Tentu saja Alan sangat mau!
“Apa yang sedang Kak Alan pikirkan? Maksudku, aku akan memanggilkan perawat jika Kakak butuh bantuan!” Rachel kini semakin mengerti kekhawatiran Rangga. Alan hanya memiliki wajah awet muda, tetapi cara pikirnya memang benar-benar seperti pria dewasa pada umumnya. Namun, sisi Alan yang dewasa cukup menantang dan menimbulkan rasa penasaran. Rachel justru menyukainya. “Tapi, kalau memang Kak Alan butuh bantuanku, aku terpaksa membantu Kakak,” sambung Rachel menggoda. Dia senang sekali melihat wajah Alan merah padam. “Keluar sekarang, Rachel!” seru Alan tak ingin lagi menunda untuk mengosongkan kandung kemihnya. Rachel terkekeh-kekeh sambil berjalan cepat keluar dari kamar. Dia menunggu di depan pintu agar tak ada perawat atau dokter wanita yang bisa masuk ke dalam. Akan tetapi, siluet kepala Rachel terlihat di kaca kecil pada pintu. Alan tak nyaman mengeluarkan desakan itu di sana. Tak ingin pula Rachel mendengarkan suaranya yang mungkin menembus sampai keluar pintu. Dengan susah p
Tak hanya Asher, Rangga pun tiba-tiba merenunglan ucapan Julian. Bagaimana jika Rachel akan menderita karena dia tak mau menerima Alan? Apakah Rangga akan kehilangan senyuman anak gadisnya? ‘Haruskah aku mengikat hubungan mereka lebih dulu? Apa tidak terlalu dini mereka bertunangan?’ batin Rangga bimbang. Rencana Rangga langsung berubah tatkala melihat anak gadisnya bersenda gurau dengan Alan Ruiz. Dadanya terasa sesak karena patah hati. Harusnya, Rachel masih banyak tertawa hanya untuknya. Bersama dirinya dan Vina. Bukan bersama pria itu! “Rachel, kita pulang sekarang!” tegas Rangga. Rachel yang sebelumnya tersenyum sambil bercanda ria dengan Alan, langsung menunjukkan matanya yang berembun. Rangga heran, sejak kapan Rachel pandai bersandiwara? “Kak Alan sedang sakit dan butuh bantuanku, Ayah!” “Rachel, kau pulang saja dulu. Kakak tidak-” “Kak Alan bahkan kesulitan bergerak dengan bebas! Bagaimana kalau Kak Alan jatuh, lalu lukanya semakin parah?” sela Rachel. Meski tahu putr
“Aku melakukan itu ada alasannya, Kak Julian!” dalih Laura. Ketika Asher bercerita tentang aset-aset Hillary yang telah dimiliki Nathan, Laura menceritakan hal tersebut kepada Julian. Meski Asher juga memberi tahu dirinya kemudian. Salah satu dari dokumen kepemilikan itu merupakan anak cabang Smith Group yang masih menjalin kerja sama dengan perusahaan tempat Celine bekerja. Mendengar bahwa Asher akan menemui Nathan yang tinggal di rumah Celine, Laura tentunya menjadi semakin resah. Kegelisahan lain terpicu oleh Celine yang lebih sering berkunjung di kantor Asher karena kerja sama perusahaan mereka. Padahal, Celine bisa berdiskusi dengan Hillary. Meski Celine juga mengatakan tak akan merayu Asher lagi, tapi Laura masih curiga. Biar bagaimanapun, Asher pernah menyayangi Celine. Laura tak ingin mereka sering-sering bertemu. Mungkin Celine sesekali merindukan Asher, pikir Laura. Semua orang berhak merindukan sosok yang pernah dicinta. Akan tetapi, Laura tak menyukainya. Selama ini
Hening ... Asher dan Mark saling bertatapan dalam diam. Asher terkejut bahwa Mark ternyata mengincar Laura, sedangkan Mark tahu dirinya salah bicara hingga kehilangan kata-kata. “Mark ...,” ujar Asher pelan dan hati-hati. Sikap tenang Asher justru membuat Mark semakin gugup. “Y-ya?” “Bagaimana kabar Enzo? Kapan dia pindah ke sini bersama anaknya?” Mark kehilangan fokus sehingga lupa siapa Enzo untuk sesaat. “Oh ... tidak tahu.” “Ada pesan yang ingin kau sampaikan pada kakakmu? Aku harus minta maaf padanya karena–” Mark mendorong kursi ke belakang saat berdiri hingga menimbulkan bunyi berderit dan membuat Asher berhenti bicara. Dia tahu jika Asher sedang mengancam akan melakukan sesuatu padanya. “Maaf, Tuan Asher. Anda sepertinya salah paham.” Mark membungkuk setengah badan dengan sopan. “Maksudku, Laura Smith adalah wanita yang sangat terhormat dan dikagumi banyak pria. Wanita tercantik sedunia hanya milik Tuan Asher Smith. Semua pria pasti bermimpi ingin menjadi Anda, Tuan!” s
Laura menatap tajam ponsel Asher yang saat ini berbunyi nyaring. Tak ada nama pada nomor itu. Dia ingin mengangkat telepon entah dari siapa itu, tetapi Asher sudah kembali ke kamar. “Siapa yang menelepon?” Asher mengambil ponsel dari tangan Laura. “Jawab saja kalau aku sedang tidak ada, Sayang.” Tanpa menunggu balasan Laura, Asher menerima panggilan telepon itu dengan pengeras suara agar Laura tak curiga atau cemburu. Sebab, bisa jadi ada penggemar wanita yang ingin merayu dirinya malam-malam dan mengira bahwa Laura sudah tidur. “Siapa?” tanya Asher dingin. Terdengar isakan tangis dari seberang telepon. Dada Laura bergemuruh hebat dan menjadi panas saat mengenal suara familier wanita itu. ‘Celine ....’ Kening Laura berkerut dan manik birunya menatap tajam layar ponsel Asher. Ekspresi Asher pun langsung berubah mengeras. Jemarinya bergerak-gerak di atas tombol merah dan ingin menekannya hingga sambungan telepon terputus. Namun, Laura terlihat sangat penasaran. “Ash, bisakah ... k
“Aku melakukan ini demi kemanusiaan. Bukan karena aku peduli padanya atau Celine. Kalaupun bukan Nathan, aku akan menolong semua orang yang membutuhkan,” kata Asher bijaksana. Laura merapikan kemeja Asher sebelum berangkat ke Kota Bloomhorn. “Iya, aku tahu. Kau ke sana hanya berdua bersama Mark?” “Ya. Aku akan membuang darah kotorku, lalu segera pulang.” Asher menyambar mantel tanpa memakainya. “Kau yakin tidak mau ikut? Kau tidak khawatir tubuh suamimu akan mengering karena kehilangan banyak darah?” Laura terkekeh geli. “Kau bukan vampir, Sayang. Dokter tidak akan menguras darahmu sampai kering. Aku juga ada pekerjaan dan tidak bisa meninggalkan Claus dan Collin setelahnya.” Asher meyakinkan Laura sekali lagi, “Aku khawatir kau akan cemburu. Celine pasti ada di sana.” Alangkah baiknya jika Laura ikut bersamanya. Asher membutuhkan kenyamanan dari sang istri setelah mendonorkan darah. Laura tersenyum penuh pengertian. “Aku percaya padamu.” Lagi pula, ada Carlos dan Mark yang akan
“Hillary sudah tidur di kamar tamu. Dia mungkin tidak berani pulang ke rumah. Ditanya pun tidak mau menjawab,” terang Simon kepada Asher. Simon menatap iri si menantu dari kepala hingga ujung kaki. Asher menyibak rambutnya yang lembab ke belakang. Tubuh bagian atas yang tak tertutup kain itu masih tampak berkeringat. Asher bahkan tak menutupi tanda cinta sang istri di beberapa bagian tubuhnya meski tahu Simon sedang melihat itu. Jelas sekali jika dia baru saja bersenang-senang. “Tsk! Kenapa dia mendatangi orang itu lagi? Aku sudah bilang kalau masalahnya sudah selesai,” gerutu Asher. “Aku akan bicara dengannya besok. Papa istirahat saja.” “Baiklah ....” Asher berbalik ke kamar tanpa menunggu Simon pergi. Pekerjaannya di ranjang masih belum selesai jika hanya sekali. Namun, di atas ranjangnya sudah ada Claus dan Collin berbaring di tengah. Artinya, Asher tak akan bisa meluapkan sisa hasratnya sampai pagi. “Dasar wanita licik ... kau sengaja memindahkan Claus dan Collin di sini, b
Cahaya harapan menerpa jiwa Alan. Sebuah syarat bukanlah hambatan, melainkan jalan untuk meraih tujuan. Setidaknya, Rangga mau menunjukkan cara untuk menghancurkan dinding tinggi yang menghalangi hubungan asmaranya dengan Rachel. Apa pun syarat itu, Alan yakin bisa melakukannya, kecuali jika Rangga menyuruhnya untuk melompat dari atas jurang, atau sesuatu yang tak masuk akal. “Aku akan melakukan apa pun demi bisa bersamamu ....” Alan menatap Rachel penuh kasih sayang. Rachel juga sangat bahagia karena Rangga akhirnya tak mengganggu hubungan percintaannya lagi. Menjalani hari-hari bersama Alan, membuat Rachel semakin tertarik dan menyayangi pria tampan itu. Alan bagaikan emas murni yang disimpan semakin lama, maka semakin mahal harganya dan semakin langka. Alan merupakan sosok yang sangat berarti, mengalahkan posisi emas yang teramat disukai Rachel. Namun, Rangga tak berpikir sama dengan mereka. Meski persyaratan yang akan diajukan Rangga layaknya pedang bermata dua. Hasilnya mun