“Aku merasa kamu berubah, Kei.” Alicia berkata lirih ketika mereka kencan sambil makan malam seperti biasa. Saat ini mereka sudah selesai makan dan Gian membawa mobil putar-putar kota.“Sungguhkah?” Gian menoleh ke samping, kekasihnya menundukkan kepalanya. “Aku rasa tidak, Coco. Aku masih Gian yang biasa, kok!”Alicia menggelengkan kepalanya. “Kamu berubah, Kei. Sangat berbeda kamu dulu dan sekarang.”Gian mau tak mau mencari tempat sepi untuk berbincang. Setelah mobil berhenti di sudut taman sepi, dia menolehkan tubuhnya ke Alicia dan berkata, “Coco, aku tidak berubah.”“Mana mungkin kamu tidak berubah, Kei?” Alicia mengangkat kepalanya dengan wajah seperti menahan tangis. “Kamu sekarang begitu mudahnya mengobrol dengan teman-teman perempuan di kelas! Kau bahkan … bahkan … terlihat sangat intim dengan mereka.” Suaranya melirih di kalimat terakhir.Gian memutar bola matanya. Dia diam sejenak sambil mengusap mulut dengan gerakan gelisah. Lalu berkata, “Coco, aku hanya berusaha agar t
Gian terhenyak kaget mendengar ucapan Elang. Dia diam merenungkan itu. Apakah dia dan Alicia memang kurang pantas menjadi pasangan kekasih? Apakah mereka lebih nyaman ketika berteman? Ini terus berputar di otaknya.“Aku sadar diri bahwa kamu memang sangat hebat dan tentunya aku bukan jenis orang yang mampu menjadi pendamping kamu, Gian.” Suara Alicia mengalun kembali di pendengaran Gian, menyebabkan remaja pria itu tersadar dari perenungannya.“Sudahlah, Bocah! Tunggu apa lagi? Dia juga sudah tahu diri begitu! Kau ini hendak sampai kapan bertahan dengan gadis yang kurang bisa memahami kelebihan dirimu? Masih ada banyak yang lainnya yang lebih pantas ketimbang dia!” Elang terus mencicit memberikan saran yang lebih condong seperti perintah.Karena sudah menganggap Elang sebagai mentornya, Gian kini sudah memiliki keputusan. “Cia, kamu sungguh-sungguh tak ingin melanjutkan hubungan ini?”“Aku tidak mampu jika memang sudah seperti begini kondisinya, Gian.” Alicia menggeleng lemah menahan
Jangankan Wina, orang lain juga tentunya akan menjerit kaget melihat kemunculan tikus di dalam mobil yang mereka tumpangi.Gian segera menenangkan, “Ja—jangan khawatir, Win! Ini … ini tikus peliharaanku!”Wina membeku di tempatnya. “Ti—tikus peliharaan kamu?” Suaranya mengecil sambil masih menatap Elang dengan rasa tak percaya. Pelukannya pada lengan Gian makin ketat. Dia meringkuk takut dan jijik.Wajar saja karena ini mengenai tikus.“Iya. Dia … dia manis, kok! Jinak! Tidak berbahaya dan tidak menggigit!” Gian seolah sedang mempromosikan Elang. “Namanya Elang,” imbuhnya.Elang yang sudah mengetahui mengenai Wina sebelumnya dari cerita-cerita Gian, mencoba memberikan aura bersahabat. Dia mencicit pelan sambil menggerak-gerakkan pantatnya dengan imut untuk memberikan kesan manis seperti promosi Gian.“Eh? Lucu sekali dia!” Wina mulai tenang.“Aha ha ha … iya, dia memang lucu dan manis.” Gian menyahut disertai tawa canggung.Tangan Wina mengendur di lengan Gian sambil bertanya, “Sunggu
“Ci … ciciiittt! Ciciittt!” Elang mencicit keras sampai suaranya seperti menggema lantang di ruangan itu.Segera saja semua orang termangu membeku di tempatnya menoleh ke Elang yang berdiri di bahu Gian. Hanya Gian saja yang masih bersikap tenang tak terpengaruh oleh cicitan keras dia.Segera saja, Anggoro tersedak dan batuk kecil sebelum akhirnya dia berkata pada Gian, “Ah! Nak Gian! Astaga, aku ini kerasukan apa sampai-sampai tak paham akan kesalahan anakku!”Setelah mengucapkan itu, Anggoro lekas menampar kepala anaknya keras-keras dan menghardik tegas ke Logan. “Kau ini! Dasar anak tolol! Bisa-bisanya kau tidak bertanggung jawab dengan kasusmu sendiri dan malah ingin menyeret Papamu ini!”Logan termangu menatap ayahnya yang langsung bersikap berbeda 180 derajat dan justru memukul dirinya. “Pa—Papa? Kenapa sekarang Papa membela bocah miskin itu?” Wajahnya menampilkan ketidaksetujuan.Anggoro makin mendelik dan hendak menampar wajah Logan, namun lekas ditahan oleh pengacaranya. Bapa
Bong sabu? Gian terkejut. Meski dia bukan pemakai narkoba, namun dia tahu dengan jelas apa itu alat yang disebut bong sabu. Itu jelas-jelas merupakan alat bantu untuk mengisap narkoba jenis sabu.“Kalian! Kenapa malah ikut ke sini?” Mata Logan nyalang menatap Gian dan Wina.“Astaga! Logan, jadi kau buru-buru ke sini hanya untuk mengambil benda itu?” Wina memekik, masih tak habis pikir dengan kelakuan Logan.“Diam, dasar kau jalang tak tahu diuntung!” hardik Logan ke Wina. Dia sudah tak lagi memiliki hasrat kepada wanita yang selama 2 tahun ini dia kejar tanpa lelah.Logan sudah berjuang semaksimal mungkin untuk memikat Wina. Dia yakin dia bisa mendapatkan wanita itu karena status keluarga mereka tidak jauh berbeda.Tapi, kenapa Wina malah terpikat dengan bocah miskin seperti Gian? Memangnya apa kelebihan Gian? Ya, memang lebih miskin, tapi itu bukan hal membanggakan, bukan?Sekarang, setelah Wina terus saja menolak dan mempermalukan, bahkan membantu Gian, mana mungkin Logan tidak memb
Ketika Wina mendongakkan kepalanya dan memberanikan diri mengangkat pandangannya, di depannya ada Gian yang sudah melemahkan Logan.Gian tersenyum lebar ke Wina. “Semua baik-baik saja, Win!” Satu tangannya terangkat dan menggenggam tangan Logan yang sudah terkulai dan Logan menjerit kesakitan.Rupanya Gian telah mematahkan pergelangan tangan Logan.Usai Gian mengatakan itu, dua polisi datang memasuki ruangan tersebut dengan sikap terburu-buru.“Kami mendengar suara tembakan dari luar. Apakah—“ Salah satu polisi bertanya pada Wina dan mereka terdiam melihat adegan Gian dan Logan.“Pacar saya sudah melumpuhkan penembaknya, Pak! Silahkan ditangkap orangnya dan dia juga memiliki narkoba berikut alatnya.” Wina suka cita melaporkannya ke para polisi itu.Tak membutuhkan waktu lama bagi dua polisi untuk meringkus Logan yang sudah tak berdaya. Mereka juga mengamankan barang bukti yang ada.Gian melirik Wina yang memeluk lengannya sambil tersenyum. “Kamu tidak apa-apa?”Wina masih tersenyum ri
Gian meneguk salivanya saat dia mulai mengarahkan batang jantan dia ke pusat Wina, ini adalah bagian paling krusial dan penting baginya. Sebentar lagi, dia akan melepaskan masa perjakanya.‘Yah, selamat tinggal, wahai perjakaku,’ batin Gian saat dia semakin hendak menyatukan milik mereka berdua.Namun, mendadak saja ponsel Wina di meja nakas berbunyi nyaring. Wanita itu segera menoleh ke ponselnya. “Nada dering dari rumah!” Tangannnya menyambar benda itu dan menepikan Gian agar dia bisa bangkit dari tempat tidur untuk berbicara dengan orang rumahnya.“Wina? Kamu di mana?” Terdengar suara ibunya di seberang sana.“Aku sedang bersama Gian, Ma. Ada apa?” Wina tidak mungkin menyebutkan detail aktivitas mereka.“Nenekmu gawat keadaannya, Win. Cepat pulang, Mama tak tahan melihatnya. Hiks!” Suara tangis ibunya membuat Wina kalut. Setelah berbicara sebentar, mereka menyudahi telepon.Wina menoleh ke Gian dan berkata, “Gian, maaf, tapi barusan mama mengabarkan kalau nenek sedang dalam kondisi
Tepat ketika benda jantan milik Gian disentuhkan ke kulit area intim Wina, mendadak saja wanita itu menjerit.“Arghh!” pekik Wina, tak bisa menahan rasa sakit yang tiba-tiba saja menyengatnya.“A—apakah sudah masuk?” Gian yang amatir, tak paham makna jeritan Wina. Konon katanya hal pertama semacam itu akan sangat menyakitkan bagi wanita.“Aku … aku malah belum memasukkannya, Gian!” Wina menatap bingung ke Gian. “Barangmu … seperti menyengat punyaku, Gian. Sakit sekali di bawah sana, padahal belum masuk, hanya sekedar menempel!”“Benarkah? Tapi ….” Gian bingung sendiri mengenai itu. Padahal dia sudah bisa mengendalikan listriknya dalam beberapa bulan terakhir ini, mana mungkin masih ada yang bocor dan menyakiti Wina?“Ya sudah, ayo kita coba lagi. Mungkin tadi hanya salah gerak saja.” Wina tak enak hati melihat Gian yang kebingungan.Mereka mencoba lagi. Kali ini, Wina mencoba memegang batang jantan milik Gian, namun, dia justru kejang dan kemudian terkulai lemas.“Wi—Wina! Ei! Wina!”