Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Sore harinya Bu Nina memintaku untuk mengantarnya pulang. Tentu saja dia bukan benar-benar ingin pulang. Sepanjang perjalanan otakku tak pernah bisa diam, dipenuhi dengan berbagai obsesi liar. Bahkan beberapa kali aku sengaja memancing Bu Nina dengan obrolan yang sedikit panas dan menjurus mesum. Namun beliau sepertinya selalu mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia masih jengah dengan peristiwa tadi pagi, namun aku sendiri menduga jika dia sengaja mengajakku pulang duluan karena ingin mengulanginya. “Ke Duta Permata aja, Ger.” Tiba-tiba Bu Nina bicara tegas setelah mobil melaju di jalan raya. “Kita mau Ke hotel, Bu?” tanyaku memastikan. “Ya,” balas Bu Nina pelan, dan dengan santainya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dengan semangat 45 aku melajukan mobil Bu Nina menuju hotel yang dia sebutkan. Tak sampai setengah jam kemudian kami pun tiba di depan hotel yang berlokasi dekat dengan salah kampus negeri ternama. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.