Share

4 - Kebenaran

Kedua mata Rey tak lepas memandang gerak-gerik calon tunangan Joy dengan kekasihnya sembari, memikirkan cara untuk membongkar kebusukannya. 

"Apa aku harus membeli kartu undangan palsu? Ah, itu terlalu lama. Lagi pula, aku tidak tahu dengan pasti bagaimana bentuk undangan Joy.  Atau dengan berat hati aku harus mencuri sebuah kartu undangan?" batinnya. 

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya calon tunangan Joy dengan kekasihnya pergi meninggalkan tempat. Mereka pergi dengan sendiri-sendiri. Calon tunangan Joy pergi dengan mobilnya, dan sang kekasih pergi dengan taxi.

Tanpa menunggu lama-lama, Rey berlari menuju rumah yang ia beli. Tempatnya tak jauh dari rumah orang tuanya. Beruntunglah sewaktu kecelakaan yang menimpanya, dompetnya masih berada di dalam celananya. Jam tangan, serta cincin masih melekat di tangannya. Semua barang ia jual, dan semua uang ia habiskan untuk membeli rumah dan membuat sebuah usaha. Ia sudah tak begitu peduli dengan wajahnya. Yang terpenting baginya adalah bisa kembali kepelukan keluarganya dan balas dendam.

***

Hari semakin gelap. Matahari pun sudah berhenti memancarkan sinarnya dan akan kembali lagi esok. Rey tak punya banyak waktu. 

"Baik aku harus mengubah penampilanku. Ya, aku harus menggunakan masker dan kacamata." Tanpa berpikir panjang lebar, langsung saja ia melancarkan aksinya. Ia mengintip satu persatu jendela mobil yang sedang terparkir. Matanya berbinar melihat sebuah kartu undangan di dalam mobil. Dengan nekat ia mencuri undangan yang berada di dalam mobil, milik seseorang tak dikenal. Tuhan berpihak kepada Rey, mobil tersebut kebetulan tidak dikunci dan tak diketahui keberadaan sang pemiliknya di sana. 

"Ya, aku mendapatkannya," ucapnya. 

***

Joy terlihat begitu anggun dan menawan dengan gaun silver disertai butiran-butiran kristal yang mengkilap nan indah yang menempel di sana. 

"Wahhh, kamu terlihat cantik. Benar-benar cantik," ucap Naina. 

"Sudah berapa kali kamu memujiku?" 

"Seratus kali, berjuta kal. Emm ... mungkin."

"Bohong," ujar Joy dengan nada meledek. 

"Serius, tujuh rius malah," mereka terkekeh dengan sangat senang. 

***

"Aku akan datang Joy," Rey menghela napas dengan lega. 

Saat pemeriksaan kartu undangan ia berhasil lolos, karena ia membawa sebuah kartu undangan.

"Ya, aku berhasil," lirihnya. 

Ia memandang keadaan sekitar memastikan tidak ada anggota keluarganya yang melihatnya, begitupun sebaliknya. Namun, sepertinya Tuhan menginginkan Rey bertemu dengan Naina. Terlihat di sudut bawah tangga ada Naina yang terlihat sangat anggun dan menawan. Mata Rey yang sedang mengelilingi ruangan seketika berhenti, karena pandangannya jatuh ke arah Naina dengan gaun merah dan rambut yang terurai dengan rapi. Ah, di rambutnya terdapat hiasan rambut yang dulu pernah dibuatkan Rey kepadanya saat ulang tahun. Rey memejamkan mata mengingat kembali kejadian itu.

"Apa yang kamu berikan untukku?" ucap Naina. 

"Aku cuma bisa kasih ini sih. Tapi ini buatan tanganku sendiri. Aku buatnya dibantu sama perancang temen aku," ucap Rey. Ia memasangkan hiasan rambut itu di kepala Naina. 

"Kamu ini, mauan ya ngerepotin diri sendiri, " Naina menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Makasih," ucap Rey. 

"Ehehe, iya makasih," jawab Naina dengan meringis dan memeluk tubuh Rey. 

Rey membuka matanya kembali. Matanya berkaca-kaca mengingat momen-momen indah bersama Naina. Tak terasa, satu titik bening jatuh di pipinya. Rey tak tahu perasaan apakah ini. Apakah ia harus sedih, senang, atau marah. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Ia mengusap pipinya yang dijatuhi buliran bening. 

"Apa yang kamu lakukan padaku?" lirihnya. 

Rey kembali bergegas mencari sebuah proyektor untuk membongkar kebusukan calon tunangan Joy yang bernama John.

***

"Ah, lihatlah itu." Naina menunjuk-nunjuk ke arah John. 

Dengan cepat Joy menengok ke arah yang ditunjuknya. 

"John, " ucap Joy dengan lirih. 

"Ganteng banget ya dia. Tapi masih gantengan kakak kamu, " Naina terkekeh. 

Joy memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Joy melangkah mendekati John, calon tunangannya yang brengsek. Mereka terlihat asyik berbincang-bincang. Naina yang tersadar tak melihat keberadaan Rey palsu alias Alex langsung mencarinya kemana-mana.

Terlihat Alex sedang mabuk di balkon lantai dua yang cukup luas. 

"Rey? Sejak kapan ia minum seperti ini?" batin Naina. 

Naina melangkah mendekati Alex dengan perasaan cemas, karena melihat sisi lain yang buruk ini. Dengan cepat Naina menyingkirkan botol tersebut dengan membantingnya ke lantai. 

"Apa ini?! Kamu minum?! Sejak kapan Rey?!" tanya Naina dengan nada tinggi. 

Alex yang sudah setengah mabuk, ingin marah ketika melihat botolnya terjatuh. Tetapi, nasib baik yang menjatuhkannya adalah Naina bukan orang lain. Jika orang lain, mungkin ia sudah babak belur dihajar olehnya. 

"Ah, sayang. Apa yang kamu lakukan?"

"Seharusnya aku yang nanya! ngapain kamu minum-minum?! Kamu sendiri engga suka sama orang minum-minum. Tapi, kenapa sekarang kamu minum?!" teriak Naina. 

Beruntunglah di balkon lantai dua, tak terlihat satu orang pun. Sehingga, tak ada yang melihat mereka bertengkar.

"Dikittt aja, " pinta Alex. 

"Nggak!" bantah Naina. Ia menarik tangan Alex dan membawanya ke kamar mandi untuk menghilangkan bau mulutnya karena alkohol. Alex terus merengek untuk memintanya memberikannya segelas cangkir lagi. 

"Diam! Sana sikat gigi! Habis itu makan permen karet yang mint, jangan melon! Permen karetnya cari di kamar Joy, dia punya banyak. Cepetan! biar mulut mu nggak bau!"

Alex mengangguk dengan pelan. Setelah sikat gigi, ia pergi ke kamar Joy untuk mengunyah sebuah permen karet mint seperti yang diperintahkan Naina. Alex segera kembali dengan tubuh yang sedikit tak seimbang. Ia menebarkan senyuman ke arah Naina. Tapi ia hanya mendapatkan sebuah raut wajah yang terlihat kesal dan masam. Tak butuh waktu lama, Naina menarik tangan Alex untuk membawanya ke kamar. 

"Tidur!" perintah Naina. 

Alex menggeleng-gelengkan kepalanya seperti anak kecil. 

"Tidur!" perintah Naina kembali. 

Alex mengangguk dan membanting tubuhnya di atas kasur. 

"Apa ini, kenapa Rey menjadi brutal seperti ini?" tanya Naina pada dirinya.

***

Terlihat Rey sedang mondar-mandir di ruang kerja ayahnya untuk mencari sebuah proyektor. 

"Sial! Tidak ada di sini."

Rey kembali mencari-cari di mana letak proyektor di rumah ini. Hingga akhirnya dipergoki oleh Naina, karena Rey terlihat begitu mencurigakan. 

Naina berkata, "Apa yang kamu lakukan?"

Rey memutar tubuhnya 180 derajat dan dikejutkan dengan Naina yang saat ini tepat berada di depannya. 

"Em, eee i-tu saya nyari toilet," jawab Rey dengan gugup. Ia menggigit bibir bawahnya karena merasa begitu gugup. Wajahnya tak terlihat gugup karena mengenakan kacamata dan masker.

"Oh, ada di bagian pojok lantai bawah, bukan di lantai dua," jawab Naina dengan datar. 

"Eh iya, makasih." Rey bergegas pergi meninggalkan Naina. 

"Syukurlah aku tidak tertangkap," ucap Rey dengan bernapas lega. 

Ia menuruni anak tangga dengan perlahan, memastikan tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Matanya terus menerus mencari di mana letak proyektor. 

"Tidak aku tidak boleh gagal."

***

Alex terbangun dari tidurnya. Ia tertidur pulas selama satu jam. Matanya menyisir ruangan. 

"Ah, mengapa aku bisa di kamar ini?" tanyanya sembari sedikit memijat kepalanya. 

"Astaga! Apakah aku tadi mengucapkan hal-hal yang seharusnya tidak ku ucapkan?" dengan cepat ia merogoh kantong celananya mencari sebuah ponsel.

"Halo, kamu dimana?"

"Aku di rumah Mama Papa lah, gimana sih kamu."

"Bukan gitu, maksudnya kamu sekarang lagi di tempat mana? "

"Aku lagi di lantai bawah, di dekat tangga." Naina langsung mematikan ponselnya. 

"Gawat, dia marah?"

***

Rey menemukan sebuah proyektor di dekat adiknya. Sepertinya itu digunakan untuk menayangkan memori kenangan mereka semasa berpacaran. Ah entahlah, Rey juga tidak tau untuk apa itu di situ. Sepertinya ini kiriman dari Tuhan untuk membantunya menyelamatkan adiknya. Tetapi, saat ia berjalan mendekati Joy, ia bertabrakan dengan Alex. 

"Gimana sih jalannya pake mata dong!" bentak Alex. 

Rey membalasnya dengan ucapan maaf, "Maaf."

Alex memandangi Rey dari ujung rambut hingga kaki, "Sebentar, kenapa kamu pakai masker dan kacamata hitam?"

"Saya sedang flu, dan saya sedang sakit mata."

Alex mengerutkan dahi dengan perasaan penuh rasa curiga, "Bohong!" Dengan paksa ia mengangkat poni Rey dan melepaskan kacamatanya. 

Alex dikejutkan dengan pemandangan bekas jahitan yang cukup lebar di dahi Rey. 

"Ah, iya. Maafkan saya," ucap Alex. 

"Tidak apa-apa. Ini sudah biasa," jawab Rey. 

"Brengsek! Kau yang membuatku seperti ini. Wajahku yang tampan dan menawan menjadi rusak. Tidak tahu diri memakai identitas orang, menghina orang yang asli pula," batin Rey dengan kesal. 

Rey memang begitu mengagungkan wajahnya yang sangat tampan menurutnya. Tidak, bagi semua orang yang mengenalnya, ia adalah orang yang tampan. Rey adalah orang yang nyaris sempurna. 

Begitu banyak orang di ruangan yang begitu besar ini. Bagaimana caranya mengambil sebuah proyektor disana?

"Tidak! kemana perginya proyektor itu?" batinnya. 

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status