"Om, kapan ajak Niken ke kolam renang lagi. Kan Mama sama Om Raka sudah baikan." Raka tergelak mendengar pernyataan Niken. Dan aku hanya bisa tersenyum mendengar permintaan Niken. Dikiranya selama ini aku sama Raka sedang bermusuhan, padahal kami tepatnya aku sedang menjaga jarak, menghindar dari fitnah. Namanya Raka seorang duda dan aku janda, kalau sering berduaan pasti jadi sasaran empuk para pengghibah. Dan juga jika wanita dewasa berduaan dengan lelaki dewasa bisa berbahaya. Ada setan diantara kami nantinya. Takut terjerumus ke jurang zina. "Emang Mama sama Om Raka berantem, ya Niken?" Kak Ayu malah memancing di air keruh nampaknya nih. "Iya Bude. Mereka berdua kayak anak kecil aja ya kan Bude." Niken memajukan bibirnya. Membuat kita bertiga tergelak bagaikan dikomandoi saja. "Iya ya. Kayak Tom and Jerry." celutuk kak Ayu. Aku jadi tidak enak sama Raka. Memang selama ini aku lumayan galak terhadap lelaki penyuka olah raga tersebut. Dipikir-pikir aku terlalu
Hujan deras semenjak subuh tadi belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Udara sangat dingin menusuk ke tulang. Kurapatkan selimut hingga sebatas dagu, menikmati suara rintikan hujan dari dalam kamar yang masih remang. Kebetulan hari ini hari minggu jadi aku tidak perlu bangun pagi dan ke kantor. Bagi wanita pekerja seperti aku, hari minggu merupakan waktu untuk berleha-leha menikmati hari. Niken juga masih terlelap dalam mimpi indahnya. Ku ambil selimut dan menyelimutinya sampai seujung bahu. Membelai lembut buah hatiku, aku selalu berdoa semoga kelak anakku kelak menjadi sukses dan bahagia dunia akhirat. Baru saja mata ini hendak terpejam, tiba-tiba ponsel yang ku letak di atas nakas, berdering. Dengan rasa malas aku bangkit untuk mengambil ponsel dan mengangkat telponnya. "Halo," sapaku. Dengan suara masih serak ciri khas orang yang baru bangun tidur. "Masih tidur, ya?" Ternyata Raka yang menghubungiku sepagi ini. Ah ... lelaki itu tidak bisa melihat
"Beli, dong. Masak untuk anak cantik seperti Niken gak dibeli? Niken mau cincin apa kalung, Nak." Raka mengangkat dan menggendong Niken supaya bocah itu bisa memilih sendiri barang yang akan di belinya."Beli cincin aja, biar samaan kayak Mama dan Papa ya?" Kami berdua saling berpandangan dan tersenyum melihat tingkah lucu anakku."Gak ada untuk ukuran Niken kalau cincin kawin, Nak. Bagaimana kalau kalung aja?" tanya Raka sambil menurunkan Niken dari gendongannya. Kami berdua saling menatap dengan senyum mengembang. Ada-ada aja anakku meminta cincin kawin."Bagaimana dengan yang ini?" tanya Raka seraya menunjuk di balik kaca, satu buah kalung bertuliskan nama yang sangat indah menurutku."Yang mana?" tanyaku. Tanpa diminta pegawai toko menunjukkan padaku kalung pilihan Raka."Hmmm ... cantik juga. Selera Papa gak kaleng-kaleng." selorohku. Raka tersenyum begitu manis saat mendengar pujian dari calon istrinya ini."Gak mau yang lain? Yang ini saja?" tanya Raka untuk meyakinkan. Bagiku
Sinta memakai baju dengan motif bunga dan dipadukan dengan celana kulot motif garis-garis. Seumur-umur, aku belum pernah melihat Sinta memakai baju dengan motif tabrak seperti itu. Dan aku perhatikan wanita yang pernah menjadi adik ipar itu semakin hitam dan kucel."Jangan melihat orang lama-lama. Kayak orang baru turun dari gunung aja kamu, Say." Aku dikejutkan oleh nasehat Raka."Itu, Mas. Kasihan Sinta." Jariku menunjuk ke arah Sinta yang sedang berdiri di sebelah ibu yang memakai baju batik. Penampilan ibu itu seperti seorang wanita sosialita."Kasian ya, Mas. Dia itu dulunya bergelimangan harta, sekarang malah kayak gembel. Tidak terurus dan wajahnya kusam." Walaupun keluar kata kasihan tetapi sudut bibir ini tersenyum melihat penampakan seperti itu."Begitulah. Mas juga kasian melihatnya, tapi kita pun tidak bisa berbuat banyak. Sudah nasib dia.""Iya ya Mas. Kita tidak nyangka nasib Sinta akan seperti itu." Aku menoleh lelaki memiliki mata hazel disampingku."Iya. Hmmm ... seka
Muka ini tidak tahu lagi mau ku bawa kemana saat berjumpa dengan Niken, keponakanku. Anak itu sekarang sudah sangat cantik dan terawat.Kulitnya bersih juga putih mulus. Mungkin mereka sering perawatan, keluar masuk salon makanya jadi glowing begitu.Bukan maksud sombong dan tidak mau bertegur sapa dengan anak dari abangku itu, tetapi diri ini minder dengan takdir yang tidak sedang berpihak kepadaku."Andra jatuh dan kau hanya diama aja? Kemana kau bawa otakmu, hah?" bentak sang majikan saat tidak sengaja anaknya bernama Andra yang berusia tiga tahun jatuh dari perosotan bola dan membuat bibirnya berdarah. Spontan aku tersadar dari lamunanku.Akibat memikirkan nasib malang ini, sampai lalai menjaga anak hiperaktif itu, sehingga dia jatuh tersungkur ke lantai dan melukai bibirnya."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja." ujarku tertunduk dengan ekor mata melirik ke arah Niken, semoga saja dia tidak mengadukan kejadian ini kepada ibunya. Pasti sangat memalukan sekali."Menjaga anak kecil saja ka
"Ya Allah, Bu. ATM yang mana lagi yang mau Ibu pinta?" Aku menyugar kasar rambut ini. Selama dalam penjara, ibu dan juga Sinta tidak pernah menjenguk sekali pun. Sekarang, datang-datang malah minta ATM gaji, biar dia saja yang pegang.Dimana hati nurani wanita yang telah melahirkan aku ke dunia ini. Kadang diri ini berfikir, apakah aku ini anak pungut sehingga diperlakukan tidak adil seperti ini?"ATM gajimu lah. Emang kamu punya tabungan lain selain simpanan gaji?" tanya ibu dengan nada ketus.Mereka hanya tahu, senang saja. Tapi kesusahan aku, apa mereka mengetahuinya? Kalau pun mereka tahu, belum tentu mereka akan membantu.Buktinya mereka tidak pernah menjenguk diri ini di penjara. Jangankan menjenguk menanyakan kabar saja tidak pernah. Apa yang aku makan sehari-hari saja mereka tidak mau tahu."Rama gak punya gaji lagi loh, Bu. 'Kan Rama sudah dipecat." "Apa? Kamu dipecat?" Ibu kaget mendengar jika anak laki-laki yang selalu di banggakan selama ini sudah di berhentikan secara t
"Kalau Rama tidak membayar hutang ibu, mungkin sekarang Ibu yang merasakan dinginnya berada dalam penjara, bukan Rama, Bu." Karena kesal akhirnya suara sedikit meninggi sehingga ibu kaget. Biasanya anak lelaki ibu yang satu ini selalu penurut dan berlemah lembut tutur kata. Karena pikiran sudah buntu dan beban hidup semakin banyak membuat emosi ini tidak bisa aku kendalikan lagi."Kenapa malah Ibu yang kamu salahkan? Emang Ibu pernah menyuruh kamu untuk membayar utang-utang itu?" bentakan itu sangat menusuk ke relung hati ini. Beliau tidak pernah menghargai semua pengorbanan yang aku lakukan.J"Rama tidak menyalahkan Ibu. Tapi Rama kasian saja melihat Ibu dianiaya warga karena Ibu mencuri untuk membayar uang arisan sosialita." sindir aku."Memang dasar kamu saja yang bejat. Pekerjaan haram kamu itu jangan kau kait-kaitkan dengan Ibu. Aku tidak terima." Tangan wanita yang telah melahirkan diri ini ke dunia menoyor kepala sehingga tubuh ini sedikit maju ke depan."Ibu gak mau tau. Kamu
"Kakak disini mewakili Ibu dan keluarga, selaku anak tertua meminta tolong pada kamu Raka untuk menjaga dan membimbing adiku semata wayang itu. Tolong sayangi dia. Sayangi juga keponakanku, Niken seperti kamu menyayangi anakmu sediri. Jangan sakiti dia.""Dan jika kamu sudah bosan terhadap Agnes nantinya, kembalikan dia secara baik-baik kepada kami seperti disaat kamu mengambilnya." Kak Ayu memberikan sebuah pesan di depan tamu undangan yang terdiri dari para kerabat dan handai taulan. Sedikit terisak terdengar saat wanita berwajah sendu itu berbicara."Kalau kamu tidak mencintainya dan tidak menyayanginya lagi, kembalikan pada keluarganya. Jangan kamu khianati dengan berselingkuh di belakangnya." ujar kak Ayu lagi.Tanpa aba-aba pak Haji Bakri berdiri dan berjalan menuju dimana kami sedang duduk saat ini. Lalu beliau berseru, "Tenang aja, Nak Ayu. Raka tidak akan macam-macam sama Agnes. Jika dia macam-macam, dia akan berhadapan langsung dengan Uwak." Pak Haji Bakri menenangkan hati
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku