Belum sempat transaksi yang kami lakukan selesai, tiba-tiba satu mobil polisi mengepung rumah ini dan mereka sampai ke lokasi dengan sangat cepat, seolah-olah tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres terjadi di rumah ini."Jangan bergerak, kalian sudah dikepung." Petugas yang terlibat dalam penangkapan mengenakan seragam lengkap, dengan peralatan keamanan seperti rompi anti-peluru dan senjata api. Ekspresi wajah mereka serius dan fokus, menunjukkan kewaspadaan mereka terhadap situasi yang berbahaya."Kalau kalian melawan, kami tembak!"Kami merasakan udara menjadi dingin ketika pistol yang ditodongkan oleh polisi itu mengarah ke arah kami, seolah-olah sudah berada di ambang kematian."Angkat tangan kalian." Salah satu petugas mendekati dan memeriksa seluruh bagian tubuh ini. Tidak lama kemudian tangan ini sudah di borgolnya. Begitu juga yang terjadi pada kedua sahabatku."Sepertinya kita di jebak." Ujar Andi berbisik.Mata kami melihat ada sesuatu yang janggal dalam rumah ini."Bagas?
Hari ini kami berlibur untuk sekedar menghilangkan luka dihati putri semata wayangku.Barang-barang yang telah kami persiapkan sebelumnya telah dimasukkan ke dalam mobil oleh Raka dan bang Imran.Kami berangkat liburan setelah melaksanakan salat zuhur. Terlihat jelas rona bahagia di wajah anakku.Sepanjang jalan, diiringi lantunan musik anak-anak membuat Niken bernyanyi dengan penuh semangat. Walaupun hanya Niken dan Aqila yang menjadi penumpang di dalam mobil, tetapi para orang dewasa dalam mobil, tetap saja memutar lagu anak-anak dan kami semua menikmatinya. Aqila merupakan sepupu Niken atau tidak lain merupakan anak dari kak Ayu.Lagu anak-anak yang diputar merupakan lagu di tahun 90an, membuat yang tua ini kembali bernostalgia ke masa itu.Sekali-kali Raka ikut menyanyikan lagu, tidak lupa bang Imran dan kak Ayu, suasana bahagia menyelimuti perjalanan kami. Terlihat sekali kegembiraan di raut-raut wajah polos mereka.Sekitar satu jam perjalanan sudah kami tempuh. Anak-anak sudah
"Belum tidur, Nes?" Tiba-tiba aku dikagetkan dengan kehadiran Raka. Lelaki itu hari ini nampak sangat ganteng, memakai kemeja kotak-kotak dengan lengan digulung."Belum, Ka. Belum mengantuk." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Aku tidak mau menatap Raka yang jelas semakin hari semakin mempesona saja. "Kamu sendiri kenapa belum tidur juga?" Aku balik bertanya."Belum ngantuk juga, Nes. Aku terbiasa tidur kalau sudah tengah malam. Semenjak ditinggal istri dan anakku, mata ini susah untuk terpejam. Jadi sering begadang." beber Raka panjang lebar.Kasian juga aku lihat sahabat ku ini. Tapi beruntung sekali jadi istri Raka ya. Disayangi suami sampai sudah meninggal pun, masih diingat terus.Seandainya aku di posisi istri Raka, mungkin aku lah wanita paling bahagia di dunia ini. Namun apalah daya, takdirku bersuamikan Rama. Manusia tidak punya hati."Sudah konsultasi ke psikiater atau psikolog, Ka?" Tanyaku khawatir."Sudah. Gak ada kemajuan karena diri ini susah move on. Berapa pun obat ya
"Om Raka kan sudah besar. Sudah bisa menjaga diri, jadi buat apa Mama ikutin kemana saja om Raka pergi?" Tanyaku pada bocah tujuh tahun itu."Iya juga sih. Tapi kasian sama om Raka, Ma!" ujar gadis kecilku dengan wajah memelas."Kasian kenapa? Om Raka baik-baik aja kok." ujarku menghibur. "Om Raka tidak punya siapa-siapa di dunia ini." ujar anakku menghiba, entah apa maksudnya ngomong begitu."Itu om Raka." teriakku seraya menunjuk ke sosok lelaki jangkung yang sedang mengobrol dengan seorang nelayan."Om Raka!" Teriak Niken spontan saja Raka melihat ke arah kami seraya melambaikan tangannya."Ma, Niken kesana ya?" Pamit Niken tanpa menunggu izin dari mamanya dia berlari menyusual Raka.Kulihat rona bahagia pada dua manusia beda generasi tersebut. Mereka berdua seperti ayah dan anak yang saling merindukan.Mereka berdua bermain water boom sampai puas sebelum pulang. Aku juga bahagia melihat Niken menjadi ceria lagi, semoga saja dia sudah melupakan semua kejadian buruk yang telah meni
Pertama kali berjumpa dengan Niken, entah kenapa timbul rasa iba terhadapnya. Dia membuat aku teringat akan gadis kecilku yang telah berpulang beberapa waktu yang lalu.Melihat raut wajah dan sorot matanya, membuat diri ini ingin melindungi, menggantikan sosok ayahnya yang tidak tahu diri itu.Sering sekali Niken memandang dengan raut wajah sedih saat melihat anak-anak bermain dengan ayah dan ibunya."Om, kenapa papa Niken tidak pernah mengajak kami jalan-jalan? Papa gak sayang sama Niken ya, Om? Apa Niken bukan anak papa?" Tanya dia, dengan mata terus menatap anak kecil yang di gendong ayahnya sampai jauh dan tidak terlihat lagi."Mana ada orang tua yang gak sayang sama anaknya. Mungkin papa kamu sibuk jadi tidak sempat mengajak kamu jalan-jalan." ujarku menghibur."Mana mungkin sibuk, Om. Papa aja kalau pulang kerja tiap hari tiduran di rumak nenek. Kalau nenek atau bude yang ngajak jalan-jalan, tidak pernah ditolaknya. Mungkin Niken anak pungut sehingg papa gak sayang." ujar Niken
"Om, kapan ajak Niken ke kolam renang lagi. Kan Mama sama Om Raka sudah baikan." Raka tergelak mendengar pernyataan Niken. Dan aku hanya bisa tersenyum mendengar permintaan Niken. Dikiranya selama ini aku sama Raka sedang bermusuhan, padahal kami tepatnya aku sedang menjaga jarak, menghindar dari fitnah. Namanya Raka seorang duda dan aku janda, kalau sering berduaan pasti jadi sasaran empuk para pengghibah. Dan juga jika wanita dewasa berduaan dengan lelaki dewasa bisa berbahaya. Ada setan diantara kami nantinya. Takut terjerumus ke jurang zina. "Emang Mama sama Om Raka berantem, ya Niken?" Kak Ayu malah memancing di air keruh nampaknya nih. "Iya Bude. Mereka berdua kayak anak kecil aja ya kan Bude." Niken memajukan bibirnya. Membuat kita bertiga tergelak bagaikan dikomandoi saja. "Iya ya. Kayak Tom and Jerry." celutuk kak Ayu. Aku jadi tidak enak sama Raka. Memang selama ini aku lumayan galak terhadap lelaki penyuka olah raga tersebut. Dipikir-pikir aku terlalu
Hujan deras semenjak subuh tadi belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Udara sangat dingin menusuk ke tulang. Kurapatkan selimut hingga sebatas dagu, menikmati suara rintikan hujan dari dalam kamar yang masih remang. Kebetulan hari ini hari minggu jadi aku tidak perlu bangun pagi dan ke kantor. Bagi wanita pekerja seperti aku, hari minggu merupakan waktu untuk berleha-leha menikmati hari. Niken juga masih terlelap dalam mimpi indahnya. Ku ambil selimut dan menyelimutinya sampai seujung bahu. Membelai lembut buah hatiku, aku selalu berdoa semoga kelak anakku kelak menjadi sukses dan bahagia dunia akhirat. Baru saja mata ini hendak terpejam, tiba-tiba ponsel yang ku letak di atas nakas, berdering. Dengan rasa malas aku bangkit untuk mengambil ponsel dan mengangkat telponnya. "Halo," sapaku. Dengan suara masih serak ciri khas orang yang baru bangun tidur. "Masih tidur, ya?" Ternyata Raka yang menghubungiku sepagi ini. Ah ... lelaki itu tidak bisa melihat
"Beli, dong. Masak untuk anak cantik seperti Niken gak dibeli? Niken mau cincin apa kalung, Nak." Raka mengangkat dan menggendong Niken supaya bocah itu bisa memilih sendiri barang yang akan di belinya."Beli cincin aja, biar samaan kayak Mama dan Papa ya?" Kami berdua saling berpandangan dan tersenyum melihat tingkah lucu anakku."Gak ada untuk ukuran Niken kalau cincin kawin, Nak. Bagaimana kalau kalung aja?" tanya Raka sambil menurunkan Niken dari gendongannya. Kami berdua saling menatap dengan senyum mengembang. Ada-ada aja anakku meminta cincin kawin."Bagaimana dengan yang ini?" tanya Raka seraya menunjuk di balik kaca, satu buah kalung bertuliskan nama yang sangat indah menurutku."Yang mana?" tanyaku. Tanpa diminta pegawai toko menunjukkan padaku kalung pilihan Raka."Hmmm ... cantik juga. Selera Papa gak kaleng-kaleng." selorohku. Raka tersenyum begitu manis saat mendengar pujian dari calon istrinya ini."Gak mau yang lain? Yang ini saja?" tanya Raka untuk meyakinkan. Bagiku
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku