Makan siang Nara dan Rega di cafetaria kampus, setelah cukup lama tidak makan bersama. “Wah, udah lama ya mbak dan mas-nya nggak makan siang bareng di sini. Kirain udah nggak bersama lagi, alias putus gitu. Hehe.” Basa-basi pekerja cafe yang membuat Nara dan Rega saling pandang dengan wajah tegang. Apaan sih? Nggak lucu. “Nggak dong, Mas. Kita lagi sibuk masing-masing aja, banyak tugas, hehe.” Rega menanggapinya dengan tertawa hambar, lalu pandangannya bertemu dengan Nara. “Kami berdua ini sehati, nggak bisa dipisahkan. Mas doain aja ya, biar langgeng sampai pelaminan.”Mas-mas pekerja cafe mengangguk tanda mendukung, tapi beberapa saat kemudian alisnya bertaut. “Berarti kemarin itu saya cuma salah lihat ya. Kirain saya, mbaknya makan siang di sini sama pria lain.”Waduh, mampus gue! Kenapa pakai ngomong segala sih ini mas pekerja cafe? Nara tidak tahu lagi, jantungnya seperti mau melompat keluar. Apa Rega bakal termakan omongan Mas-nya ya? Nara melirik Rega, berusaha bersikap ten
Nara kedapatan melamun di tempat kerjanya. Pertanyaan pamungkas dari Rega tadi saat di kampus sungguh membuatnya tercekat, sulit sekadar untuk menelan ludah.“Ra, kenapa diem? Lo juga sayang sama gue, kan?” Rega mengulang sekali lagi pertanyaan serupa. Wajahnya terlihat lebih serius. Ah, mengingatnya membuat Nara deg-degan. “Tentu dong. Lo kan pacar gue.” Rega yang entah sejak kapan menahan nafas, kelihatan menghembus nafas lega disertai senyuman mengembang di sudut bibirnya. “Makasih ya, Nara sayang. Gue janji, akan jadi pria yang membanggakan buat lo.”Jangan Ga! Yang ada gue makin merasa bersalah sama lo. Jerit Nara dalam hatinya seraya menangkup pipinya dengan kedua telapak tangan. Beruntung tak ada pembeli yang datang, jadi tak ada yang menyadari kalau Nara sedang resah gelisah. “Ra, ini ada kiriman bunga mawar buat kamu.” Mendengar suara teman kerjanya, Nara langsung membuka kedua tangannya yang menutupi muka. “Bunga? Dari siapa?”Teman kerja Nara yang seorang perempuan seba
Hari pertama pengiriman buket bunga mawar pun dimulai, tapi sepertinya Nara tidak ingat akan hal itu. Seperti biasa, dia keluar rumah setelah berpamitan dengan neneknya, lalu ‘HUAAAH’ betapa terkejutnya dia setelah membuka pintu pagar karena sebuah buket yang berisi mawar merah telah menunggu untuk diterima. Pria yang bertugas mengantar bunga tampak kepayahan, dia melingkarkan kedua tangannya pada buket tersebut, lalu sedikit memposisikan buket ke samping karena dia ingin melihat dengan mata kepala, siapa penerima buket bunga mawar jumbo. “Loh, kamu kan Nara? Pekerja di toko bunga pak bos Baskoro?” kata pria itu terkejut.Nara tidak tahu siapa nama Om si Cantika, karena tidak sempat berkenalan, tapi dia yakin seratus persen pria ini juga karyawan di toko bunga, karena seingatnya pernah melihat pria dengan rupa seperti di depannya kini. “Kenapa cengengesan?” sergah Nara sedikit jutek, karena pria itu bukannya langsung memberikan kirimannya malah cengar-cengir tidak jelas. Padahal Na
Di dalam kelas, bahkan saat ada dosen tengah menerangkan di papan tulis, Cantika terus saja menyikut siku Nara. Buat apalagi kalau bukan meminta penjelasan soal Kaisar. “Ra, jadi seriusan Kaisar itu udah nikah? Alias laki orang gitu?” Nara menghela nafas. Perasaan tadi jelas-jelas dia katakan kalau Kaisar itu sudah nikah. Bagian mana dari kalimatnya yang tak dimengerti oleh Cantika, sih? Malas menjawabnya karena memang tidak mau membahas Kaisar lagi, juga karena tidak ingin kena teguran dosen. Siapa yang tidak tahu Bu Pangestu, kalau marah bisa keluar tanduk. Mau kena seruduk? Kalau Nara sih ogah. Akhirnya Nara hanya menjawab dengan berdehem daripada Cantika nyikut-nyikut terus. “Hmm.”Namun, sepertinya Cantika ini yang minta kena seruduk deh oleh Bu Pangestu. Udah didiamin beberapa saat, eh dianya masih aja nanya. “Terus, kira-kira dia tau nggak ya soal suaminya yang berselingkuh? Kalau tahu, kan, bisa gawat. Gimana kalau dia sampai nyariin kamu.”Lo nggak tahu aja, Can, kalau Ka
Kenapa bisa begini? Gue nggak beneran suka sama Kaisar, kan? Jantung Nara masih berdebar-debar, tapi ia berusaha menarik nafas dalam lalu menghembusnya perlahan. Hal itu dilakukan berulangkali. Syukurlah, karena dunia berhasil kembali seperti semula. Begitu pula Nara, ia bisa mengembalikan wajah dan sifat juteknya di hadapan Kaisar. “Ngapain sih ke mari? Lo nggak ada kerjaan banget ya.”“Kerjaan gue banyak kok, tapi kan gue CEO nya, gue bisa minta anak buah gue yang ngerjain. Lagian ini jamnya makan siang.” Kaisar menunjuk jam tangan mahalnya, tapi Nara tidak peduli itu. “Yuk Can, kita ke cafetaria aja.” Nara sampai harus menggandeng Cantika pergi dari sana karena sahabatnya itu terlihat sekali terpesona dengan ketampanan Kaisar. Astaga Can! Itu laki orang. Ia sudah seperti nenek Ratih saja. Namun, keinginan Nara untuk kabur dari Kaisar tidak kesampaian. Dengan langkah cepat, tiba-tiba Kaisar menghadang jalannya. “Can, gue pinjam sahabat lo ya. Tenang aja, nggak gue apa-apain kok
“Can, Nara mana? Kok lo sendirian yang ke sini?” Cantika sungguh tidak menyangka kalau dia bertemu dengan Rega di kantin. Tahu begitu, dia akan sebisa mungkin menghindar. Lalu sekarang, apa yang harus dia jawab pada Rega? Nggak mungkin kan bilang Nara dibawa pergi oleh Kaisar. Cantika jadi bingung sendiri di tempatnya, matanya bergerak gelisah, memikirkan alasan yang masuk akal. “Hmm, itu, tiba-tiba dia dapat panggilan dari Om aku yang punya toko, katanya Nara disuruh datang ke toko lebih cepat. Iya begitu.” Cantika cukup senang karena otaknya bisa diajak kerja sama di saat genting begini. Semoga saja Rega percaya. Rega menatap Cantika, ingin tidak percaya, tapi masa gadis berjilbab ini bohong? Begitu kata hati Rega. Dia pun mengangguk sekenanya. “Oh, begitu ya.” Gurat wajahnya terlihat kecewa, seolah dunia bekerja sama tak mendukung untuknya berduaan dengan Nara. “Kalau gitu, lo mau ikut makan bareng gue nggak? Daripada sendirian.” Rega menunjuk meja kosong di depannya, yang se
“Lo jangan senang dulu. Gue masuk ke mobil lo karena minta segera diantar ke tempat kerja. Waktu gue dikit lagi, gue nggak mau telat.” Judes Nara, tidak mau Kaisar berpikiran macam-macam tentangnya. Dari ekor matanya, Nara bisa melihat wajah Kaisar yang tadi memerah karena menahan marah kini mulai bisa tersenyum menyeringai. Senang banget pasti. “Makasih ya, Sweety. Gue makin sayang deh sama lo.”Nara tak membalas, hanya menghela nafas. Dia hanya ingin cepat sampai ke toko dan bekerja. Menyibukkan diri dengan pekerjaan akan membuatnya lupa dengan Kaisar sejenak. Sesampainya di toko, rupanya sedang ada kehebohan. Nara yang baru masuk tidak tahu menahu tiba-tiba jadi pusat perhatian. Apa mereka membicarakan gue? “Nara, kok kamu nggak bilang sih, alamat pengiriman bunga itu adalah alamat rumah kamu?” Pak Baskoro datang dengan berseru membuat semua orang menatap ke arah Nara, seolah meminta penjelasan. “Cie... Cie... Cie...” Suara cengcengan itu terdengar dari teman kerja satu shift
“Maksud kamu apa ngomong kayak tadi? Memangnya kamu tahu?” tanya Luna setelah aktivitas panas mereka selesai. Aldo tidak langsung menjawab, dia bangun memungut pakaiannya yang tercecer di lantai, setelahnya memakai kembali pakaian tersebut. “Kalau aku kasih tau, apa kamu bakal percaya?” Aldo menjawab pertanyaan Luna dengan pertanyaan. Sungguh membuat Luna kesal. Apa sebenarnya maksud Aldo? Dia benar-benar tahu atau sengaja memancing kemarahan aku? “Katakan saja, kalau kau tidak bilang, bagaimana aku akan percaya?”“Aku harap kamu jangan kecil hati begitu mengetahui faktanya.”Berkecil hati? Apa maksudnya karena wanita itu yang dipilih Kaisar sementara dia tidak? Ah, Luna makin penasaran, wanita seperti apa yang membuat luluh seorang Kaisar. “Jangan bertele-tele, Al. Kasih tahu cepat siapa orangnya!” Luna makin tak sabar, wajahnya mulai mengeras dan serius. “Dia cukup dekat dengan kalian.”“Maksud kamu dekat dengan aku dan Kaisar?” Luna makin tak paham. Siapa gadis yang dekat deng