"Apa kau sedang menggodaku, Gwen?" tanya Nich yang sedang kepayahan menahan gejolak hasrat yang sedari tadi menggulungnya tanpa ampun.
Gairahnya semakin memuncak ketika kedua jemari Gwen yang lentik memainkan puncak dadanya sendiri, dengan sorot mata menjerat. Tak memedulikan geraman rendah Nich yang belingsatan menatap lapar, seolah-olah lelaki itu ingin menerkamnya hidup-hidup.
'Apa yang sedang kau pikirkan, Nich? Apa kau pikir aku masih Gwen yang dulu? Yang lugu dan naif? Lihat, bagaimana aku akan membuatmu jijik padaku dan tanpa berpikir dua kali kau akan menjauhiku.'
Gwen berkata dalam hati, sembari tak henti bergerak sensual, sengaja beraksi demikian, supaya Nich berpikir jika dirinya sudah berubah. Gwen ingin membuat Nich sadar, jika dulu dan sekarang itu sudah sangat berbeda. Gwen bukan lagi gadis polos yang sangat memuja Nich, meskipun pada kenyataannya memang seperti itu.
"Gwen ..." Nich memejam dengan nada suara sangat rendah dan parau. Dia benar-benar kepanasan dan pusing. Pusing akibat gairah yang meminta untuk segera disalurkan. Sesuatu di balik celana bahannya semakin mendesak, dan mengetat.
Oh, Shit!
Kedua telapak tangan Nich mengepal erat di sisi stoolbar, sementara dadanya terlihat naik turun karena embusan kasar napasnya. Matanya terbuka lebar-lebar, dan pada saat yang bersamaan Gwen menurunkan kain penutup terakhir yang masih melekat di inti tubuhnya.
"Gwen, stop! Aku bilang berhenti!" sergah Nich tegas, seraya menggeleng kecil.
"Why, Nich? Kenapa kau menghentikanku?" tanya Gwen bingung. Dia menaikkan penutup inti tubuhnya lagi, lalu mendekati Nich. "Kenapa? Kau tidak suka? Bukankah ini tujuanmu, membayarku lima kali lipat lebih tinggi? Kau ingin menontonku, bukan? Dan, sekarang nikmatilah tontonan ini."
Tangan Gwen hendak menarik turun kain segitiga berwarna hitam metalik itu, tetapi Nich langsung menahannya.
"No!" Nich menggeleng cepat, menatap Gwen dengan tatapan tak suka.
Alis Gwen menaut di balik topengnya. Dengan jarak sedekat ini dia tentu dapat melihat dengan jelas wajah Nich yang sudah sangat memerah. "Biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku, Nich. Dan, setelah itu aku akan pergi," tukasnya, terdengar sangat memohon.
Namun, di pendengaran Nich, suara Gwen lebih terdengar seperti sebuah sifat arogansi seorang perempuan yang sedang mempertahankan harga dirinya. Marah bercampur benci kentara sekali di manik sebiru lautan itu. Napas Gwen juga memburu, seolah dia ingin marah tetapi tertahan oleh situasi dan keadaan.
Entah itu benar atau hanya perkiraan Nich saja.
Perkataan Gwen memang tidak ada yang salah. Niatnya membayar mahal memang untuk menonton Gwen dalam aksinya menari. Merogoh kocek dalam-dalam agar bisa bertemu lagi dengan perempuan berkulit putih itu.
Perlahan tapi pasti, tangan Nich yang masih menggenggam pergelangan tangan Gwen, bergerak. Maju sedikit demi sedikit, dan tanpa disadari sang empunya tak ada lagi jarak di antara mereka.
"Nich, kau tidak boleh menyentuhku. Kau tidak lupa aturan mainnya, bukan?" Suara yang mulanya tegas berubah menjadi sedikit gemetar, ketika embusan napas hangat Nich menyentuh tengkuknya. Kini, giliran sekujur tubuh Gwen yang menegang. Dadanya hampir meledak saat Nich mencium tengkuknya tanpa permisi. "Nich …." desah Gwen.
Desahan Gwen terdengar merdu di telinga Nich. "Aku sudah membayarmu, Gwen. Jadi aku bebas ingin melakukan apa pun kepadamu," bisik Nich yang semakin membuat Gwen meremang. Dia sama sekali tidak berniat melepas tangan Gwen.
Sayang sekali, Nich tidak bisa melihat keseluruhan wajah Gwen karena tertutup topeng. Pasti saat ini wajah itu sudah memanas dan memerah, pikir Nich.
"Tapi, bukan berarti kau bisa menciumku seenaknya. Kau lancang." Gwen melotot, tetapi hal itu tidak membuat Nich gentar. "Lepas, Nich!" Dia berusaha menarik tangannya dari genggaman Nich, tetapi hanya sia-sia saja.
Bibir Nich menyeringai, menyaksikan Gwen yang marah dan kesal padanya. Namun, Gwen malah semakin terlihat cantik dan seksi. Apalagi, Nich dapat dengan leluasa memandang dada polos Gwen yang tak berpenutup, yang ujungnya berwarna merah muda dan mengacung menantang.
"Sejak kapan kau berubah?" Nich mulai mengendurkan genggaman tangannya, dan menuntun Gwen duduk di sampingnya. "Duduklah, Gwen."
"Tidak. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku." Gwen menggeleng cepat. "Pekerjaanku menari, bukan menemani minum."
"Kau tadi sudah menari dengan sangat baik," sahut Nich, melepas pergelangan tangan Gwen lalu meloloskan jas yang dipakainya. "Pakailah ini. Kau akan masuk angin kalau terlalu lama bertelanjang dada."
'Apa ini? Kenapa Nich bersikap seolah-olah dia peduli padaku?'
Kendati Gwen bingung dan bertanya-tanya dalam hati, tetapi dia tak menolak sama sekali perlakuan manis Nich. Lelaki itu dengan sabar memakaikan jas mahalnya di tubuh telanjang Gwen.
"... Duduklah. Kau tidak perlu menari lagi." pinta Nich untuk yang ke sekian kali.
Gwen menurut, karena Nich memintanya dengan lembut. Mendaratkan bokongnya ke stoolbar, Gwen lantas bertanya, "Apa?"
"Bisakah kau buka dulu topengmu? Rasanya sangat aneh bicara sedekat ini tapi tidak bisa menatap wajahmu."
"Kenapa kau sangat banyak mau?" Meski kesal karena Nich menuntut ini itu, tetapi tak urung Gwen melepas topeng dari wajahnya. "Sudah. Kau puas?" dengus Gwen sambil menaruh topeng tersebut di meja.
Nich mengangguk, mengulum senyumnya yang menawan. "Nah, kalau seperti ini wajahmu yang cantik tidak tersembunyi lagi," ucapnya disertai kekehan.
"Ck!" Gwen berdecak, lalu melipat tangannya di dada. "Kau semakin menyebalkan!" cibirnya.
"Benarkah?" satu alis Nich terangkat, tak percaya Gwen mencibirnya demikian. "Itu artinya kau masih mengingatku, bukan? Kalau tidak, kau tidak akan berkata seperti itu," tebak Nich.
Bisa duduk berhadapan lagi dengan Gwen sesuatu yang selalu diharapkan Nich. Masa-masa itu tak pelak kembali hadir di ingatannya. Saat di mana Gwen dan dirinya pernah sedekat ini. Berbicara dalam keintiman.
"Lupakan masa lalu, Nich. Kita bukan lagi anak remaja yang naif. Kau lihat sendiri, aku sudah berubah. Tak ada lagi Gwen yang polos dan malu-malu. Di hadapanmu sekarang hanya ada Gwen seorang penari telanjang. Kau bisa membedakannya, bukan?"
"Kau benar." Nich mengangguk. Lantas mengisi gelas kosong dengan minuman lagi. "Gwen yang kukenal dulu belum seseksi dan sepanas ini. Bahkan aku masih mengingat dengan jelas desahanmu ketika pertama kali kita mendaki puncak kenikmatan. Kau masih—"
"Cukup, Nich! Kau tidak perlu membahas kejadian sialan itu!" sergah Gwen dengan kilat marah dan raut datar. "Lebih baik aku pergi, jika kau masih membahasnya."
Gwen hendak turun dari stoolbar, tetapi Nich segera menahan lengannya. "Oke. Aku tidak akan membahasnya. Tetaplah di sini."
Gwen menghela, dan mengurungkan niatnya. "Semua tidak akan kembali, meski kau terus membahas dan mengingatnya," kata Gwen, memalingkan wajahnya dari pandangan Nich.
Nich paham sekali, bagaimana perasaan Gwen saat itu. Salah Nich juga yang pergi tanpa pamit. "Sorry, Gwen. Aku benar-benar menyesal."
Gwen bungkam, enggan melihat wajah Nich yang memiliki daya tarik berkali-kali lipat dari sebelumnya.
'Apa dia pikir dengan meminta maaf, semuanya akan berubah?' pikir Gwen.
"... Gwen, maksudku melakukan semua ini agar aku bisa meminta maaf padamu. Aku menganggap pertemuan kita ini suatu takdir dari Tuhan," lanjut Nich, rasa bersalah amat kentara di sorot matanya.
"Bagimu mungkin iya. Tapi bagiku tidak." Gwen menyahut dingin.
'Dia bahkan tidak tau, bagaimana dulu aku menjalani hari-hari tanpanya.' Lanjut Gwen dalam hati.
"Kau tidak senang bertemu denganku lagi, Gwen?" Kecewa sudah pasti mendengar pernyataan Gwen yang tak pernah disangka Nich.
"Menurutmu?" Gwen menoleh, dan Nich langsung bisa melihat kesedihan di bola mata yang berkilau akibat tertutup cairan bening.
Gwen menangis?
Rasa bersalah semakin menyeruak dalam dada Nich. "Aku mencarimu, Gwen. Aku mendatangi rumahmu tapi rumah itu sudah dijual ke pemilik yang baru."
"Oh, iya? Kapan?" Gwen bertanya sengau, akibat tenggorokannya tersekat rasa sesak. Dia bersusah payah untuk tidak terlihat menyedihkan di depan Nich, meski saat ini pandangannya kian mengabur tertutup cairan bening.
'Please ... jangan menangis, Gwen. Paling tidak untuk saat ini.' Seru Gwen dalam hati berusaha menguatkan diri.
Nich menghela panjang, kemudian menjawab, "Lima tahun yang lalu."
***
bersambung ...
'Lima tahun yang lalu? Itu saat Ayah bangkrut dan kami memutuskan pindah ke sini.' Batin Gwen yang termangu. Dia tidak pernah menyangka jika Nich mencarinya. Atau itu hanya sebuah omong kosong Nich, pikir Gwen.'Tidak mungkin dia mencariku.'Logika dan hati Gwen saat ini bertolak belakang. Inginnya dia mempercayai Nich, akan tetapi rasa sakit akibat ditinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Hari-hari yang dijalani Gwen sangat sulit kala itu."Gwen," panggil Nich.Terkesiap, Gwen lantas menatap Nich."Kenapa kau diam?" Mata Nich menyipit, mencoba membaca raut muka Gwen yang tidak berekspresi."Lalu, aku harus bersikap bagaimana? Kau mengharapkan apa?" Raut datar itu berubah menjadi dingin. Gwen tersenyum mengejek. "Kau tiba-tiba menghilang, Nich. Aku berusaha menunggumu. Tetapi, kau tidak pernah datang lagi.""Aku pergi karena suatu alasan," sahut Nich membela diri, supaya Gwen tidak berpikir jika Nich adalah pria yang kejam.Di dalam ruangan temaram yang diiringi alunan musik merdu, suas
Gwen terkejut ketika membuka pintu, kakinya hampir menginjak buket bunga yang tergeletak di bawah. "Buket bunga? Dari siapa?"Gwen lantas mengambilnya, dan urung keluar rumah untuk pergi ke toko. Tadinya dia berniat ingin membeli sesuatu di sana. Kembali masuk dan menutup pintunya lagi, Gwen mengendus kelopak bunga favoritnya itu dengan senyum lebar."Harum."Mawar merah adalah bunga favorit Gwen sejak kecil. Kata ibunya dulu, mawar merah itu melambangkan cinta dan keberanian. Hingga Gwen dewasa pun bunga tersebut masih menjadi favoritnya."Bunga dari siapa, Gwen?" tanya Tuan Jimmy yang baru saja keluar dari kamarnya. "Uhuk-uhuk!" Beliau terbatuk-batuk sambil berjalan menuju meja makan, hendak mengambil segelas air yang selalu tersedia di sana."Ayah!" Gwen seketika panik, dan gegas menghampiri ayahnya ke meja makan. "Biar Gwen yang ambilkan. Ayah duduk saja."Tuan Jimmy menuruti perintah puterinya, lalu duduk dan terus terbatuk, sementara Gwen menaruh buket mawar ke meja, lalu menuan
"Kartunya, Nona." Perawat perempuan menyodorkan kartu debit milik Gwen. "Bagaimana? Kira-kira berapa kurangnya?" tanya Gwen mengambil kartu tersebut. "Kurangnya masih lima belas ribu dolar lagi, Nona. Itu belum dengan biaya kamar dan obat-obatan selama tiga hari ke depan," jawab sang perawat sambil menyodorkan selembar kertas yang berisi rincian biaya yang harus segera dilunasi Gwen. "Apa? Lima belas ribu dolar?" Gwen terbelalak, jantungnya seperti terjun bebas ke dasar perut. Uang sebanyak itu dari mana dia bisa mendapatkannya? pikir Gwen menatap nanar kertas putih di tangannya. Tuhan ... Uang sebanyak ini? A-aku dapat dari mana? Kedua lutut Gwen terasa sangat lemas, bahkan nyaris terhuyung. "Nona?" panggil perawat itu. "Ya?" Gwen menatap perawat tersebut dengan manik berkaca-kaca, sembari berusaha menguatkan pegangan pada meja. "Jika bisa mohon segera lunasi sisanya. Agar Ayah Anda bisa segera dioperasi. Uang Anda tadi tidak cukup." "Apa? Ayah saya belum bisa dioperasi?" G
"Daniel!"Nich merangsek masuk ke ruangan Daniel saat dia hendak mengetuk pintu. Telinganya menangkap suara perempuan yang meminta tolong. Suara perempuan yang sangat dia kenal. Dan benar saja, ketika Nich berhasil mendobrak pintu tersebut, pemandangan yang tersaji di depan mata membuatnya naik pitam seketika.Daniel—temannya, sedang berada di atas tubuh Gwen yang menangis ketakutan. Mencoba untuk melecehkan dan memaksakan kehendaknya.Nich tentu tidak akan tinggal diam, melihat perempuan yang masih dia sayang hingga detik ini akan dilecehkan. Tidak! Daniel harus diberi pelajaran, pikir Nich."Nich?" Daniel terkejut bukan main, panik dan kebingungan, sementara Gwen tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung mendorong dada Daniel sampai pria itu terjengkang.Gwen pun bangkit dari sofa dan langsung berlari menuju pada Nich yang berdiri di depan pintu. "Nich, to-tolong aku. Di-Dia hendak melecehkan diriku. Tolong aku …." Gwen menghambur ke pelukan Nich dan menangis sejadi-jadinya di da
Selesai mengganti pakaiannya yang sudah tak berbentuk lagi, dan memasukkannya ke dalam paper bag, Gwen lantas mencuci tangan di wastafel sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Pakaian yang dibelikan Nich begitu pas melekat di badannya. Sweater berkerah tinggi dan berlengan panjang berwarna nude serta celana kulot panjang warna hitam."Kenapa dia bisa tau ukuran bajuku?" gumam Gwen. "Aak!" pekiknya ketika telapak kakinya terasa sakit dan perih. "Kakiku."Melepas sepasang sepatunya, Gwen tercengang ketika melihat ada noda darah. "Darah? Astaga, kenapa telapak kakiku bisa terluka?"Akibat terburu-buru, dia sampai tidak sadar jika kedua telapak kakinya terluka, tapi kenapa? pikir Gwen."Sepertinya tadi Nich mengembalikan kotak obat ke sini." Dia berpikir akan mengobati luka di telapak kakinya, mencari kotak obat yang sempat digunakan Nich tadi. "Ini dia." Kotak obat berhasil ditemukan.Selanjutnya, Gwen mencuci kakinya terlebih dahulu—menghilangkan bekas darah, mengucurkan air dari kr
Keheningan yang ada hanya beberapa saat tercipta, setelah menikmati teh hangat, Nich lantas berdiri, mengembalikan cangkir kosong ke troli, lalu memindai aneka menu yang tersedia.Dari menu ringan sampai menu berat siap disantap. Namun, sebelum itu Nich menawari Gwen terlebih dahulu. Siapa tahu Gwen mau ikut makan bersamanya.Ah, setelah sekian lama, akhirnya dia bisa berduaan lagi dengan Gwen dalam situasi damai seperti sekarang. Nich jadi mengingat hari-hari lalu yang pernah dia lewati bersama Gwen. Di atap gedung, gudang, bahkan di toilet. Puncaknya, malam itu. Saat sekolah mengadakan malam perpisahan. Dia dan Gwen menghabiskan malam panas penuh gairah masa muda di ruang rapat OSIS.Gila!Itu adalah pengalaman pertama seorang Nich dengan gadis tercantik di sekolahnya dulu. Gwen Florine yang dia pacari dalam kurun waktu terlama dan terpaksa harus dia tinggalkan karena suatu hal. Hal yang merubahnya hingga menjadi seperti sekarang ini. Sukses dan memiliki nama besar. Bisa mendapatkan
"A-apa?" Gwen membulatkan matanya, lalu melangkah mendekati Nich. "Kau bilang apa, Nich? Kau memintaku menjadi istrimu?" Nich mengangguk. "Iya, Gwen. Jadilah istriku." Entah apa yang dirasakan Gwen saat ini. Dari yang Nich bisa lihat, jika perempuan itu nampak marah. Kentara sekali dari rahangnya yang mengetat dan kedua telapak tangannya mengepal erat di sisi tubuh. Nich sudah memikirkan hal ini sebelum dia tahu kalau ayahnya Gwen sedang dirawat di Rumah Sakit. Dan, ide ini pun semakin menjadi saat Daniel membicarakan perihal masalah yang sedang dihadapi Gwen. Perempuan itu butuh uang untuk biaya operasi ayahnya. Apakah ini suatu jalan dari Tuhan untukku? Pikir Nich. "Kau sedang memanfaatkan situasi, Nich? Kau ingin mempermainkanku lagi? Benar 'kan?" tuduh Gwen, kemudian berdecak. "Aku benar-benar tidak menduga, Nich. Bisa-bisanya kau memanfaatkan keadaanku yang sedang tidak berdaya seperti sekarang. Apa tujuanmu, Nich? Apa? Katakan!" Pada akhirnya kemarahan Gwen meledak, dia men
Nich tercenung beberapa detik setelah mendengar syarat yang terlontar dari mulut manis Gwen. Kemudian tak berselang lama dia tertawa seraya beringsut menjauh. 'Kenapa Nich tertawa? Memangnya ada yang lucu?' batin Gwen dengan alis dan kening yang mengernyit heran, karena Nich yang justru malah tertawa. "Ada yang lucu, Nich?" tanya Gwen akhirnya. Tawa Nich seketika mereda, lalu meraup udara sebanyak mungkin supaya tetap tenang. Nich berkacak pinggang, kemudian menoleh ke arah Gwen sambil menggeleng. "Sebegitu bencinya kau padaku, Gwen? Sampai-sampai kau tidak memercayaiku lagi?" Ya, Nich tertawa bukan karena dia merasa lucu dengan syarat yang diajukan Gwen. Melainkan merasa kecewa lantaran Gwen sudah meragukan niatnya yang benar-benar tulus ingin menikahinya. Tertawa dalam artian menertawakan dirinya sendiri yang telah dianggap remeh oleh seorang perempuan. "Menurutmu?" Gwen memicing. Menghela napas panjang kemudian lanjut berkata, "Kau tahu, Nich, impian setiap perempuan itu adalah
Kamar tempat menginap Nich dan Gwen sudah tak berbentuk lagi. Di lantai ada beberapa helai kain yang berserak asal serta kelopak mawar merah, setelah semalaman kedua insan yang baru saja mereguk manisnya madu malam pengantin untuk yang ke sekian kali. Nich tidak membiarkan Gwen beristirahat barang sejenak hingga subuh menjelang, terus mengajak istrinya itu berpetualang menikmati panasnya gelora asmara yang kembali memercik. Cinta di hati Gwen kembali bersemi setelah melewati banyak rintangan dan ujian. Tak pernah menyangka bila dia akan kembali jatuh ke dalam pelukan pria ini lagi. Nicholas Kennedy. Satu nama yang selalu tersemat di hatinya dari dulu hingga detik ini. Gwen merasa bila takdirnya memang hidup bersama seorang Nich, karena sejak awal dia mengenal cinta, hanya nama itu yang terpatri di ingatannya. Sebuah kecupan singkat Gwen berikan di bibir Nich yang masih terlelap di sisinya. Senyumnya terukir ketika memandang wajah menawan yang tak pernah berubah itu. Masih sama. Bah
"Sekarang kedua mempelai dipersilakan untuk saling berciuman." Pastor berkepala plontos itu memberikan izin kepada pasangan pengantin yang baru saja meresmikan pernikahannya. Kesempatan tersebut tentu tak disia-siakan oleh Nich yang hari ini merasa sangat bahagia karena telah mewujudkan keinginannya. Menikahi perempuan yang sangat dia cintai di hadapan semua orang terdekat. Satu lengannya terulur ke pinggang, dan tangannya yang lain memegang tengkuk sang istri yang siang ini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun pengantin warna putih. "Kau siap, Honey?" bisiknya dengan kerlingan jahil.Gwen tersipu, lalu mengangguk malu-malu. Rona bahagia terpancar dari sepasang manik biru itu, meski pandangannya tertutup kabut kesedihan. Ini memang pernikahan impiannya, tetapi kebahagiaan yang dirasa tidak lengkap tanpa kehadiran sosok ayah tercinta. Walaupun sebagian tamu adalah keluarga. Namun, hati Gwen menginginkan sang ayah yang menjadi saksi di hari spesial ini."Aku mencintaimu, Gwen."
Satu bulan yang dinanti akhirnya pun tiba. Hasil tes DNA yang keluar pada hari ini tentu akan menentukan nasib pernikahan Gwen selanjutnya. Apakah akan bertahan atau berakhir seperti keputusannya semula. Gwen ingat sekali dengan perkataan Nich tempo hari yang akan meresmikan pernikahan mereka di sebuah gereja bila anak Valerie dinyatakan bukanlah darah dagingnya.Pernikahan impian yang selama ini dia inginkan akan diwujudkan oleh Nich. Akan tetapi, Gwen sudah tidak menginginkan hal tersebut. Tidak karena sosok yang menjadi saksi pernikahannya sudah tidak berada di sisi. Semuanya hanya sia-sia."Honey," panggil Nich yang baru saja masuk ke kamarnya. Aura di wajahnya nampak berbeda.Gwen meletakkan buku bacaan yang sedang dibaca pada meja nakas, lalu menatap Nich yang berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah amplop warna putih berukuran sedang. Pikiran Gwen langsung mengarah pada hasil tes DNA."Honey." Tiba-tiba saja Nich mengangkat tubuh Gwen ke gendongan, lalu memutar-mutarnya bebe
Acara spesial yang dikatakan Nich, rupanya hal yang tidak pernah diduga Gwen sebelumnya. Bertemu dengan banyak orang, kemudian diperkenalkan sebagai istri, sungguh tidak pernah ada dalam angan Gwen. Pesta meriah ini sebenarnya acara rutinan yang dilaksanakan di perusahaan Nich. Ada banyak sekali orang-orang berpengaruh yang terlibat dalam kerjasama besar tersebut. Gwen cukup terkesan dengan kejutan dari suaminya itu. Merasa begitu dianggap meski kondisi rumah tangganya sedang berantakan.Di ballroom mewah dengan penataan yang sangat luar biasa Gwen tidak pernah merasa sendiri karena Nich terus berada di sampingnya tanpa melepas genggaman tangannya. Suasana pesta yang dihadiri berkisar ratusan orang itu begitu meriah dengan lantunan lagu yang dibawakan oleh penyanyi di atas panggung. Musik mengalun dengan lirih tetapi terdengar sangat merdu mendukung suasana malam ini.Kekesalan yang sempat menyesakki hati perlahan berganti dengan rasa bahagia. Ya, bolehkah Gwen merasakan bahagia sebe
'Jika ingin pergi setidaknya tunggu sampai anak itu lahir. Nanti setelah aku tahu hasilnya kau bebas mengambil keputusan. Ingin tetap pergi atau ingin bertahan di sisiku.'Gwen merasa sesak tiap kali mengingat perkataan Nich yang sangat-sangat egois menurutnya. Tidak membiarkan Gwen pergi begitu saja dan justru semakin tidak masuk akal. Selama hampir dua bulan ini dia berada di dalam apartment dengan satu maid dan dua pengawal pribadi untuk berjaga-jaga.Tidak sekali pun Nich membiarkan Gwen keluar dari sana. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh Nich. Namun tidak dengan permintaannya yang ingin kembali ke rumah lamanya yakni di Birmingham. Padahal, Gwen sudah muak dengan segala macam peraturan baru dari Nich.Tinggal di dalam sini sama saja dengan tinggal di dalam sangkar emas. Tidak bisa bergerak bebas semaunya. Kalau bisa, Gwen tidak menginginkan semua ini. Bertahan di sisi Nich dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, itu sama saja dengan mati pelan-pelan.Semakin hari, Nich semakin po
"Apa! Valerie hamil anaknya Kak Nich? Kau serius, Gwen?" Pekikan Olivia menggema di kamar rawat Gwen setelah dia mendengar kabar kehamilan Valerie. Gadis itu nampak terkejut sekaligus tidak percaya, sampai-sampai bola matanya tidak berkedip dengan mulut ternganga."Aku serius, Oliv. Untuk apa aku mengarang cerita sementara aku sudah melihat buktinya. Perut Valerie nampak membuncit. Perkiraanku kehamilannya sekitar tiga atau empat bulan." Gwen menghela napas panjang, pandangannya perlahan turun ke perutnya yang kini rata.Sesak bukan main jika mengingat apa yang dialaminya. Kehamilannya tidak cukup kuat untuk mendengar berita menyakitkan yang meluluhlantakkan semua mimpi-mimpinya dalam sekejap. Gwen sangat merasa kehilangan calon anak laki-lakinya."... Aku pun berharap jika kehamilan itu tidak benar adanya." Gwen bergumam mengelus perut ratanya di balik baju pasien yang dia kenakan. Setitik cairan bening turun tanpa permisi membasahi punggung tangannya. "Aku sudah gagal lagi. Aku gaga
Suara pantofel menggema di lorong yang terlihat sepi itu, seorang pria dengan raut marah nampak tergesa seolah-olah sudah tidak sabar ingin segera menemui seseorang yang menjadi penyebab dirinya menjadi demikian. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang menjejali isi kepalanya saat ini, sekaligus kebenaran yang harus dia saksikan menggunakan mata kepalanya sendiri. 'Valerie mengaku jika dia sedang mengandung anakmu. Hasil dari perbuatanmu malam itu.' Sekali lagi, Nich terngiang dengan sekelumit pernyataan yang terlontar dari mulut Gwen. Sebuah kabar yang telah berakibat fatal bagi hubungannya. Hubungan yang dia harap akan berjalan untuk selamanya hingga mereka menua. Namun, akibat kabar murahan itu kini hubungannya terancam berantakan dan berakhir.'Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan melepas Gwen meski apa pun yang terjadi. Dia milikku dan akan selamanya seperti itu.' Batin Nich tak pernah berhenti menyeru demikian. Melepaskan Gwen itu sama saja dengan menghancurkan mimpinya sel
Sudah hampir satu jam Nich berada di kamar rawat sang istri, duduk di samping ranjang pasien dengan menahan segala perasaan yang tak keruan. Informasi yang dia dengar dari mulut Mark, nyatanya membuat Nich terus berpikir dan merutuki diri.. Selama ini dia tidak pernah sekalipun memikirkan perihal yang bisa saja terjadi pada Gwen ketika pertama kali mereka melakukan hubungan seks waktu itu. Nich sungguh menyesali perbuatannya yang telah pergi begitu saja dari kehidupan Gwen tanpa memikirkan perasaannya. Ambisinya yang ingin menjadi orang sukses telah membuat dia lupa tentang kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya dia pikul. 'Bodoh!' Sementara di hadapannya, Gwen belum mau menatapnya sama sekali semenjak Nich menginjakkan kaki di ruangan serba putih itu. Gwen seolah-olah sudah memutuskan mogok bicara pada pria yang telah berkali-kali menorehkan luka hingga membuatnya kehilangan seorang putera yang dia nanti kehadirannya.Gwen sangat marah, dan belum siap menatap wajah Nich, kar
Sudah diduga sebelumnya jika memang ada seseorang yang berusaha mencelakakan Gwen. Bila dilihat dari gambar yang ditampilkan pada layar laptop, Valerie seperti mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan hingga berhasil membuat Gwen syok bukan main. Dari hasil rekaman cctv itu menunjukkan jika Valerie nampak menyeringai puas saat menyaksikan Gwen yang sudah kepayahan menahan sakit. Entah apa yang dikatakan oleh perempuan licik itu pada Gwen, yang jelas Nich begitu yakin jika hal tersebut pasti berkaitan tentang kejadian sialan itu. Kentara sekali dari reaksi Gwen yang setengah membungkuk sambil memegang perut. 'Itu rasanya pasti sangat sakit.' Batin Nich merasa sangat geram sampai-sampai dia mencengkeram ponsel di tangan. Hatinya seperti ditusuk-tusuk ujung pisau, ngilu bukan main membayangkan bagaimana Gwen mati-matian menahan kram pada perutnya. "Perempuan itu benar-benar sialan! Apa dia buta? Apa dia tidak melihat Gwen sudah kesakitan seperti itu? Apa sebenarnya yang dia inginkan