Beranda / Romance / Genius Liar / CHAPTER TWENTY SEVEN

Share

CHAPTER TWENTY SEVEN

Penulis: Ellakor
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dua hari sejak kejadian di kantor Raefal, aku belum bertemu dengannya lagi. Seperti yang dia katakan, dia sama sekali tak menyerah. Gencar meneleponku meski tak pernah sekali pun kuangkat teleponnya. Pesan-pesan singkat penuh perhatian pun tak lupa dia kirimkan padaku, membuatku teringat pada masa-masa kami pacaran dulu.

Namun, keputusanku tampaknya tak bisa diganggu gugat lagi. Aku sudah tak sanggup menjalani ikatan pernikahan dengannya. Aku tak ingin seumur hidup terus tertekan dan tak bisa tenang karena setiap saat mengkhawatirkan serta mencurigai Raefal. Intinya, kepercayaanku padanya sudah lenyap dan rasanya sulit untuk diperbaiki. Sebuah hubungan tanpa adanya tiang penyangga bernama kepercayaan, hanya akan membawa duka jika dipaksakan. Setidaknya itulah yang aku percayai.

Sebenarnya, dua hari ini aku merasa hidupku kembali damai. Pikiranku tenang karena semua kebenaran telah terungkap dengan jelas. Aku sudah bicara baik-baik dengan Raefal, mengutarakan keputusan akhirku. Kekesal
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Genius Liar   CHAPTER TWENTY EIGHT

    Raefal masuk ke dalam ruangan tanpa mengatakan apa pun, bahkan tak ada sapaan ramah atau sekedar basa-basi yang dia lontarkan untuk Aradi. Aku menghela napas panjang, dari tatapan mata dan sikap juteknya ini, aku tahu dia sedang kesal atau mungkin marah.“Hai, Fal. Bagaimana kabarnya?”Aradi yang berinisiatif melontarkan pertanyaan, lagi-lagi membuatku tak enak hati jika mengingat betapa baiknya seniorku yang satu ini. Bahkan dia menolak saat aku berencana untuk membayar biaya rumah sakit ini. Terlebih dia begitu antusias dan peduli pada keadaan Raffa.“Baik,” jawab Raefal terkesan ketus.“Hm, aku udah periksa keadaan Raffa. Demamnya masih cukup tinggi, tapi jangan khawatir kami akan terus mengecek kondisinya. Untuk beberapa hari ini dia harus menjalani rawat inap di sini.”“OK. Makasih.” Lagi-lagi Raefal membalas dengan ketus, tanpa sadar membuatku memutar bola mata. Dia membuka jas hitamnya, menyampirkan jas tersebut di sandaran sofa. Lantas menghampiri ranjang Raffa seolah tak memp

  • Genius Liar   CHAPTER TWENTY NINE

    “Masuk ke dalam yuk, jangan lama-lama di sini, gak baik buat Raffa.” Aku mengingatkan karena aku sadar mereka nyaris lupa waktu.Aku mengembuskan napas lega karena mereka tak membantah ucapanku. Kami kembali ke ruang rawat Raffa, merebahkan kembali tubuh mungil Raffa di ranjang.Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit sejak kembali ke ruangan, Raffa akhirnya kembali tidur. Mungkin karena obatnya mulai bereaksi.“Kamu gak kasihan sama Raffa?”Aku yang sedang menyelimuti tubuh putraku dengan selimut, seketika menoleh pada Raefal yang berjalan menghampiri sofa. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku mengikutinya duduk di sofa tersebut.Tak menolak, aku pun ikut mendudukan diri di sofa, tepat di sampingnya. Kedua mataku masih tertuju pada sosok Raffa yang terlelap dalam tidur.“Raffa itu masih kecil. Dia masih membutuhkan kita.” Raefal melanjutkan ucapannya. “Aku beberapa hari gak pulang aja, dia udah kayak gini. Apalagi kalau kita pisah. Bisa kamu bayangin dia akan sesedih apa

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY

    Taman di halaman depan rumah sakit yang kupilih untuk bersantai sekedar menghilangkan penat. Aku cukup takjub dengan rumah sakit ini, fasilitas taman untuk bersantai para pasien disediakan di beberapa spot yang bagus. Di halaman depan, rooftop maupun di halaman belakang. Dari gedung rumah sakit yang terdiri dari 5 lantai serta berbagai fasilitas lengkap nan mewah yang disediakan baik untuk pasien maupun untuk keluarga pasien, bisa kuterka rumah sakit ini cukup elit. Memperjelas bahwa keluarga Dokter Aradi pasti bukan keluarga sembarangan hingga bisa mendirikan rumah sakit semewah ini.Aku duduk di sebuah kursi panjang yang terletak tak jauh dari pohon apel hijau yang sedang berbuah. Sungguh indah dipandang mata, membuat suasana hati yang sempat buruk karena pertengkaran dengan Raefal tadi, seketika berubah membaik.Di kiri dan kanan, banyak pasien yang sedang duduk santai ditemani keluarganya. Banyak pula pasien anak-anak yang tetap ceria meski dari wajah pucat mereka bisa kutebak mer

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY ONE

    Setelah dua malam dirawat di rumah sakit, kondisi Raffa dinyatakan pulih. Suhu tubuhnya sudah normal. Dia tidak mengeluhkan kepalanya pusing ataupun perutnya yang sakit. Aku lega tiada tara,Selama Raffa dirawat di rumah sakit, Raefal selalu datang. Tidak segan-segan menginap di ruang rawat Raffa demi menemani putranya. Dia juga tak membahas tentang hubunganku dan Aradi lagi. Tak meledak-ledak seperti diawal meski tetap saja dia bersikap ketus setiap kali Aradi datang untuk memeriksa kondisi Raffa.Setelah perbincangan panjang antara aku dan Aradi di taman, pria itu juga tak pernah membahasnya lagi. Aradi tampak tak main-main dengan ucapannya, memberiku ruang untuk berpikir tanpa mendesakku untuk membicarakan topik pernikahanku dengan Raefal yang di ujung tanduk. Aradi bersikap seolah pembicaraan itu tak pernah terjadi meski kentara dia memperlihatkan kepeduliannya secara terang-terangan padaku. Bahkan dia tak segan menunjukan perhatiannya padaku dan Raffa di depan Raefal sekalipun.

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY TWO

    “OK, aku perhatiin. Cepetan bikinnya, jangan lama. Bentar lagi waktunya Raffa minum obat.”Dia memasang pose telapak tangannya sedang memberi hormat padaku, lagi-lagi membuatku memutar bola mata.Setelah itu, seolah menjadi chef cocok menjadi profesinya selain bisnisman, dia mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat bubur.Aku mengernyit bingung ketika melihatnya mengeluarkan wortel dan kentang. Lalu memotongnya menjadi kotak-kotak kecil.“Sayur itu buat apa?” tanyaku.“Buat dicampurin ke buburnya. Kita bikin bubur sayur buat Raffa. Ditambah ayam tentunya.”“Raffa gak boleh makan yang berminyak-minyak dulu kalau kamu berniat goreng ayamnya.”Dia menggeleng. “Nggak kok, siapa bilang aku mau goreng ayamnya?”Aku tak mengatakan apa pun lagi. Hanya diam memperhatikan ketika dia memasukan ayam potong yang sudah dia bersihkan ke dalam air. Oh, ternyata dia merebus ayam itu.Raefal begitu cekatan memasak. Sejak dulu aku senang memperhatikannya ketika sedang memasak, terlihat keren di mat

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY THREE

    Sejak tragedi Raffa sakit dan dirawat di rumah sakit, aku mengizinkan Raefal kembali tinggal bersama kami, dengan catatan tak kuizinkan dia tidur bersamaku. Dia menempati kamar tamu dan terkadang kupergoki dia tidur bersama putranya.Mengingat statusku yang masih istri sahnya, aku tak melupakan kewajibanku sebagai seorang istri seperti menyiapkan pakaian kerja maupun makanannya, tapi untuk urusan lain aku tak sanggup melakukannya. Aku bersyukur karena Raefal tampaknya memahami kondisiku. Dia tak pernah menunjukan tanda-tanda berusaha menggoda atau memaksaku memenuhi kebutuhannya di atas ranjang.Walaupun dia masih terang-terangan mencoba meluluhkan hatiku dengan melakukan berbagai hal manis. Setiap hari dia mengirimkan bunga untukku, bunga yang berbeda tapi dengan makna yang sama yaitu tentang cinta sejati.Dia selalu pulang tepat waktu seperti dulu sebelum perselingkuhan ini terjadi. Pukul 5 sore, dia sudah ada di rumah. Terkadang membantuku memasak di dapur atau dia akan menemani Ra

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY FOUR

    Rumah megah terdiri dari empat lantai dengan halamannya yang luas dan asri karena banyak ditumbuhi bunga dan pepohonan rindang adalah rumah Aradi. Sekarang aku tak ragu lagi, betapa kayanya keluarga pria ini.Aradi mempersilakan kami masuk ke rumahnya dengan ramah. Seperti yang dia janjikan, dia memperkenalkan anak laki-lakinya, Kevin pada Raffa. Tak lupa dia juga mengeluarkan koleksi mainan Kevin. Dia tak bohong, memang ada banyak mainan gundam dan ultraman yang membuat kedua mata Raffa berbinar senang saat melihatnya. Antusias ingin memainkannya.“Kalian main berdua, ya.” Aradi mengarahkan keduanya bermain di tengah rumah yang dilapisi karet berbulu tebal dan berkualitas terbaik. “Kevin main sama Kak Raffa, ya. Jangan pelit sama mainannya. Kalian mainin sama-sama.”Anak kecil berusia 5 tahun itu mengangguk, mematuhi titah sang ayah. Aku dan Aradi memilih duduk di sofa yang terletak di ruang tengah, memperhatikan anak-anak kami yang mulai bermain.“Mereka pasti akrab. Apalagi hobby m

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY FIVE

    Raffa terbangun dari tidurnya tepat pukul 8 malam. Dia merengek lapar. Karena kebetulan banyak makanan yang sudah disiapkan Raefal di meja makan, aku mengajak Raffa untuk menyantapnya. Sayang bukan, makanan sebanyak dan selezat ini jika dibuang? Aku dan Raffa akan memakannya dengan senang hati.“Ayam ini enak.”Raffa berujar dengan girang, sembari mulutnya sibuk mengunyah ayam goreng crispy. Sepertinya Raefal memang berencana mengadakan pesta makan besar untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami, sayang sekali dia tidak ada di sini. Padahal aku tahu dia sudah susah payah menyiapkan semua ini, tapi akhirnya hanya aku dan Raffa yang memakannya. Sedangkan Raefal, entah ke mana dia pergi? Aku juga tak ingin menghubunginya, aku tahu hatinya sedang panas karena amarah dan mungkin cemburu. Jadi, kubiarkan dia menenangkan diri sejenak.“Mommy, Daddy mana?”Aku yang sedang menikmati sup kerang seketika tertegun, dengan wajah polos Raffa menanyakan ayahnya. Aku tersenyum seramah mungkin, lanta

Bab terbaru

  • Genius Liar   EPILOG

    RAEFAL POV Sesuai rencana, tepat pukul 11 siang, aku pergi ke rumah Indira.Begitu tiba di depan rumahnya, rasa gugup tiba-tiba melanda. Jantungku berdetak cepat bagaikan roller coaster, ini perasaan yang untuk pertama kalinya kurasakan. Dulu ... aku sering mendatangi rumah ini. Entah kenapa sekarang aku merasa gugup sekedar menginjakan kaki memasukinya.Mengembuskan napas panjang berulang kali, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya.Dalam ketukan keempat, akhirnya seseorang membukakan pintu.Kupikir sosok Indira yang akan kulihat, ternyata perkiraanku salah ketika sosok wanita paruh baya yang terbelalak saat melihatku, yang kutemui. Tante Mia namanya, dia adik mendiang ibu Indira. Aku cukup dekat dengannya.“Raefal ... Ya ampunnn!” pekiknya histeris. Dia memelukku layaknya seorang ibu yang girang melihat anaknya lagi. Aku mencium punggung tangannya, hal yang biasa kulakukan sejak dulu jika bertemu dengan wanita yang satu ini.“Ayo, masuk, masuk,” ajaknya semba

  • Genius Liar   CHAPTER FOURTY TWO

    RAEFAL POV Kehidupan yang kujalani setelah perpisahanku dan Indira bisa dikatakan sangat kacau. Aku merasa ada lubang besar yang menganga di dalam hatiku. Terasa hambar, hampa dan membosankan. Aku sudah terbiasa ada Indira di sampingku, dan sekarang ... di saat dia tak ada, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Suara tawa Raffa yang biasanya kudengar setiap hari pun, kini tak ada lagi. Aku merasa ... sepi.Untuk menghilangkan rasa sepi itu aku menenggelamkan diri dalam pelatihan yang kuikuti selama satu tahun di New York. Tak ada yang kupikirkan menyangkut masalah pribadi, hanya menuntut ilmu yang kujadikan prioritas utama.Kendati demikian, di saat aku tak kuasa menahan rindu, aku pasti meluangkan waktu untuk menelepon Raffa. Berbicara banyak hal dengannya di telepon. Tak jarang aku menanyakan kabar Indira padanya.Satu tahun yang kujalani di New York, tanpa ragu kukatakan sangat membosankan. Aku memiliki banyak kenalan di sini, pria dewasa seusiaku yang biasa menghabis

  • Genius Liar   CHAPTER FOURTY ONE

    Sosok Indira muncul setelah aku menunggunya sekitar 20 menit lamanya. Dia berjalan sendirian dengan kepala tertunduk. Meski dia berusaha tegar, raut kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Aku sangat mengenal Indira, dia bisa berpura-pura tegar di depan orang lain tapi tidak di depanku.“Indira.”Indira yang tampaknya sedang melamun seketika tersentak kaget, wajahnya yang sejak tadi tertunduk akhirnya mendongak. Dia menatapku bingung. Kuabaikan reaksinya itu, aku berjalan menghampirinya tanpa ragu.“A-Ada apa, ya?” tanyanya canggung.Aku menghela napas panjang, ada keinginan untuk memeluknya, tapi tak bisa lagi karena dia tidak lagi berstatus sebagai istriku. Dia orang asing sekarang, seseorang yang jika ingin kusentuh tentu saja harus atas izin darinya.“Ada beberapa hal yang harus kita bahas,” sahutku. Indira mengangguk, aku senang dia tak menolak.“Oh, iya, boleh. Kamu mau bilang apa?”Aku benci situasi ini, kami terlihat canggung seolah kebersamaan kami selama 17 tahun lamanya tak

  • Genius Liar   CHAPTER FOURTY

    RAEFAL POV Memiliki istri seperti Indira adalah sebuah keberuntungan untukku. Sepanjang aku mengenal dan bersamanya, ada begitu banyak sifat baik yang dia miliki selalu sukses membuatku kagum sekaligus terpesona.Dia wanita yang baik hati, tak akan segan menolong orang lain yang membutuhkan bantuannya. Dia bukan tipe pemilih dalam hal bergaul. Aku ingat dia memiliki banyak teman saat masih sekolah dulu. Beberapa temannya pernah dia kenalkan padaku. Berbeda denganku yang nyaris tak pernah memperkenalkan teman-temanku padanya. Bukan karena aku sengaja melakukannya, hanya saja aku memang tak memiliki banyak teman.Karakterku sangat serius, tak suka bercanda kecuali di depan Indira. Orang lain mengatakan aku ini tipe pekerja keras, ulet dan mandiri. Entahlah ... aku hanya selalu berjuang demi meraih impianku.Berbeda dengan Indira yang berasal dari keluarga mapan, aku berasal dari keluarga biasa. Aku harus berjuang dengan usahaku sendiri agar tak merepotkan orang tuaku dalam hal membiay

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY NINE

    Setelah mengetuk pintu, kudengar suara Aradi dari dalam ruangan yang mempersilakanku untuk masuk. Tanpa ragu aku membuka pintu, menemukan Aradi yang sedang fokus menunduk, menatap sebuah dokumen di atas meja. Dia mendongak, terenyak melihat akulah yang datang.“Indi, ada apa? Terjadi sesuatu sama Raffa?” tanyanya, terlihat panik karena dia bergegas bangkit dari duduknya.“Nggak, Kak. Raffa masih tidur. Dia baik-baik aja. Aku datang ke sini karena ada yang mau aku omongin sama Kakak.”Gestur tubuh Aradi kembali rileks, dia memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakanku duduk di kursi yang bersebrangan dengannya. Aku pun duduk di sana, hanya meja kerjanya yang memisahkan kami kini.Kesepuluh jemariku saling meremas, entah kenapa aku merasa gugup sekarang. Khawatir kata-kataku akan menyakiti hatinya, tapi tetap harus kusampaikan alasanku mendatangi ruangannya.“Kenapa, Indi? Bilang aja, jangan ragu,” katanya seolah memahami kondisiku yang tengah dilanda kegugupan sekaligus kebingungan

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY EIGHT

    Surat panggilan dari pengadilan agama untuk persidangan perceraian kami, sudah aku terima. Aku yakin Raefal pun sudah menerimanya. Terhitung satu minggu lagi sidang itu akan dilaksanakan. Karena Raefal sudah menyetujui perceraian ini maka seharusnya proses persidangan nanti tidak akan rumit. Ya, semoga semuanya berjalan lancar karena sungguh aku ingin segara bebas dari semua rasa sakit ini. Aku ingin suasana baru dan mungkin meninggalkan kota yang penuh kenangan manis sekaligus menyakitkan ini merupakan tindakan pertama yang akan kulakukan nanti.Semenjak perbincanganku dengan Raefal malam itu, dia tidak pernah lagi menginap di rumah. Sepulang kerja dia akan pulang ke rumah untuk menemui Raffa, menemaninya sampai anak itu tertidur dan akhirnya dia akan kembali ke apartemennya. Aku tidak pernah mengusir ataupun melarangnya untuk menginap, sepertinya pembicaraan kami malam itu sangat berpengaruh juga untuk Raefal. Mungkin memilih tidak lagi serumah denganku adalah usahanya untuk menerim

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY SEVEN

    “K-Kamu pulang? Kirain gak pulang ke rumah malam ini,” ucapku. Raefal tak mengatakan apa pun, fokusnya tertuju pada layar televisi.“Aku Cuma nyari angin segar aja tadi. Kamu udah buka kadonya?” Aku mengangguk seraya melambaikan tangan, memberinya isyarat agar mendekat padaku.Raefal tak menolak, dia melangkah mendekat dan mendudukan diri tepat di sampingku.“Maaf, ya, aku lupa hari ini ulangtahun pernikahan kita yang kesebelas,” ucapku. Dia menggeleng.“Aku juga minta maaf untuk kata-kata kasarku tadi. Kesel aja, aku udah nyiapin kejutan buat kamu ternyata kamu malah pulang sama pria laen. Tapi, aku banyak mikir tadi. Rasa sakit yang aku rasain gak sebanding sama rasa sakit kamu, kan?”Aku tersenyum sinis, tak perlu menjawabnya, dia pasti tahu persis memang seperti itulah adanya. Luka di hatiku tak sebanding dengan lukanya.“Makanan sama kuenya enak. Aku sama Raffa suka banget. Makasih, ya.”“Bagus kalau kalian suka, berarti usahaku ampe izin pulang cepet gak sia-sia,” jawabnya.“Had

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY SIX

    Raffa tertidur dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Aku menemaninya sampai jarum jam menunjukan pukul 10 malam. Melihat putraku sudah terlelap dalam tidur, aku pun memutuskan keluar dari kamarnya.Aku belum mengantuk dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah, aku akan membereskan bekas makan kami.Setibanya di ruang makan, aku melakukan niatku untuk membereskan sisa makanan dan juga piring-piring kotor. Namun, kegiatanku terhenti tatkala menyadari ada sebuah kado yang diletakan di atas nakas. Tadi aku tidak menyadarinya karena tak melihat sekeliling. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan melangkah untuk mengambil kado itu.Kado berbentuk kotak persegi empat di mana kertas kado berwarna merah muda dengan motif hati membungkusnya rapi, ada pita yang senada dengan warna kertas kado menghiasi kotak ini sehingga terlihat manis.Aku membuka kertas kado itu, menemukan ada sebuah kaset DVD di dalamnya. Entah film apa yang tersimpan dalam kepingan kaset ini, aku sungguh penas

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY FIVE

    Raffa terbangun dari tidurnya tepat pukul 8 malam. Dia merengek lapar. Karena kebetulan banyak makanan yang sudah disiapkan Raefal di meja makan, aku mengajak Raffa untuk menyantapnya. Sayang bukan, makanan sebanyak dan selezat ini jika dibuang? Aku dan Raffa akan memakannya dengan senang hati.“Ayam ini enak.”Raffa berujar dengan girang, sembari mulutnya sibuk mengunyah ayam goreng crispy. Sepertinya Raefal memang berencana mengadakan pesta makan besar untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami, sayang sekali dia tidak ada di sini. Padahal aku tahu dia sudah susah payah menyiapkan semua ini, tapi akhirnya hanya aku dan Raffa yang memakannya. Sedangkan Raefal, entah ke mana dia pergi? Aku juga tak ingin menghubunginya, aku tahu hatinya sedang panas karena amarah dan mungkin cemburu. Jadi, kubiarkan dia menenangkan diri sejenak.“Mommy, Daddy mana?”Aku yang sedang menikmati sup kerang seketika tertegun, dengan wajah polos Raffa menanyakan ayahnya. Aku tersenyum seramah mungkin, lanta

DMCA.com Protection Status