“Liburan selama satu minggu?”Kalimat tanya itulah yang Raefal gumamkan pertama kali setelah beberapa menit lamanya terdiam, aku mengangguk kecil, tatapan mataku tak pernah lepas sedikit pun darinya.“Iya, udah lama, kan, kita gak liburan? Raffa pasti seneng banget.”“Kok, mendadak banget ngajaknya?”Aku memicingkan mata, apakah sekarang dia sedang mencoba berkelit? Atau mencari alasan untuk menolak ajakanku ini? Mari kita lihat, apa yang akan dia katakan selanjutnya.“Gak mendadak, kok. Ini aku kasih tahu tiga hari sebelumnya. Aku, kan, gak ngajakin kamu berangkat besok. Tapi hari sabtu. Jadi gak mendadak dong, kan, masih ada waktu tiga hari buat siap-siap,” ujarku, sebisa mungkin mengulas senyum meski sebenarnya hatiku sedang was-was saat ini.Jika sampai dia menolak ajakanku ini, mungkinkah ini tandanya dia lebih memilih wanita itu dibanding aku dan Raffa? Jika benar demikian, tindakan apa yang harus kulakukan karena sepertinya wanita itu lebih penting bagi Raefal dibandingkan kami
Selama dua minggu liburan kami di Bali, kami bertiga bersenang-senang di sini. Tiada hari tanpa jalan-jalan, mengelilingi semua tempat wisata yang terkenal di Bali. Raffa terlihat begitu bahagia, tawa riangnya senantiasa meluncur mulus dari bibir mungilnya. Membuatku ikut bahagia menyaksikannya. Setelah ini aku berjanji pada diriku sendiri akan lebih sering mengajak Raffa liburan.Aku dan Raefal pun ikut bersenang-senang seperti Raffa dengan cara kami sendiri. Tak jarang kami menyelinap diam-diam di saat Raffa tertidur karena kelelahan. Kami menghabiskan waktu berdua yang cukup romantis, serasa seperti kami kembali ke masa lalu. Ke masa-masa dimana kami masih berstatus sebagai sepasang kekasih.Ku akui dua minggu ini merupakan saat-saat paling membahagiakan bagi keluarga kecil kami. Terkadang pikiran konyol dimana aku tak ingin kembali ke Bandung dan menjalani aktivitas sehari-hari, sempat terlintas di pikiranku. Rasanya aku ingin waktu kebersamaan kami ini, tak cepat berlalu.Selain
Raffa mengusap-usap punggungku tiada henti. Dengan sesekali menghapus lelehan air mata di wajahku menggunakan jari-jari mungilnya. Serta dirinya yang terus mengecup pipiku lembut, membuatku terharu tiada tara.Sepertinya tangisanku membuat putraku ikut bersedih. Dia ikut meneteskan air matanya bersamaku.“Daddy mana, Mom? Kok belum pulang? Mommy kenapa nangis?”Aku menatap wajah putraku yang bagaikan miniatur Raefal. Mereka sangat mirip hingga melihat wajah Raffa langsung mengingatkanku pada ayahnya.Ayahnya yang mungkin sedang bersenang-senang dengan wanita murahan itu sekarang.Aku menghela napas panjang, menyadari aku terlihat bodoh dan rapuh dengan menangis seperti ini. Tangisan tidak akan membantu apa pun bukan? Tentu aku menyadarinya. Hanya saja air mata juga diperlukan sebagai luapan rasa sakit, yang lebih baik diungkapkan daripada dipendam dalam hati.Sudah puas menangisi nasibku yang malang, bergegas aku menghapus jejak air mata di wajahku kasar menggunakan punggung tanganku.
Seperti rencana awal, aku benar-benar membawa putraku ke bandara. Membeli tiket mendadak dan bersyukur karena penerbangan malam pukul 10 masih sempat ku dapatkan tiketnya.Saat ini, waktu menunjukan pukul 09.15 malam, masih tersisa waktu untuk menunggu sampai pesawat kami diterbangkan. Aku menunggu sembari duduk bersama putraku.Putraku menangis tiada henti sejak kami meninggalkan restoran. Hingga suaranya serak, mata dan hidungnya memerah serta wajah yang sembab karena terlalu banyak menangis. Dari semua kejadian yang ku alami malam ini, tangisan putraku lah yang membuat hatiku begitu sakit.Tak habis pikir bagaimana Raefal bisa setega ini pada kami berdua? Jika dia berselingkuh karena sudah tak cinta lagi padaku, bisa ku pahami. Tapi kenapa dia tetap berselingkuh di saat Raffa ada di antara kami. Menjadi pengikat hubungan kami. Menjadi penguat pernikahan kami.Mungkinkah dia juga sudah tidak peduli pada putranya sendiri? Tidak memikirkan dampak perbuatannya yang akan sangat berpenga
Tak sulit bagiku untuk masuk ke dalam rumah mewah bak sebuah mansion milik wanita itu. Para pegawainya menerimaku dengan baik layaknya seorang tamu. Menyuguhkan berbagai jenis makanan ringan di atas meja di depanku.Hanya sekitar 5 menit aku menunggu, sosok sang tuan rumah pun akhirnya menampakan batang hidungnya. Dengan berbalut jubah tidur berwarna merah yang cukup menerawang dan pastinya bernilai fantastis, dia duduk sembari bertopang kaki di depan sofa yang ku duduki.“Saya kira siapa yang datang, tidak menyangka anda yang datang ke rumah saya, Nyonya Indira,” ucapnya memecah keheningan di antara kami.Meski amarah selalu muncul ke permukaan setiap kali melihat wajahnya, aku sebisa mungkin berusaha bersikap normal. Aku tersenyum kecil, entah dia sadar atau tidak senyuman ini hanya sebuah senyuman palsu. Aku tak peduli, aku hanya ingin menunjukan padanya bahwa aku baik-baik saja saat ini.“Maaf jika kedatangan saya mengganggu anda. Padahal, sepertinya anda sedang tidur siang?” Aku
“Sudah sejauh mana hubungan kalian? Apa kalian sudah melangsungkan pernikahan?”Pertanyaan lain yang begitu ingin ku ketahui jawabannya, akhirnya terlontar dari mulutku.“Saya sudah sering mengatakan pada Raefal bahwa saya tidak keberatan menjadi istri keduanya. Sekalipun hanya pernikahan siri, saya tidak keberatan.” Aku mendengus sembari menggelengkan kepalaku. Ternyata dia memang sebegitu inginnya berada di antara aku dan Raefal.“Anda ingin tahu apa jawaban Raefal setiap saya mengajaknya menikah?”Dengan terpaksa aku mengangguk karena nyatanya aku memang ingin tahu respon Raefal saat wanita tak tahu diri ini mengajaknya menikah. Atau mungkinkah mereka memang sudah melangsungkan pernikahan tanpa setahuku? Entahlah ... aku benar-benar ingin mengetahui jawabannya sekarang juga.“Selama Indira masih istriku, aku tidak akan pernah menikahi wanita lain. Itulah jawabannya.”OK, aku tersentuh sekarang. Bukan berarti amarahku pada Raefal hilang hanya karena mendengar pria itu masih memilih
Saat mobil yang ku kendarai akhirnya tiba di depan rumahku, waktu menunjukan pukul 3 sore. Aku merasa enggan untuk masuk ke dalam rumah, opsi pertama yang ku pilih adalah pergi ke rumah Mbak Alya dengan dalih membawa pulang Raffa yang ku titipkan padanya.Namun, begitu aku mengetuk pintu dan sosok Mbak Alya yang membukakan pintu, sebuah kabar yang tak ingin ku dengarlah yang ku dapat. Mbak Alya mengatakan Raefal sudah membawa Raffa pulang. Aku mendesah lelah, rupanya prediksiku benar, pria itu sedang menungguku di rumah kami.Merasa tak ada kesempatan bagiku untuk menghindar, akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah. Lagipula, memang ada banyak hal yang harus kami bicarakan sekarang. Semua masalah dalam rumah tangga kami, aku ingin menyelesaikannya sekarang juga.Aku masuk ke dalam rumah tanpa repot-repot mengetuk pintu, terlebih saat ku dapati pintu dalam keadaan tidak terkunci.Begitu masuk ke dalam, pemandangan yang ku lihat pertama kali adalah suasana yang hening. Rumah ini tampak
“Kenapa kamu gak bilang kalau kamu ngerasa diabaikan sama aku? Kamu malah diem aja, nganggap hubungan kita baik-baik aja, nyatanya nggak. Kamu tuh udah bohongin aku selama ini.”“Ayo jawab, jangan diem!” Aku sedikit membentak karena kesal dirinya yang tak kunjung bersuara.“Aku udah sering bilang kok. Aku bilang kamu banyak berubah sekarang. Tapi kamu gak pernah nganggap serius kata-kata aku,” jawabnya, akhirnya menyahut.“Kamu ngomong kayak gitu tiap kali kita lagi berantem. Gimana aku serius nanggepinnya? Orang yang lagi marah ngomongnya suka ngelantur, kan? Itu yang aku percaya.”Raefal mendengus kecil saat mendengarnya.“Aku kira kamu ngerti perasaan aku. Kamu tahu kan gimana senangnya aku waktu Raffa lahir? Aku ampe bilang ke kamu, aku gak mau pake jasa babbysitter, aku mau urus anak aku sendiri. Aku mau didik dia sendiri, besarin dia sendiri. Kamu ingat kan aku selalu ngomong kayak gitu ke kamu?” tanyaku, yang hanya dibalas anggukan oleh Raefal.“Terus kenapa? Kenapa kamu gak ng