Setibanya di Bandara Internasional Minangkabau, Elma dan Revan segera melangkah menuju pintu kedatangan. Revan membantu membawa koper kecil Elma sambil sesekali memastikan wanita itu baik-baik saja.
"Kamu sudah merasa lebih tenang sekarang?" tanya Revan sambil melirik Elma yang tampak lebih rileks.Elma mengangguk pelan. "Aku merasa lega berada jauh dari hiruk-pikuk kota. Terima kasih sudah membawaku ke sini, Revan."Revan tersenyum. "Aku yakin kamu akan menyukai rumah kami. Ibu dan Nadia sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu.""Memangnya kamu sudah menceritakan tentang aku ke keluargamu?" tanya Elma sambil terus berjalan."Aku sudah memberitahu mereka sekilas. Aku bilang kamu adalah bosku yang baik dan cantik." Revan tersenyum."Bisa aja kamu." Elma tersipu malu."Tapi nanti aku juga akan ceritakan sama mereka kalau kamu adalah kekasihku." Revan merengkuh bahu Elma dan berjalan berjajar."Jangan dulu SayangPagi itu, Revan mengajak Elma berjalan-jalan menyusuri jalan setapak di desa kecil tempat ia tumbuh besar. Angin segar menerpa wajah mereka, membawa aroma sawah dan bunga-bunga liar yang bermekaran di sepanjang jalan.Revan tampak santai dengan kaus oblong dan sandal jepit, sementara Elma, meski berpakaian sederhana, tetap memancarkan aura elegan yang sulit disembunyikan."Bagaimana? Desa ini jauh berbeda dengan kota, kan ?" tanya Revan sambil tersenyum.Elma mengangguk pelan. "Jauh lebih tenang, tapi... aku merasa semua orang memperhatikan kita."Dan benar saja, beberapa warga desa yang berpapasan dengan mereka tampak melihat penuh rasa penasaran terhadap mereka. Bisik-bisik kecil terdengar di antara mereka, membuat Elma semakin canggung."Kenapa mereka terus melihat ke arahku?" tanya Elma yang sudah mulai merasa risih.Revan tertawa kecil, lalu menggenggam tangan Elma."Jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya penasaran karena kamu cantik dan terlihat berbeda. Di sini jarang ada tamu
Elma dan Revan tiba di sebuah hotel bintang lima di pusat Kota Padang. Bangunan megah dengan arsitektur modern itu berdiri kokoh, menawarkan kenyamanan dan privasi yang mereka butuhkan. Saat mereka melangkah masuk, suasana elegan langsung menyelimuti, dengan lantai marmer mengilap, lampu kristal yang menjuntai, dan aroma wangi khas hotel mewah.Revan melangkah ke meja resepsionis, berbicara dengan sopan kepada petugas. Elma berdiri di sampingnya, sesekali memandang ke sekeliling, merasa sedikit canggung."Suite room untuk satu malam," kata Revan, menyerahkan kartu identitasnya.Petugas resepsionis tersenyum ramah sambil memproses reservasi mereka."Kami sudah siapkan kamar terbaik untuk Anda, Pak Revan. Silakan naik ke lantai delapan, kamar nomor 801," ujar petugas, menyerahkan kunci kamar elektronik pada Revan.Setelah mendapatkan kunci, mereka berdua berjalan masuk ke dalam lift. Dalam perjalanan ke lantai delapan, Elma menggenggam tangan Revan dengan erat, mencoba menyembunyikan ke
Malam itu, setelah tiba di rumah, Revan dan Elma disambut oleh Bu Rahmi yang menunggu dengan wajah cemas di teras. "Kalian kemana saja? Sudah hampir jam sepuluh malam," tegur Bu Rahmi dengan nada khawatir. "Maaf, Bu. Kami tadi keliling kota, jadi lupa waktu," jawab Revan sambil tersenyum menenangkan. Bu Rahmi mengangguk, meski raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. "Apa kalian sudah makan?" tanya Bu Rahmi penuh perhatian. "Sudah Bu." Elma menjawab sambil mengangguk. Wajah teduh wanita itu memberinya kenyamanan. "Syukurlah kalau begitu. Kalian istirahat saja dulu kalau begitu. Non Elma sepertinya sangat lelah." Bu Rahmi menelisik wajah Elma yang tampak kelelahan sehabis bercinta dengan Revan tadi. "I-iya Bu. Saya memang sudah ngantuk." Elma tersipu dan melirik sekilas pada Revan. Elma dan Revan masuk ke dalam kamar masing-masing. Di dalam kamarnya, Elma langsung mengganti pakaiannya dengan piyama. Ia merasa lelah setelah seharian berjalan-jalan, tetapi pikirannya tak b
"Ma, tolong percaya padaku kalau aku bukan perempuan jahat. Bukan perempuan tidak tahu malu. Selama ini rumah tanggaku dengan Aditya sudah seperti neraka. Dia selingkuh dan aku tidak bisa lagi bertahan dalam rumah tangga seperti itu. Apa Mama nggak kasih sama aku? Apa Mama lebih kasihan sama Aditya. Kenapa Mama nggak pernah mau mendengar keluh kesahku selama ini?" Elma terlihat benar-benar sedih. Nyonya Ambar mendengus, melipat tangannya di depan dada. "Jika kamu masih peduli pada keluarga ini, tinggalkan pria ini. Fokus pada ayahmu. Usir dia dari sini Elma!" Revan tetap tenang meski merasa tersinggung. Ia memutuskan untuk berbicara langsung pada Elma. "Elma, aku akan menunggu di luar. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku," ujarnya lembut. Elma hanya bisa mengangguk pelan, melihat Revan pergi meninggalkan ruang tunggu. Ia kemudian menghadap ibunya kembali, merasa terjepit di antara perasaannya pada Revan dan kewajibannya pada keluarga. "Elma, aku tidak tahu apa yang kamu
Suasana di pemakaman Tuan Hadinata begitu mencekam dengan kesediaan. Banyak kerabat dan rekan yang mengantar Tuan Hadinata ke tempat peristirahatan terakhirnya.Langit kelabu dan udara dingin seolah mencerminkan kesedihan yang melingkupi keluarga yang ditinggalkan.Nyonya Ambar berdiri dengan pandangan kosong menatap nisan suaminya. Tubuhnya sedikit gemetar karena tangis.Elma masih terisak di samping pusara ayahnya, sesekali menyentuh tanah yang masih basah itu."Papa... maafkan aku... maafkan aku yang belum bisa membuat Papa bangga," bisiknya dengan suara serak.Revan yang berdiri di tengah kerumunan pelayat, hanya bisa menatap Elma dengan tatapan sedih. Ia tidak berani mendekati Elma meskipun ia sangat ingin memeluk dan menghibur wanita yang sangat dicintainya itu.Revan sengaja menyamar karena ia tidak ingin menarik perhatian orang-orang yang pada akhirnya hanya akan membuat citra Elma semakin buruk. Satu persatu para pelayat akhirnya pulang. Dan kini hanya tertinggal, Nyonya Amb
Nyonya Ambar kembali ke ruang tamu setelah mendengar percakapan Aditya dengan seseorang di telepon.Jantungnya masih berdebar kencang karena tidak menyangka kalau Aditya adalah pria kasar. Jauh dari bayangannya selama ini. Dan yang lebih mengerikan lagi ia bahkan mengatakan akan melenyapkan selingkuhannya itu."Astaga, aku tidak menyangka kalau Aditya sekejam itu. Bagaimana kalau ia juga menyakiti anakku?" Nyonya Ambar mengelus dadanya. Ia merasa cemas dengan keadaan Elma.Tak berapa lama, Aditya keluar dari ruangan dan menghampiri Nyonya Ambar yang masih duduk terpaku.Nyonya Ambar berusaha keras untuk tetap terlihat tenang di hadapan Aditya. Seulas senyum tersemat di bibirnya untuk menyamar rasa gugup dan takut yang kini ia rasakan."Nak, kita makan dulu ya, makanan sudah siap," ajak Nyonya Ambar.Namun Aditya sepertinya tengah terburu-buru. Ia menggeleng dengan cepat."Maaf Ma, sepertinya aku harus buru-buru pergi. Ada urusan pekerjaan yang harus aku selesaikan sekarang. Aku pergi
Keesokan paginya, Aditya tiba di apartemen Arumi dengan wajah tegang. Tujuannya jelas, membawa Arumi ke rumah sakit untuk menggugurkan bayi yang dianggapnya sebagai beban. Ia memasuki apartemen itu dengan langkah cepat, tapi sesampainya di sana, ia terhenti.Apartemen itu kosong. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Arumi. Beberapa pakaian yang sebelumnya menggantung di lemari kini sudah lenyap, hanya menyisakan beberapa barang kecil yang tidak penting. Tempat tidur yang biasanya berantakan kini sudah dirapikan, seolah ditinggalkan untuk waktu yang lama.Aditya menggeram, memukul meja kecil di ruang tamu hingga gelas yang ada di atasnya jatuh dan pecah."Arumi!" teriaknya dengan nada marah.Ia memeriksa setiap sudut apartemen, berharap menemukan petunjuk, tapi sia-sia. Arumi sudah pergi, dan tidak ada yang tahu ke mana dia sekarang. Semua barang penting termasuk dokumen pribadi Arumi juga lenyap.Aditya mengambil ponselnya dengan geram dan men
Aditya berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan wajah memerah, suaranya memenuhi ruangan saat ia memarahi anak buahnya yang berjejer di hadapannya."Sudah dua hari! Apa susahnya mencari seorang perempuan? Arumi tidak mungkin pergi jauh tanpa meninggalkan jejak! Kalian semua ini becus bekerja atau tidak?!" bentaknya, wajahnya semakin gelap oleh kemarahan.Seorang anak buahnya dengan suara gemetar mencoba menjelaskan, "Kami sudah memeriksa apartemennya dan mencari di beberapa tempat yang sering dia kunjungi, Pak. Tapi sejauh ini belum ada petunjuk."Aditya menggebrak meja, membuat pena dan kertas di atasnya bergetar."Aku tidak peduli alasan kalian! Aku mau dia ditemukan! Cari ke mana pun dia pergi, hubungi orang-orang terdekatnya, apa pun caranya! Jangan kembali padaku sampai kalian mendapat hasil!" teriak Aditya penuh emosi. Tatapannya nyalang tertuju pada setiap wajah anak buahnya yang tertunduk ketakutan."Baik Pak, kami akan ber
"Kalian semua bodoh! Bagaimana seseorang bisa menghilang begitu saja?!" Aditya menggebrak mejanya dengan keras. Beberapa anak buah Aditya tersentak kaget tapi apa mau dikata, wanita bernama Clara itu memang tidak bisa mereka temukan di manapun. Entahlah dimana wanita itu bersembunyi. Yang jelas seperti ada seseorang yang kuat yang melindunginya. "Maafkan kami Pak. Kami sudah berusaha tapi semuanya benar-benar gelap. Bahkan informasi tentang wanita itupun sudah dihapus. Kami benar-benar kesulitan untuk menemukannya." Salah satu anak buah Aditya menjelaskan situasi yang sedang mereka hadapi. "Brengsek kalian semua!" Aditya meradang dengan wajah yang merah padam menahan amarah. "Pergi kalian semua dari sini!" Aditya menguasir semua anak buahnya dari ruang kerjanya. "Bagaimana bisa dia menghilang begitu saja?" gumam Aditya dengan nada frustrasi. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi, memijat pelipis dengan keras. Segala upaya yang ia lakukan untuk menemukan perempuan itu tidak membawa
Pagi itu, dunia Aditya hancur berantakan. Berita tentang dirinya viral di media sosial, memperlihatkan rekaman video asusilanya dengan Clara. Berita tersebut menyebar seperti api, menghiasi tajuk utama di berbagai portal berita dan menjadi topik pembicaraan di mana-mana. Aditya duduk di ruang kerjanya dengan wajah tegang. Ponselnya terus berdering, pesan masuk dari klien, mitra bisnis, hingga keluarganya. Ia tidak berani membuka satu pun pesan itu. "Bagaimana ini bisa terjadi?" geramnya sambil membanting ponsel ke meja. Beberapa anak buahnya berdiri dengan wajah cemas. Mereka telah menerima perintah dari Aditya untuk menghapus video tersebut secara permanen. Namun, upaya mereka gagal karena video itu sudah terlanjur diunduh oleh banyak orang. "Maaf, Pak Aditya. Kami sudah mencoba segalanya, tapi video itu terlalu cepat menyebar," ucap salah satu anak buahnya dengan suara gemetar. Aditya memejamkan mata, menahan amarah yang membara di dadanya. Aditya terdiam, tidak mampu menjawa
lanjutan dari bab sebelumnya ** tender dari berbagai klien. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi, pandangannya kosong menatap layar laptop yang menampilkan email-email penolakan dari mitra bisnis. "Arumi, di mana kamu sebenarnya?" gumam Aditya dengan nada penuh keputusasaan. Sudah berminggu-minggu ia mengerahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan Arumi, namun hasilnya nihil. Tidak ada petunjuk, tidak ada jejak, bahkan kabar samar sekalipun. Satu per satu anak buahnya yang tidak mampu memberikan hasil langsung dipecat tanpa ampun. Kini ia merasa sendirian, tenggelam dalam masalah yang semakin menumpuk. Tidak hanya Arumi yang menjadi beban pikirannya. Sidang perdananya semakin dekat, dan itu membuatnya tertekan. Kasus gugatan perceraian Elma membuat reputasi bisnisnya memburuk. Para klien mulai kehilangan kepercayaan, proyek besar yang seharusnya menjadi tulang punggung perusahaan kini terancam batal. "Aku bisa gila kalau terus begini," desisnya sambil menenda
Elma duduk di ruang praktik Karina, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuannya. Wajahnya menunjukkan kecemasan yang tidak biasa, sementara Karina memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian. "Elma, apa saja yang kamu rasakan sekarang?" tanya Karina lembut sambil menyentuh tangan Elma. Elma menghela napas panjang sebelum menjawab. Aku tidak tahu, Karin. Akhir-akhir ini aku merasa aneh. Kadang aku mual tanpa alasan, aku jadi terlalu sensitif terhadap bau, dan... rasanya tubuhku jadi mudah lelah." Karina tersenyum tipis, tetapi sorot matanya menunjukkan keyakinan. "Elma, aku bukan mau menakutimu, tapi dari apa yang kamu ceritakan, aku rasa . kamu sedang hamil." "Benarkah?" Elma membelalakan matanya. Karina tersenyum merekah. "Aku memang belum pernah merasakan rasanya hamil tapi setiap pasienku yang hamil keluhannya rata-rata seperti itu. Kenapa tidak coba kita periksa aja?" Karina tampak antusias. "Apa mungkin aku hamil?" Elma masih tidak percaya.
Agus, anak buah terpercaya Aditya, menjalankan perintah majikannya dengan penuh kehati-hatian.Setelah memastikan suasana di sekitar apartemen Karina sepi, dia segera bergerak. Dengan keahliannya dalam membuka kunci otomatis, pintu apartemen itu terbuka tanpa menimbulkan suara sedikit pun.Namun, saat Agus menyelinap masuk, ia mendapati apartemen itu dalam keadaan kosong. Tak ada tanda-tanda aktivitas, tak ada suara, dan tak ada siapa pun di dalam.Lampu di ruang tamu menyala redup, dan aroma ruangan terasa netral, seperti baru saja dibersihkan. Agus memperhatikan sekeliling dengan cermat. Rak buku rapi, sofa tampak tidak tersentuh, dan meja makan kosong tanpa peralatan apa pun. Dia mengerutkan kening, merasa ada yang aneh."Ke mana mereka?" pikir Agus.Agus mulai memeriksa ruangan satu per satu. Ia masuk ke kamar utama, membuka lemari, bahkan memeriksa bawah tempat tidur. Namun, tak ada satu pun barang yang memberi petunjuk tentang keberadaan Karina atau Arumi.Di dapur, Agus menemuk
"Surat apa ini, Aditya?" suara Tuan Wirya menggema, dingin namun penuh amarah. "Apa Elma akan menceraikanmu?"Aditya tertegun. Kata-kata itu seperti petir yang menghantam dadanya. Dia menatap amplop di tangan ayahnya dengan perasaan bercampur aduk, sementara pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.Namun sebelum dia sempat menjawab, Tuan Wirya melempar surat itu ke meja di depannya. "Lihat sendiri apa yang telah kamu lakukan, Aditya!" bentak Tuan Wirya dengan suara yang semakin meninggi.Aditya, dengan tangan sedikit gemetar, meraih surat itu. Matanya mulai membaca, dan wajahnya perlahan berubah pucat. Isi surat itu adalah surat pengajuan gugatan perceraian yang dilakukan oleh Elma terhadapnya. Berikut jadwal sidang perdana yang harus ia hadiri.Aditya menatap nanar kertas di tangannya dengan tangan gemetar. Ia tidak menyangka kalau Elma akan secepat ini mengajukan gugatan perceraian terhadapnya."Kamu lihat hasil perbuatanmu itu Aditya? Kamu sudah merusak
Dinda berjalan melewati koridor kampus dengan langkah gontai. Wajahnya yang biasanya ceria kini dipenuhi kesedihan. Beberapa teman menyapanya, tapi ia hanya membalas dengan senyum tipis, untuk menutupi kesedihannya.Dari atas balkon kampus, mata Badru mengawasi tajam gadis itu."Ini pasti gara-gara Revan." Badru membuang napas kasar ke udara. Melihat wajah sedih Dinda entah kenapa hatinya juga jadi ikutan sedih.Dan biasanya kalau Dinda datang ke kampus ini adalah untuk mencari Revan. Tapi entahlah maksud Dinda datang hari ini setelah hubungannya dengan Revan kandas. Mungkin gadis itu hanya ingin mengenang Revan saja.Pria berkulit sawo matang itu berjalan turun untuk menyapa Dinda. Sekedar ingin menemani wanita cantik itu agar tidak terlalu kesepian. Mudah-mudahan saja Dinda masih mau menerimanya."Dinda?" panggilnya dari arah belakang saat ia sudah dekat dengan posisi Dinda sekarang.Dinda menoleh, menemukan Badru berdiri di sana. Untuk sesaat Dinda memandang Badru yang berjalan me
Revan kembali ke apartemen setelah selesai bertemu dengan beberapa rekan bisnisnya. Untuk sementara, Elma menunjuk Revan sebagai wakilnya selama dia dalam masa berkabung.Ini juga dimanfaatkan oleh Elma untuk mengasah kemampuan Revan dalam menjalankan bisnis milik keluarganya. Dan tanpa disangka kalau pemuda yang belum selesai kuliah itu mempunyai insting bisnis yang kuat."Cape ya Sayang?" tanya Elma setelah Revan duduk beristirahat di sofa."Lumayan, ternyata lebih enak jadi sopir pribadimu Sayang. Nggak perlu mikir selera ini." Revan memijat pelipisnya yang terasa pusing.Elma tersenyum dan memijat pelan tengkuk Revan."Wajar, nanti juga kalau sudah terbiasa nggak akan terasa terlalu berat. Rileks Sayang, jangan terlalu serius," ucap Elma.Dia pergi ke dapur untuk membuatkan teh untuk Revan. Tak berapa lama kemudian wanita itu kembali dengan membawa secangkir teh hangat manis untuk pria itu.perusahaan itu padaku? Kamu yakin aku mampu"Elma, apa kamu yakin akan mempercayakan menjal
Aditya berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan wajah memerah, suaranya memenuhi ruangan saat ia memarahi anak buahnya yang berjejer di hadapannya."Sudah dua hari! Apa susahnya mencari seorang perempuan? Arumi tidak mungkin pergi jauh tanpa meninggalkan jejak! Kalian semua ini becus bekerja atau tidak?!" bentaknya, wajahnya semakin gelap oleh kemarahan.Seorang anak buahnya dengan suara gemetar mencoba menjelaskan, "Kami sudah memeriksa apartemennya dan mencari di beberapa tempat yang sering dia kunjungi, Pak. Tapi sejauh ini belum ada petunjuk."Aditya menggebrak meja, membuat pena dan kertas di atasnya bergetar."Aku tidak peduli alasan kalian! Aku mau dia ditemukan! Cari ke mana pun dia pergi, hubungi orang-orang terdekatnya, apa pun caranya! Jangan kembali padaku sampai kalian mendapat hasil!" teriak Aditya penuh emosi. Tatapannya nyalang tertuju pada setiap wajah anak buahnya yang tertunduk ketakutan."Baik Pak, kami akan ber