Aku menangis sesengukan hingga terlelap, ketika bangun mata terasa perih dan bengkak. Kepala terasa pening seketika. Ah, rasanya malas untuk keluar kamar, bahkan tubuh ini masih mengenakan mantel handuk. Aku beringsut duduk lalu mengedarkan pandang, barang-barang berserakan di lantai tidak ada lagi, ibu pasti sudah merapikan tempat ini. Kuhela napas panjang, buku-buku di rak tertata rapi dan masih dalam keadaan banyak, kurasa ibu tidak membuangnya.
Membayangkan wajah mara ayah membuat aku sakit, aku tahu kesalahan ini sangat fatal, bandel, nakal itulah Larisa Edzard. Dada ini semakin sesak membayangkan tutur kata ayah, ketika hendak mencarikan calon suami. Semengerikan itu kah kesalahan yang aku perbuat hingga membuat ayah hendak menikahkan aku. Ah, rasa di dada semakin sesak, ayah yang selama ini baik, penuh canda, bertutur lembut nan hangat. Berubah seperti monster ketika marah,sungguh mengerikan. Tatapan mata tajam seperti menguliti
Keributan kecil di depan sebuah club malam membuat kerumunan orang-orang memandang ke arah kami. Sebagian besar menatap aku sangsi ah, rasanya seolah dikuliti, sungguh menyebalkan. Ingin aku cabik-cabik saja wajah mereka hang menertawakan aku. Hampir aku menangis saking malu andai saja tidak ada Delon dan juga Elizabeth yang menghampiri. Aku mengeluarkan kartu tanda penduduk, menyerahkan kepada petugas sialan itu. Dari usia kini beralih ke undangan. "Dengar ya, Dek, kami hanya menjalankan tugas, club ini khusus bagi orang-orang tertentu saja," kata seorang lagi. Oh, amarahku sudah hampir meledak rasanya. "Dan hanya bisa masuk jika ada undangan per orangan," lanjut yang satunya. Aku menenangkan diri, menahan emosi yang seperti banjir bandang siap meluluh
Beberapa waktu sebelumnya, di kediaman Kenzo Julian. Kedatangan Edzard disambut oleh Rafael dan juga Helene. Tanpa basa-basi lelaki itu menyerahkan kaset terlarang yang putra dari sahabatnya Kenzo titipkan di Risa. Edzard berulang kali menghela napas panjang nan berat, pertanda lelaki itu tengah menahan emosi. Helene dan Rafael malah merasa ngeri melihat kediaman Edzard. Berulang kali wanita bertubuh sintal di usianya yang sudah berumur itu melirik tajam ke arah sang putra. Dasar si Rafael, tanpa rasa berdosa pemuda itu meringis saja. Beberapa detik berlalu dengan saling diam, ruang tamu nan mewah dengan cat warna cream dan sofa berwarna emas. Suasana mencekam, sudah pasti, Helene berulang kali mengumpat sang putra dalam hatinya. Kebrengsekan Kenzo benar-benar mengalir di darah Rafael.'Papa sama anak sama saja kelakuannya, astaga, pembuat o
Elizabeth kemudian berpamitan usai mendengar kabar menggemparkan yang dibawa Edzard. Sudah dipastikan gadis itu pasti sedang pergi ke rumah sahabat terbaiknya untuk menghibur. Helene menggelengkan kepala dengan keputusan mendadak Edzard. Rafael semakin tertekan merasa bersalah. Drum mobil memasuki rumah mewah itu sampai tidak terdengar lantaran ketiganya masih bersitegang dengan keputusan kocak yang Edzard utarakan."Siapa yang hendak kau nikahkan?" tanya Kenzo yang tiba-tiba sudah berada di samping mereka bersama. Semua mata kompak tertuju kepada lelaki yang berdiri kokoh itu di depan pintu bersama Adelard."Lelaki gila ini akan menikahkan anaknya yang masih muda," keluh Helene.
Aarav baru saja memasuki club malam miliknya, dia mengedarkan pandang, kemudian mendapati sang adik dan teman-temannya berada di ruangan atas. Lelaki itu tersenyum, lalu kembali berjalan mendekati bartender. Sudah ada seorang wanita sexy, wanita sewaan yang sudah dipersiapkan anak buah Aarav. Seperti biasa ketika dia merasa penat, maka waktu baginya untuk menghibur diri. Tentu saja setelah memesan wanita panggilan dengan kriteria kesehatan yang sudah teruji terlebih dahulu. Aarav tidak ingin terkena penyakit menular bahkan, beberapa kali lelaki itu juga menyuruh anak buahnya membawakan seorang wanita perawan, sudah cukup umur pastinya. Aarav juga sosok lelaki yang tidak mau repot, dia memaksa wanitanya untuk meminum pil kontrasepsi, tidak mau dia jika sampai ada wanita yang mengejarnya secara tidak tahu malu. Perbuatan tidak terpujinya itu dia lakukan dengan aman dan diam. Tidak mungkin dia mengumbar aib, apalagi memberikan
Aarav tertawa, membiarkan wanita itu meraba miliknya di balik celana. Wanita tersebut begitu antusiasme. Aarav juga merasa percaya diri, dia menatap dalam wanita yang menggoda itu. Bagian miliknya adalah dambaan wanita. Banyak diluaran sana yang menginginkan untuk ditidurinya lagi, performa yang bagus serta ukuran yang begitu besar tidak seperti pada umumnya, pasti desas-desus itu sudah terdengar di kalangan wanita dari mulut ke mulut. Ah, gosip hot memang menjadi trend luar biasa. "Aku sangat tidak sabar benda ini mengobrak-abrik milikku," kata wanita tersebut. Aarav terkekeh, "Mau ke bawah sana untuk berolah raga?" tawar Aarav mengacungkan jari menuju ke arah beberapa orang bergerak mengikuti alunan dentuman musik. Wanita itu menggeleng, "Aku ingin langsung beecumbu denganmu," ujarnya. "Dasar tidak sabaran," keluh
Emir meletakkan tubuh Larisa di ranjang sebuah kamar yang telah dia sewa sebelumnya. Kamar untuk beristirahat, Emir tidak bisa begitu saja pamit pulang ke rumah lantaran menghargai para teman-teman atas suka cita merayakan hari kelahiran pemuda itu. Mana mungkin mereka memberikan izin dirinya pulang lebih awal. Pantang pulang sebelum pagi, begitu selalu semboyan mereka. Bermain sepuas hati, berkaraoke, bahkan kadang juga minum sampai puas. Siapa yang menyangka kamar tersebut kini akan ditempati Larisa. Gadis ceroboh itu selalu seenaknya namun, Emir sudah terlanjur cinta, mau bagaimana. Pertemuan kembali setelah sekian lama berpisah lantaran dia harus ikut kedua orang tuanya yang sedang menjalankan bisnis di negara lain. Kini saat pulang, tidak ingin Emir menunda lagi untuk menyatakan cinta pada Larisa. Berlian mahal dia bawakan sebagai hadiah untuk wanita yang sejak masih kecil dia cinta. Cinta monyet, cinta pada pandangan pertam
Bugh! Bagh! Pukulan keras mendarat di pipi Emir beberapa kali, pemuda itu terhuyung-huyung hampir terjerembab. Emir menegakkan tubuh menatap nyalang lelaki brengsek yang tiba-tiba memukulnya. Dia tidak mengenal lelaki itu namun, sikapnya sok sekali, membuat Emir naik pitam. Pemuda itu bersiap melawan, dia berjalan cepat lalu melayangkan tinju, gagal, lawannya jauh lebih sigap menghindar. Pukulan Emir mengambang di udara. "Sial!" pekik Emir, dia menegakkan tubuhnya kembali, merasa geram dipermainkan lelaki brengsek itu. Aarav sendiri tertawa mengejek pemuda yang dia anggap sok itu. Yah, andaikata Emir mau mengalah lalu memilih pergi duel sengit itu tidak akan terjadi. Namun, Emir bukan pria brengsek yang mau meninggalkan Larisa bersama lelaki yang tidak tahu asal-usulnya. "Untuk terakhir kali, aku minta kau pergi dari sini, atau kau mau aku adukan pada Edzard atas tinda
Sampai di depan rumah, Aarav bergegas menggendong kembali tubuh Larisa. Sesekali dia menatap gadis yang mulai gusar tersebut. Lelaki tersebut masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa, kemudian berbelok ke arah samping menuju kamar tamu. Pelan, begitu lembut Aarav memperlakukan Larisa. Gadis kecil yang dia tahu tumbuh kembangnya. Aarav tersenyum, mendadak dia berpikir. Apakah akan seribet itu jika dia memiliki anak nanti. Ah, membayangkan pernikahan membuat dada Aarav nyeri. Cinta yang tumbuh bukan pada tempatnya membuat dia harus rela dan ikhlas. Dia tidak ingin mengejar bukan karena tidak mampu menaklukan. Namun, posisinya berada di titik salah, yang dicinta tidak mencintainya, wanita itu bahagia mencintai yang lain.Larisa meracau, entah apa yang digumamkan gadis itu Aarav tidak tahu. Lelaki itu terkekeh, keadaan mabuk saja bisa seimut itu