Saat mobil yang ku kendarai akhirnya tiba di depan rumahku, waktu menunjukan pukul 3 sore. Aku merasa enggan untuk masuk ke dalam rumah, opsi pertama yang ku pilih adalah pergi ke rumah Mbak Alya dengan dalih membawa pulang Raffa yang ku titipkan padanya.Namun, begitu aku mengetuk pintu dan sosok Mbak Alya yang membukakan pintu, sebuah kabar yang tak ingin ku dengarlah yang ku dapat. Mbak Alya mengatakan Raefal sudah membawa Raffa pulang. Aku mendesah lelah, rupanya prediksiku benar, pria itu sedang menungguku di rumah kami.Merasa tak ada kesempatan bagiku untuk menghindar, akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah. Lagipula, memang ada banyak hal yang harus kami bicarakan sekarang. Semua masalah dalam rumah tangga kami, aku ingin menyelesaikannya sekarang juga.Aku masuk ke dalam rumah tanpa repot-repot mengetuk pintu, terlebih saat ku dapati pintu dalam keadaan tidak terkunci.Begitu masuk ke dalam, pemandangan yang ku lihat pertama kali adalah suasana yang hening. Rumah ini tampak
“Kenapa kamu gak bilang kalau kamu ngerasa diabaikan sama aku? Kamu malah diem aja, nganggap hubungan kita baik-baik aja, nyatanya nggak. Kamu tuh udah bohongin aku selama ini.”“Ayo jawab, jangan diem!” Aku sedikit membentak karena kesal dirinya yang tak kunjung bersuara.“Aku udah sering bilang kok. Aku bilang kamu banyak berubah sekarang. Tapi kamu gak pernah nganggap serius kata-kata aku,” jawabnya, akhirnya menyahut.“Kamu ngomong kayak gitu tiap kali kita lagi berantem. Gimana aku serius nanggepinnya? Orang yang lagi marah ngomongnya suka ngelantur, kan? Itu yang aku percaya.”Raefal mendengus kecil saat mendengarnya.“Aku kira kamu ngerti perasaan aku. Kamu tahu kan gimana senangnya aku waktu Raffa lahir? Aku ampe bilang ke kamu, aku gak mau pake jasa babbysitter, aku mau urus anak aku sendiri. Aku mau didik dia sendiri, besarin dia sendiri. Kamu ingat kan aku selalu ngomong kayak gitu ke kamu?” tanyaku, yang hanya dibalas anggukan oleh Raefal.“Terus kenapa? Kenapa kamu gak ng
Seperti biasa, aku menceritakan tentang kejadian ini pada Mbak Alya. Alasan kenapa aku selalu bercerita padanya karena di kota ini hanya dialah orang yang paling dekat denganku. Aku memang selalu menjaga hubungan baik dengan semua tetangga di komplek perumahan, tapi tak ada yang terlalu dekat hingga aku percaya menceritakan kisah hidupku pada mereka. Ya, hanya Mbak Alya, satu-satunya orang yang kupercaya bisa menutup rapat mulutnya agar tidak menyebarkan ceritaku ke orang lain. Serta orang yang senantiasa memberikan nasihat yang benar menurutku.Mbak Alya mendukung sepenuhnya keputusanku. Dia bahkan merekomendasikan seorang pengacara handal di kota ini. Seorang pengacara yang katanya dulu membantu proses penceraian Mbak Alya dengan suami keduanya. Aku tak sanggup membayangkan kisah rumah tangga Mbak Alya yang bisa dikatakan lebih rumit dan menyedihkan dibanding aku. Sudah dua kali dia bercerai, dan beruntung kali ini dia mendapatkan suami yang tepat.Inilah salah satu alasanku selalu
Hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit, kami tiba di sebuah restoran bintang lima. Tentu restoran yang pengunjungnya bukan orang sembarangan mengingat harga makanannya yang fantastis. Sudah ku duga, dia akan mengajakku ke restoran mewah.Kami sudah menempati meja yang berada di barisan belakang. Posisi yang nyaman untuk berbicara panjang lebar dengannya. Ku akui dia cukup pandai mencari tempat untuk menjaga privasi kami agar tidak didengar pengunjung lain. Karena ini jam makan siang, restoran ini cukup penuh oleh orang-orang yang mengenakan jas kantoran.“Ice coffee. Es standar, jangan terlalu banyak,” kataku pada seorang pelayan yang sedang berdiri di depan meja kami, menunggu pesanan kami.Zanna mengernyitkan dahinya mendengarku yang hanya memesan secangkir kopi. Berbanding terbalik dengannya yang memesan American food. Oh iya, sepertinya belum ku sebutkan restoran ini menjual berbagai jenis makanan terkenal dari negara lain. Nyaris tak ada makanan khas indonesia yang disajikan di
Aku memarkirkan mobil di depan sebuah gedung berlantai lima. Sebuah gedung yang tak asing lagi karena terlalu sering aku datang kemari dulu kala. Seperginya dari restoran tempatku menghabiskan waktu bersama dengan Zanna, aku tak langsung pulang ke rumah. Ada hal lain yang harus kulakukan sekarang juga.Turun dari mobil, aku melenggang santai memasuki gedung yang tidak lain merupakan kantor tempat Raefal bekerja. Ya, aku mendatangi kantor Raefal untuk membicarakan hal yang serius dengannya.Terhitung sudah empat hari berlalu sejak kepergiannya dari rumah. Sejauh ini dia tak pernah menunjukan batang hidungnya di depanku, dengan kata lain tak pernah sekali pun dia pulang ke rumah. Meski hampir setiap waktu dia mengirimiku chat atau pesan suara. Beribu kata maaf sudah dia ucapkan dalam pesannya. Kata-kata bujuk rayu sudah dia lancarkan. Namun, kedatanganku kemari bukan berarti hatiku telah luluh.Seperti yang dia katakan tempo hari, kami akan berbicara lagi setelah hati dan pikiran kami t
Dua hari sejak kejadian di kantor Raefal, aku belum bertemu dengannya lagi. Seperti yang dia katakan, dia sama sekali tak menyerah. Gencar meneleponku meski tak pernah sekali pun kuangkat teleponnya. Pesan-pesan singkat penuh perhatian pun tak lupa dia kirimkan padaku, membuatku teringat pada masa-masa kami pacaran dulu.Namun, keputusanku tampaknya tak bisa diganggu gugat lagi. Aku sudah tak sanggup menjalani ikatan pernikahan dengannya. Aku tak ingin seumur hidup terus tertekan dan tak bisa tenang karena setiap saat mengkhawatirkan serta mencurigai Raefal. Intinya, kepercayaanku padanya sudah lenyap dan rasanya sulit untuk diperbaiki. Sebuah hubungan tanpa adanya tiang penyangga bernama kepercayaan, hanya akan membawa duka jika dipaksakan. Setidaknya itulah yang aku percayai.Sebenarnya, dua hari ini aku merasa hidupku kembali damai. Pikiranku tenang karena semua kebenaran telah terungkap dengan jelas. Aku sudah bicara baik-baik dengan Raefal, mengutarakan keputusan akhirku. Kekesal
Raefal masuk ke dalam ruangan tanpa mengatakan apa pun, bahkan tak ada sapaan ramah atau sekedar basa-basi yang dia lontarkan untuk Aradi. Aku menghela napas panjang, dari tatapan mata dan sikap juteknya ini, aku tahu dia sedang kesal atau mungkin marah.“Hai, Fal. Bagaimana kabarnya?”Aradi yang berinisiatif melontarkan pertanyaan, lagi-lagi membuatku tak enak hati jika mengingat betapa baiknya seniorku yang satu ini. Bahkan dia menolak saat aku berencana untuk membayar biaya rumah sakit ini. Terlebih dia begitu antusias dan peduli pada keadaan Raffa.“Baik,” jawab Raefal terkesan ketus.“Hm, aku udah periksa keadaan Raffa. Demamnya masih cukup tinggi, tapi jangan khawatir kami akan terus mengecek kondisinya. Untuk beberapa hari ini dia harus menjalani rawat inap di sini.”“OK. Makasih.” Lagi-lagi Raefal membalas dengan ketus, tanpa sadar membuatku memutar bola mata. Dia membuka jas hitamnya, menyampirkan jas tersebut di sandaran sofa. Lantas menghampiri ranjang Raffa seolah tak memp
“Masuk ke dalam yuk, jangan lama-lama di sini, gak baik buat Raffa.” Aku mengingatkan karena aku sadar mereka nyaris lupa waktu.Aku mengembuskan napas lega karena mereka tak membantah ucapanku. Kami kembali ke ruang rawat Raffa, merebahkan kembali tubuh mungil Raffa di ranjang.Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit sejak kembali ke ruangan, Raffa akhirnya kembali tidur. Mungkin karena obatnya mulai bereaksi.“Kamu gak kasihan sama Raffa?”Aku yang sedang menyelimuti tubuh putraku dengan selimut, seketika menoleh pada Raefal yang berjalan menghampiri sofa. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku mengikutinya duduk di sofa tersebut.Tak menolak, aku pun ikut mendudukan diri di sofa, tepat di sampingnya. Kedua mataku masih tertuju pada sosok Raffa yang terlelap dalam tidur.“Raffa itu masih kecil. Dia masih membutuhkan kita.” Raefal melanjutkan ucapannya. “Aku beberapa hari gak pulang aja, dia udah kayak gini. Apalagi kalau kita pisah. Bisa kamu bayangin dia akan sesedih apa
RAEFAL POV Sesuai rencana, tepat pukul 11 siang, aku pergi ke rumah Indira.Begitu tiba di depan rumahnya, rasa gugup tiba-tiba melanda. Jantungku berdetak cepat bagaikan roller coaster, ini perasaan yang untuk pertama kalinya kurasakan. Dulu ... aku sering mendatangi rumah ini. Entah kenapa sekarang aku merasa gugup sekedar menginjakan kaki memasukinya.Mengembuskan napas panjang berulang kali, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya.Dalam ketukan keempat, akhirnya seseorang membukakan pintu.Kupikir sosok Indira yang akan kulihat, ternyata perkiraanku salah ketika sosok wanita paruh baya yang terbelalak saat melihatku, yang kutemui. Tante Mia namanya, dia adik mendiang ibu Indira. Aku cukup dekat dengannya.“Raefal ... Ya ampunnn!” pekiknya histeris. Dia memelukku layaknya seorang ibu yang girang melihat anaknya lagi. Aku mencium punggung tangannya, hal yang biasa kulakukan sejak dulu jika bertemu dengan wanita yang satu ini.“Ayo, masuk, masuk,” ajaknya semba
RAEFAL POV Kehidupan yang kujalani setelah perpisahanku dan Indira bisa dikatakan sangat kacau. Aku merasa ada lubang besar yang menganga di dalam hatiku. Terasa hambar, hampa dan membosankan. Aku sudah terbiasa ada Indira di sampingku, dan sekarang ... di saat dia tak ada, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Suara tawa Raffa yang biasanya kudengar setiap hari pun, kini tak ada lagi. Aku merasa ... sepi.Untuk menghilangkan rasa sepi itu aku menenggelamkan diri dalam pelatihan yang kuikuti selama satu tahun di New York. Tak ada yang kupikirkan menyangkut masalah pribadi, hanya menuntut ilmu yang kujadikan prioritas utama.Kendati demikian, di saat aku tak kuasa menahan rindu, aku pasti meluangkan waktu untuk menelepon Raffa. Berbicara banyak hal dengannya di telepon. Tak jarang aku menanyakan kabar Indira padanya.Satu tahun yang kujalani di New York, tanpa ragu kukatakan sangat membosankan. Aku memiliki banyak kenalan di sini, pria dewasa seusiaku yang biasa menghabis
Sosok Indira muncul setelah aku menunggunya sekitar 20 menit lamanya. Dia berjalan sendirian dengan kepala tertunduk. Meski dia berusaha tegar, raut kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Aku sangat mengenal Indira, dia bisa berpura-pura tegar di depan orang lain tapi tidak di depanku.“Indira.”Indira yang tampaknya sedang melamun seketika tersentak kaget, wajahnya yang sejak tadi tertunduk akhirnya mendongak. Dia menatapku bingung. Kuabaikan reaksinya itu, aku berjalan menghampirinya tanpa ragu.“A-Ada apa, ya?” tanyanya canggung.Aku menghela napas panjang, ada keinginan untuk memeluknya, tapi tak bisa lagi karena dia tidak lagi berstatus sebagai istriku. Dia orang asing sekarang, seseorang yang jika ingin kusentuh tentu saja harus atas izin darinya.“Ada beberapa hal yang harus kita bahas,” sahutku. Indira mengangguk, aku senang dia tak menolak.“Oh, iya, boleh. Kamu mau bilang apa?”Aku benci situasi ini, kami terlihat canggung seolah kebersamaan kami selama 17 tahun lamanya tak
RAEFAL POV Memiliki istri seperti Indira adalah sebuah keberuntungan untukku. Sepanjang aku mengenal dan bersamanya, ada begitu banyak sifat baik yang dia miliki selalu sukses membuatku kagum sekaligus terpesona.Dia wanita yang baik hati, tak akan segan menolong orang lain yang membutuhkan bantuannya. Dia bukan tipe pemilih dalam hal bergaul. Aku ingat dia memiliki banyak teman saat masih sekolah dulu. Beberapa temannya pernah dia kenalkan padaku. Berbeda denganku yang nyaris tak pernah memperkenalkan teman-temanku padanya. Bukan karena aku sengaja melakukannya, hanya saja aku memang tak memiliki banyak teman.Karakterku sangat serius, tak suka bercanda kecuali di depan Indira. Orang lain mengatakan aku ini tipe pekerja keras, ulet dan mandiri. Entahlah ... aku hanya selalu berjuang demi meraih impianku.Berbeda dengan Indira yang berasal dari keluarga mapan, aku berasal dari keluarga biasa. Aku harus berjuang dengan usahaku sendiri agar tak merepotkan orang tuaku dalam hal membiay
Setelah mengetuk pintu, kudengar suara Aradi dari dalam ruangan yang mempersilakanku untuk masuk. Tanpa ragu aku membuka pintu, menemukan Aradi yang sedang fokus menunduk, menatap sebuah dokumen di atas meja. Dia mendongak, terenyak melihat akulah yang datang.“Indi, ada apa? Terjadi sesuatu sama Raffa?” tanyanya, terlihat panik karena dia bergegas bangkit dari duduknya.“Nggak, Kak. Raffa masih tidur. Dia baik-baik aja. Aku datang ke sini karena ada yang mau aku omongin sama Kakak.”Gestur tubuh Aradi kembali rileks, dia memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakanku duduk di kursi yang bersebrangan dengannya. Aku pun duduk di sana, hanya meja kerjanya yang memisahkan kami kini.Kesepuluh jemariku saling meremas, entah kenapa aku merasa gugup sekarang. Khawatir kata-kataku akan menyakiti hatinya, tapi tetap harus kusampaikan alasanku mendatangi ruangannya.“Kenapa, Indi? Bilang aja, jangan ragu,” katanya seolah memahami kondisiku yang tengah dilanda kegugupan sekaligus kebingungan
Surat panggilan dari pengadilan agama untuk persidangan perceraian kami, sudah aku terima. Aku yakin Raefal pun sudah menerimanya. Terhitung satu minggu lagi sidang itu akan dilaksanakan. Karena Raefal sudah menyetujui perceraian ini maka seharusnya proses persidangan nanti tidak akan rumit. Ya, semoga semuanya berjalan lancar karena sungguh aku ingin segara bebas dari semua rasa sakit ini. Aku ingin suasana baru dan mungkin meninggalkan kota yang penuh kenangan manis sekaligus menyakitkan ini merupakan tindakan pertama yang akan kulakukan nanti.Semenjak perbincanganku dengan Raefal malam itu, dia tidak pernah lagi menginap di rumah. Sepulang kerja dia akan pulang ke rumah untuk menemui Raffa, menemaninya sampai anak itu tertidur dan akhirnya dia akan kembali ke apartemennya. Aku tidak pernah mengusir ataupun melarangnya untuk menginap, sepertinya pembicaraan kami malam itu sangat berpengaruh juga untuk Raefal. Mungkin memilih tidak lagi serumah denganku adalah usahanya untuk menerim
“K-Kamu pulang? Kirain gak pulang ke rumah malam ini,” ucapku. Raefal tak mengatakan apa pun, fokusnya tertuju pada layar televisi.“Aku Cuma nyari angin segar aja tadi. Kamu udah buka kadonya?” Aku mengangguk seraya melambaikan tangan, memberinya isyarat agar mendekat padaku.Raefal tak menolak, dia melangkah mendekat dan mendudukan diri tepat di sampingku.“Maaf, ya, aku lupa hari ini ulangtahun pernikahan kita yang kesebelas,” ucapku. Dia menggeleng.“Aku juga minta maaf untuk kata-kata kasarku tadi. Kesel aja, aku udah nyiapin kejutan buat kamu ternyata kamu malah pulang sama pria laen. Tapi, aku banyak mikir tadi. Rasa sakit yang aku rasain gak sebanding sama rasa sakit kamu, kan?”Aku tersenyum sinis, tak perlu menjawabnya, dia pasti tahu persis memang seperti itulah adanya. Luka di hatiku tak sebanding dengan lukanya.“Makanan sama kuenya enak. Aku sama Raffa suka banget. Makasih, ya.”“Bagus kalau kalian suka, berarti usahaku ampe izin pulang cepet gak sia-sia,” jawabnya.“Had
Raffa tertidur dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Aku menemaninya sampai jarum jam menunjukan pukul 10 malam. Melihat putraku sudah terlelap dalam tidur, aku pun memutuskan keluar dari kamarnya.Aku belum mengantuk dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah, aku akan membereskan bekas makan kami.Setibanya di ruang makan, aku melakukan niatku untuk membereskan sisa makanan dan juga piring-piring kotor. Namun, kegiatanku terhenti tatkala menyadari ada sebuah kado yang diletakan di atas nakas. Tadi aku tidak menyadarinya karena tak melihat sekeliling. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan melangkah untuk mengambil kado itu.Kado berbentuk kotak persegi empat di mana kertas kado berwarna merah muda dengan motif hati membungkusnya rapi, ada pita yang senada dengan warna kertas kado menghiasi kotak ini sehingga terlihat manis.Aku membuka kertas kado itu, menemukan ada sebuah kaset DVD di dalamnya. Entah film apa yang tersimpan dalam kepingan kaset ini, aku sungguh penas
Raffa terbangun dari tidurnya tepat pukul 8 malam. Dia merengek lapar. Karena kebetulan banyak makanan yang sudah disiapkan Raefal di meja makan, aku mengajak Raffa untuk menyantapnya. Sayang bukan, makanan sebanyak dan selezat ini jika dibuang? Aku dan Raffa akan memakannya dengan senang hati.“Ayam ini enak.”Raffa berujar dengan girang, sembari mulutnya sibuk mengunyah ayam goreng crispy. Sepertinya Raefal memang berencana mengadakan pesta makan besar untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami, sayang sekali dia tidak ada di sini. Padahal aku tahu dia sudah susah payah menyiapkan semua ini, tapi akhirnya hanya aku dan Raffa yang memakannya. Sedangkan Raefal, entah ke mana dia pergi? Aku juga tak ingin menghubunginya, aku tahu hatinya sedang panas karena amarah dan mungkin cemburu. Jadi, kubiarkan dia menenangkan diri sejenak.“Mommy, Daddy mana?”Aku yang sedang menikmati sup kerang seketika tertegun, dengan wajah polos Raffa menanyakan ayahnya. Aku tersenyum seramah mungkin, lanta