"Gimana tampangnya Mas Alfian? Ganteng, kan?" Pertanyaan itu langsung dilontarkan oleh Danik saat pertama Bunga menjawab panggilannya."Nggak jadi ketemu.""Hah? Nggak jadi?" Danik tertawa ngakak. "Aku nggak tahu, tapi dia bilang harus ke rumah sakit, jadi nggak bisa ketemu, deh. Aku juga khawatir, apakah dia merasakan sesuatu yang fatal atau apa. Tiba-tiba, nggak bisa ketemu.""Kenapa, ya?""Kayaknya emang bagus nggak usah saling lihat muka, deh, aku juga lebih nyaman kerja gini," jawab Bunga lemas. Meskipun segelas susu dan setangkup roti bakar sudah bersarang di lambungnya. "Emang kenapa, sih? Kamu malu?"Sebagian hatinya mengatakan iya. Jujur saja Bunga harusnya tidak bekerja seperti ini, tetapi karena memerlukan uang dalam rangka pelariannya, dia harus menjalani apapun pekerjaan asal halal. Tentu, dia akan meninggalkan pekerjaannya ini kalau nanti diterima kuliah. Mungkin, Bunga akan mendaftar di universitas di Bandung atau Sumatera sekalian. Biar jauh dari radar Mas Hamzah. A
Bunga baru beberapa saat yang lalu melepas mukena ketika telinganya mendengar suara keributan berasal dari luar rumah. Suara tangisan berselang-seling dengan caci maki yang memekakkan telinga berasal dari depan teras rumah kosannya. Perempuan itu langsung berlari keluar, suara tangisan itu berasal dari Azkia, anaknya Bu Irma yang sedang ditenangkan oleh tetangga dan penghuni kos lainnya. "Azkia kenapa?!" tanyanya sambil mendekati anak itu.Salah satu tetangga mereka menjawab pertanyaan Bunga. "Gelut sama Aida, anaknya Jeng Miya. Saling dorong, tuh, terus jatuh di tangga, tangannya terkilir kali.""Inalillahi!" Bunga langsung terkejut mendengarnya. Dia langsung memeriksa keadaan anak ibu kosannya itu yang terus mengadu kesakitan. "Sakit, Mbak," keluh Azkia. "Kia diserang mamahnya Aida. Padahal, Kia kagak pernah cubit Aida.""Huh, terus Mamah Aida mana?""Bawa anaknya ke rumah sakit. Hidungnya Aida berdarah tadi," lapor ibu-ibu yang berkerumun di situ. "Wah, kayaknya malah bengkak it
Azkia menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah memutar lehernya, dia melihat sosok yang berbaik hati membayar tagihan berobat dirinya. "Itu omnya." Dengan dagunya, gadis sepuluh tahun itu menunjuk ke arah lobi rumah sakit. "Itu, yang lagi ngobrol."Di sana seorang laki-laki yang Bunga taksir berusia akhir dua puluhan, mengenakan kemeja warna abu-abu muda dengan garis-garis abu tua di bagian depan sekitar kancing, tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Sepertinya orang yang tengah diajak berbincang, seorang nakes terlihat dari seragamnya. Bunga tidak mengenali laki-laki itu, lagi pula orang itu sama seperti pengunjung rumah sakit lainnya mengenakan masker."Orang itu, yang tinggi itu?" tanyanya memastikan. Bunga ikut-ikutan memutar tubuhnya, hingga pandangannya lebih leluasa ke arah yang ditunjukkan Azkia. Maklum, posisinya berlawanan dengan tempatnya duduk. Azkia mengangguk. "Kagak kenal?"Bunga tidak menjawab, tetapi matanya tidak lepas dari sosok yang ditunjukkan Azkia. Mencoba men
Bunga mengenali suara itu. Suara judes bin julid itu. Sontak perempuan itu mengangkat wajahnya. Benar dugaannya, itu suara Mak Lampir. Dan, Gina berada di kursi roda. Sakit, kah? Jadi, pagi tadi Alfian membatalkan pertemuan dengannya gara-gara laki-laki itu harus ke rumah sakit untuk menemani Gina? Oh, sungguh sweet sekali, batin Bunga."Oh, sudah boleh pulang?" tanya Alfian. "Gue, kan, bilang one day service. Lo aja yang kagak dengar," omel Gina. "Lo, mau ngantar siapa itu?"Gina melarikan pandangannya melewati mobil Alfian. Di seberang sana dia melihat sosok yang berdiri mematung tengah memegang pintu penumpang bagian depan mobil Alfian. "Oh, Raihana. Lo kenal, kan, ART, gue. Nggak sengaja jumpa di sini. Dia antar adiknya yang tangannya juga cedera.""Nggak sengaja?" Suara Gina jelas terdengar menyangsikan apa yang diucapkan Alfian. Emang nggak sengaja, batin Bunga. Apa, lo Mak Lampir! "Elo nolak untuk ngantar gue pulang, bahkan pergi saat gue masih dibawah pengaruh anestesi,
Bunga memandang handuk yang menempel di dahinya lewat pantulan cermin. Air menetes dari sela-sela jarinya sedari tadi. Alfian sudah pulang setengah jam yang lalu, tetapi Bunga masih dalam bayang-bayang laki-laki itu. Walaupun mereka berdua sama-sama mengenakan masker, tetapi melihat dari tampilan Alfian yang begitu rapi, Bunga tahu ucapan Danik tentang laki-laki itu benar. Apalagi suara laki-laki itu yang terdengar berat, suara yang membuatnya 'laki banget' menurut Bunga. Beda dengan suara Ismail tentu saja atau suara Nasir kakaknya. Bunga menggelengkan kepalanya, mengusir pikirannya yang sudah melayang-layang entah ke mana. Harusnya saat ini dia mengurus Azkia. Karena Bu Irma tadi baru saja mengirimkan pesan sedang on the way dan Bunga disuruh menunggui Azkia sampai perempuan itu datang. Akhirnya Bunga membuang es batu ke kamar mandi, dan memerah handuk yang tadi digunakan untuk mengompres. Dia lantas bergegas menuju rumah Bu Irma untuk mencari Azkia. Ternyata anak itu sedang bera
Alfian malas membaca pesan Gina. Dia bahkan sempat marah tadi pagi karena perempuan itu bersikeras ingin ke rumahnya. Gina meminta izin kepada Brian bahwa dia memilih remote pekerjaan dari rumah. Hal yang sebenarnya, perempuan itu ingin memastikan apakah Alfian positif atau negatif omicron. Gina: Gue nggak bisa nelpon. Laki gue marah saat tau sebab kaki ini harus operasi gini.Alfian tidak berupaya menjawab. Dia tentu saja tidak suka dengan kenekatan Gina. Dia sudah meminta perempuan itu untuk tinggal di rumah saja, atau ke kantor seperti biasa. Gina: Al? Lo nggak niat nengok gue?Gina: Al? Alfian Salim!Alfian: Gue juga masih recovery, Gi. Lo, juga. Beneran gue nggak enak, gara-gara mau nengok gue, lo malahan celaka. Ojol yang bawa, lo, lebih ngenes lagi nggak bisa narik beberapa hari. Mungkin minggu bahkan bulan. Jadi, gunakan waktu terbaik ini buat istirahat. Gue mau istirahat, baru pulang dari rumah Ojol itu juga. Klik!"Perempuan memang aneh," gumam Alfian. Perempuan aneh itu
Menemani makan? Itu artinya ….Menjadi tukang bersih-bersih, merangkap menjadi koki untuk Alfian, tentu saja tawaran yang menggiurkan. Bunga bisa mendapat tambahan gaji, juga bisa mengobati kerinduannya pada suasana memasak. Namun kenapa harus jadi partner makan, sih? Artinya dia akan pulang lebih lama nanti. Apa Bunga sanggup makan di depan Alfian? Kalau duduk berhadapan seperti ini saja jantungnya dag-dig-dug tak keruan.Alfian adalah orang yang sama dengan orang yang menabrak motornya dahulu. Mbuh lah …."Satu lagi," imbuh Alfian. "Ada syarat tambahan lagi. Huh, dasar! Kek, kompeni aja, Bos! Belum juga saya bagi jawaban." Sikap antipati Bunga mulai kambuh. Dia bahkan mendelik ke arah Alfian."Saya tahu, kamu kos di Jakarta ini. Saya tahu indekos di Jakarta nggak murah. Jadi, bagaimana kalau tinggal saja di rumah saya. Ada banyak kamar nganggur, tuh."Menemani makan masih bisa ditolerir. Tinggal di rumah Alfian? Alfian tampan seperti yang diceritakan Danik, bukan tampan khas mas-ma
Bunga dadah-dadah saat Alfian naik tangga. Dia buru-buru lari menuju ke belakang dapur sambil membuka maskernya. Hampir saja dia tersandung kakinya sendiri. Kenapa dia sampai lupa hal sepenting ini?Dasar, Bunga lemot! Gadis itu mengetuk-ngetuk pelipisnya sambil mengetikkan sesuatu pada mesin pencarian di ponselnya. Hukum satu rumah dengan laki-laki yang bukan mahram?Itu mudah saja, Raihana Bunga. Buat doi jadi mahram, dong! Bisik satu sisi hatinya yang liar. Ini adalah kesempatan baik untuk melepas kutukan itu. Kutukan menjadi perawan tua seumur hidup. Hust! Hust! Aku, kan, baru 18 tahun!"Kamu ngapain di situ, kok ngomong sendiri, Na?" Suara garau itu sangat dekat di belakang Bunga."Eh, Pak Bos. Saya lagi baca ayat 1000 Dinar," ucap Bunga sambil membalikkan badannya. Dia bahkan menahan napas sesudah berhadapan-hadapan dengan Alfian. Satu, dua, telu …."Kok, melongo, Bos?""Bocah!" Alfian hampir menepuk kepala Bunga tetapi, tangan itu hanya mengambang di udara. "Jadi, sudah siap
Bapak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah sejak tadi beliau meminta ke kamar mandi. Tidak cukup sekali. Berulang kali juga Mas Rohman—suami Mbak Hanik meminta Pak Khosim menggunakan fasilitas pitspot, tetapi pria tua itu justru menolaknya mentah-mentah.“Aku masih sanggup ke kamar mandi sendiri kalau awakmu nggak mau nuntun,” ujarnya ketus. “Kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalimat terakhirnya ditujukan kepada Mbak Hanik. Itu sore tadi. Dari Ashar sampai selepas Isya. Selepas Isya, Bapak akhirnya menyerah karena bagian bawah tubuhnya sudah basah. Bapak tak lagi mampu mengontrol pipisnya. Bahkan Bapak seperti orang linglung. “Bapak kenapa nggak ngomong?” ujar Ibuk.Bapak diam saja. Memandang kosong ke depan. Mbak Hanik mengambil diaper dari tangan Bunga yang tadi diutusnya ke minimarket. “Basah semua, bau. Kulit Bapak juga bisa merah-merah,” ujar Mbak Hanik menambahkan. Sedikit geram. “Uwis, Han. Ojo mbok marahi terus bapakmu. Iku lagi ingat anak lanang. Si Nasir
Bab 65-Kesalahan Paling Konyol Kesalahan apa yang dianggap paling konyol? Di saat jalan hidupnya seakan menyerupai telur di ujung tanduk setan, Alfian justru ingat satu hal. Satu hal konyol. Tentang orang pintar yang mendadak bodoh. Kebodohannya karena disebabkan lidah dan perut murahan yang tak bisa berkompromi. Namanya Anthony Gignac, pria yang akan tercatat sebagai orang yang membuat kesalahan paling bodoh sepanjang sejarah.Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan berpura-pura menjadi pangeran jutawan dari Dubai. Dia menamai dirinya "Pangeran Khalid Bin Al Saud". Nama Bani atau wangsa paling berpengaruh di jazirah Arab bahkan berhasil menegakkan sebuah empayar selama 4 abad lebih. Jadi, makhluk bernama Gignac memang terlampau percaya diri. Dia melakukan semua ini dengan satu tujuan, yaitu menipu para investor. Aksinya sudah cukup lama, dan mirisnya banyak pula investor yang percaya padanya. Bahkan diperkirakan dia menipu dan memanipulasi ratusan orang, dengan total kerugian
Saat pintu dibuka, semua berebut untuk masuk ke dalam kamar. Satu yang sangat mencengangkan semua orang, kar itu dalam keadaan berantakan. Suasana sungguh berbeda dengan saat Alfian meninggalkan kamar itu beberapa waktu lalu. Sekitar setengah jam lalu yang kemudian dia tertahan di depan pintu, kemudian bergeser sedikit menjauh dari pintu karena aksi dorong dan jegal oleh Nasir. Kamar pengantin itu terlihat seperti habis dilanda tornado. Dengan bantal dan guling tercampak ke lantai. Sebagian sprei berwarna kuning gading itu terburai ke lantai seperti usus ayam keluar dari rongga perut. Kelopak mawar berhamburan ke seluruh sudut ruang.. Benar-benar dahsyat tornado yang berputar hanya di ruangan ini. “Di ma—na Zum-ra-tul?” Suara Bapak tersendat, terdengar cemas. Mereka semua mencari di setiap sudut ruangan kamar yang tak seberapa luas itu. 3x4 meter. Biasanya Zum duduk mencangkung di pojok ruangan atau di bawah jendela karena lelah mengamati lalu lalang orang-orang yang melintas. Zum
“Si—siapa kamu?”Alfian hampir mati berdiri saat melihat ada sosok yang berbaring di ranjang pengantin di kamar milik Bunga. Meskipun mengenakan brokat dengan warna sangat mirip dengan milik Bunga, dia tahu itu bukan baju pengantin yang tadi dikenakan istrinya. Sudah pasti sosok itu bukan Bunga. Istri kecilnya masih berada di luar. Sosok yang menguasai ranjang pengantinnya tampak meringkuk seperti bayi koala itu tertidur dengan mulut terbuka. Ada tetes liur yang mengalir deras dari sela bibirnya yang terbuka itu. Air liur itu menyirami tumpukan kelopak mawar di atas ranjang. “Ya Tuhan,” gumam Alfian. Sosok itu bergerak, dari tangannya yang terjulur tampak berjatuhan benda berbentuk bulat-bulat seukuran duku. Sosok itu ternyata menggenggam buah-buahan. Anggur dan pisang. “Hai,” sapanya lagi, kali ini Alfian bersuara sedikit keras. Sosok itu bangun mengucek matanya. Matanya sipit, dagu kecil, wajah bulat, dan batang hidung datar, bahkan dahinya seakan lebih menonjol dari hidupnya y
Kekhawatiran Bunga akan ada kekacauan tidak terbukti. Bahkan, kelebat Mas Hamzah pun tidak ada. Jadi, ketika acara hampir selesai digelar jelang Dzuhur, ada buncah kelegaan di sana. Seorang fotografer memberi arahan untuk sesi foto. Setelah selesai dengan sesi foto keluarga, kini giliran foto berdua khusus pengantin. “Jangan kaku begitu, Mbak Bunga.” Photografer memberi pengarahan. “Letak kedua tangannya di dada Mas e, dada nempel lagi. Iya, gitu. Lagi, dikit, terus wajah memandang ke arah angka tujuh, ya. Oke, siap! Satu, dua, ti ….”“Kamu deg-degan, ya?” tanya Alfian tersenyum lebar setelah sang fotografer berhasil membidikkan kameranya dan menghasilkan beberapa gambar. “Ngapain deg-degan. Malu aja, kan, dilihat orang banyak.”“Nggak usah malu-malu. Udah resmi ini.” Rupanya fotografer yang disewa itu mendengar celetukan Bunga. “Atau mau foto dengan latar khusus. Di candi misalnya. Saya bisa merekomendasikan tempatnya. Ayo, kapan.” Dasar tukang photo, gumam Bunga. “Ini udahan, ka
Bunga tertawa terbahak-bahak saat membaca pesan dari Alfian. Pesan yang berisi curhatan pria itu sehabis makan siang. Namun, sebelum acara makan, Alfian malah ditest soal bacaan sholat, doa, bagaimana taharoh yang benar, bagaimana mandi junub yang benar. Karena terus dibombardir pesan yang isinya keluh kesah, akhirnya Bunga memencet tombol hijau pada aplikasi pesan. Aplikasi berkirim pesan dan panggilan yang sederhana, aman, dan reliabel“Assalamualaikum, Mas Al …,” sapa Bunga masih dengan tawa berderai. “Wah, terus saja tertawa, Na.”“Iya, deh. Ana nggak tertawa lagi.” Bunga berusaha mendekat mulutnya. Namun, Bunga masih saja kesulitan menahan tawanya. Setiap dia ingat apa yang menjadi curhatan Alfian, Bunga sontak tertawa. “Mas maaf, aduh.”“Kamu, sih, hanya kasih bocoran tentang sholat. Ternyata semua ditanyakan sama bapakmu.”“Justeru syukur, Mas. Jadi Mas Al nambah ilmunya,” bisik Bunga sambil sesekali melemparkan candaan. Alfian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang b
Pak Kosim tercengang ketika melihat calon suami Bunga. Pria dihadapannya terlihat santun meskipun konon katanya berasal dari ibukota Jakarta. Dia Lantas membayangkan mantan suami Bunga, Hamzah. Meskipun usia Hamzah jauh di bawahnya akan tetapi selama ini sikapnya seakan-akan seorang penggede kerajaan selalu minta disanjung. Bahkan, Khosim sering kali harus tergopoh-gopoh untuk sekedar berbicara. Dengan dengan gestur tubuh sedikit membungkuk dan tidak lupa diawali salam dengan cara mencium tangan terlebih dahulu. Seakan-akan bersalaman dengan Hamzah akan mendatangkan keberkahan bagi orang yang berinteraksi dengannya. Sebenarnya bukan hanya Kosim yang melakukan hal itu, kebanyakan orang-orang memang melakukannya baik kepada Kyai Hasyim maupun Hamzah. “Bapak, mari kita ngobrol di restoran.” Alfian memulai bicara saat melihat Pak Khosim masih terlihat takjub saat mengamati dirinya.“Restoran? Bukan di kamar?” Pak Khosim tidak ingin berlama-lama. Dia harus langsung pada inti permasalaha
Seminggu kemudian di kampung halaman Bunga ….Bunga kembali menjadi buah bibir. Kabar bahwa Bunga akan menikah lagi setelah peristiwa yang menghebohkan delapan bulan yang lalu kembali menjadi perbincangan hangat. Ada yang berpendapat, Bunga asal menggaet pria manapun untuk mematahkan kutukan Hamzah. Memang sangat mengerikan sekali kutukan Mas Hamzah. Pria itu melontarkan bala bahwa Bunga tidak akan laku kawin sampai seumur hidupnya. Jadi, begitu ada yang mau, tak peduli siapapun asalkan berjenis kelamin laki-laki akan disambar Bunga. Konon calon suami Bunga itu sama tuanya dengan Hamzah, bahkan lebih tua lagi. Itulah yang beredar di kampung. Dari mulut ke mulut. “Kasihan, anaknya si Khosim. Demi menghilangkan kutukan dari mantan suaminya dia rela menikah dengan lelaki tua bangka.” Perempuan dengan cumplung putih berenda, atasan kaos partai bergambar matahari, dengan bawahan sarung batik memulai obrolan. “Ya, belum tua. Wong katanya baru 32 tahun. Seumuran, lah, sama Mas Hamzah.” P
"Kitab Nikah. Nikah secara bahasa memiliki makna; berkumpul atau bersetubuh. Dan secara syara' berarti akad. Akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya".Bunga tertegun membaca rentetan kalimat yang ia temukan di beranda sosial media miliknya. Tulisan di seorang motivator dan syiar Islam. Sedangkan pernikahan antara dirinya dan Alfian, adalah pernikahan kontrak. Agar Alfian tidak diganggu Gina. Pria itu mengatakan belum siap untuk berkomitmen. Namun, menurut Nyonya Amy memang Alfian tidak sayang membelanjakan uangnya untuk perempuan yang menjadi kekasihnya. Jadi, Bunga tidak perlu merasa bersalah dengan sejumlah uang yang diminta orang tuanya. 300 juta. Itu artinya dia adalah istri Alfian sesungguhnya. Bagaimana kalau nanti Alfian meminta haknya. Hak berhubungan badan. Bunga menggembungkan pipinya. Pipinya pun tiba-tiba memanas hanya dengan membayangkan itu. Di mana mereka akan tidur. Kamar ini? Yang benar saja. Kamar sem