“Ga, udah berapa lama ya kita pacaran?” Saat mengantar kepulangan Rega ke depan pintu pagar tadi, Nara bertanya seperti itu pada pria yang masih berstatus pacarnya. Nara berusaha untuk menelan kembali pertanyaannya itu yang sudah mengantung di lidah, tapi kepalanya terus mendesak agar segera menuntaskan. Ya, Nara sedang membandingkan antara Rega dan Kaisar. Kenapa Rega tak pernah menciumnya, sedangkan Kaisar begitu bernafsu padanya. Padahal sesama pria, tapi kenapa mereka berbeda? Kenapa Rega lebih sopan padahal seharusnya Rega yang melakukan itu padanya karena mereka pacaran. Kenapa malah Kaisar? Yang bahkan sudah memiliki istri? Pikiran Nara berkecamuk. Belum lagi soal Kaisar yang abangnya Rega, belum lagi Kaisar yang sudah memiliki istri. Luna juga sangat baik untuk disakiti. “Kira-kira setahunan lebih. Kenapa emangnya? Lo mau bikin perayaan anniversary? Boleh tuh.” Rega cekikikan sendiri membayangkan jika tebakannya soal anniversary itu benar, sebelum dilihatnya raut wajah Nar
Nara masih benci sama gue bahkan setelah enak-enak berdua kemarin malam? Sebenarnya dia punya perasaan nggak sih sama gue? Kaisar yang sedang memakai sendiri dasinya di depan cermin kedapatan melamun. Otaknya tak bisa lepas dari Nara seolah ada lem UHU yang membuat gadis itu menempel di sana. Kenapa gadis itu seolah menjauhinya? Gue harus ke rumahnya lagi. Kaisar membatin kemudian mempercepat merapikan pakaiannya. Luna yang sedang menyiapkan sarapan, bahkan tak sempat menawarkan pada Kaisar, suaminya keburu pergi. Kaisar memacu mobilnya kencang, biar cepat sampai ke rumah Nara. Sejujurnya, dia sedikit khawatir, apa mungkin Nara masih sakit karena neneknya bilang cucunya itu tak enak badan. Apa dia minum obat herbal dari gue? Kaisar tampak mengetik pesan untuk Nara. Dia tak bisa cuma menunggu, belum tentu juga Nara yang akan keluar, bagaimana kalau neneknya? Kaisar juga khawatir wanita tua itu seperti tak menyukainya. Di meja makan berbentuk segi empat itu, Nara sedang sarapan sen
Yang Nara khawatirkan benar-benar kejadian. Sang nenek, mengintip dari tirai jendela saat Kaisar menciumnya. “Apa itu barusan? Pria bernama Kaisar itu mencium Nara?” Nenek Ratih shock, satu tangan menutup mulutnya, yang satunya lagi memegang dada, tapi detik berikutnya yang dia lihat adalah cucunya menampar keras pipi Kaisar. Nenek sedikit bernafas lega. Bukankah itu artinya Nara tidak suka akan ciuman itu? Artinya Nara tidak menyukai si Kaisar? Jadi ceritanya, nenek menyadari kehadiran Kaisar di depan pagar rumahnya. Wanita tua itu sengaja tidak mau membukakan pintu, apalagi mempersilakan masuk. Dia tak ingin Kaisar mengganggu cucunya lagi. Akan tetapi, saat dia mengecek ke depan, baik Nara dan mobil Kaisar tidak ada di sana. Apa Nara pergi dengan Kaisar? Ah, nenek jadi khawatir lagi. ***Tanpa Nara sadari, ada Elsa yang sedang mencari tempat parkir untuk sepeda motornya saat Nara keluar dari mobil Kaisar. Gadis itu tertawa puas, seolah dia pu
Makan siang Nara dan Rega di cafetaria kampus, setelah cukup lama tidak makan bersama. “Wah, udah lama ya mbak dan mas-nya nggak makan siang bareng di sini. Kirain udah nggak bersama lagi, alias putus gitu. Hehe.” Basa-basi pekerja cafe yang membuat Nara dan Rega saling pandang dengan wajah tegang. Apaan sih? Nggak lucu. “Nggak dong, Mas. Kita lagi sibuk masing-masing aja, banyak tugas, hehe.” Rega menanggapinya dengan tertawa hambar, lalu pandangannya bertemu dengan Nara. “Kami berdua ini sehati, nggak bisa dipisahkan. Mas doain aja ya, biar langgeng sampai pelaminan.”Mas-mas pekerja cafe mengangguk tanda mendukung, tapi beberapa saat kemudian alisnya bertaut. “Berarti kemarin itu saya cuma salah lihat ya. Kirain saya, mbaknya makan siang di sini sama pria lain.”Waduh, mampus gue! Kenapa pakai ngomong segala sih ini mas pekerja cafe? Nara tidak tahu lagi, jantungnya seperti mau melompat keluar. Apa Rega bakal termakan omongan Mas-nya ya? Nara melirik Rega, berusaha bersikap ten
Nara kedapatan melamun di tempat kerjanya. Pertanyaan pamungkas dari Rega tadi saat di kampus sungguh membuatnya tercekat, sulit sekadar untuk menelan ludah.“Ra, kenapa diem? Lo juga sayang sama gue, kan?” Rega mengulang sekali lagi pertanyaan serupa. Wajahnya terlihat lebih serius. Ah, mengingatnya membuat Nara deg-degan. “Tentu dong. Lo kan pacar gue.” Rega yang entah sejak kapan menahan nafas, kelihatan menghembus nafas lega disertai senyuman mengembang di sudut bibirnya. “Makasih ya, Nara sayang. Gue janji, akan jadi pria yang membanggakan buat lo.”Jangan Ga! Yang ada gue makin merasa bersalah sama lo. Jerit Nara dalam hatinya seraya menangkup pipinya dengan kedua telapak tangan. Beruntung tak ada pembeli yang datang, jadi tak ada yang menyadari kalau Nara sedang resah gelisah. “Ra, ini ada kiriman bunga mawar buat kamu.” Mendengar suara teman kerjanya, Nara langsung membuka kedua tangannya yang menutupi muka. “Bunga? Dari siapa?”Teman kerja Nara yang seorang perempuan seba
Hari pertama pengiriman buket bunga mawar pun dimulai, tapi sepertinya Nara tidak ingat akan hal itu. Seperti biasa, dia keluar rumah setelah berpamitan dengan neneknya, lalu ‘HUAAAH’ betapa terkejutnya dia setelah membuka pintu pagar karena sebuah buket yang berisi mawar merah telah menunggu untuk diterima. Pria yang bertugas mengantar bunga tampak kepayahan, dia melingkarkan kedua tangannya pada buket tersebut, lalu sedikit memposisikan buket ke samping karena dia ingin melihat dengan mata kepala, siapa penerima buket bunga mawar jumbo. “Loh, kamu kan Nara? Pekerja di toko bunga pak bos Baskoro?” kata pria itu terkejut.Nara tidak tahu siapa nama Om si Cantika, karena tidak sempat berkenalan, tapi dia yakin seratus persen pria ini juga karyawan di toko bunga, karena seingatnya pernah melihat pria dengan rupa seperti di depannya kini. “Kenapa cengengesan?” sergah Nara sedikit jutek, karena pria itu bukannya langsung memberikan kirimannya malah cengar-cengir tidak jelas. Padahal Na
Di dalam kelas, bahkan saat ada dosen tengah menerangkan di papan tulis, Cantika terus saja menyikut siku Nara. Buat apalagi kalau bukan meminta penjelasan soal Kaisar. “Ra, jadi seriusan Kaisar itu udah nikah? Alias laki orang gitu?” Nara menghela nafas. Perasaan tadi jelas-jelas dia katakan kalau Kaisar itu sudah nikah. Bagian mana dari kalimatnya yang tak dimengerti oleh Cantika, sih? Malas menjawabnya karena memang tidak mau membahas Kaisar lagi, juga karena tidak ingin kena teguran dosen. Siapa yang tidak tahu Bu Pangestu, kalau marah bisa keluar tanduk. Mau kena seruduk? Kalau Nara sih ogah. Akhirnya Nara hanya menjawab dengan berdehem daripada Cantika nyikut-nyikut terus. “Hmm.”Namun, sepertinya Cantika ini yang minta kena seruduk deh oleh Bu Pangestu. Udah didiamin beberapa saat, eh dianya masih aja nanya. “Terus, kira-kira dia tau nggak ya soal suaminya yang berselingkuh? Kalau tahu, kan, bisa gawat. Gimana kalau dia sampai nyariin kamu.”Lo nggak tahu aja, Can, kalau Ka
Kenapa bisa begini? Gue nggak beneran suka sama Kaisar, kan? Jantung Nara masih berdebar-debar, tapi ia berusaha menarik nafas dalam lalu menghembusnya perlahan. Hal itu dilakukan berulangkali. Syukurlah, karena dunia berhasil kembali seperti semula. Begitu pula Nara, ia bisa mengembalikan wajah dan sifat juteknya di hadapan Kaisar. “Ngapain sih ke mari? Lo nggak ada kerjaan banget ya.”“Kerjaan gue banyak kok, tapi kan gue CEO nya, gue bisa minta anak buah gue yang ngerjain. Lagian ini jamnya makan siang.” Kaisar menunjuk jam tangan mahalnya, tapi Nara tidak peduli itu. “Yuk Can, kita ke cafetaria aja.” Nara sampai harus menggandeng Cantika pergi dari sana karena sahabatnya itu terlihat sekali terpesona dengan ketampanan Kaisar. Astaga Can! Itu laki orang. Ia sudah seperti nenek Ratih saja. Namun, keinginan Nara untuk kabur dari Kaisar tidak kesampaian. Dengan langkah cepat, tiba-tiba Kaisar menghadang jalannya. “Can, gue pinjam sahabat lo ya. Tenang aja, nggak gue apa-apain kok
“Sweety, kayaknya gue harus cepat-cepat ke rumah lo deh, meluruskan masalah kita.”Sore itu, di saat Nara sedang nikmat-nikmatnya tidur karena tadi malam tak nyenyak, sebuah pesan dari Kaisar membuat matanya terbelalak sempurna. Nara melihat pesan seperti melihat setan. Sontak Nara terbangun, tidak membalas pesan Kaisar, tapi jemari lentiknya malah memulas ikon untuk menghubungi suami orang yang kini jadi kekasihnya itu. Ah, pokoknya rumit deh. Terdengar ponsel berdering samar-samar dari arah depan rumah, Nara sejenak berpikir, apa mungkin Kaisar berada di depan sana? Pria itu kan gila. Lalu, saat panggilannya diangkat, dering ponsel itu seketika berhenti. Nara semakin bergerak gelisah, melihat ke luar jendela kamar kalau-kalau yang dia pikir betulan terjadi.“Kai, jangan sekarang. Please!” Mohon Nara seraya memijat pelipisnya yang mendadak pening. Dia memang tak punya alasan yang tepat untuk meyakinkan Kaisar, tapi tidak juga ingin rahasia ini cepat terbongkar. Bagaimana reaksi n
Di kamarnya, Nara tak bisa tertidur, padahal sudah mandi, badannya yang lengket akibat permainan dengan Kaisar di mobil tadi kini kembali segar. Namun, otak dan perasaannya sekarang yang butuh penyegaran, karena terlalu sumpek memikirkan masalahnya dengan Rega dan Kaisar. Sebenarnya dengan Rega, Nara tak mempunyai masalah sedikitpun. Namun, hadirnya Kaisar membuat cintanya terhadap pemuda baik dan sopan itu oleng. Pesona Kaisar sangat sulit dielakkan.Gue harus curhat sama siapa? Siapa yang bisa mengerti perasaan gue sekarang? Apakah Cantika? Gadis itu bukan tidak pernah berpacaran setahu Nara. Nara mengusak-usak rambutnya hingga berantakan, saking kesalnya. Ia tak bisa tidur hingga azan subuh, barulah rasa kantuk itu datang membuatnya ketiduran sampai siang. Nenek Ratih saja bingung melihat cucunya tidak bangun. Beruntung hari ini minggu, tak perlu ke kampus. ———Esok harinya di kediaman orangtua Rega. Mama Dahlia, Papa Gunawan dan Kakek Widjaya sedang berada di meja makan untuk m
“Nara milik gue sekarang. Jadi gue minta, lo ikhlaskan aja dia, percuma juga saingan sama gue, karena lo sendiri yang akan sakit hati.”Kaisar membaca pesan yang dia kirim ke Rega yang sudah ada tanda centang dua, artinya Rega sudah membacanya. Senyum di bibirnya terbit, sama sekali tidak ada penyesalan. Lebih cepat Rega tahu malah lebih bagus, kan? Kaisar rupanya baru tiba di apartemen setelah mengantar Nara. Dia langsung meluru ke kamar mandi karena merasa tubuhnya lengket sisa permainan dengan Nara di mobil tadi tapi suara Luna menahan langkahnya. “Baru pulang kamu jam segini?” Kaisar menoleh pada istrinya. “Kenapa? Nggak masalah juga kan buat lo?”Kaisar tahu Luna juga sering pulang malam belakangan ini, pasti asyik bersama pria barunya. Entah siapa itu, Kaisar tak peduli, yang penting bebannya terhadap wanita itu sudah berkurang. Luna memilih caranya sendiri untuk mengatasi masalah mereka yang selalu dimintai momongan oleh kedua orangtua. Luna menggeleng pelan, memang tak mas
Setengah jam kemudian, mobil Kaisar memasuki komplek rumah Nara. Mereka yang tadinya saling berpegangan tangan, sontak terlepas, lebih tepatnya Nara melepasnya begitu melihat ada Rega yang menunggu di depan rumah. “Kai, berhenti di sini aja.” Mobil Kaisar pun berhenti agak jauh dari depan rumah Nara. Wajah Nara berubah tegang, karena kaget mendapati Rega ada di depan rumah malam hari begini. Apa Rega menunggu gue dari tadi? Begitu batinnya. Kaisar yang melihat itu, hanya tersenyum samar. Agak tidak suka sebenarnya melihat Rega datang menemui Nara, tapi mau bagaimana lagi, status Rega kini masihlah pacar Nara. Atau, perlukah dia bilang sama Rega kalau dia juga menginginkan Nara? Baru Nara hendak keluar dari mobil, Kaisar sekali lagi menarik tangannya.“Kenapa lagi, Kai?”Tidak menjawab, Kaisar malah menunjuk bibirnya, apalagi kalau bukan minta cium sebagai salam perpisahan. Meski malu-malu, Nara pun memajukan bibirnya lalu mengecup lembut bibir Kaisar. Kini, dia tak bisa mengelak
Nara yang ketahuan mengintip, seketika berlari masuk ke mobil. Dia tak boleh lama-lama menatap tubuh bidang dan polos milik Kaisar, otaknya bisa memikirkan hal yang jorok. Nara membawa tubuhnya mengumpet di jok belakang mobil itu, tapi Kaisar malah ikut masuk dan duduk di sebelahnya. Suasana hening, Kaisar tidak berbicara, tapi deru nafasnya terdengar tak beraturan. Nara berniat menenggelamkan wajahnya ke dalam jaket, ketika lengan kekar milik Kaisar mengangkat tubuhnya dengan posisi menghadap ke arah Kaisar sendiri, lalu mendudukkan tubuh Nara di atas perut yang keras. Astaga! Bukan di perut, lebih tepatnya di bagian bawah pusar, tempat tonjolan itu berada. Nara merasa aneh pada bagian bawahnya, padahal dia memakai celana jeans, tapi benjolan milik Kaisar itu seakan bisa menusuk-nusuk area kewanitaannya. Apa memang saat ini Kaisar sedang on? Jangan bilang kalau dia menginginkan itu di sini, di dalam mobil yang sempit seperti ini. Keduanya kini saling bertatapan lekat. Nara yang gu
Tangan Nara refleks menjitak jidat Kaisar saking geramnya. Duduknya yang memang sengaja agak mepet ke pintu, sampai dicondongkan ke depan ke arah Kaisar agar tangannya bisa mencapai bagian jidat itu. PUK.Nara baru menyadari kelakuannya saat tangan Kaisar mencegahnya dari menjitak jidat itu sekali lagi lalu beralih menggenggam tangannya. Seperti ada aliran listrik, Nara rasa tangannya seolah kesetrum. Untung tidak sampai kejang-kejang. Alih-alih marah, Kaisar malah terkekeh. Pasalnya, ini kali pertama Nara melakukan skinship terlebih dahulu padanya, yah walaupun adegannya pukul-pukulan bukan peluk-pelukan. “Ngomong gitu sekali lagi, gue minta turun dari mobil.” Ancam Nara setelah sekuat tenaga mengeluarkan suara dari mulutnya. Gugup sekali rasanya, apalagi satu tangannya masih digenggaman oleh Kaisar. Hangat sekali rasanya. “Ngomong yang mana? Nggak perlu ngenalin istri gue ke mereka atau ngomong kalau lo itu istri gue?” goda Kaisar seraya memandang genit Nara. “Turunin gue sekar
“Maksud kamu apa ngomong kayak tadi? Memangnya kamu tahu?” tanya Luna setelah aktivitas panas mereka selesai. Aldo tidak langsung menjawab, dia bangun memungut pakaiannya yang tercecer di lantai, setelahnya memakai kembali pakaian tersebut. “Kalau aku kasih tau, apa kamu bakal percaya?” Aldo menjawab pertanyaan Luna dengan pertanyaan. Sungguh membuat Luna kesal. Apa sebenarnya maksud Aldo? Dia benar-benar tahu atau sengaja memancing kemarahan aku? “Katakan saja, kalau kau tidak bilang, bagaimana aku akan percaya?”“Aku harap kamu jangan kecil hati begitu mengetahui faktanya.”Berkecil hati? Apa maksudnya karena wanita itu yang dipilih Kaisar sementara dia tidak? Ah, Luna makin penasaran, wanita seperti apa yang membuat luluh seorang Kaisar. “Jangan bertele-tele, Al. Kasih tahu cepat siapa orangnya!” Luna makin tak sabar, wajahnya mulai mengeras dan serius. “Dia cukup dekat dengan kalian.”“Maksud kamu dekat dengan aku dan Kaisar?” Luna makin tak paham. Siapa gadis yang dekat deng
“Lo jangan senang dulu. Gue masuk ke mobil lo karena minta segera diantar ke tempat kerja. Waktu gue dikit lagi, gue nggak mau telat.” Judes Nara, tidak mau Kaisar berpikiran macam-macam tentangnya. Dari ekor matanya, Nara bisa melihat wajah Kaisar yang tadi memerah karena menahan marah kini mulai bisa tersenyum menyeringai. Senang banget pasti. “Makasih ya, Sweety. Gue makin sayang deh sama lo.”Nara tak membalas, hanya menghela nafas. Dia hanya ingin cepat sampai ke toko dan bekerja. Menyibukkan diri dengan pekerjaan akan membuatnya lupa dengan Kaisar sejenak. Sesampainya di toko, rupanya sedang ada kehebohan. Nara yang baru masuk tidak tahu menahu tiba-tiba jadi pusat perhatian. Apa mereka membicarakan gue? “Nara, kok kamu nggak bilang sih, alamat pengiriman bunga itu adalah alamat rumah kamu?” Pak Baskoro datang dengan berseru membuat semua orang menatap ke arah Nara, seolah meminta penjelasan. “Cie... Cie... Cie...” Suara cengcengan itu terdengar dari teman kerja satu shift
“Can, Nara mana? Kok lo sendirian yang ke sini?” Cantika sungguh tidak menyangka kalau dia bertemu dengan Rega di kantin. Tahu begitu, dia akan sebisa mungkin menghindar. Lalu sekarang, apa yang harus dia jawab pada Rega? Nggak mungkin kan bilang Nara dibawa pergi oleh Kaisar. Cantika jadi bingung sendiri di tempatnya, matanya bergerak gelisah, memikirkan alasan yang masuk akal. “Hmm, itu, tiba-tiba dia dapat panggilan dari Om aku yang punya toko, katanya Nara disuruh datang ke toko lebih cepat. Iya begitu.” Cantika cukup senang karena otaknya bisa diajak kerja sama di saat genting begini. Semoga saja Rega percaya. Rega menatap Cantika, ingin tidak percaya, tapi masa gadis berjilbab ini bohong? Begitu kata hati Rega. Dia pun mengangguk sekenanya. “Oh, begitu ya.” Gurat wajahnya terlihat kecewa, seolah dunia bekerja sama tak mendukung untuknya berduaan dengan Nara. “Kalau gitu, lo mau ikut makan bareng gue nggak? Daripada sendirian.” Rega menunjuk meja kosong di depannya, yang se