Suara erangan terdengar lirih di sebuah area parkir, hari masih terlalu pagi ketika ada aktifitas tidak terduga di dalam mobil warna hitam tersebut. Beruntung tidak ada orang yang lewat, jika ada pun mungkin mereka akan mengabaikan lalu pura-pura tidak tahu dengan perbuatan tidak senonoh tersebut. Mengingat jenis mobil bergoyang tersebut adalah seri yang langka, hanya beberapa orang kaya yang mampu membelinya, siapa yang berani untuk mendekat bahkan melirik apa yang terjadi di dalam sana.
“Kau curang Kenzo,” desis wanita yang bertelanjang dengan bagian dada penuh bekas cupangan. Dia mengatur napas yang masih terengah-engah
“Kau telah membangkitkan macan tidur, Helene,” ucap Kenzo menatap Helene dengan keadaan bagian inti mereka masih menyatu. Kenzo memejamkan mata ketika miliknya mulai mengecil dan terlepas keluar dari sangkar milik Helene dengan sendiri bersama lelehan cairan
Beberapa makanan tersedia di meja makan, Rere terlihat manis dalam balutan dress warna hitam tanpa lengan. Dia baru selesai membersihkan diri, kemudian memoles wajah dengan riasan yang natural. Edzard memeluk tubuh sang istri dari belakang, keduanya menatap ke arah meja makan. Rere tersenyum kemudian membalikkan badan ke arah Edzard, menatap dalam wajah lelaki yang dia cintai tersebut. lalu mengecup pipi lelaki berjambang tipis itu. “Kau tidak apa rumah ini ditempati seseorang?” tanya Edzard mengelus lengan sang istri. Rere menggelengkan kepala, “Tidak masalah bagi saya, Bang,” ujar Rere. “Bisakah kau menyebut kau dan aku saja, Sayang? Semakin lama terdengar ada jarak jika kau menyebut saya, Anda,” ujar Edzard mencubit dagu sang istri. Rere terkekeh kecil, “Akan aku coba,” ujar wanita mungil tersebut. Edzard menundukkan badan lalu mengecup
Pernikahan berjalan lancar, begitu pula pesta yang dilaksanakan secara besar-besaran oleh keluarga besar Julian beberapa bulan lalu, masih menjadi perbincangan hangat para masyarakat kota A. Rere sudah tidak lagi bekerja di kantor Edzard, lelaki tersebut melarang istrinya kelelahan. Kemudian Rere mengajukan syarat agar karyawan di kantornya tidak banyak wanita, dan Edzard menyanggupi hal tersebut. Bagi Edzard sendiri dia tidak mempermasalahkan, bahkan tersenyum girang melihat sang istri cemburu. Untuk menghilangkan jenuh sekali-kali Rere disibukkan mengelola café yang dibangun Edzard. Café kenangan dirinya juga almarhum Nayla. Wanita tersebut bosan hanya di rumah, karena itu dia memutuskan ungtuk sekali-kali mengurus cafe meski segala sesuatu sudah ada penanggung jawabnya. Wanita dengan perut yang mulai membuncit itu berjalan memasuki Café, saat bersamaan dia bersua dengan Aarav yang juga hendak masuk ke dalam.&
Sudah sejak beberapa bulan lalu, ketika Rere positif hamil, akhirnya Edzard dapat menyentuh sang istri. Sebisa mungkin dia menekan kekuatan mendorongnya agar tidak melampai batas. Mengingat perut Rere yang telah membuncit. Keadaan Rere yang demikian bukan mengurangi hasrat tetapi, Edzard semakin tergoda untuk menyentuh. Penantian tersebut kini terbayar sudah, seharusnya dia tidak melakukan di sebuah ranjang sempit. Jika saja dia mampu bersabar sebentar saja, jika hasratnya tidak menggebu begitu menumpuk, jika saja dia tidak merasa terusik lantaran melihat Rere bersama Aarav. Banyak pemicu yang membuatnya ingin segera menyatu dengan tubuh yang sangat dia rindukan tersebut. “Aku merindukan ini,” ujar Edzard, menekan sedikit dalam. Lelaki itu berdiri di sudut ranjang, di mana kaki mulus Rere menjuntai ke bawah. Wanita tersebut melenguh menikmati setiap gerakan teratur juga sentuhan yang semakin membuat darahnya berdesir. Keduanya bertelanjang, pakaian berserakan di mana-
Embusan angin menerbangkan tirai warna putih yang tersibak di ujung jendela pintu yang mengarah ke balkon ruangan tersebut. Dinding bercat putih dan cream di bagian bawah. Tempat yang cukup luas untuk ruangan kantor untuk seorang saja. Aarav masih bercengkerama dengan Evelyn namun sejenak keduanya terdiam setelah Aarav mengatakan bersua dengan Rere dan sang suami. Ada makna lain yang tidak bisa diartikan kecuali dari masing-masing orang tersebut. “Bagaimana keadaan Rere?” tanya Evelyn memecah kebisuan. Dia menatap ke arah sang putra, yah wanita itu mempunyai anak lelaki yang sangat lucu. “Wanita hamil itu semakin cantik,” jawab Aarav tanpa menoleh, dia menundukkan badan untuk menurunkan si kecil yang sedari tadi meronta. Evelyn terkekeh, “Aku berharap mereka bahagia,” ujarnya kemudian. “Aku tidak ya
Hari yang dinantikan telah tiba, Rere melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Perhatian berlimpah ruah sedang tertuju kepada Rere dan putranya. Tentu Edzard pun melakukan hal yang sama, di depan ruang persalinan, kedua keluarga berkumpul berbahagia mendengar tangisan bayi baru lahir. Ada Kenzo dan juga Helene juga di sana. Mereka turut menunggu proses persalinan. Tidak ada yang tahu jika ada sepasang mata mengawasi dari kejauhan. Tatapan mata sendu, menahan tangis. “Pergilah Eve jika kau ingin melihat bayi mereka, sebelum waktumu habis,” ujar Aarav menatap wanita cantik di hadapannya. Wanita itu mengenakan pakaian perawat lalu menutup mulut dengan masker. “Berhati-hatilah, kau hanya punya waktu seperempat jam saja!” ujar Aarav mengingatkan. Evelyn mengangguk dia menghela napas dengan berat lalu melangkah dengan percaya diri mendekati ruangan Rere. Wani
Malam itu saat Edzard baru saja pulang dari kantornya, lelaki itu melihat Rere yang nampak gusar. Sang istri bolak-balik kamar mandi, Edzard mengira itu hal yang wajar mengingat kehamilan Rere sudah memasuki usia sembilan bulan. Edzard tersenyum melihat Rere keluar kamar mandi, dia duduk di ujung ranjang setelah meletakkan tas kerjanya di nakas. Rere ikut duduk di samping sang suami, dia menyandarkan kepala ke pundak lebar lelaki itu. Edzard mengelus punggung Rere mencoba memberi kekuatan agar sabar. Wanita tersebut memeluk sang suami, mencari kenyamanan setelah berulang kali badan terasa pegal terutama bagian punggung. "Sudah merasa baikan, Sayang?" tanya Edzard. "Lumayan, Bang," jawab Rere. Edzard memeluk erat tubuh tersebut lalu mengulas senyum, "Abang mandi dulu ya," kata Edzard. "Iya, Bang," jawab Rere, wanita itu hendak berdiri namun Edzard menahannya. "Kau mau ke mana?" tanyanya. "Rere akan buatkan Abang kopi panas," jawab Rere. "Tidak perlu
Ada beberapa pertanyaan yang menggelayut di benak Edzard untuk apa Evelyn datang dengan sembunyi-sembunyi. Jantung Edzard berdetak semakin cepat, dia menghela napas menahan gejolak yang dalam dada. Edzard mencium sang bayi yang berjenis kelamin perempuan itu untuk menghilangkan aroma Evelyn, mantan istri keduanya. Aroma memikat yang hadir kembali setelah sekian lama berlalu. Edzard kemudian memilih keluar ruangan, mencari kesempatan untuk bertegur sapa dengan wanita tersebut. Dia sabar menunggu di lorong rumah sakit, menyandarkan punggung pada tembok yang terasa dingin inj. Edzard mendongakkan kepala ke atas, melihat langit-langit warna putih bersih, tidak ada sarang laba-laba sama sekali. Seolah lelaki tersebut tengah mencari jawaban atas tidakan konyol yang dia lakukan. Mengapa harus demikian, mengapa dia menunggu wanita tersebut. Begitu pertanyaan mengusik kini, semua kenangan manis dan pahit berseliweran dalam benak Edzard, seolah menari, mempermainkan. Mesk
Begadang, kurang tidur dan lelah, hal lumrah bagi pasangan suami istri yang baru memiliki momongan. Edzard senantiasa membantu mengurus buah hati mereka. Tangisan pecah bayi di rumah utama keluarga Devan menambah riuh, kakek dan nenek si bayi juga membantu sebisa mungkin. Bayi kecil yang belum memiliki nama. Ritual unik bagi Rere juga dijalankan saja oleh wanita muda tersebut, tradisi warisan nenek moyang. Di mana selama empat puluh hari Rere mengenakan jarik yang dililit dengan stagen. Ada pula bagian pelipis yang diulas dengan sesuatu berwarna coklat dan berbau khas. Tidak lupa selama itu Rere juga menjaga pola makan, lebih tepat disebut ‘ngayep’ istilah makan dengan makanan tanpa digoreng, hanya direbus, tidak boleh makan-makanan yang berbau amis, seperti daging dan juga ikan. Kata Nyonya Devan, agar luka di dalam tubuh cepat sembuh dan tidak berbau amis yang sangat. Edzard sempat bersitegang dengan penuturan sang ibu, meski Rere melakuk
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A