✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Sakhor berdecak. "Kau kira aku mati?"
"Tidak juga." Khidir membalas. "Orang sepertimu sukar mati."
"Bahkan lebih sukar dibandingkan kalian dan Shan," sahut Sakhor.
“Shan tidak mati,” tukas Khidir.
Tunggu, benarkah?
“Shan akan bangkit,” ujar Khidir. “Perlu waktu lama menunggunya kembali.”
“Kita pada dasarnya sama, para Guardians dari Shan,” kata Sakhor. “Kita pembunuh haus darah, dan posisi kita juga sering bergantian.”
“Kalau begitu, mengapa engkau membenci? Kalau sama, mestinya kita berteman,” sahut Khidir.
Sakhor berdecak. "Cih! Mana mungkin aku bergaul dengan sosok sepertimu?"
Khidir memberi isyarat kepada Idris. Sahabatnya paham lalu menghampiri Sakhor.
"Kamu kami beri pilihan ; berhenti menggunakan sihir hitam, atau menyerahkan diri," tawar Idris. "Kalau
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Istana itu bagai tertidur. Tiada tanda kehidupan selama beberapa saat. Aku melirik semua orang, tidak ada yang berkomentar."Ada apa?" tanyaku.Idris maju, diiringi kami semua. Ada yang tidak beres.Aku terus bertanya, tidak ada yang membalas. Terpaksa aku menutup mulut dan membuntuti hingga masuk ke istana. Hanya Ariya dan Nisma yang turut serta. Yang lain memilih menunggu seakan tahu nasib berikutnya.Aneh.Sepi.Padahal ada banyak orang yang bekerja di sana sebelumnya. Barangkali kabur setelah kedatangan kadal tadi.Terdengar dari kejauhan dentuman keras disertai pecahan kaca. Kami memelankan langkah, berusaha agar tidak terdengar.Pengawal yang seharusnya berjaga, kini lenyap entah ke mana. Suara yang kami dengar rupanya berasal dari ruang singgasana.Mariam memegang bahuku, seakan takut aku menjauh. Pandangannya lurus ke punggung Id
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Kulihat keduanya. Duduk bersama menatap langit Aibarab. Di bawah sebuah pohon rindang sambil menikmati buah-buahan.Suasana kota kembali tenang setelah Ariya mematahkan kutukannya. Ya, cara gadis itu mengatur rakyat bisa dibilang kejam. Beruntung tidak ada yang protes apalagi terluka. Untuk sementara waktu.Beberapa saat sebelumnya, aku menyimak obrolan antara Count Wynter dengan Idris."Terima kasih atas bantuannya, Kakak," kata Idris. "Aku benar-benar tidak menduganya. Engkau baik sekali.""Engkau sekarang mau menjadi adikku?" heran Count Wynter. "Aku tidak layak menjadi kerabatmu. Apalagi setelah kejadian yang kita lalui.""Aku tahu Ayah yang salah," sahut Idris. "Dan aku ingin meminta maaf.""Yang salah ayahmu, kenapa kamu yang meminta maaf?" balas Count. "Sudahlah! Urus saja asmaramu dengan wanita itu. Aku sudah duluan menikah. Kini, giliranku yang memberi hadiah pernika
Negeri yang tercipta. Atas dasar ingin hidup tenang. Di sanalah mereka tinggal. Menunggu dan menunggu. Hingga tiba waktunya. Untuk bangkit. . Isinya tidak hanya penyihir. Tapi, juga para makhluk ajaib. Dengan niat yang sama. Menghidupi dunia baru. . Di dalam negeri itu, tinggal seorang putri. Namanya Azeeza. Sang Raja, ayahnya, mengutus seseorang. Untuk mendidik dan melindunginya. Karena dia salah satu kunci. Untuk menciptakan tujuan baru. Yang lebih dari segalanya. . Dari situ, sang Raja mengutus beberapa orang. Dari situ, ia beritahu rencana sesungguhnya. Para utusan itu mendengar dan patuh. Kini, mereka disebut para "Guardian." . Bersama para Guardian, Azeeza menjelajah dunia bawah. Di sana, dia menemukan beragam hal. Beragam kisah mereka rangkai bersama. Menc
<< ??? >>Dalam ruang yang gelap, hingga menyisakan sedikit pantulan cahaya, tampak tiga orang sedang duduk bersila di meja bundar. Keheningan menyelimuti, tiada dari mereka yang bicara, saling tatap pun enggan.Hingga salah satu dari mereka memecah keheningan."Dia kalah," ucap salah satu pria di antara mereka. "Tapi, ini bukan akhir bagi kita. Ancaman sesungguhnya semakin dekat.""Sudah cukup bagi kita bersantai," sahut seorang wanita. "Sekarang kita harus waspada. Mereka semakin kuat kian hari sementara kita tidak ada kemajuan.""Setidaknya kita tahu dia di sini," ucap pria yang lain. "Tugas kita sekarang tinggal menunggu waktu yang tepat.""Kita sudah berjuang sejauh ini." Pria yang duduk di sisinya berkomentar. "Jangan sampai rencana ini gagal."
Ia kembali.Setelah terkubur dalam kegelapan, muncul tepat di depanku bagai pencabut nyawa.Negeriku musnah, menyatu dengan tanah. Semua sirna di depan mata.Setidaknya mereka kabur, sebelum pandanganku memudar.Akan kulawan ia, meski harus kehilangan raga!❀❀❀"Kamu marah?"Ya, anakku, aku murka.Mereka merenggut segalanya.Membunuh keluargaku.Mencabut nyawa tak bersalah.Memakan yang lemah.Menyakiti yang kuat.Andai tidak ada Sihir Hitam, mereka sudah pasti bahagia."Kalau begitu, apa yang akan kaulakukan?"Tentu melawannya bahkan jika aku gugur karenanya.Takkan kubiarkan mereka berduka sepertiku. Biarlah aku menanggung derita, demi melihat yang lain bahagia."Kamu terlalu baik."Begitulah aku. Dari lubuk hati, tidak ingin orang lain menderita.Tidurlah, anakku, malam sudah larut. Semoga mimpimu indah."Aku men
Aku tidak ingat apa pun sebelum tinggal bersamanya. Saat itu, aku duduk di kereta dan memulai perjalanan bersama sekelompok orang yang wajahnya tak terlihat. Kami tampak akrab bersama. Kuhabiskan waktu sambil mengobrol dengan gadis yang barangkali sedikit lebih tua. Kami tampak saling kenal karena saling bertukar kisah tanpa ragu. Tidak tahu persis apa yang mereka tuturkan. Kami memakai kalung yang sama, biru muda berpendar menghias kegelapan. Sayangnya, aku lupa ciri-ciri gadis itu selain dia berambut hitam.Beberapa jam berlalu dengan cepat, tanpa kusadari sebuah cahaya kemerahan mengarah ke kereta.DUAR!Api menjalar ke mana-mana.Aku sempat menghindar, sementara gadis itu terkapar. Aku berusaha bernapas, mulutku turut berjuang sementara dada terasa berat. Tanganku mendekati gadis itu, berniat membopongnya.Tubuhku dihalau seorang pria dengan tatapan tajam.Aku tidak bisa melihat wajahnya. Yang kudengar hanya suara
Sepanjang jalan, terasa aneh kalau Arsene tidak mengubah kecepatan jalannya. Aku heran seberapa kuat pria ini mengendongku di punggung.Lagi-lagi, aku yang memulai percakapan. "Ezilis Utara itu jauh, ya?" tanyaku."Dari mana?" Arsene balik bertanya. "Kamu sendiri lupa dari mana asalmu.""Kalau tidak salah, aku seperti ... Berasal dari daerah yang berpasir." Aku memutar otak, mencari bongkahan memori yang barangkali tersimpan di suatu tempat. "Ada gadis berambut hitam di sampingku."Yang kuingat, hawanya juga panas serta hidung terasa terbakar setiap kali menghirup napas. Aku seolah berada di tempat terpencil waktu itu, tapi juga ragu bagaimana bisa ke sana sementara ciri-ciriku berbeda. Orang-orang di sana memiliki kulit kuning langsat sementara aku sedikit lebih putih. Dari reaksiku juga, aku seperti pengunjung di sana."Daerah berpasir." Arsene tertegun. "Barangkali dari Shyr. Daerah itu memang kering dan panas. Pendudukny
"Kumohon, jangan sakiti kami!"Mereka saling tatap. Pria tambun itu–yang tadi memegang kapak–mendekat. Ia mengerutkan kening melihat kondisi kami, apalagi hutan yang sebagian kini menjadi abu dan menyatu dengan angin.Arsene terbaring di tanah, tidak sadarkan diri.Aku berlutut dan mengelus dahinya, panas sekali. Karena cemas, aku lantas berdiri dan menatap pria tambun tadi.Pria itu tampak mengenal Arsene, dia langsung berpaling dan menyuruh pria lain untuk melanjutkan jalan. Sementara di mendekat lalu membopong Arsene.Aku berjalan di samping kiri sementara pria itu menyusul kawanannya. Sesekali kulirik ke belakang, berharap rubah itu tidak kembali."Siapa kamu, Nak?" tanyanya. "Aku baru tahu jika Monsieur Perrier punya putra."Terpaksa, aku berbohong. Namun, entah kenapa, seakan mengucapkan yang sebenarnya. "Aku Remi, putra Monsieur Perrier.""Kamu tahu kondisi ayah
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.