Alfian pulang ke rumah karena dia merasa tidak enak badan. Mungkin dia kelelahan karena jadwalnya yang padat beberapa minggu ini. Saat tiba di rumah dia langsung memarkirkan mobilnya di carport. Saat di jalan tadi, tiba-tiba Alfian memikirkan Raihana yang mungkin masih berada di rumahnya."Gue harus menyapa untuk mengatakan terima kasih," gumamnya.Kalau memang bertemu. Alfian ingin mengucapkan terima kasih karena perhatian-perhatian kecil perempuan itu selama ini. Rumahnya yang dulu terasa gersang, hanya sebagai tempat persinggahan, tetapi setelah diurusi Raihana, kini terasa lebih nyaman. Namun, baru saja Alfian turun dari mobil, ponselnya berdering, panggilan dari sekretaris direktur produksi. "Ya, hallo?""Pak, ini Amanda. Pak Alfian jadi pulang?" tanya sosok di seberang talian."Iya. Saya ada di rumah sekarang. Saya izin half day karena nggak enak badan," jawabnya."Begini, bisa ke rumah sakit perusahaan? Saya coba hubungi pendaftaran untuk ambil antrian online.""Kenapa? Lho,
Alfian: Jadi, kamu mau panggil saya apa?Karena lama tidak juga mendapatkan jawaban dari Raihana, Alfian kembali dengan pertanyaan yang sama. Bunga: Udah, Pak Bos aja. Bukan karena Pak Alfian, tua. Panggilan itu layak, untuk orang yang sudah menggaji saya. Nggak mungkin saya panggil Abang, atau Om. Itu absurd, banget. Bunga menambahkan stiker kura-kura yang terjungkal sambil memegangi perutnya. Sialan sekali bocah ini, batin Alfian. Tentu saja Alfian patut mengumpat, tetapi dia kembali tersenyum sendiri membaca pesan balasan dari Raihana. Kali ini sedikit mengumpat lagi ketika Raihana mengirimkan kata, Om Pian bersamaan dengan stiker anak kecil dengan rambut kuncir dua yang tertawa terbahak-bahak. Om, katanya. Memang berapa umur si Raihana ini? Kalau dilihat dari caranya mengirim pesan baik lewat nota tempel maupun WhatsApp, Alfian tebak gadis ini orang yang asyik. Lebih kepada tengil. Yah, mungkin karena usia juga. Alfian tidak tahu berapa tepatnya, dia luput ketika melihat kont
Sebenarnya ada keinginan Bunga untuk pergi liburan. Bukan liburan dalam arti sebenarnya, tetapi pergi ke kota kelahirannya untuk mengurus ijazah. Tidak perlu pulang ke rumah, takut jika Mas Hamzah memasang mata-mata di sekitar rumah. Bisa jadi, di zaman serba sulit ini, orang bisa dengan mudah menjual dirinya kepada iblis. Kurang lebih seperti itu, karena kelakuan Mas Hamzah memang mirip iblis. Dia bisa membayar tetangga Bunga untuk buka mulut atau tutup mulut.Buktinya sampai saat ini, Bunga kehilangan kontak dengan Ismail. Kemana sahabatnya itu? Apa yang dia tahu, Ismail kuliah di salah satu universitas Islam di Jogja. Namun, tidak bisa dihubungi. "Arghhh! Bagaimana ini." Bunga tidak senang duduk. Tidak senang rebahan. Tiba-tiba ada ancaman lain datang. Dari Gina. Perempuan itu mengancam akan membuat Bunga dipecat karena tidak memberitahu pihak keluarga Alfian soal kesehatan pria itu yang bermasalah. "Kan, baru suspect, belum positif. Salahnya dimana?"Lagi pula Bunga tidak mau p
Pagi ini Alfian sudah dipusingkan dengan panggilan di ponselnya yang tidak berhenti berdering. Kabar tentang dirinya yang kemungkinan tertular omicron telah menyebar hingga terdengar ke telinga neneknya. Alfian tentu tahu siapa yang memberitahu sang nenek. Sejak subuh tadi, sang nenek terus menghubungi Alfian walaupun dia sudah mengatakan kalau dirinya masih dalam keadaan baik-baik saja, tetapi sang nenek terus berbicara di telepon hingga membahas masalah dirinya yang tidak ada niatan untuk pindah kerja ke Jakarta.Jakarta adalah tempat paling ideal karena lebih dekat dengan tempat neneknya tinggal."Al, tolong pertimbangan ini. Demi kebaikan kamu, Nak.""Jangan mulai, deh, Nek. Aku, kan, sudah menuruti perintah Nenek dari awal tahun ini untuk pulang pergi Jakarta-Cilegon.""Nah, kan, akhirnya kamu drop juga.""Apanya yang drop? Masalah aku sekarang suspect? Nggak ada hubungannya, Nek. Lagi pula, virus ada di mana-mana. Jakarta malah sumpek banget, kalau ketambahan aku sebagai warga
"Eh, tau nggak, Na, kata Mas Faizal kemungkinan Pak Alfian nggak kena omicron, tapi nggak tahu, ya. Karena gejalanya beda, sih," ujar Danik memulai cerita. Saat ini Bunga dan Danik sedang berbicara lewat telepon. Ya, hanya cara ini yang bisa mereka lakukan untuk tetap berkomunikasi. Keduanya masih mengikuti anjuran untuk meminimalisir berada di luar rumah karena kualitas udara berada pada titik terburuk. "Pak Bos Alfian ngajak ketemu kalau hasil test-nya negatif. Aku berharap negatif, tapi kok jadi deg-degan mau ketemu dia," ujar Bunga menyuarakan ketakutannya."Deg-degan kenapa? Ketemu orang ganteng, tuh, seneng kali.""Takut aja. Selama ini, kan, aku suka nulis aneh-aneh di nota yang aku tinggalkan di rumahnya. Sedikit ngadi-ngadi. Apalagi nota yang waktu aku tempel di kasurnya dia. Siapa tahu dia ketemu aku mau bahas itu.""Negatif aja, sih, isi kepalamu. Lagian kalau dia nggak suka sama cara kamu kerja, mestinya kamu udah dipecat dari zaman alif, deh. Dari pertama kamu balas pesa
"Gimana tampangnya Mas Alfian? Ganteng, kan?" Pertanyaan itu langsung dilontarkan oleh Danik saat pertama Bunga menjawab panggilannya."Nggak jadi ketemu.""Hah? Nggak jadi?" Danik tertawa ngakak. "Aku nggak tahu, tapi dia bilang harus ke rumah sakit, jadi nggak bisa ketemu, deh. Aku juga khawatir, apakah dia merasakan sesuatu yang fatal atau apa. Tiba-tiba, nggak bisa ketemu.""Kenapa, ya?""Kayaknya emang bagus nggak usah saling lihat muka, deh, aku juga lebih nyaman kerja gini," jawab Bunga lemas. Meskipun segelas susu dan setangkup roti bakar sudah bersarang di lambungnya. "Emang kenapa, sih? Kamu malu?"Sebagian hatinya mengatakan iya. Jujur saja Bunga harusnya tidak bekerja seperti ini, tetapi karena memerlukan uang dalam rangka pelariannya, dia harus menjalani apapun pekerjaan asal halal. Tentu, dia akan meninggalkan pekerjaannya ini kalau nanti diterima kuliah. Mungkin, Bunga akan mendaftar di universitas di Bandung atau Sumatera sekalian. Biar jauh dari radar Mas Hamzah. A
Bunga baru beberapa saat yang lalu melepas mukena ketika telinganya mendengar suara keributan berasal dari luar rumah. Suara tangisan berselang-seling dengan caci maki yang memekakkan telinga berasal dari depan teras rumah kosannya. Perempuan itu langsung berlari keluar, suara tangisan itu berasal dari Azkia, anaknya Bu Irma yang sedang ditenangkan oleh tetangga dan penghuni kos lainnya. "Azkia kenapa?!" tanyanya sambil mendekati anak itu.Salah satu tetangga mereka menjawab pertanyaan Bunga. "Gelut sama Aida, anaknya Jeng Miya. Saling dorong, tuh, terus jatuh di tangga, tangannya terkilir kali.""Inalillahi!" Bunga langsung terkejut mendengarnya. Dia langsung memeriksa keadaan anak ibu kosannya itu yang terus mengadu kesakitan. "Sakit, Mbak," keluh Azkia. "Kia diserang mamahnya Aida. Padahal, Kia kagak pernah cubit Aida.""Huh, terus Mamah Aida mana?""Bawa anaknya ke rumah sakit. Hidungnya Aida berdarah tadi," lapor ibu-ibu yang berkerumun di situ. "Wah, kayaknya malah bengkak it
Azkia menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah memutar lehernya, dia melihat sosok yang berbaik hati membayar tagihan berobat dirinya. "Itu omnya." Dengan dagunya, gadis sepuluh tahun itu menunjuk ke arah lobi rumah sakit. "Itu, yang lagi ngobrol."Di sana seorang laki-laki yang Bunga taksir berusia akhir dua puluhan, mengenakan kemeja warna abu-abu muda dengan garis-garis abu tua di bagian depan sekitar kancing, tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Sepertinya orang yang tengah diajak berbincang, seorang nakes terlihat dari seragamnya. Bunga tidak mengenali laki-laki itu, lagi pula orang itu sama seperti pengunjung rumah sakit lainnya mengenakan masker."Orang itu, yang tinggi itu?" tanyanya memastikan. Bunga ikut-ikutan memutar tubuhnya, hingga pandangannya lebih leluasa ke arah yang ditunjukkan Azkia. Maklum, posisinya berlawanan dengan tempatnya duduk. Azkia mengangguk. "Kagak kenal?"Bunga tidak menjawab, tetapi matanya tidak lepas dari sosok yang ditunjukkan Azkia. Mencoba men
Bapak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah sejak tadi beliau meminta ke kamar mandi. Tidak cukup sekali. Berulang kali juga Mas Rohman—suami Mbak Hanik meminta Pak Khosim menggunakan fasilitas pitspot, tetapi pria tua itu justru menolaknya mentah-mentah.“Aku masih sanggup ke kamar mandi sendiri kalau awakmu nggak mau nuntun,” ujarnya ketus. “Kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalimat terakhirnya ditujukan kepada Mbak Hanik. Itu sore tadi. Dari Ashar sampai selepas Isya. Selepas Isya, Bapak akhirnya menyerah karena bagian bawah tubuhnya sudah basah. Bapak tak lagi mampu mengontrol pipisnya. Bahkan Bapak seperti orang linglung. “Bapak kenapa nggak ngomong?” ujar Ibuk.Bapak diam saja. Memandang kosong ke depan. Mbak Hanik mengambil diaper dari tangan Bunga yang tadi diutusnya ke minimarket. “Basah semua, bau. Kulit Bapak juga bisa merah-merah,” ujar Mbak Hanik menambahkan. Sedikit geram. “Uwis, Han. Ojo mbok marahi terus bapakmu. Iku lagi ingat anak lanang. Si Nasir
Bab 65-Kesalahan Paling Konyol Kesalahan apa yang dianggap paling konyol? Di saat jalan hidupnya seakan menyerupai telur di ujung tanduk setan, Alfian justru ingat satu hal. Satu hal konyol. Tentang orang pintar yang mendadak bodoh. Kebodohannya karena disebabkan lidah dan perut murahan yang tak bisa berkompromi. Namanya Anthony Gignac, pria yang akan tercatat sebagai orang yang membuat kesalahan paling bodoh sepanjang sejarah.Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan berpura-pura menjadi pangeran jutawan dari Dubai. Dia menamai dirinya "Pangeran Khalid Bin Al Saud". Nama Bani atau wangsa paling berpengaruh di jazirah Arab bahkan berhasil menegakkan sebuah empayar selama 4 abad lebih. Jadi, makhluk bernama Gignac memang terlampau percaya diri. Dia melakukan semua ini dengan satu tujuan, yaitu menipu para investor. Aksinya sudah cukup lama, dan mirisnya banyak pula investor yang percaya padanya. Bahkan diperkirakan dia menipu dan memanipulasi ratusan orang, dengan total kerugian
Saat pintu dibuka, semua berebut untuk masuk ke dalam kamar. Satu yang sangat mencengangkan semua orang, kar itu dalam keadaan berantakan. Suasana sungguh berbeda dengan saat Alfian meninggalkan kamar itu beberapa waktu lalu. Sekitar setengah jam lalu yang kemudian dia tertahan di depan pintu, kemudian bergeser sedikit menjauh dari pintu karena aksi dorong dan jegal oleh Nasir. Kamar pengantin itu terlihat seperti habis dilanda tornado. Dengan bantal dan guling tercampak ke lantai. Sebagian sprei berwarna kuning gading itu terburai ke lantai seperti usus ayam keluar dari rongga perut. Kelopak mawar berhamburan ke seluruh sudut ruang.. Benar-benar dahsyat tornado yang berputar hanya di ruangan ini. “Di ma—na Zum-ra-tul?” Suara Bapak tersendat, terdengar cemas. Mereka semua mencari di setiap sudut ruangan kamar yang tak seberapa luas itu. 3x4 meter. Biasanya Zum duduk mencangkung di pojok ruangan atau di bawah jendela karena lelah mengamati lalu lalang orang-orang yang melintas. Zum
“Si—siapa kamu?”Alfian hampir mati berdiri saat melihat ada sosok yang berbaring di ranjang pengantin di kamar milik Bunga. Meskipun mengenakan brokat dengan warna sangat mirip dengan milik Bunga, dia tahu itu bukan baju pengantin yang tadi dikenakan istrinya. Sudah pasti sosok itu bukan Bunga. Istri kecilnya masih berada di luar. Sosok yang menguasai ranjang pengantinnya tampak meringkuk seperti bayi koala itu tertidur dengan mulut terbuka. Ada tetes liur yang mengalir deras dari sela bibirnya yang terbuka itu. Air liur itu menyirami tumpukan kelopak mawar di atas ranjang. “Ya Tuhan,” gumam Alfian. Sosok itu bergerak, dari tangannya yang terjulur tampak berjatuhan benda berbentuk bulat-bulat seukuran duku. Sosok itu ternyata menggenggam buah-buahan. Anggur dan pisang. “Hai,” sapanya lagi, kali ini Alfian bersuara sedikit keras. Sosok itu bangun mengucek matanya. Matanya sipit, dagu kecil, wajah bulat, dan batang hidung datar, bahkan dahinya seakan lebih menonjol dari hidupnya y
Kekhawatiran Bunga akan ada kekacauan tidak terbukti. Bahkan, kelebat Mas Hamzah pun tidak ada. Jadi, ketika acara hampir selesai digelar jelang Dzuhur, ada buncah kelegaan di sana. Seorang fotografer memberi arahan untuk sesi foto. Setelah selesai dengan sesi foto keluarga, kini giliran foto berdua khusus pengantin. “Jangan kaku begitu, Mbak Bunga.” Photografer memberi pengarahan. “Letak kedua tangannya di dada Mas e, dada nempel lagi. Iya, gitu. Lagi, dikit, terus wajah memandang ke arah angka tujuh, ya. Oke, siap! Satu, dua, ti ….”“Kamu deg-degan, ya?” tanya Alfian tersenyum lebar setelah sang fotografer berhasil membidikkan kameranya dan menghasilkan beberapa gambar. “Ngapain deg-degan. Malu aja, kan, dilihat orang banyak.”“Nggak usah malu-malu. Udah resmi ini.” Rupanya fotografer yang disewa itu mendengar celetukan Bunga. “Atau mau foto dengan latar khusus. Di candi misalnya. Saya bisa merekomendasikan tempatnya. Ayo, kapan.” Dasar tukang photo, gumam Bunga. “Ini udahan, ka
Bunga tertawa terbahak-bahak saat membaca pesan dari Alfian. Pesan yang berisi curhatan pria itu sehabis makan siang. Namun, sebelum acara makan, Alfian malah ditest soal bacaan sholat, doa, bagaimana taharoh yang benar, bagaimana mandi junub yang benar. Karena terus dibombardir pesan yang isinya keluh kesah, akhirnya Bunga memencet tombol hijau pada aplikasi pesan. Aplikasi berkirim pesan dan panggilan yang sederhana, aman, dan reliabel“Assalamualaikum, Mas Al …,” sapa Bunga masih dengan tawa berderai. “Wah, terus saja tertawa, Na.”“Iya, deh. Ana nggak tertawa lagi.” Bunga berusaha mendekat mulutnya. Namun, Bunga masih saja kesulitan menahan tawanya. Setiap dia ingat apa yang menjadi curhatan Alfian, Bunga sontak tertawa. “Mas maaf, aduh.”“Kamu, sih, hanya kasih bocoran tentang sholat. Ternyata semua ditanyakan sama bapakmu.”“Justeru syukur, Mas. Jadi Mas Al nambah ilmunya,” bisik Bunga sambil sesekali melemparkan candaan. Alfian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang b
Pak Kosim tercengang ketika melihat calon suami Bunga. Pria dihadapannya terlihat santun meskipun konon katanya berasal dari ibukota Jakarta. Dia Lantas membayangkan mantan suami Bunga, Hamzah. Meskipun usia Hamzah jauh di bawahnya akan tetapi selama ini sikapnya seakan-akan seorang penggede kerajaan selalu minta disanjung. Bahkan, Khosim sering kali harus tergopoh-gopoh untuk sekedar berbicara. Dengan dengan gestur tubuh sedikit membungkuk dan tidak lupa diawali salam dengan cara mencium tangan terlebih dahulu. Seakan-akan bersalaman dengan Hamzah akan mendatangkan keberkahan bagi orang yang berinteraksi dengannya. Sebenarnya bukan hanya Kosim yang melakukan hal itu, kebanyakan orang-orang memang melakukannya baik kepada Kyai Hasyim maupun Hamzah. “Bapak, mari kita ngobrol di restoran.” Alfian memulai bicara saat melihat Pak Khosim masih terlihat takjub saat mengamati dirinya.“Restoran? Bukan di kamar?” Pak Khosim tidak ingin berlama-lama. Dia harus langsung pada inti permasalaha
Seminggu kemudian di kampung halaman Bunga ….Bunga kembali menjadi buah bibir. Kabar bahwa Bunga akan menikah lagi setelah peristiwa yang menghebohkan delapan bulan yang lalu kembali menjadi perbincangan hangat. Ada yang berpendapat, Bunga asal menggaet pria manapun untuk mematahkan kutukan Hamzah. Memang sangat mengerikan sekali kutukan Mas Hamzah. Pria itu melontarkan bala bahwa Bunga tidak akan laku kawin sampai seumur hidupnya. Jadi, begitu ada yang mau, tak peduli siapapun asalkan berjenis kelamin laki-laki akan disambar Bunga. Konon calon suami Bunga itu sama tuanya dengan Hamzah, bahkan lebih tua lagi. Itulah yang beredar di kampung. Dari mulut ke mulut. “Kasihan, anaknya si Khosim. Demi menghilangkan kutukan dari mantan suaminya dia rela menikah dengan lelaki tua bangka.” Perempuan dengan cumplung putih berenda, atasan kaos partai bergambar matahari, dengan bawahan sarung batik memulai obrolan. “Ya, belum tua. Wong katanya baru 32 tahun. Seumuran, lah, sama Mas Hamzah.” P
"Kitab Nikah. Nikah secara bahasa memiliki makna; berkumpul atau bersetubuh. Dan secara syara' berarti akad. Akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya".Bunga tertegun membaca rentetan kalimat yang ia temukan di beranda sosial media miliknya. Tulisan di seorang motivator dan syiar Islam. Sedangkan pernikahan antara dirinya dan Alfian, adalah pernikahan kontrak. Agar Alfian tidak diganggu Gina. Pria itu mengatakan belum siap untuk berkomitmen. Namun, menurut Nyonya Amy memang Alfian tidak sayang membelanjakan uangnya untuk perempuan yang menjadi kekasihnya. Jadi, Bunga tidak perlu merasa bersalah dengan sejumlah uang yang diminta orang tuanya. 300 juta. Itu artinya dia adalah istri Alfian sesungguhnya. Bagaimana kalau nanti Alfian meminta haknya. Hak berhubungan badan. Bunga menggembungkan pipinya. Pipinya pun tiba-tiba memanas hanya dengan membayangkan itu. Di mana mereka akan tidur. Kamar ini? Yang benar saja. Kamar sem