Nich terus mondar-mandir di kamar yang disewanya selama beberapa hari ke depan, dengan pikiran yang sangat kacau. Ingatannya terus terpatri pada sosok perempuan yang dia temui di bar milik Daniel. Bahkan, berkali-kali Nich mencoba mengenyahkan kelebat wajah cantik itu dari memori masa lalu yang kembali berputar.
Nich menggeram, mengepalkan tangannya, lalu meninju udara seraya mengumpat. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan Gwen? Kenapa dia bisa menjadi seorang penari? Bukankah keluarganya paling terpandang di London? Tetapi ... Bagaimana bisa?"
Benar. Seingat Nich, Gwen terlahir dari keluarga paling terpandang di London. Bahkan, masuk dalam daftar urutan orang terkaya di ibu kota Inggris itu. Lalu, apa yang disaksikan oleh Nich benar-benar di luar dugaan. Seorang Gwen dari keluarga terpandang menari telanjang di sebuah Bar?
Bukankah itu hal yang sangat mengejutkan?
"Aku harus cari tahu. Kenapa dan bagaimana Gwen bisa menjadi seorang penari. Ya, harus!"
Nich lantas menyambar ponselnya yang ada di ranjang, men-deal nomor sang asisten yang sempat terpana dengan sosok Gwen sewaktu di Bar tadi. Dean.
"Dean, aku ada tugas untukmu."
Nich langsung pada intinya. Dia berjalan menuju jendela besar yang ada di kamar hotel yang disewanya. Melihat indahnya malam kota Birmingham dari ketinggian mencapai 500kaki.
"Tugas apa, Tuan?"
"Cari tahu tentang kehidupan Gwen saat ini. Aku mau laporan itu segera," ucap Nich, sambil memijat pangkal hidung guna mengurangi pening yang mendadak hadir.
Ditambah dengan bayangan Gwen yang telanjang waktu di Bar tadi. Jiwa primitif seorang Nicholas Kennedy seakan-akan kembali bangkit, dan ingin merasakan hangatnya tubuh indah itu lagi.
Sial!
"Gwen ... Ma-maksud saya Gwen penari di bar tadi, Tuan?"
Dean bertanya ragu dengan perintah yang ditugaskan oleh sang majikan. Karena setahunya, Nich paling malas jika berurusan dengan seorang perempuan. Apalagi perempuan ini hanya seorang penari.
Nich berdecak sebal, lalu menyahut, "Memangnya ada berapa banyak yang bernama Gwen di bar tadi? Bodoh!"
Dean sang asisten terkadang membuat Nich kesal dengan tingkah konyolnya. Namun, tanpa Dean, seorang Nich tidak akan mampu berbuat apapun sebab asistennya itu juga merupakan orang yang cukup cerdas.
"Ba-baik, Tuan. Saya akan cari tahu. Tapi Tuan, kenapa Anda tidak bertanya saja pada teman Anda. Bukankah dia bos-nya? Pasti Tuan Daniel tahu seluk beluk Gwen."
Ah, kenapa Nich tidak kepikiran sejak tadi. ck!
Benar 'kan? Dean memang memiliki otak yang encer dan cerdas. Idenya benar-benar membuka pikiran Nich yang sejak tadi buntu. Entah benar-benar buntu atau memang tidak dapat berpikir jernih karena terus terbayang kemolekan tubuh telanjang Gwen.
"Iya, kau benar! Kenapa aku tidak berpikiran ke situ tadi. Baiklah, aku akan hubungi Daniel."
"Baik, Tuan. Saya juga akan bantu cari."
Nich pun memutus sambungan teleponnya dengan Dean, lalu segera menghubungi Daniel—teman lamanya. Lelaki berambut cokelat itu terus gusar, menggigit bibir bawahnya sambil memainkan ujung sepatu di lantai kamar hotel. "Ayolah, Daniel! Kenapa kau lama sekali!"
Tangan kirinya yang bebas mengepal, lalu meninju pelan kusen jendela, tatapannya masih lurus ke depan, memandang hamparan kota Birmingham yang sangat indah.
Hingga beberapa saat menunggu, sambungan telepon pun dijawab oleh Daniel.
"Halo?"
"Halo, Daniel? Ada yang ingin kutanyakan padamu," ucap Nich, yang lantas mengernyitkan kening saat tak sengaja mendengar suara desah*n dari ujung sana. Pun dengan Daniel yang napasnya terdengar terengah-engah.
"Ah, sial! Pasti Daniel sedang bercinta. Pantas saja dia sangat lama menjawab telepon dariku," gerutu Nich, mengurut pelipis yang makin berdenyut.
"Kau mau tanya apa, Nich? Pasti hal yang sangat penting, kalau tidak, kau tidak akan menggangguku di tengah malam begini." Daniel berkata dengan napas terdengar putus-putus dan sesekali mengerang nikmat, membuat telinga Nich sampai sakit.
"Ekhm!" Nich berdehem, merasakan tenggorokannya yang mendadak kering akibat suara-suara laknat tersebut. Memancing hormon testosteronnya yang sejak lama terpendam dan jarang disalurkan.
" ... Begini, Aku mau tanya soal Gwen. Gwen yang bekerja di bar milikmu," lanjut Nich mulai serius.
"Gwen? Kau mau apa? Apa kau tertarik? Kalau iya, aku bisa mengatur pertemuanmu selanjutnya dengannya. Bagaimana?" usul Daniel. Suaranya terdengar semakin tersengal.
"Bisa?" Raut Nich berseri-seri seperti bias cahaya bulan yang tembus di kaca jendela. Sudut bibirnya menyeringai, dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Usulan Daniel jelas disambut dengan penuh semangat oleh Nich. Kesempatannya bertemu sekali lagi dengan Gwen sudah sangat dinantikan. Ada banyak hal yang ingin Nich tanyakan, terutama soal kehidupan Gwen yang berubah drastis.
"Tentu bisa. Asal kau berani membayarnya mahal. Aku jamin, Gwen akan menemanimu sepanjang malam."
Kembali ke soal harga yang harus dikeluarkan Nich untuk bisa bertatap muka dengan Gwen. Soal itu Nich tidak akan perhitungan, apalagi jika menyangkut pada sosok di masa lalunya. Berapa pun akan Nich gelontorkan demi Gwen.
Daniel lanjut berkata, "Baik. Besok kau bisa kembali ke bar. Pukul delapan. Aku akan mengaturnya untukmu."
"Kau memang pengertian, Daniel. Terima kasih sebelumnya. Dan, ya, berapa yang kau inginkan?" tanya Nich, sekadar ingin memberikan imbalan yang setimpal atas bantuan Daniel padanya.
"Tidak terlalu besar, Kawan. Beri aku lima juta dolar saja. Sisanya kau bisa berikan secara langsung pada Gwen." Daniel mengerang panjang, nampaknya dia sudah mencapai klim*ks.
F*ck!
Nich mengumpat.
"Oke. Maaf mengganggu. Silakan kau lanjutkan." Nich segera memutus sambungan telepon sepihak. Dia lantas mendengus. "Sama sekali tidak beretika! Ck!"
Salahnya, telepon di jam tengah malam, saat orang-orang tengah asyik bergelung dengan selimut atau dengan pasangan.
Akan tetapi, ada hal yang membuatnya senang, karena besok dia bisa bertemu kembali dengan Gwen.
"Kupastikan besok pertemuan kita yang paling berkesan, Gwen. Bersiaplah."
Kilat mata Nich memancarkan sesuatu yang sejak lama tak terlihat di manik kelamnya. Semua itu hanya karena seorang Gwen.
***
Sementara di tempat lain yakni di sebuah rumah sederhana, sosok gadis yang membuat seorang Nich gelisah sepanjang malam terlihat sedang merasakan hal yang sama. Matanya memang terpejam, tetapi tidak dengan pikirannya yang tidak bisa tenang.
Perempuan berkulit putih itu nampak susah payah untuk terlelap ke alam mimpi. Padahal, tubuhnya lelah luar biasa.
"Hfuuh …." Gwen bangkit dari tidurnya, membuang napas kasar lalu menyugar rambutnya ke belakang. "Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?"
Sungguh, Gwen ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya malam ini, andai saja dia tidak mengingat jika di rumahnya sedang ada orang sakit.
Pertemuannya dengan Nich adalah hal yang tidak pernah diduganya selama ini. Setelah hampir sepuluh tahun lamanya, dia berhasil mengenyahkan nama lelaki itu dari hatinya. Namun, takdir seakan-akan ingin mempermainkannya.
Gwen harus apa?
Gwen harus bagaimana?
"Yang aku tidak habis pikir, kenapa dia masih mengenaliku? Padahal, kami sudah sangat lama tidak bertemu. Dia juga masih ingat namaku. Nicholas, kenapa kau harus kembali hadir? Kenapa?"
Telapak tangan Gwen meremas kain sprei erat-erat, sesuatu di dalam dadanya seolah ingin meledak. Gwen memejam, mencoba untuk tetap tenang dan mengenyahkan bayangan wajah Nich.
Sorot mata itu, seringai itu, sentuhan itu, bahkan masih terasa sama. Hanya penampilannya saja yang berubah. Gwen ingat sekali, bagaimana Nicholas yang dulu. Lelaki itu jauh dari kemewahan. Seorang pemuda sederhana yang pernah menjanjikannya sesuatu. Seorang pemuda yang hingga detik ini membuat Gwen tidak berani menjalin hubungan dengan siapa pun.
Benarkah dia, Nicholas? Dia Nicholas yang dulu?
Inginnya Gwen menampik semua yang dia lihat saat di Bar tadi, tetapi kata-kata Nich terus berdengung di telinganya.
'Apa kabar gadis liarku? Kau semakin cantik dan menggoda.'
Bulu kuduk Gwen seketika meremang ketika mengingat seringai yang terbit di bibir Nich. Suaranya terdengar berat dan embusan napasnya terasa sangat panas saat menyapu tengkuk Gwen.
"Oh, ya ampun ... aku benar-benar bisa gila jika memikirkannya terus menerus," geram Gwen frustrasi.
Aroma roti panggang yang baru saja keluar dari oven, menguar ke sekeliling area dapur yang sangat sederhana dan minimalis. Tak ada barang mewah di sana, seperti perlengkapan masak yang dulu pernah ada. Pun dengan para maid yang dulu sering berseliweran ketika pagi menjelang seperti ini. Sibuk pada tugasnya masing-masing di kediaman Gwen yang dulu.Itu hampir 5 tahun yang lalu, waktu keluarga Stones masih berjaya di puncak kejayaan. Waktu nama mereka dikenal banyak orang bahkan sampai ke luar benua.Kini Gwen dan ayahnya telah terbiasa hidup sederhana, tinggal di rumah yang ukurannya bahkan tak seluas kamar mandi mereka kala itu. Semenjak Tuan Jimy—ayahnya Gwen ditipu oleh rekan bisnisnya dan dibuat bangkrut, tak ada lagi mata yang melirik mereka. Tak ada yang tahu, jika mereka dulu adalah orang terpandang di kota London.Memutuskan untuk pindah ke kota Birmingham, Gwen dan Tuan Jimy memulai semuanya dari nol. Jatuh bangun sudah biasa mereka hadapi selama ini. Sampai dokter memvonis Tu
Sepanjang bersiap-siap, Gwen tak berhenti menggerutu. Bersumpah serapah segala rupa. Bibirnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra, berharap dia bisa berpindah ke dimensi lain agar tidak dipertemukan dengan sosok menyebalkan itu.Ya, bagi Gwen, Nicholas masih sama seperti dulu. Menyebalkan dan arogan. Kalau tidak, untuk apa lelaki itu sudi membuang-buang uang hanya sekadar ingin menemuinya lagi?ck!"Sekarang dia sudah banyak uang, karena itu, dia berubah menjadi si Tuan sombong dan sok! Ck!" gerutunya lagi yang entah sudah ke berapa kali, bila mengingat Nicholas yang dulu dengan yang sekarang. Perbandingan yang cukup signifikan, memang.Lipstik warna merah Gwen sapukan di bibirnya yang sensual, hingga dalam sekejap bibir itu berubah bak kelopak mawar yang merekah nan ranum. Seksi dan nampak menggoda. Lalu, tak lupa dengan parfum favoritnya, Gwen menyemprotkannya ke setiap titik sensitifnya; belakang telinga, pergelangan tangan, dan terakhir tepat di belahan dadanya yang padat da
"Apa kau sedang menggodaku, Gwen?" tanya Nich yang sedang kepayahan menahan gejolak hasrat yang sedari tadi menggulungnya tanpa ampun.Gairahnya semakin memuncak ketika kedua jemari Gwen yang lentik memainkan puncak dadanya sendiri, dengan sorot mata menjerat. Tak memedulikan geraman rendah Nich yang belingsatan menatap lapar, seolah-olah lelaki itu ingin menerkamnya hidup-hidup.'Apa yang sedang kau pikirkan, Nich? Apa kau pikir aku masih Gwen yang dulu? Yang lugu dan naif? Lihat, bagaimana aku akan membuatmu jijik padaku dan tanpa berpikir dua kali kau akan menjauhiku.'Gwen berkata dalam hati, sembari tak henti bergerak sensual, sengaja beraksi demikian, supaya Nich berpikir jika dirinya sudah berubah. Gwen ingin membuat Nich sadar, jika dulu dan sekarang itu sudah sangat berbeda. Gwen bukan lagi gadis polos yang sangat memuja Nich, meskipun pada kenyataannya memang seperti itu."Gwen ..." Nich memejam dengan nada suara sangat rendah dan parau. Dia benar-benar kepanasan dan pusing.
'Lima tahun yang lalu? Itu saat Ayah bangkrut dan kami memutuskan pindah ke sini.' Batin Gwen yang termangu. Dia tidak pernah menyangka jika Nich mencarinya. Atau itu hanya sebuah omong kosong Nich, pikir Gwen.'Tidak mungkin dia mencariku.'Logika dan hati Gwen saat ini bertolak belakang. Inginnya dia mempercayai Nich, akan tetapi rasa sakit akibat ditinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Hari-hari yang dijalani Gwen sangat sulit kala itu."Gwen," panggil Nich.Terkesiap, Gwen lantas menatap Nich."Kenapa kau diam?" Mata Nich menyipit, mencoba membaca raut muka Gwen yang tidak berekspresi."Lalu, aku harus bersikap bagaimana? Kau mengharapkan apa?" Raut datar itu berubah menjadi dingin. Gwen tersenyum mengejek. "Kau tiba-tiba menghilang, Nich. Aku berusaha menunggumu. Tetapi, kau tidak pernah datang lagi.""Aku pergi karena suatu alasan," sahut Nich membela diri, supaya Gwen tidak berpikir jika Nich adalah pria yang kejam.Di dalam ruangan temaram yang diiringi alunan musik merdu, suas
Gwen terkejut ketika membuka pintu, kakinya hampir menginjak buket bunga yang tergeletak di bawah. "Buket bunga? Dari siapa?"Gwen lantas mengambilnya, dan urung keluar rumah untuk pergi ke toko. Tadinya dia berniat ingin membeli sesuatu di sana. Kembali masuk dan menutup pintunya lagi, Gwen mengendus kelopak bunga favoritnya itu dengan senyum lebar."Harum."Mawar merah adalah bunga favorit Gwen sejak kecil. Kata ibunya dulu, mawar merah itu melambangkan cinta dan keberanian. Hingga Gwen dewasa pun bunga tersebut masih menjadi favoritnya."Bunga dari siapa, Gwen?" tanya Tuan Jimmy yang baru saja keluar dari kamarnya. "Uhuk-uhuk!" Beliau terbatuk-batuk sambil berjalan menuju meja makan, hendak mengambil segelas air yang selalu tersedia di sana."Ayah!" Gwen seketika panik, dan gegas menghampiri ayahnya ke meja makan. "Biar Gwen yang ambilkan. Ayah duduk saja."Tuan Jimmy menuruti perintah puterinya, lalu duduk dan terus terbatuk, sementara Gwen menaruh buket mawar ke meja, lalu menuan
"Kartunya, Nona." Perawat perempuan menyodorkan kartu debit milik Gwen. "Bagaimana? Kira-kira berapa kurangnya?" tanya Gwen mengambil kartu tersebut. "Kurangnya masih lima belas ribu dolar lagi, Nona. Itu belum dengan biaya kamar dan obat-obatan selama tiga hari ke depan," jawab sang perawat sambil menyodorkan selembar kertas yang berisi rincian biaya yang harus segera dilunasi Gwen. "Apa? Lima belas ribu dolar?" Gwen terbelalak, jantungnya seperti terjun bebas ke dasar perut. Uang sebanyak itu dari mana dia bisa mendapatkannya? pikir Gwen menatap nanar kertas putih di tangannya. Tuhan ... Uang sebanyak ini? A-aku dapat dari mana? Kedua lutut Gwen terasa sangat lemas, bahkan nyaris terhuyung. "Nona?" panggil perawat itu. "Ya?" Gwen menatap perawat tersebut dengan manik berkaca-kaca, sembari berusaha menguatkan pegangan pada meja. "Jika bisa mohon segera lunasi sisanya. Agar Ayah Anda bisa segera dioperasi. Uang Anda tadi tidak cukup." "Apa? Ayah saya belum bisa dioperasi?" G
"Daniel!"Nich merangsek masuk ke ruangan Daniel saat dia hendak mengetuk pintu. Telinganya menangkap suara perempuan yang meminta tolong. Suara perempuan yang sangat dia kenal. Dan benar saja, ketika Nich berhasil mendobrak pintu tersebut, pemandangan yang tersaji di depan mata membuatnya naik pitam seketika.Daniel—temannya, sedang berada di atas tubuh Gwen yang menangis ketakutan. Mencoba untuk melecehkan dan memaksakan kehendaknya.Nich tentu tidak akan tinggal diam, melihat perempuan yang masih dia sayang hingga detik ini akan dilecehkan. Tidak! Daniel harus diberi pelajaran, pikir Nich."Nich?" Daniel terkejut bukan main, panik dan kebingungan, sementara Gwen tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung mendorong dada Daniel sampai pria itu terjengkang.Gwen pun bangkit dari sofa dan langsung berlari menuju pada Nich yang berdiri di depan pintu. "Nich, to-tolong aku. Di-Dia hendak melecehkan diriku. Tolong aku …." Gwen menghambur ke pelukan Nich dan menangis sejadi-jadinya di da
Selesai mengganti pakaiannya yang sudah tak berbentuk lagi, dan memasukkannya ke dalam paper bag, Gwen lantas mencuci tangan di wastafel sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Pakaian yang dibelikan Nich begitu pas melekat di badannya. Sweater berkerah tinggi dan berlengan panjang berwarna nude serta celana kulot panjang warna hitam."Kenapa dia bisa tau ukuran bajuku?" gumam Gwen. "Aak!" pekiknya ketika telapak kakinya terasa sakit dan perih. "Kakiku."Melepas sepasang sepatunya, Gwen tercengang ketika melihat ada noda darah. "Darah? Astaga, kenapa telapak kakiku bisa terluka?"Akibat terburu-buru, dia sampai tidak sadar jika kedua telapak kakinya terluka, tapi kenapa? pikir Gwen."Sepertinya tadi Nich mengembalikan kotak obat ke sini." Dia berpikir akan mengobati luka di telapak kakinya, mencari kotak obat yang sempat digunakan Nich tadi. "Ini dia." Kotak obat berhasil ditemukan.Selanjutnya, Gwen mencuci kakinya terlebih dahulu—menghilangkan bekas darah, mengucurkan air dari kr
Kamar tempat menginap Nich dan Gwen sudah tak berbentuk lagi. Di lantai ada beberapa helai kain yang berserak asal serta kelopak mawar merah, setelah semalaman kedua insan yang baru saja mereguk manisnya madu malam pengantin untuk yang ke sekian kali. Nich tidak membiarkan Gwen beristirahat barang sejenak hingga subuh menjelang, terus mengajak istrinya itu berpetualang menikmati panasnya gelora asmara yang kembali memercik. Cinta di hati Gwen kembali bersemi setelah melewati banyak rintangan dan ujian. Tak pernah menyangka bila dia akan kembali jatuh ke dalam pelukan pria ini lagi. Nicholas Kennedy. Satu nama yang selalu tersemat di hatinya dari dulu hingga detik ini. Gwen merasa bila takdirnya memang hidup bersama seorang Nich, karena sejak awal dia mengenal cinta, hanya nama itu yang terpatri di ingatannya. Sebuah kecupan singkat Gwen berikan di bibir Nich yang masih terlelap di sisinya. Senyumnya terukir ketika memandang wajah menawan yang tak pernah berubah itu. Masih sama. Bah
"Sekarang kedua mempelai dipersilakan untuk saling berciuman." Pastor berkepala plontos itu memberikan izin kepada pasangan pengantin yang baru saja meresmikan pernikahannya. Kesempatan tersebut tentu tak disia-siakan oleh Nich yang hari ini merasa sangat bahagia karena telah mewujudkan keinginannya. Menikahi perempuan yang sangat dia cintai di hadapan semua orang terdekat. Satu lengannya terulur ke pinggang, dan tangannya yang lain memegang tengkuk sang istri yang siang ini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun pengantin warna putih. "Kau siap, Honey?" bisiknya dengan kerlingan jahil.Gwen tersipu, lalu mengangguk malu-malu. Rona bahagia terpancar dari sepasang manik biru itu, meski pandangannya tertutup kabut kesedihan. Ini memang pernikahan impiannya, tetapi kebahagiaan yang dirasa tidak lengkap tanpa kehadiran sosok ayah tercinta. Walaupun sebagian tamu adalah keluarga. Namun, hati Gwen menginginkan sang ayah yang menjadi saksi di hari spesial ini."Aku mencintaimu, Gwen."
Satu bulan yang dinanti akhirnya pun tiba. Hasil tes DNA yang keluar pada hari ini tentu akan menentukan nasib pernikahan Gwen selanjutnya. Apakah akan bertahan atau berakhir seperti keputusannya semula. Gwen ingat sekali dengan perkataan Nich tempo hari yang akan meresmikan pernikahan mereka di sebuah gereja bila anak Valerie dinyatakan bukanlah darah dagingnya.Pernikahan impian yang selama ini dia inginkan akan diwujudkan oleh Nich. Akan tetapi, Gwen sudah tidak menginginkan hal tersebut. Tidak karena sosok yang menjadi saksi pernikahannya sudah tidak berada di sisi. Semuanya hanya sia-sia."Honey," panggil Nich yang baru saja masuk ke kamarnya. Aura di wajahnya nampak berbeda.Gwen meletakkan buku bacaan yang sedang dibaca pada meja nakas, lalu menatap Nich yang berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah amplop warna putih berukuran sedang. Pikiran Gwen langsung mengarah pada hasil tes DNA."Honey." Tiba-tiba saja Nich mengangkat tubuh Gwen ke gendongan, lalu memutar-mutarnya bebe
Acara spesial yang dikatakan Nich, rupanya hal yang tidak pernah diduga Gwen sebelumnya. Bertemu dengan banyak orang, kemudian diperkenalkan sebagai istri, sungguh tidak pernah ada dalam angan Gwen. Pesta meriah ini sebenarnya acara rutinan yang dilaksanakan di perusahaan Nich. Ada banyak sekali orang-orang berpengaruh yang terlibat dalam kerjasama besar tersebut. Gwen cukup terkesan dengan kejutan dari suaminya itu. Merasa begitu dianggap meski kondisi rumah tangganya sedang berantakan.Di ballroom mewah dengan penataan yang sangat luar biasa Gwen tidak pernah merasa sendiri karena Nich terus berada di sampingnya tanpa melepas genggaman tangannya. Suasana pesta yang dihadiri berkisar ratusan orang itu begitu meriah dengan lantunan lagu yang dibawakan oleh penyanyi di atas panggung. Musik mengalun dengan lirih tetapi terdengar sangat merdu mendukung suasana malam ini.Kekesalan yang sempat menyesakki hati perlahan berganti dengan rasa bahagia. Ya, bolehkah Gwen merasakan bahagia sebe
'Jika ingin pergi setidaknya tunggu sampai anak itu lahir. Nanti setelah aku tahu hasilnya kau bebas mengambil keputusan. Ingin tetap pergi atau ingin bertahan di sisiku.'Gwen merasa sesak tiap kali mengingat perkataan Nich yang sangat-sangat egois menurutnya. Tidak membiarkan Gwen pergi begitu saja dan justru semakin tidak masuk akal. Selama hampir dua bulan ini dia berada di dalam apartment dengan satu maid dan dua pengawal pribadi untuk berjaga-jaga.Tidak sekali pun Nich membiarkan Gwen keluar dari sana. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh Nich. Namun tidak dengan permintaannya yang ingin kembali ke rumah lamanya yakni di Birmingham. Padahal, Gwen sudah muak dengan segala macam peraturan baru dari Nich.Tinggal di dalam sini sama saja dengan tinggal di dalam sangkar emas. Tidak bisa bergerak bebas semaunya. Kalau bisa, Gwen tidak menginginkan semua ini. Bertahan di sisi Nich dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, itu sama saja dengan mati pelan-pelan.Semakin hari, Nich semakin po
"Apa! Valerie hamil anaknya Kak Nich? Kau serius, Gwen?" Pekikan Olivia menggema di kamar rawat Gwen setelah dia mendengar kabar kehamilan Valerie. Gadis itu nampak terkejut sekaligus tidak percaya, sampai-sampai bola matanya tidak berkedip dengan mulut ternganga."Aku serius, Oliv. Untuk apa aku mengarang cerita sementara aku sudah melihat buktinya. Perut Valerie nampak membuncit. Perkiraanku kehamilannya sekitar tiga atau empat bulan." Gwen menghela napas panjang, pandangannya perlahan turun ke perutnya yang kini rata.Sesak bukan main jika mengingat apa yang dialaminya. Kehamilannya tidak cukup kuat untuk mendengar berita menyakitkan yang meluluhlantakkan semua mimpi-mimpinya dalam sekejap. Gwen sangat merasa kehilangan calon anak laki-lakinya."... Aku pun berharap jika kehamilan itu tidak benar adanya." Gwen bergumam mengelus perut ratanya di balik baju pasien yang dia kenakan. Setitik cairan bening turun tanpa permisi membasahi punggung tangannya. "Aku sudah gagal lagi. Aku gaga
Suara pantofel menggema di lorong yang terlihat sepi itu, seorang pria dengan raut marah nampak tergesa seolah-olah sudah tidak sabar ingin segera menemui seseorang yang menjadi penyebab dirinya menjadi demikian. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang menjejali isi kepalanya saat ini, sekaligus kebenaran yang harus dia saksikan menggunakan mata kepalanya sendiri. 'Valerie mengaku jika dia sedang mengandung anakmu. Hasil dari perbuatanmu malam itu.' Sekali lagi, Nich terngiang dengan sekelumit pernyataan yang terlontar dari mulut Gwen. Sebuah kabar yang telah berakibat fatal bagi hubungannya. Hubungan yang dia harap akan berjalan untuk selamanya hingga mereka menua. Namun, akibat kabar murahan itu kini hubungannya terancam berantakan dan berakhir.'Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan melepas Gwen meski apa pun yang terjadi. Dia milikku dan akan selamanya seperti itu.' Batin Nich tak pernah berhenti menyeru demikian. Melepaskan Gwen itu sama saja dengan menghancurkan mimpinya sel
Sudah hampir satu jam Nich berada di kamar rawat sang istri, duduk di samping ranjang pasien dengan menahan segala perasaan yang tak keruan. Informasi yang dia dengar dari mulut Mark, nyatanya membuat Nich terus berpikir dan merutuki diri.. Selama ini dia tidak pernah sekalipun memikirkan perihal yang bisa saja terjadi pada Gwen ketika pertama kali mereka melakukan hubungan seks waktu itu. Nich sungguh menyesali perbuatannya yang telah pergi begitu saja dari kehidupan Gwen tanpa memikirkan perasaannya. Ambisinya yang ingin menjadi orang sukses telah membuat dia lupa tentang kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya dia pikul. 'Bodoh!' Sementara di hadapannya, Gwen belum mau menatapnya sama sekali semenjak Nich menginjakkan kaki di ruangan serba putih itu. Gwen seolah-olah sudah memutuskan mogok bicara pada pria yang telah berkali-kali menorehkan luka hingga membuatnya kehilangan seorang putera yang dia nanti kehadirannya.Gwen sangat marah, dan belum siap menatap wajah Nich, kar
Sudah diduga sebelumnya jika memang ada seseorang yang berusaha mencelakakan Gwen. Bila dilihat dari gambar yang ditampilkan pada layar laptop, Valerie seperti mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan hingga berhasil membuat Gwen syok bukan main. Dari hasil rekaman cctv itu menunjukkan jika Valerie nampak menyeringai puas saat menyaksikan Gwen yang sudah kepayahan menahan sakit. Entah apa yang dikatakan oleh perempuan licik itu pada Gwen, yang jelas Nich begitu yakin jika hal tersebut pasti berkaitan tentang kejadian sialan itu. Kentara sekali dari reaksi Gwen yang setengah membungkuk sambil memegang perut. 'Itu rasanya pasti sangat sakit.' Batin Nich merasa sangat geram sampai-sampai dia mencengkeram ponsel di tangan. Hatinya seperti ditusuk-tusuk ujung pisau, ngilu bukan main membayangkan bagaimana Gwen mati-matian menahan kram pada perutnya. "Perempuan itu benar-benar sialan! Apa dia buta? Apa dia tidak melihat Gwen sudah kesakitan seperti itu? Apa sebenarnya yang dia inginkan