Dira sedang enak-enakan berendam di kamar mandi, tiba-tiba ponselnya yang berada di atas tempat tidur berdering.
"Ya ampun, siapa lagi yang nelfon di saat aku lagi enak-enaknya berendam," gumam Dira seolah mengabaikan begitu saja suara dering ponselnya. Bahkan ia tak berniat keluar dari air. Ini terlalu menyejukkan hingga ia menghiraukan panggilan itu.
Untuk ketiga kalinya ponselnya kembali berdering, dan ia mulai merasa kesal.
"Astaga! Cuman mau menenangkan otak sebentar saja, tapi masih tetap ada yang mengganggu," kesalnya langsung keluar dari bathup, menyambar handuk, dan melilitkan ke tubuhnya.
Ia segera keluar dari kamar mandi dengan langkah laksana raksasa yang sedang mengamuk menuju ponselnya yang ada di atas tempat tidur. Tanpa pikir panjang, dan tanpa melihat siapakah yang menelfonnya, ia langsung menggeser layar ponsel ke kanan.
"Hello.., siapa sih, dari tadi nelfon Mulu. Gangguin orang lagi berendam tau nggak,"&
Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Mereka berdua segera menuju ke sebuah taman. Tapi ini bukan taman tempat biasa mereka bertemu. Leo lah yang merekomendasikan tempat ini."Di sini lebih bagus tamannya," ucap Dira menunjukkan rasa kekagumannya sambil terus mendorong kursi roda Leo hingga sampai di sebuah kursi yang terdapat di area taman."Apa mau pindah duduk disini?" tanya Dira."Oke," jawab Leo.Dirapun segera membantu Leo untuk pindah dari kursi rodanya ke kursi taman."Aku yakin, kamu pasti sangat bosan duduk disini," ujar Dira."Bosan nggak bosan ya harus terima," balas Leo."Aku akan membuat hari-harimu tak membosankan," ujar Dira."Terimakasih kamu sudah sangat baik padaku. Mulai sekar
Kali ini Dira merasa sedikit tegang, karena apa, ia sedang menunggu hasil skripsinya. Apakah semua sudah benar, ataukah masih ada kesalahan. Kalau semuanya beres, ia akan lanjut, tapi kalau masih ada kesalahan, mau tak mau ia harus perbaiki lagi.Ia segera masuk ke ruangan dosen pembimbing, untuk mendapatkan kepastian itu dengan hati yang berdebar-debar.Baru saja ia hendak melangkahkan kaki ke dalam ruangan itu, tiba-tiba ponselnya berdering.Ia segera merogoh tasnya, dan melihat siapa yang menghubunginya di saat yang menegangkan sepertinya ini"Leo," gumamnya saat nama Leo lh yang tertera di layar ponsel. Dira segera menggeser layar ponselnya ke kanan untuk menjawab panggilan Leo."Hallo,"ujar Dira."Gimana hasilnya?""Ya ampun Leo, ini aku baru mau masuk ke ruangan dosen,"terang Dira."Aku pikir udah selesai."
"Astaga!"Dira kaget sampai menutup kedua matanya. Ia tak ingin matanya sampai ikut terkontaminasi."Gimana pendapat kamu tentang foto itu?" tanya mamanya Leo."I-ini bukan fotoku, Tante," elaknya."Saya nggak bodoh, Indah. Sebelumsaya menyimpulkan ini semua, saya sudah terlebih dahulu mencari bukti dan kejelasannya," jelas Mama Leo.Leo yang penasaran dengan foto yang di maksud mamanya, segera menyambarnya dari tangan Indah.Saat melihat foto itu, ekspressi Leo tak jauh berbeda dari Dira. Ia melempar kembali foto tersebut ke hadapan Indah."Sekarang saya tanya, apa ini yang kamu bilang mencintai anak saya apa adanya? Dan sekarang saya yakin, kalau kamu memang bukan yang terbaik buat Leo, Indah. Meskipun Leo punya kekurangan, tapi saya sebagai orang tua juga ingin yang terbaik untuk anak saya. Yang jelas sekarang, bukan kamu orangnya," terang mama Leo menatap garang pada Indah."Udahlah, Ma. Yang jelas sekarang, Mama udah
Leo malah di suguhi pemandangan Dira yang hendak membuka pakaiannya. Tapi itu belum sepenuhnya, karena hanya resleting di bagian punggungnya saja yang sudah terbuka. Sebelum Dira benar-benar membuka seluruhpakaiannya, Leo segera menghampiri Dira dan menahan tangannya. Sontak saja, itu membuat Dira kaget bukan kepalang. Ia melihat pantulan Leo di cermin yang ada di depannya."Jangan lanjutkan. Kamu mau, aku khilaf dan melakukan yang tidak-tidak padamu," bisik Leo di telinga Dira.Dira yang menyadari tangan Leo berada di badannya, dan kata-kata mesumnya barusan, langsung saja balik badan dan mendorong tubuh Leo. Untungnya Leo mendarat di atas kasur.Dira langsung memasang kembali resleting bajunya yang sudah terbuka.Dira merasa sangat kesal pada Leo. Ia mengambil bantal guling dan memukuli Leo habis-habisan."Kamu kenapa, sih, Ra. Ini kan bukan salahku. Kan kamu yang ngijinin aku masuk, ya aku langsung masuklah," jelas Leo dengan w
"Ya, karena saat itu aku akan membuatmu jadi ...""Jadi?" tanya Dira yang tak sabar menunggu perkataan Leo."Sudahlah, abaikan," lanjut Leo yang membuat tampang Dira berubah kesal."Sana pulang.""Ngusir aku?""Nggak. Cuman nyuruh kamu pulang aja," balas Dira. "Sekarang udah sore.""Kita jalan yuk," ajak Leo."Nggak," jawab Dira cepat, dan tanpa berpikir terlebih dahulu."Kenapa nggak mau?""Sebentar lagi aku mau sidang, jadi aku harus persiapkan diri. Dan nggak ada kencan ataupun nge-date sampai itu semua selesai. Aku mau fokus," terang Dira.Oke, sepertinya Dunia sedang terbalik. Biasanya yang ngeyel ngajakin jalan adalah Dira, tapi sekarang kebalikannya."Ya udah, kalau emang kamu maunya gitu. Aku mau kamu mendapatkan yang terbaik. Jangan lupa makan, dan istirahat yang cukup. Karena aku nggak mau kamu jadi kurus kering kayak kerupuk," jelas Leo."Perumpamaannya ngenes banget."Leo malah ter
Leo menatap fokus ke arah Dira."Leo, Tante titip Dira ya?""Mm ... Iya, Tan," jawab Leo.Sementara itu, mama Dira segera berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.Leo yang tadinya duduk di sofa, kini ia berdiri dan berjalan menghampiri Dira yang berdiri dengan gaun selutut, berwarna baby blue, dan hels berwarna hitam yang semakin membuatnya terlihat anggun."Ku akui, saat ini kamu benar-benar cantik,'' ucap Leo sambil menyibakkan rambut Dira ke belakang telinganya."Biasanya nggak cantik gitu?"''Ya. Tapi kali ini kamu sukses membuat pandanganku tak berpaling darimu," balas Leo.Apakah saat ini Leo sedang memujinya, atau malah menggombalinya? Entahlah, yang jelas ia baperrr cing."Tapi, tunggu," ucap Leo."Apa?""Lipstick kamu bleberan. Apa mau ku bersihkan dengan tisu, atau bibirku?" tanya Leo menggoda Dira."Ish ...."Leo tersenyum melihat ekspresi wajah Dira , dan menyambar tisu ada di ata
Di saat matahari sudah bersinar separo hari, si pemilik kamar masih berada di alam mimpinya. Bahkan ayam jantan sudah berulang kali berkokok, tapi tetap saja ia tak terbangun.Matanya sangat mengantuk, karena semalaman tak tidur. Bukan karena belajar, ataupun karena begadang nonton bola. Tapi, ia tak bisa tidur karena masih memikirkan kejadian di acara kampus. Saat Leo melamarnya di hadapan semua orang."Dira."Sayup-sayup ia bisa mendengar suara seseorang yang memanggil namanya."Dira, bangun," panggilnya lagi.Kali ini, suara panggilan itu terasa sangat sangat dekat di telinganya.Ia mencoba membuka matanya, yang seolah sangat susah untuk di buka.Dira bisa melihat sosok Leo di hadapannya, dengan stelan jas yang sangat pas di badannya."Leo," gumam Dira sambil tersenyum manis."Ayo siap-siap, kita nikah sekarang," ajaknya."Apa!!!" Dira langsung berteriak histeris.Karena kaget, Dira langsung bangun dari ti
Dira segera melangkah masuk ke dalam rumahnya, masih dengan perasaan bingung."Loh, kok udah balik. Bukannya jalan sama Leo?" tanya mamanya yang berpapasan di ruang tengah, saat hendak pergi."Entahlah, aku bingung," jawab Dira seadanya."Bingung?""Ya. Aku nggak tau salah ku apa, dan di mana. Tiba-tiba dia nganterin aku balik, dan bilang 'Aku ada keperluan penting. Mungkin kita nggak bisa ketemu untuk beberapa hari. Kalau ada apa-apa kamu bisa chat aku'.Gitu katanya, Ma. Kan aku bingung," terang Dira sambil menirukan gaya Leo bicara, dan mengacak-ngacak rambutnya sendiri."Eh, itu rambut Jangan di acak.''"Aku stress.""Hah. Mama mau pergi dulu ke rumah tante Arini. Nanti mama mau langsung ke--""Ke?""Ke supermarket buat belanja. Kamu baik-baik di rumah, ya," terang mama berlalu dari hadapan Dira."Hoh, ayolah. Sepertinya aku akan stress memikirkan sikap Leo tadi," gumamnya berjalan lemas menuju k
Berhari-hari dalam asuhan keluarga Arland, memanglah tak mudah. Bayi ini seolah paham dan tahu kalau dirinya tak berada dalam asuhan orang tuanya. Bahkan di awal-awal, suhu tubuh mungil itu sempat panas. Kiran berpikir untuk menghubungi Leo, tapi Arland melarang.Tapi seiring waktu, sepertinya dia mulai merasa nyaman dan tenang.Gauri dan Demian berkunjung. Ya, bisa di bilang setiap hari keduanya datang untuk menemui cucu mereka.“Om sama Tante mau ngasih sesuatu,” ujar Gauri dengan bayi kecil yang berada dalam gendogannya.“Apa, Tante?” tanya Kiran.Demian mengeluarkan dua lembar kertas kertas dari dalam saku kemejanya dan menyodorkan pada Kiran dan Arland.“Kedua nama ini ...”“Sepertinya mereka sudah mempersiapkan sebuah nama jauh-jauh hari,” ujar Demian. “Tadi siang Om nggak sengaja melihat nama itu tertera di salah satu buku catatan milik Leo di ruang kerjanya. Kemarin Tante j
Sudah satu bulan lamanya Dira pergi dari sisinya, bahkan tak sedetik pun otaknya berpaling dari nama itu. Nama yang memenuhi hati dan pemikirannya. Mungkin ia akan gila. Ya, gila ditinggal sang istri.Hidup tanpa tujuan, itu layaknya kertas putih tanpa warna. Flat, tanpa ada yang harus diperjuangkan. Rasa sakit kehilangan benar-benar membuatnya hancur berkeping-keping dan tak akan pernah kembali utuh.Hanya kenangan yang bisa jadi penenang di kala rasa rindu mulai merasuki. Hanya tangisan yang kadang berurai saat mengingat detik-detik kepergian dia yang dicinta.Tak ada sentuhan, pelukan hangat, kata-kata manis, dan penyemangat. Tak ada lagi wajah manis yang ia dapati saat membuka mata di pagi hari. Dia pergi jauh, seakan dirinya begitu sangat dibenci. Dia pergi meninggalkan luka menganga yang tak ada obatnya.Tersenyum saat meninggalkan dirinya ... apa itu yang dia katakan dengan cinta? Saat meminta untuk tetap bersama, justru dirinya ditinggal
Malam yang benar-benar begitu terasa panjang bagi Leo. Saat menunggu hal-hal yang membuat hatinya benar-benar terasa resah. Seharusnya ini adalah hal yang membahagiakan bagi dirinya dan Dira, tapi justru malah sebaliknya.Angan-angan keduanya yang sudah dirancang sedemikian rupa ... apakah akan musnah dalam sekejap mata?Lampu peringatan yang ada di atas pintu masuk ruang operasi, kini padam. Seiring dengan suara tangisan melengking dari arah dalam ruangan. Iya, tangisan bayi memecahkan rasa gelisah semuanya.Leo yang tadinya seolah hanya fokus pada pikirannya, kini menatap ke pintu ruangan yang dibuka dari arah dalam. Segera bangkit dan dengan cepat menghampiri seorang dokter yang keluar dari sana.“Dokter, gimana Dira ... gimana istri saya dokter?”“Putri saya baik-baik aja, kan, dokter?” tanya Riani.Dengan cucuran air mata yang seolah tak berhenti ia keluarkan dari tadi, kini cemasnya semakin memuncak. Bagaimana t
Orang yang paling penting dalam hidupnya, bahkan ia lebih menomorsatukan dia dibanding nyawanya sendiri ... kini tengah berjuang bertaruh nyawa. Tangannya bergetar saat kenyataan buruk ini menghampirinya.Lembaran kertas diagnosa yang diberikan dokter, terlepas begitu saja dari tangannya. Hatinya terasa benar-benar mengalami sayatan menyakitkan. Berharap ini adalah saat-saat yang paling membahagiakan, tapi justru sebaliknya.“Maaf ... saya sudah menjelaskan semuanya pada Mbak Dira dari awal, tapi beliau tetap kekeuh mempertahankan kehamilannya. Tak sekali dua kali peringatan itu saya berikan, lagi-lagi belia tetap pada pendirian.”Ia menangis, kali ini akan jadi hal paling menyedihkan baginya. Sebagai suami, ia benar-benar merasa lalai menjaga sang istri. Dia sakit, bahkan sakit parah hingga harus bertaruh nyawa dan ia tak mengetahui itu semua. Sekarang, tanpa dirinya ketahui, Dira tetap melanjutkan kehamilannya, seolah tak memikirkan keselamatannya
Sampai di rumah, ternyata ia dapati Leo juga baru sampai. Lega, karena suaminya ini tak menghubunginya saat ia masih berada di rumah sakit. Karena pasti dia akan mengetahui kondisinya.“Loh, kok udah pulang?” tanya Dira heran. Karena suaminya bilang dari kantor, langsung menuju kampus karena ada jadwal mengajar.“Aku pulang cepat, mau nemenin kamu ke rumah sakit,” jawabnya.Dira terkekeh. “Sayangnya ini aku baru balik dari rumah sakit,” ungkapnya. “Harusnya tadi kamu telepon dulu, Leo.”Leo tersenyum sambil membelai lembut kepala sang istri. Ya, memang salahnya, sih. “Next time aku pastiin bakalan nemenin kamu. Meskipun kamu melarangku,” ungkapnya.Dira hanya membalas dengan anggukan. Jadi, bagaimana bisa ia membuat laki-laki yang ada dihadapannya ini bersedih. Setidaknya akan ia berikan hal terbesar dan pengorbanan terbesarnya untuk Leo.“Kenapa melihatku seperti itu?”
Sebuah pernikahan akan terasa begitu lengkap oleh kehadiran seorang anak. Iya, siapapun pasangannya, pasti akan mengharapkan itu. Tak terkecuali Leo dan Dira.Bulan bulan di mana rasa mual terus menerpa dirinya di setiap pagi, hingga rasa tak nyaman saat harus memilih posisi tidur ketika sang anak yang ada di dalam rahimnya mulai bergerak aktif. Dira lalui itu dengan rasa haru. Iya, berharap semua ini akan indah pada waktunya.Pagi ini masih seperti biasa ... menyiapkan sarapan untuk Leo, sebelum suaminya itu melakukan rutinitas. Apalagi kalau bukan status dosen yang masih dia sandang, hingga pekerjaan kantor yang seolah tak ada hentinya.Terkadang sebagai seorang istri, tentu saja ia tak tega saat sang suami harus lelah setiap hari. Tapi mau membantu pun, kondisinya yang justru tak mendukung.“Ra, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Leo saat Dira terlihat begitu pucat pagi ini.“Enggak,” jawabnya dengan senyuman. Kemudian berla
"Surprise!!!" teriak Dira heboh. "Jadi?" Kening Leo berkerut dengan reaksi Dira. "Ini kejutan untukmu di Anniversary pernikahan kita yang ke tiga bulan," jelas Dira. "Itu berarti sekarang kamu, hamil?" Dira mengangguk. "Saat ini aku sedang mengandung anakmu. Anak yang kamu harapkan segera mengisi hari-hari kita. Ia sudah ada di sini," jelas Dira sambil membawa tangan Leo menuju perutnya yang memang masih datar. Leo tersenyum haru saat mendengar penjelasan Dira. Tanpa ragu, ia kembali merangkul Dira ke pelukannya. "Kenapa membohongiku dengan cara seperti ini?" "Aku ingin memberimu kejutan." Taukah apa yang terjadi? Yap, Leo meneteskan air mata. "Kamu menangis?" tanya Dira hendak melepaskan diri dari pelukan Leo. Tapi Leo menahan Dira agar tak lepas darinya. "Tetaplah seperti ini dulu. Aku nggak ingin kamu melihatku menangis, dan beranggapan kalau sebagai cowok, aku begitu cengeng," jelas Leo. Dira
"Itu berarti kamu ..."Leo tak melanjutkan ucapannya, tapi malah langsung memeluk Dira."Aku hamil?" Dalam pelukan Leo, Dira masih bertanya dengan ekspressi bingung."Itu semua sudah membuktikan kalau kamu benar-benar hamil," ujar Leo.Dira bisa melihat dengan jelas ekspressi wajah Leo saat itu. Ia bisa memahami perasaan Leo yang sangat ingin mempunyai bayi. Semoga saja apa yang Leo harapkan benar-benar terjadi."Kita ke dokter?""Harus?""Tentu saja. Agar kita bisa membuktikan kebenarannya, bahwa di rahimmu sudah ada calon anak kita," jelas Leo sambil menyentuh perut datar Dira. "Mau, kan?""Iya, aku mau," jawab Dira setuju.Dira dan Leo segera menuju ke sebuah Rumah sakit. Di perjalanan pun, Dira masih mual-mual. Tapi ia berusaha menahannya. Ia tak ingin Leo malah menjadi repot kalau-kalau ia sampai muntah di dalam mobil.Setelah mengisi formulir, Dira dan Leo segera menuju ruang dokter yang akan memeriksa Dira.
"Astaga, Dira!!!""Omaigat!" Dira kaget saat menyaksikan seseorang yang tergeletak di lantai dengan kondisi yang menyedihkan. "Kamu ngapain tiduran di lantai?" tanya Dia yang membantu Leo untuk berdiri."Dengan tanpa dosanya kamu masih bertanya," dengus Leo dengan kesal.Dira tertawa melihat ekspressi kesal Leo. Tampangnya sangat lucu."Maaf, aku pikir kamu siapa. Habisnya, kamu tiba-tiba menyentuh tubuhku. Ya sudah, cara menyelamatkan diri memang seperti itu," jelas Dira."Ganas sekali."Leo membuka kemejanya, dan meninggalkan kaos berwarna putih yang menutupi tubuhnya."Gimana hari ini di kampus?""Biasa aja. Nggak ada yang istimewa," jawab Leo."Nggak ada cewek cantik atau--""Sayang, aku ke kampus, ya ngajar, bukan buat seleksi gadis mana yang cantik, dan bukan,'' ujar Leo."Bedanya dari tahun kemarin, apa?""Sama saja, bedanya ya kita. Tahun kemarin kita tak punya hubungan apa-apa. Tapi sekarang