinya. "Ras, kita cari makan dulu. Aku lapar banget dari kemarin siang belum makan satu suap pun." pintaku pada Rasti saat kami sudah turun dari dalam bus. "Kenapa kamu tidak makan, sih? Gak usah terlalu banyak fikiran. Enjoy ajalah. Hidup ini kita jalani bukan diratapi." ejek Rasti seraya menggenggam lembut tangan ini. Kami bergandengan tangan berjalan menuju ke warung yang berada sekitar tiga ratus meter dari terminal. "Bukan banyak pikiran, Ras. Lambungku gak bisa mengisi makanan kalau sedang dalam perjalanan. Jangankan nasi, air putih aja tidak bisa. Langsung mual dan muntah." ujarku membela diri. Diri ini memang sangat takut makan nasi jika dalam bus karena mabuk perjalanan dan akhirnya muntah. Padahal jika naik mobil pribadi, aku anteng aja. Tidak ada drama mual apalagi muntah. Kalau naik bus ada saja keluhan ku. Yang bau rokok lah. Bau parfumlah. Padahal sudah minum obat anti mabuk tetap saja tidak ta
Hari ini ada tawaran untuk melayani seorang lelaki bule. Lelaki tua tapi kata Rasti duitnya banyak. Hati nurani ini sangat malas untuk melayaninya. Entah kenapa aku tidak bisa bersandiwara, tidak bisa membohongi diri sendiri. Berpura-pura menyukai tetapi nyatanya bikin muntah."Ras, kau ajalah yang melayani lelaki tua itu. Aku kok malas sama dia. Gak menarik sedikit pun," pintaku pada Rasti yang sedang sibuk menata rambutnya karena sebentar lagi ia akan di bawa oleh pengusaha kaya yang ada di Jakarta."Mana bisa begitu, Sin. Dia minta kamu, berarti dia itu suka hanya sama dirimu, sayang," ujar Rasti seraya mencolek dagu ini."Tolonglah, Rasti. Aku tidak sanggup." pintaku menghiba memohon untuk digantikan saja tugasku oleh Rasti."Aneh kamu, Sin. Masak aku yang gantikan?" Alasan Rasti ada benarnya juga. Dengan kesal aku juga mulai berdandan karena sekitar setengah jam lagi om Bram akan datang menjemput."Bisa batalin enggak sih, Ras. Aku gak mood," "Udah, kamu terima aja bokingan om B
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku