Pintu dibuka Nisa perlahan. Sebelum membukanya, Nisa menoleh ke arah Raka dan dia menarik nafasnya sedikit panjang. Dia pasti bisa langsung membayangkan kemarahan Leon. Raka bisa tahu kalau gadis itu sedang mengalami masa yang sulit.Namun, dia hanya berharap ada bagian dari dirinya yang tetap ikut andil dalam setiap kesedihannya. Raka benar-benar tulus pada gadis itu dan ingin selalu berada disisinya.“Aznii, apa kamu tuli. Ini sudah lebih dari dua jam. Apa saja yang kamu lakukan, hah? Teleponku tidak kamu angkat dan aku disini sudah hampir satu jam menunggumu. Cepat keluar!” teriak Leon terdengar cukup keras saat pintu benar benar dibuka.Nisa membeku di depan pintu dan Raka menggenggam erat tangannya. Sedetik tidak ada yang bisa mereka perbuat ketika sang Leon berbicara, bahkan Raka sempat menatap tajam ke arahnya.“Kamu benar-benar mengabaikan panggilanku? Apa kamu benar-benar sedang menikmati waktumu, Aznii?” Sekali lagi Leon memaki. Leon semakin emosi karena Nisa mengabaikannya
Bruk! Meski lemparan Leon tidak cukup keras, namun itu membuat Nisa terkejut. Leon membanting pintu mobilnya dan segera menutup rapat pintunya.“Le-Leon, tunggu dulu. Jangan marah lagi. Kita sudah bicarakan ini, aku mau di rumahku dulu kan? Bukannya kamu mau mempertimbangkan itu?” Nisa mendesak, dia benar-benar tidak ingin kembali ke rumah Leon. Baginya itu terasa seperti dalam penjara.“Jangan harap. Kamu pikir, aku bodoh, huh, kamu hanya ingin bermain-main dengannya kan? Kamu ingin dua-duaan sama laki-laki culun itu kan?” amuk Leon, matanya memerah dan giginya menahan geram. Sepertinya kalau bukan Nisa yang di depannya sekarang, Leon akan menghajarnya habis-habisan.“Nggak seperti itu, Leon, aku mohon dengarkan aku. Aku bisakah, argh!” Nisa menjerit saat tubuhnya diangkat ke pangkuan Leon. Dia seperti serigala yang kelaparan dan siap memangsa Nisa.“Katakan, apa yang kamu lakukan? Dua jam lebih, hah?” Leon memegang kedua pipi Nisa dan menginterogasi. Tatapan benar-benar seperti seri
“Ni–Nisa? Eh, Azni,” kata Aldo sedikit terbata. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu Nisa di kediaman Leon.Raut wajah Nisa sedikit berubah saat melihat Aldo. Sedikit tersenyum dan memang terlihat berbeda saat bertemu dengan Aldo. Dan, Leon menyadari itu.“Elo?” tunjuk Leon dengan alis yang berkerut di keningnya.“Ups, sorry, Le, gue belum sempat cerita. Gue dan Nisa udah pernah ketemu,” jelas Aldo, dia tahu, saat ini bukan yang tepat untuk menjelaskan. Masalah itu, Aldo tidak mungkin gegabah.“Ketemu? Kapan? Dimana?” Leon sudah menaikan kembali nada suaranya, dia menatap Nisa dan Aldo secara bergantian.“Aku nggak sengaja ketemu Aldo beberapa hari lalu,” ungkap Nisa dengan nada biasa saja, seolah tidak ada yang dia sembunyikan. Yang membuat Leon tercengang adalah Nisa tidak melupakan Aldo.“Kamu bisa mengingat Aldo, Nisa?” Kini Leon dengan tatapan tidak percaya berkata, dia benar-benar kehabisan kata saat tahu Nisa mengingat Aldo.“Mana mungkin aku lupa, Aldo adalah cinta per
“Apa yang sakit, Azni? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” Aldo menyerobot lebih dulu sebelum Leon berbicara, mulutnya sudah gatal untuk berbicara.Nisa masih menatap Aldo, dia sendiri masih belum yakin untuk bercerita. Karena memang benar adanya dalam ingatan Nisa tidak ada Leon.“Lo jangan mancing gue lagi, Al, Lo tau kan, dari dulu Lo selalu aja jadi penghalang gue. Jauh sedikit, jangan pegang pegang,” Leon mengamuk, dia menepis jauh tangan Aldo yang akan memegang tangan Nisa.“Gue lagi nggak cari gara-gara sama elo, Leon, gue cuma mau bicara sama Azni. Kalo dia masih belum mau cerita sama elo, mungkin aja sama gue dia mau cerita,” Aldo mendengus, dia sebenarnya sedikit keki karena Leon menepis tangannya. Matanya membulat kesal.“Yaudah, kalo gitu jangan pegang pegang dan jauhan Lo!” Kata Leon, dia benar-benar tidak ingin kalau Nisa berdekatan beberapa centi dari Aldo.“Cih, Lo banyak bacot, Leon. Dari dulu cuma kebanyakan teori,” celetuk Aldo.“Huh, Lo nggak ingat, Leon, dulu kal
“Jadi apa yang harus aku dengarkan, Leon? Meski Aldo sudah bercerita, aku tetap saja nggak ingat apapun tentangmu,” Nisa mencoba berbicara dengan Leon, dia berharap laki-laki itu masih bisa mendengarkannya bicara.“Entahlah, tapi aku tetap saja cemburu. Kenapa kamu bisa dengan mudah mengingat apapun tentang Aldo? Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi waktu itu? Aku ingat, terakhir kali kita bertemu saat pesta ulang tahun Natasya, 5 tahun lalu,” terang Leon.Leon sedang menggali ingatan Nisa soal kejadian 5 tahun lalu, dia yakin, itu terakhir kalinya mereka bertemu. Nisa terdiam sesaat dan mencoba mengingat kembali.“Saat itu … setelah dari pesta ulang tahun Natasya, aku hanya ingat, Aldo yang membawaku dan ketika aku ingin kembali ke rumah, aku mendapatkan kabar kalau papa dan adikku kecelakaan. Jadi, aku putuskan ke rumah sakit, tapi dalam perjalanan ke rumah sakit …,” Nisa sedang bercerita sambil mengingat kejadian 5 tahun lalu.“Argh, aku benar-benar nggak ingat lagi, yang ak
“Jangan gila!” Spontan Nisa makin kesal dan memukul dada Leon.“Hahahaha!” Nisa tergelak dan mendorong sedikit tubuhnya. “Argh, nggak tau ah!” Nisa keki dan membalikkan tubuhnya, dia benar-benar malu.“Jangan-jangan dulu aku yang sering minta duluan lagi. Aku yang nuduh dia mesum, padahal aku lagi,” batin Nisa, dia malu dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.Nisa merasakan kedua tangan Leon melingkar di pinggang dan menariknya, “Aku suka, apapun sikapmu. Seperti barusan pun aku tetap suka. Aku sudah lama sekali nggak melihat kamu marah, Az, aku rindu saat-saat itu. Cepatlah kembali seperti Azniku yang dulu, sayang,” Nisa mendengarkan. Dia sedikit terenyuh mendengar ucapan Leon.Anehnya, Nisa sama sekali tidak kesal mendengar ucapan itu atau berusaha menolak seperti sebelumnya. Nisa merasa memang pernah ada hubungan di antara mereka yang sudah Nisa lewatkan.“Kenapa? Kenapa hanya dia yang nggak aku ingat? Ada apa sebenarnya?” batin Nisa, lalu Nisa mengendurkan dekapan Leon, kali i
Hujan turun begitu deras, Aldo dengan kecepatan penuh mengemudikan mobilnya. Dia sepertinya sudah tidak peduli dengan macetnya lalu lintas. Yang Aldo inginkan adalah segera sampai di rumah sakit.Hatinya tidak tenang terbayang wajah Sofia. Dia meyakinkan hatinya, istrinya baik-baik Aldo langsung berlarian di koridor rumah sakit. Sudah tidak ada lagi yang dia pikirkan kecuali Sofia. Dia hampir menabrak beberapa perawat atau kereta dorong yang membawa pasien saking panik dengan kondisi istrinya.Aldo terhenti sesaat ketika dia melihat sosok jadi berambut ikal sedang memeluk seorang wanita di depan kamar IGD. Dia harus bisa mengatur nafasnya agar tidak terlihat cemas di hadapannya ada. Bagi putrinya, Nata, Aldo merupakan sosok yang selalu dibanggakan.“Ayaahhh!” Nata berteriak dan berlari ke hadapan Aldo ketika dia sudah benar-benar bisa menstabilkan kondisinya.“Ayah, bu–bunda, ayah, ayaahh, huhuhu!” Nata bukan hanya berteriak, gadis kecil itu menangis sesenggukan di pelukan sang ayah.
“Aku serius, Leon. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi,” kata Nisa lagi dan kali ini dia menghempaskan pelukan Leon di pinggangnya.Nisa bangkit dan ingin pergi,”Memangnya kamu mengenal Sofia?”“Iya, aku kenal, meski baru satu kali bertemu dengannya,” Nisa berkacak pinggang dihadapan Leon. Dia benar-benar kesal karena Leon bersikap dingin pada masalah Aldo. Sepertinya cuek saja.“Tenanglah, Azni, si bodoh itu belum menghubungi, aku yakin nggak akan ada hal buruk seperti yang kamu bayangkan. Lebih baik sekarang nikmati saja waktu kita,” Leon mencoba mengikuti Nisa dan menarik tangannya untuk kembali bersikap santai seperti tadi.“Telepon Aldo, Leon, aku mohon, aku nggak akan tenang kalau begini terus,” Azni mengulangi keinginannya.“Huh, kenapa kalau urusan dengan Aldo kamu begitu bersemangat. Kamu seolah ingin meninggalkan aku pergi dengan alasan seperti itu. Kenapa hanya Aldo saja yang kamu ingat?” Leon masih terbakar aroma cemburu.Bagaimanapun Leon merasa apa yang terjadi dengan N