"Biasa anak-anak. Bapak, apa kabar? Sehat ''kan?" Tanyaku basa basi seraya berdiri lalu mengulurkan tangan untuk menyalaminya. "Sehat. Alhamdulillah, Nes. Kamu bagaimana kabarnya, Nak. Dengan siapa kamu kemari? Suamimu gak ikut?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke seluruh tempat. "Berdua saja sama anak saya, Pak. Mas Rama lagi banyak kerjaan makanya gak bisa ikut," ujarku menjelaskan. "Semoga kalian berdua akur-akur saja ya, Nak. Karena Bapak dengar kamu sudah gak harmonis lagi sama suamimu, apa iya?" Tanya pak Haji Bakri. Aku jadi serba salah. Malu masalah rumah tanggaku didengar oleh Raka. "Ayo Niken. Kita beli jajan." Belum sempat aku menjawab pertanyaan Pak Haji Bakri, Raka sudah memotong pembicaraan kami. "Mau kemana? Jangan pergi dulu Raka. Masak lagi ada tamu kamu malah keluyuran." Pak Haji Bakri sangat heran melihat tingkah Raka yang tiba-tiba mau pergi saja dari hadapanku. "Bukan mau keluyuran. Kasian anaknya Agnes harus mendengarkan pembicaraan pakde barusan tenta
Tidak berapa lama kami menunggu, akhirnya Raka pulang juga, yang jelas dengan Niken. Anakku sangat bahagia karena puas bermain-main ditempat bermain anak. Senyum kebahagian menghias manis disudut bibirnya."Ma, Niken dibeliin boneka sama Om Raka. Dibeliin jajan juga." Niken mengeluarkan begitu banyak jajan dan kantong belanjaan."Wih banyak banget. Udah bilang terima kasih pada Om Raka, Nak? Tanyaku basa-basi seraya melirik kearah Raka sekilas. Nampaknya dia begitu bahagia bisa jalan-jalan dengan Niken. Mungkin betul juga apa yang dikatakan Pak Haji Bakri, kalau Raka sedang rindu sama anaknya yang sudah duluan dipanggil sama Yang Maha Pencipta."Udah kok, Ma. Mana mungkin Niken gak mengucapkan terima kasih pada orang yang begitu baik terhadap kita." Ucap Niken"Om masuk dulu ya, Niken. Gerah kali. Om mau mandi dulu." Pamit Raka dan dia langsung saja berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh kearah Niken pun kearah aku. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehnya."Iya Om. Makasih
"Ya salahlah. Makanya jadi wanita itu harus sering-sering berkaca. Kamu itu harus intropeksi diri, kenapa suamimu tertarik dengan wanita lain? Jangan malah orang lain yang disalahkan. Malah orang lain yang kau sebut perebut suami orang. Emang suamimu itu barang, sehingga bisa direbut? Kalau bukan karena suamimu yang sudah bosan dan muak sama kamu tidak akan mungkin dia akan tergoda dengan wanita lain!"Aku langsung murka dan kutarik rambut wanita muda yang berumur kutaksir sekitar dua puluh tahunan itu. Anak masih bau kencur sudah merasa hebat, sudah berani menasehatiku. Dia tidak tahu bagaimana hidup dengan suami macam Mas Rama. Dia akan merasakan juga nikmatnya hidup dengan mertua dan ipar kesayangan calon mantan suamiku.Tanganku terus menarik rambutnya sehingga beberapa helai rontok dan melekat ditanganku."Sakit ... lepaskan rambutku, bajingan! Awas kamu akan kulaporkan kepada pihak berwajib atas kasus penganiayaan ini. Mas ... kamu kok diam aja calon istrimu dianiaya sama wewe g
Tak kusangka pengorbanan aku selama ini hanya angin lalu saja di mata Mas Rama. Tidak ada rasa sayang lagi untuk seorang Agnes, barang sedikit pun. Bagiku bukan masalah besar jika Mas Rama tidak mencintai lagi yang penting Niken selalu bersamaku.Sesampai di rumah, aku masuk kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Rasanya tubuh ini sangat lelah usai bersitegang dengan pasangan yang tidak mempunyai akhlak tadi.Sambil rebahan aku mengambil HP di dalam tas kemudian iseng membuka story. Dan yang sangat menarik dan menggelitik hati membaca story dari Mas Rama. [Perempuan murahan. Siapa yang sanggup bertahan dengan perempuan bar-bar seperti dia. Gak salah aku mencari gantinya.] Ku akui story tersebut pasti dia tujukan untuk aku. Tidak masalah. Yang penting aku sudah puas membuat mereka kesakitan. Dan jelas mereka juga sudah aku permalukan di depan khalayak ramai.Walaupun tidak menutup kemungkinan mereka akan dibela oleh warga dan menyalahkan aku. Terserah yang penting aku sudah puas.D
"Agnes pun gak sanggup jika rumah tangga kami terlalu dicampuri sama mertua. Sinta pun ikut-ikutan." Aku mencurahkan segala isi hatiku pada kak Ayu dan beliau selalu memberi aku dukungan. Bertahun-tahun mereka memperlakukan aku bagaikan seorang babu dan herannya mas Rama malah mendukung perbuatan adik dan ibunya. Dia tidak pernah membela aku sebagai istrinya. Kalau bukan suami yang melindungi aku, siapa lagi? Malah dia mengijinkan adik dan ibunya menginjak-injak harga diri istrinya sendiri. Sudah lah. Sudah cukup aku menderita. Selama mendampinginya bukan kesenangan yang diberilan tetapi penderitaan."Dia itu belum merasakan tinggal di rumah mertuanya. Makanya begitu. Semoga saja, apa yang kamu rasakan, suatu saat Sinta juga akan merasakannya. Biar dia tahu bagaimana enaknya tinggal serumah dengan mertua dan ipar julid," ucap kak Ayu penuh emosi. "Iyalah, Kak. Semoga saja." Kali ini aku ikut mengiyakan ucapan kak Ayu. Memang aku akui tidak baik berdoa buruk untuk orang lain karena n
Pov Rama.Hari ini merupakan hari yang sangat aku nanti-nantikan selama ini. Hari yang sangat bersejarah dalam hidupku. Yaitu hari dimana aku akan menikah dengan sang pujaan hati. Kami sengaja mengadakan sebuah pesta mewah untuk membuat Agnes terbakar cemburu. Orang macam Agnes memang harus diberi pelajaran supaya dia sadar siapa sebenarnya dia.Seorang istri durhaka dan menantu suka melawan. Terlalu perhitungan dengan keluarga. Padahal apa salahnya sih aku memberikan uang untuk membayar utang-utang ibu dan biaya Sinta bulan madu. Adik aku itu 'kan, adik dia juga. Gak nyangka Agnes bisa berubah menjadi busuk hati seperti itu.Selama pulang dari rumah orang tuanya dia jadi susah diatur. Aku sangat yakin mertuaku sudah menghasut Agnes supaya melawan suami dan mertua.Sebagai lelaki aku tidak terima dengan perbuatan Agnes. Harga diriku diinjak-injak olehnya. Dikiranya aku tidak bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik dan menarik melebihi dia. Sekarang waktunya aku buktikan, aku bisa
"Ngg ... masih ngantuk, Mas," jawabnya malas. Vita menggeliat kemudian dia kembali memeluk bantal guling kesayangannya. Mungkin dia masih belum terbiasa menjadi seorang istri yang mempunyai kewajiban melayani suami dari masalah dapur bahkan di kasur. Ya sudah tidak masalah juga, biar saja dia tidur lagi karena jam pun masih menunjukkan diangka lima.Diri ini tidak bisa tidur lagi, karena sudah terbiasa dari kecil, kalau sudah waktunya salat subuh pasti akan terbangun sendiri.Akhirnya kubiarkan saja Vita tidur lagi. Mungkin juga dia kecapekan seharian pesta, apalagi tadi malam juga bergadang. Sebagai suami harus memakluminya.Setelah melaksanakan kewajiban sebagai hambaNya, seperti biasa untuk menjaga kesehatan aku berolaraga dengan berlari pagi mengelilingi komplek. Sungguh sangat melelahkan, yang penting keluar keringat.Sesampai di rumah kulihat suasana rumah masih sepi saja. Apakah Vita belum bangun juga? Padahal jam sudah menunjukkan diangka 7 dan sebentar lagi aku harus sudah s
Tiga bulan sudah berlalu, Vita semakin sibuk dengan bisnisnya. Semenjak bisnisnya semakin berkembang, dia tidak pernah menganggap aku sebagai suaminya. Seperti malam ini, perutku sangat lapar. Dari tadi siang aku belum makan sedikit pun. Setiap hari disuguhkan nasi warung. Bagiku begitu membosankan. Sangat berbeda jauh dengan Agnes, walaupun dia sibuk mengajar di sekolah tetapi kalau melayani suami tetap dinomor satukan. Aku tidak pernah dibiarkan makan nasi warung. Agnes selalu saja menyempatkan masak walau hanya sayur bayam dimasak bening dan sambal teri. Yang penting ada makanan yang selalu tersedia diatas meja makan. Bagi aku itu masakan yang lezat dibandingkan nasi bungkus, yang entah apa rasanya."Dek, Mas lapar. Buatin nasi goreng, gih." Aku memegang perut dengan wajah memelas, mengharap Vita iba dan bersedia membuatkan nasi goreng untukku. Sekian lama menikah belum pernah sekalipun merasakan masakan istri. Wajar dong, aku meminta perhatian darinya dengan dia masak nasi goreng
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku